Rabu, 13 April 2011

PUASA (Matius 2:18-22)

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Puasa, apa yang ada di benak kita begitu mendengar kata “Puasa”? ada bermacam-macam tanggapan. Ada yang langsung mengkaitkan dengan kegiatan tidak makan dan tidak minum pada waktu-waktu tertentu, pantang terhadap makanan tertentu atau kebiasaan tertentu. Namun saya yakin ada beberapa di antara kita yang juga bingung memaknai puasa a la Kristen. Ada yang bingung apakah pake acara buka dan sahur seperti yang dilakukan oleh umat Muslim? Apakah puasa dapat menjadi sarana agar segala keinginan kita terwujud? Atau mencari pahala?

            Puasa yang dipraktikkan oleh gereja kuna mempunyai makna yang berbeda dengan puasa yang dilakukan agar memperoleh pahala atau puasa dengan tujuan mendapatkan keinginan-keinginan pribadi. Puasa Pra-Paskah ini sedapat mungkin menjadi sarana pembinaan hidup spiritualitas yang sehat yakni pribadi yang seimbang dalam memberikan perhatian kepada Tuhan, sesama dan diri sendiri. Sebab pada umumnya manusia itu mahluk yang egosentris-cenderung memikirkan dirinya sendiri. Tentu ini tidak seimbang. Berpuasa berarti memberi perhatian lebih banyak lagi kepada Tuhan dan kehendakNya serta lebih memperhatikan sesama kita manusia dan alam sekitar.

            Di dalam Perjanjian lama (PL) bahasa ibrani untuk kata puasa yaitu tsum, tsom, dan ‘inna nafsyo memiliki arti harafiah yaitu merendahkan diri dengan berpuasa.  Berikut ini beberapa pandangan di PL mengenai puasa:

·         Orang-orang Ibrani berpuasa pada Hari Pendamaian (Im. 16:29, 31; 23: 27-32; Bil. 29:7).  Di dalam Im. 16:29 dan 31 kata yang dipakai adalah ta’anit yang berarti merendahkan diri. Kata ini memiliki akar kata yaitu ‘ana yang berarti humble dan dari akar kata inilah muncul kata anaw  yang berarti humble dan ani  yang berarti poor. Hari Pendamaian dirayakan pada bulan ke-7 tanggal 10 dan dirayakan setahun sekali. Pada hari tersebut orang-orang merendahkan diri dengan berpuasa dan mengadakan pendamaian dengan Tuhan (Kel. 30:10).

·         Ada juga puasa yang bersifat individual misalnya saja dapat kita temukan dalam 2 Sam. 12:22 dan kadang-kadang dilakukan pula secara bersama-sama (Hak. 20:26).

·         Di dalam PL, berpuasa dimaknai sebagai bukti lahiriah dukacita (1 Sam. 31:13, 2 Sam. 1:12; 3:35; Neh. 1:4) dan pernyataan pertobatan (1 Sam. 7:6; 1 Raj. 21:27; Neh. 9:1-2).  

·         Tak jarang puasa juga dimaknai sebagai ganjaran yang ditimpakan pada diri sendiri selain juga dilakukan agar mendapat bimbingan dan pertolongan Allah (Kel. 34:28; Ul. 9:9; 2 Sam. 12:16-23).

·         Ada pula orang-orang yang berpikir bahwa dengan berpuasa maka dengan sendirinya menjamin bahwa Allah mendengar (Yes. 58:3-4). Untuk menentang hal ini para nabi menyatakan bahwa tanpa kelakuan yang benar, maka tindakan berpuasa adalah sia-sia (Yes. 58:5-12; Yer. 14:11-12; Za. 7).

Namun secara umum, PL memaknai puasa sebagai tindakan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Sekarang bagaimana Perjanjian Baru memaknai puasa? Khususnya perikop Markus 2:18-22…

            Di dalam Perjanjian Baru (PB), bahasa Yunani yang dipakai untuk kata puasa adalah nesteuo, nestesia dan nestis sedangkan di dalam Kis. 27:21, 33 kata yang dipakai adalah asitia dan asitos. baik nestuo, nestesia, nestis, asitia dan asitos sama-sama memiliki arti the state of being very hungry or lack of food for a considerable period of time and as the result of necessity rather than choice. Di dalam PB, satu-satunya puasa yang disinggung adalah puasa Hari Pendamaian (Kis. 27:9). Selain itu, digambarkan bagaimana orang-orang Farisis ketat berpuasa tiap hari senin dan kamis (Luk. 18:12).  Praktik berpuasa yang ketat inilah yang barangkali dijadikan tolok ukur orang-orang Farisi menilai kehidupan murid-murid Yesus yang tidak berpuasa. Namun Yesus memberikan pandangan kritis terhadap praktik berpuasa yang dilakukan semata-mata hanya sebagai sebuah tradisi atau ritual tanpa makna.

            Di dalam perikop yang menjadi bahan PA hari ini, kita dapat melihat bahwa setidaknya disinggung adanya 3 golongan religius di masyrakat saat itu. Ada golongan Farisi, golongan Yohanes dan Yesus serta murid-muridNya. Ke-2 golongan yang disebutkan pertama itu melakukan praktik puasa sedangkan Yesus dan para murid tidak melakukan praktik puasa. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Markus, dalam rangka apakah mereka berpuasa. Padahal puasa adalah bagian dari ritual keagamaan sejak jaman PL yang dilaksanakan oleh bangsa Israel. Mengapa murid-murid Yesus tidak berpuasa?? Apakah Yesus dan para muridNya hendak membangkang dari tradisi keagamaan yang sudah mendarah daging itu? Atau Yesus dan para murid hendak mengubah aturan-aturan hukum Taurat? Orang-orang Farisi ini penasaran dengan pendapat Yesus yang melatarbelakangi aksinya untuk tidak berpuasa.

            Yesus menjawab dengan menggunakan perumpamaan mengenai tradisi pernikahan yang diwarnai dengan sukacita. Mempelai, para sahabat dan tamu makan dan minum dengan gembira. Lalu bagaimana mungkin pada saat sukacita seperti itu, para sahabat berpuasa? Melalui perumpamaan ini Yesus mengindentikkan dirinya sebagai Mempelai Laki-laki dan para muridNya sebagai sahabat-sahabat mempelai laki-laki sedangkan keberadaan dan pelayanaan Yesus di muka bumi, Dia hayati sebagai sebuah “Pesta Keselamatan” yang perlu dirayakan dengan sukacita. Pelayanan-Nya di muka bumi dihayati Yesus dengan sukacita bukan dukacita. Lantas apa pendapat Yesus tentang Puasa?

            Jawaban selanjutnya juga masih memakai perumpamaan. Inilah sikap dan pandangan Yesus tentang praktik berpuasa, secarik kain dan anggurnya masih ada artinya puasa juga tetap ada dan perlu dilakukan. Namun sekarang secarik kain itu harus ditambalkan dalam kain yang baru dan anggur dituang dalam kantung yang baru. Puasa dengan penghayatan seperti yang dilakukan oleh orang Farisi yang mengikuti kebiasaan yang dikritik oleh nabi Yesaya (Yes. 58:3-4) harus diganti dengan penghayatan dan konsep puasa yang baru.  Secara tidak langsung, Yesus mengumandangkan kembali apa yang dikatakan nabi Yesaya dalam Yes. 58:6-7 (versi Bahasa Indonesia Sehari-hari) yaitu Inilah puasa yang Kukehendaki: Lepaskanlah belenggu penindasan dan beban ketidakadilan, dan bebaskanlah orang-orang yang tertindas. Bagilah makananmu dengan orang yang lapar, terimalah orang-orang gelandangan di rumahmu. Berilah pakaian kepada orang telanjang, dan jangan menolak saudaramu yang perlu ditolong. Puasa dan keadilan erat kaitannya.  Puasa di dalam Yes. 53:7 menggunakan kata ta’anit yang dikaitkan dengan Mesias yang afflict Himself for the sins of His people. Puasa adalah pengosongan diri agar orang lain (terutama mereka yang menderita dan tertindas) mendapat tempat dalam hati dan hidup kita.  Jadi, puasa bukan lagi sebuah kewajiban agama melainkan suatu kerelaan hati untuk terbuka di hadapan Tuhan dan sesama, dengan belajar mengurangi sikap yang mementingkan diri sendiri.  Puasa = mengurangi sikap mementingkan diri sendiri dan menambah sikap perhatian terhadap Tuhan, sesama dan alam semesta misalnya dengan mengurangi hobby merokok dan menyisihkan uang rokoknya untuk diberikan pada mereka yang membutuhkan, mengurangi kebiasaan shoping dan mengalokasikan dana shoping untuk pengembangan gereja, mengurangi kebiasaan marah, menggosip namun semakin banyak meluangkan waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Selain itu mulai peka dengan kondisi lingkungan sekitar, misal dengan belajar untuk taat membuang sampah pada tempatnya, membersihkan saluran atau selokan yang mampet, belajar membedakan sampah plastik, kertas, dan organik, sehingga lingkungan jadi lebih sehat. Pilihan ada pada kita apakah kita akan berpuasa sehari suntuk, atau pakai acara buka dan sahur, atau kita berpantang tidak makan makanan favorit atau pantang untuk melakukan kebiasaan buruk. Tidak masalah bentuknya apa yang terpenting adalah esensinya yaitu, mengurangi sikap mementingkan diri sendiri namun belajar untuk mengutamakan Tuhan, sesama dan alam semesta.

 

Y.Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar