Sabtu, 11 Juni 2016

SUATU SORE DDI KEDAI KOPI



Senja pertama di bulan kedua tahun itu, hujan masih rintik. 
Basah membekas di ujung daun dan dahan juga jalanan.
 Langit kelabu menjadi latar sepanjang perjalanan.
 Di depan kedai kopi, kursi dan meja besi bercat pudar sederhana tergeletak seadanya.
 Di luar basah dan lembab udara masih terasa.
 Sementara di dalam hangat kopi memenuhi udara. 
Di luar semua nampak muram karena hujan yang turun tergesa dengan derasnya. 
Sementara di dalam obrolan susul menyusul seperti kebulan asap kopi dari cangkir-cangkir kopi. 
Semua orang berebut tempat, hinga semua nyaris terisi padat mungkin biar semakin hangat. 
Kumpulan orang-orang ini seperti biji kopi yang berdesakkan siap digiling.
 Tapi itu semua tak mengurangi kesenangan kita mengunjungi kedai mungil ini.
 Begitulah sore itu di sebuah kedai kopi kecil di ujung jalan. 
Hanya ada dua kursi yang tersisa di ujung sisi kanan, katamu mengembalikan aku ke bumi. 
Sejenak aku terbawa kebul kopi dan aroma yang membius ini.
 Kursi dan meja tinggi memang tak selalu ideal katamu.
 Tak apa, senyumku. 
Dua cangkir kopi hitam beda metode sudah terhidang setelah menunggu hingga sedikit petang. Dentang dan denting cangkir beradu tawa dan kata. Mondar mandir orang datang dan pergi. Tetapi aku tahu tempat ini tak pernah benar-benar sepi hingga nanti mesin berhenti menggiling kopi, maka ia menjelma sunyi. 
Kaki kita menekuk beradu lutut di ruang sempit mengalun lagu. 
Katamu tak apa asal tak adu mulut saja. Lebih baik adu lutut.
Kataku,”Sebentar, tolong berhentilah bercerita sebentar saja, mari kita dengarkan lagu ini.” 
Maaf jika harus ku hentikan ceritamu, tapi kau tahu,
 kita masih punya waktu hingga esok menjelang untuk semua cerita yang mungkin tercipta. Menanggung bingung mendengarkan lagu, jawabmu, “Tak bisa ku tolak, matahari memaksa ku menciptakan bunga-bunga.” 
Petikan larik akhir puisi “Ku Hentikan Hujan” menutup keheningan kita menikmati lagu teduh itu.
 Yang tersisa hanya ampas kopi di cangkir masing-masing.
 Dan pendar cahaya kedai kopi yang kian mengecil di belokan jalan seiring dengan cerita yang
 semakin semarak di dalam sini.


yohana dee
#bukansoalkopi
#sapardidjokodamono1980

PENDAKIAN


"Pendakian gunung adalah representasi dari pendakian hidup. Bahwa puncak sebenarnya bukan tujuan.  Itu hanya tanda saja bahwa kita harus bergerak mencapai titik yang lebih tinggi dari yang telah diraih. Di dalam pendakian, kita akan menemukan teman-teman yang mempunyai visi ketinggian yang sama. Napas kita dan napas mereka sama. Ruh kita dan ruh mereka terikat kuat untuk saling menolong, saling mengangkat, dan saling memberi semangat untuk melanjutkan perjuangan. Inilah yang disebut sebagai persabahatan.
 
Semakin berat  perjalanan maka ikatan ketulusan menjadi semakin kuat. Karena, pada ketinggian tertentu, suasana akan sangat hening. Di sinilah kita paham bahwa kesulitan akan mendatangkan sahabat sejati. Sahabat yang datang saat hening jauh lebih sedikit dibandingkan teman-teman di kaki gunung yang riuh rendah." (Denny Siregar, hlm. 160-161).
 
 Sore ini aku membuka secara acak dan membaui buku yang baru tiba siang tadi di kantor. Salah satu kebiasaan ku memang membaui aroma buku. Baunya enak! Dan aku menemukan tulisan itu. Seketika aku mengingatmu dan teman-temanmu di GKI Taman Yasmin. Pendakian kalian belum selesai. Pendakian kalian tak juga semakin mudah. 
 
Dua kali pengalamanku naik dua gunung berbeda di Pulau Jawa, tak ada kisahnya ke puncak makin mudah. Bukan hanya hipotermia yang mengancam, kebutaan dan frostbite juga bisa mematikan di gunung-gunung berselimut salju. Dan situ barangkali aku belajar mengerti arti "bersisian" dengan maut.
 
Maka jika pendakian ini makin sulit. Napas kalian tersengal-sengal . Dan yang terdengar hanya suara napa satu-satu, serta angin yang menderu-deru selebihnya senyap yang tak kunjung lenyap. Di tambah kabut yang pekat. Bertahanlah kalian di atas sana ya. Setapak saja jika tak sanggup. Saling mengenggak dalam doa....
 
Mungkin bukan hari ini kalian mencapai puncaknya, tapi suatu hari mulai dari sekarang, aku percaya kalian sampai juga di atas sana dengan Merah Putih berkibar indah, aku selalu percaya itu...
 
 
-sepotong surat untukmu-
Bandung, 8 Juni 2016

WIKEN ALA BUNG HATTA

  Saya harus mengakui bahwa saya tak tahan digoda oleh buku “Untuk Negeriku-Sebuah Otobiografi Mohammad Hatta” Jilid 1 (ada 3 Jilid) hasil dipinjami. Maka di tengah tugas yang meriah dan melimpah, saya “curi-curi” membaca. Awalnya hanya beberapa lembar tetapi lama-lama sudah setengah lebih dari jilid 1 sudah saya lalap karena kalap. Dan saya terpikat pada tulisan ini justru ketika saya sudah jauh “melangkah” ke lembaran-lembaran yang lain:    
  
“Kami mulai berangkat dari Gedung STOVIA dengan berjalan kaki, lebih dulu ke Pasar Baru di lingkungan orang menjual nasi goreng dan sate ayam serta minum kopi. Setelah selesai kami pergi menonton di bioskop Pasar Baru. Setelah selesai pertunjukkan bioskop kira-kira pukul 21.00 atau 21.30 kamu berjalan-jalan, dengan berjalan kaki “mengedari” kota Weltverden sampai pukul 23.00. Pada akhir jalan-jalan itu, kami berhenti pada suatu warung kopi di Senen yang sering didatangi oleh “klepek”, murid-murid sekolah STOVIA. Setelah mengantarkan Bahder Djohan pulang ke STOVIA, aku kembali pulang naik sepeda. Demikianlah pergaulan kami berdua selama aku bersekolah di Betawi dua tahun lamanya.” (Bukittinggi-Rotterdam lewat Betawi, hlm.96)    
 
 Mungkin tak ada yang spesal dengan menu wiken Bung Hatta dan kawannya itu. Bahkan bisa jadi bikin bosan karena begitu terus selama dua tahun. Tetapi ada yang membedakan. Bung Hatta dan Bahder Djohan sudah menyepakati selama mereka ada di Betawi untuk sekolah, sepekan sekali setiap Sabtu mereka wajib jumpa. Quality time itu tak jatuh dari langit, Kawan atau seperti menang undian. Quality time itu butuh usaha yang disengaja. Disengaja...coba kau resapi dulu ya apa artinya.     

 Syukur kepada Allah, quality time mereka belum terinfeksi gawai dan media sosial sehingga tak ada ceritanya Bung Hatta dan Bahder Djohan motrek nasi goreng bersanding sate ayam dan kopi lalu kemudian ngobrol lagi. Atau check in lokasi tempat ngopi ketika ngopi di warung kopi di Senen. Atauuu sementara Hatta sibuk mengurai kegelisahannya, Bahder Djohan sibuk membalas komentar di facebook atau “berselancar” dari “dinding ke dinding”.     

 Lantas apa sih yang mereka obrolin? Selama “mengedari” kota malam-malam itu mereka banyak bertukar pikiran tentang berbagai hal yang mengenai tanah air, peradaban dan juga kultur. Wiken kok serius amat? Mereka adalah orang-orang yang gelisah pada jamannya. Maka kegelisahan mereka tentang tanah air, pergerakkan kaum muda, tentang peradaban dan perbedaan kultur Barat dan Timur pada tahun 1920-an menjadi sesuatu yang harus mereka bicarakan. Bukan dalam situasi formal tetapi sangat kasual sambil makan nasi goreng dan sate ayam tak lupa nyruput kopi.     

 Quality time mereka itu sesuatu yang diusahakan secara sengaja dan konten obrolannya sungguh inspiratif membuat hati berdesir. Quality time tak melulu harus berbanding lurus dengan laku konsumtif. Justru quality time-nya Bung Hatta dan Bahder Djohan menampilkan sebuah potret quality time yang bersifat rekreatif dan reflektif.     
 Kalau Bung Hatta seperti itu wikennya, bagaimana dengan mu? Wiken ini mau ngapain?     
  Bandung, 11 Juni 2016