Kamis, 07 April 2011

PERENUNGAN SEBATANG POHON

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


Ketika aku masih muda, aku tidak terlalu memperhatikannya, kemudian aku sadar betapa berbedanya aku. Aku pendek, bungkuk dan tidak berbentuk. Sementara di sekitarku berdiri tegak dengan anggunya pohon-pohon pinus yang tinggi dengan dahan yang menjulur. Walaupun demikian aku senang bergelantung di sini pada sisi karang yang terjal dan akarku yang sedikit jumlahnya melingkari puncak batu.

Aku sering bermimpi bertumbuh menjadi besar dan indah dengan angin yang bertiup mengayunkan aku ke sana ke mari dan tetesan air hujan membersihkan daun-daunku. Tetapi, di sini, di sisi karang aku merasa kerdil. Angin tak bertiup di dahan-dahanku. Bahkan matahari hanya menghangatkan aku setengah hari dan meninggalkan aku.

Mengapa aku harus tinggal di sini? Bergelantung pada sebuah batu karang? Aku tidak mempunyai humus yang cukup untuk mengembangkan semua keindahan dalam diriku. Aku kecewa dengan nasib diriku. Mengapa aku harus di sini dalam keadaan seperti ini?

Kemudian pada suatu pagi yang cerah, semerbak wewangian dari semua bunga rumput yang menebarkan aromanya kepadaku, seekor burung mungil mendendangkan siulannya di dahan-dahanku dan kehangatan sinar matahari pagi memberi aku kecupan jauh sebelum menyentuh mereka yang ada di lembah. Betapa indahnya pemandangan terhampar di hadapanku yang hanya dapat disaksikan dari atas sini. Tak adapohon lain di bawah sana yang dapat memandang jaug dan luas seperti dari tempatku.

Sejak hari itu aku mulai menyadari bahwa aku ini sesuatu yang khusus. Aku adalah sebatang pohon khusus yang diciptakan untuk jenis tempat yang khusus. Tak satupun dari pohon-pohon yang besar dan indah itu dapat mengalami apa yang sedang ku alami. Mengapa aku memerlukan waktu begitu lama untuk menyadarinya?

[Willi Hoffsuemmer]

 

 

Ini tentang menjadi diri sendiri. Mengenal setiap inchi dari diri kita. Menerima setiap hal yang ada pada diri kita dan maju seiring hari berlalu sambil terus mensyukuri keberadaan diri. Tampak sederhana? Tapi apakah menjadi diri sendiri itu sesederhana deretan huruf yang menyusunnya? Sepertinya tidak. Coba perhatikan berapa banyak dari kita yang menggunakan topeng saat keluar dari zona aman kita? Berapa banyak orang yang tidak tahan menjadi diri sendiri dan berbuat sesuatu dan terkesan baik (terkesan baik dengan baik itu berbeda)…memanipulasi diri demi menyenangkan banyak pihak. Kebanyakan dari mereka (bahkan mungkin kita juga) berakhir dengan kelelahan karena memanipulasi diri…sampai-sampai lupa topeng yang mana yang harus dipakai. Sungguh menyedihkan ketika kita tidak menjadi diri sendiri…

Tidak banyak yang bisa disyukuri…tidak banyak yang bisa membuat kita tersenyum dan berbisik “aku mencintai diriku apa adanya” ketika saya dan Anda tidak menjadi diri sendiri. Sama seperti pengakuan sebatang pohon tadi, hidup kita akan dipenuhi ungkapan negatif tentang diri kita, tempat kita berada, pekerjaan kita, tugas-tugas kita…karena kita belum mampu menjadi diri sendiri…belum mampu menerima diri sendiri…belum mampu mencintai diri sendiri apa adanya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar