Senin, 25 April 2011

Belajar dari ceker ayam

Ceker ayam?!?! Dua atau tiga kaki ayam bersemayam di dasar panci sop. Warnanya pucat dengan guratan hitam di sekitar kaki sampai mendekati kukunya. Uuuuhh sangat menjijikan, begitu komentar saya. Tetapi adik tingkat saya di perguruan tinggi-Lydia dan kakak tingkat saya-Nunik, amat sangat menyukai si pucat berjari empat itu. Dan setiap kali sop dihidangkan, mereka akan "memancing" ceker ayam. Ceker itu akan bertengger di piring mereka, sampai mereka selesai menghabiskan nasi dan lauk yang lain lalu mereka akan mengeksekusi ceker ayam itu dengan ekspresi penuh kenikmatan sementara saya "eneg" melihat ceker ayam itu. Di dunia ini, ada orang-orang yang sealiran dengan Lydia dan Nunik yang sama-sama suka makan ceker ayam, sementara ada pula yang sealiran dengan saya-anti ceker ayam. Di Amerika dan Eropa, ceker ayam adalah bagian tubuh ayam yang dibuang bersamaan dengan kepala, tunggir alias brutu, usus, hati, dan segala macam perkakas di dalam perut ayam. Mereka hanya mengkonsumi dada, paha dan sayap saja. Sedangkan kepala, ceker, dan jeroan ayam itu mereka olah untuk menjadi pakan ternak. Jadi ceker ayam dan teman2nya itu tidak dikonsumsi manusia. Di Asia, setahu saya hanya Korea yang juga ikut menganggap ceker ayam sebagai limbah ayam potong yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia.

Sore ini sebelum berangkat rehat, saya menyempatkan diri membaca satu bagian dari buku yang baru saja saya beli yaitu "Selamat Berkerabat". Di salah satu bab-nya, Pak Andar menceritakan bahwa di Korea, mereka bisa makan ceker ayam dengan gratis karena itu sebenarnya sudah dibuang. Jadilah Pak Andar dan ke-7 orang teman kuliahnya dari berbagai macam negara itu saban hari ke pasar kaget di dekat asrama mereka. Di sana tujuan mereka selain membeli tahu dan sayur mereka juga selalu menuju ke tempat penjagalan ayam. Di sana ada beberapa ember besar berisi kaki ayam. Mereka diijinkan untuk mengambilnya dan tak perlu bayar. Penjual ayam senang karena tak perlu membuang limbah ceker ayam itu sekaligus heran dan barangkali rada jijik melihat ulah ke-8 mahasiswa internasional ini yang rajin meminta ceker ayam. Ceker ayam adalah satu-satunya sumber protein hewani yang mereka sanggup beli, maklumlah biaya hidup di Korea tinggi, sehingga mereka harus pandai atur uang biar bisa beli buku dan nonton bioskop.

Sesampainya di asrama, mahasiswa-mahasiswa internasional ini berjuang membersihkan ceker ayam yang sangat kotor itu. Mereka mengguyur sendi kuku ceker ayam itu dengan air panas lalu sendi kuku itu dibacoki dan dibuang. Lalu diguyur dibawah air kran yang sangat panas. Kemudian kulit luarnya dicopoti satu demi satu. Lalu dicuci lagi berkali-kali dengan air panas. Setelah bersih, barulah ceker ayam itu dirapikan dalam kantong-kantong plastik dan disimpan di dalam kulkas. Kulkas jumbo yang ada di asrama mereka pun penuh dengan ceker ayam. Pak Andar mengakui bahwa dia dan teman-temannya bukanlah para lelaki yang pandai memasak, namun keadaaan memaksa. Maka jadilah mereka yang sedang digembleng untuk menjadi dosen teologi berubah menjadi chef yang pandai bereksperimen dengan bahan baku ceker ayam. Ada yang masak sup ceker ayam, tim ceker ayam, tumis sawi ceker ayam dan lain-lain. Menurut Pak Andar, jangan bandingkan masakan para mahasiswa calon dosen teologi ini dengan kualitas depot..kalah jauh...tapi lumayan enak dan murah karena si ceker ayam kan gratis.

Well, ceker ayam itu dibuang oleh masyarakat di beberapa tempat. Tidak disukai, dianggap tidak bersih, menjijikan, jorok, tidak bergizi dan bahkan di beberapa kebudayaan di Indonesia, bahkan makan ceker ayam itu dianggap tabu, pamali. Ada yang bilang katanya tulisannya bisa jelek kayak ceker ayam (saya tidak suka makan ceker ayam, tapi kok tulisan tangan saya tetap jelek ya), ada yang bilang kalau suka makan ceker ayam, lama-lama kuku jarinya mirip ceker ayam (wah, salon manicure dan pedicure laris manis ini hehehehe...). Tapi ada juga mitos yang bilang kalau makan ceker ayam, maka kakinya kuat kayak ayam karena ayam gak pernah duduk, berdiri mulu. Apapun itu mitos, tabu dan pamali yang menyekitari si ceker ayam tetap saja ada orang-orang yang menganggapnya sebagai limbah.

Tapi ketika sebagian orang mencap ceker ayam sebagai limbah, ternyata masih ada orang-orang yang memanfaatkan limbah itu. Ada yang memanfaatkannya karena suka, karena desakan ekonomis, dan karena kepepet tidak ada sumber protein hewani lainnya yang bisa dimakan. Terlepas dari apapun motivasinya seseorang memakan ceker ayam yang dianggap limbah, ada sesuatu yang menarik disini yaitu apa yang dianggap tak berarti...apa yang sudah dibuang oleh orang lain...apa yang dianggap buruk...apa yang dianggap tidak enak...ternyata bagi orang lain bisa dianggap berarti...berharga...baik..dan enak. Jadi persoalannya adalah perspektif kita dan hidup ini kan memang paradoks dan bersifat relatif atau nisbi.

Dari ceker ayam dan Pak Andar dkk., saya belajar untuk melihat hidup saya itu tidak dalam satu warna saja. Belajar untuk tidak menganggap pergumulan saya, penderitaan yang saya alami, dan kemampuan yang saya miliki sebagai sesuatu yang paling buruk, paling memberatkan. Bisa jadi saya menganggap diri tidak berarti...tidak bisa melakukan suatu hal yang orang lain bisa...tetapi jangan-jangan apa yang saya anggap sebagai sebuah kelemahan, di mata orang lain justru itu suatu kekuatan saya. Bisa jadi saya menganggap penderitaan yang saya alami itu sebagai yang paling hebat yang paling berat, tapi jangan-jangan orang lain justru menimba kekuatan dan semangat lewat penderitaan hidup yang saya jalani. So, hidup ini paradoks...hidup ini bersifat relatif...hidup ini punya banyak spektrum warna...jangan hanya menilai dan melihat dari satu perspektif dan kemudian kita terpuruk dibuatnya...apa yang kita anggap sebagai kelemahan, bisa jadi dianggap orang lain sebagai berkat... kuncinya terletak bagaimana cara kita memandang hidup ini...

Hidup ceker ayam--sorak sorai bagi para pecinta ceker ayam dimanapun Anda berada hehehehehe

 

 

Senin, 25 April 2011

Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar