Sabtu, 28 Januari 2012

butir-butir kehidupan...

Solitary_edit
ketika hidup memberimu kesempatan untuk menyelami kesunyianmu

maka dengarkanlah irama hidup yang berdetak tiada bersela...

bunyi dan suara yang nyaris tak pernah hinggap di kepalamu...

maka saksikanlah cakrawala dalam keanggunannya yang tak bercela...

warna dan harmonisasi yang nyaris tak pernah singgah di pelupuk matamu...

maka hiruplah nafas kehidupan yang mengitarimu...

aroma dan kesegaran yang nyaris lewat begitu saja di hidungmu...

dan temuilah dirimu...

dan ijinkanlah dirimu menyentuh tangan Sang Khalik...

dalam kesunyianmu...

berbincanglah...

 

 

 

Bandung, 28 Januari 2012

Y. defrita R.

Kamis, 26 Januari 2012

Untuk Kak Ardiyana

Memang tak genap hitungan sepuluh jari kita berjumpa di kota kecil Mojokerto. Kau datang dalam rangka mengawali stage-mu dan aku dalam rangka mengakhiri pelayananku.
Masih ku ingat dengan jelas kau datang sehari sebelum aku mengikuti psikotest di Yogyakarta dan kotbah di Karanglewas.
Kau datang jam 4 pagi dan sayup-sayup ku dengar suaramu...memang benar kalau Pak Simon berkata bahwa suaramu merdu.
Tapi aku tetap memejamkan mata...
Ketika pagi sudah benar-benar terang, di situlah untuk pertama kalinya aku menatap wajahmu kak...
kesanku adalah kau sangat lembut dan dewasa...sangat keibuan...
anehnya ini kali pertama kita berjumpa, tapi kau tahu kak...
kita bercerita tentang banyak hal sampai berjam-jam seolah kita ini kawan lama tak berjumpa
sangat akrab dengan kopi dan dua bungkus nasi pecel khas Jawa Timur yang untuk pertama kalinya pula kau makan.
Dengan lahap dan semangat kita tandaskan nasi pecel itu ditingkahi deru tawa kita menertawakan kawan dan dosen
kalau dipikir-pikir lagi sungguh kurang ajar betul kita saat itu
dan malam harinya aku dan kau sama-sama ikut doa malam lalu aku meninggalkanmu ke Yogyakarta untuk empat hari kedepan...
kita kemudian jumpa lagi dan tak lama aku harus benar-benar pulang ke rumah melanjutkan penjelajahanku...
dan kau berkarya di Mojokerto...
aku ingat diskusi kita tentang kotbahmu untuk ibadah alternatif
dengan semangat kau kisahkan semuanya kepadaku
kau tunjukkan draftmu
dan kau paksa aku mengomentarinya
padahal sejujurnya bagiku apa yang kau buat itu sudah amat baik

lama kita tak berkabar kak...
dan awal Desember tahun lalu ku dengar kau sedang sakit
sakit yang tidak biasa
sakit yang perlahan-lahan meruntuhkan dirimu

tepat 3 hari menjelang Natal, aku berkabar denganmu
dari sms-sms mu yang pendek itu aku tahu keadaanmu kak..
terakhir yang kau katakan padaku adalah "doakan kakak Def"

hari demi hari aku menerima kabar tentang sakitmu kak
dan aku tahu kau pun sedang berjuang di sana dengan caramu

minggu tanggal 22 Januari 2012 jam 8 pagi aku mendengar kabar kepulanganmu ke rumah Bapa...
Kak Ardiyana...
perjuanganmu sudah usai...
yang terbaik sudah kau kerjakan
dan sekarang damailah kau disana...
selamat jalan kak Ardiyana......












Jumat, 20 Januari 2012

DICARI: Perwira dari kapernaum masa kini !!!

Kemarin dalam sebuah perbincangan dibahaslah soal Perwira dari Kapernaum. Kisah yang lazim didengar oleh sebagian besar orang. Tetapi ketika dengan lebih sungguh ditelisik maka ada hal-hal yang terpikirkan sebelumnya dan itu menyeruak. Tentu saja efeknya mencerahkan. Dalam hasil telisik dan telusur kemarin, ada beberapa penemuan:

Perwira kapernaum ini memang pada dasarnya orang baik. Dia penjajah namun ia justru bergaul karib dengan masyarakat di sekitarnya bahkan dia menjadi penyumbang pembangunan Bait Allah. Sekalipun ia tidak beribadah di sana. selain itu dia peduli dengan nasib hambanya. bukankah pada jaman dulu hamba itu setingkat lebih tinggi dari kuda dalam padangan masyrakat saat itu. namun yang terjadi adalah ia rela meminta para tua-tua dan sahabatnya agar menemui Yesus demi hambanya yang sakit. Ini orang baik banget! Dan yang lebih membuat saya tercengang adalah imannya. bahkan dikisahkan kalau Yesus pun heran dengan iman yang dimiliki oleh perwira dari Kapernaum. Ia meyakini bahwa kalau Yesus bilang sembuh, maka hambanya akan sembuh.

lha kalau si perwira Kapernaum yang bukan orang yahudi asli malah sangat beriman bukan hanya diucapkan tetapi dalam laku sesehari....

 

Bandung, 20 Januari 2012

Y. Defrita R.

 

Rabu, 18 Januari 2012

"Boleh Cerai gak sih??"

Hari ini Pemahaman Alkitab di gereja tempat saya "belajar" melayani sedang asyik membahas soal Perzinahan dan Perceraian. Setelah menyaksikan diskusi yang semarak di ruangan tadi, saya ingin membagikan sedikit apa yang saya ketahui dan semoga membantu memberikan alternatif sudut pandang.

Pdt. Drs. Jan Post Hopster dalam suatu Semiloka tentang Perceraian dan Perkawinan tahun 1997 mengatakan setidaknya persoalan perceraian dan perkawinan ketika ditinjau dari sudut pandang Teologis maka da menawarkan 3 macam model pendekatan:

1) Model pertama ini seringkali disebut sebagai model yang menggunakan berbagai macam ayat di Alkitab yang dirasakan mendukung soal anti perceraian atau anti perzinahan. kelemahan model ini adalah masing-masing ayat itu kadangkala justru berlawanan dan model ini tidak melihat lebih jauh konteks di balik ayat2 tersebut.

2) Model historis

artinya perceraian dan perkawinan ini didekati secara historis. Di Kalangan orang Farisi pada dasarnya perceraian diijinkan karena mereka merujuk pada Musa yaitu" boleh cerai asal memberi surat cerai" . Tetapi pada masa Tuhan Yesus setidaknya ada 3 mazhab besar yaitu:

a) Mazhab Rabbi Syammai

agak konservatif memang khusunya dalam menafsirkan Ulangan 24:1, maka perbuatan tidak senonoh itu diartikan sebagai perzinahan.

b) Mazhab Rabbi Hillel

lebih progresif dan liberal dalam menafsirkan "perbuatan tidak senonoh" yaitu termasuk masak nasi gosong sudah bisa jadi alasan buat bercerai. Sebetulnya Rabbi Hillel ini mau mengatakan bahwa pada saat perceraian itu sudah tidak lagi terhindarkan maka setiap alasan apapun itu menjadi sah sebagai dasar perceraian.

c) Mazhab Kaum Esseni

sedangkan kaum Eseni dengan tegas menolak perceraian. perceraian sama sekali tidak boleh selama istri masih hidup. dasar mereka adalah Kejadian 1:27.

secara sekilah nampaknya Tuhan Yesus lebih condong ke arah mazhab Rabbi Syammai yang menafsirkan ulangan 24:1 khususnya "perbuatan tidak senonoh" sebagai zinah maka "bersalahlah setiap suami yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah. dalam konteks ini sebenarnya Tuhan Yesus mau melindungi kaum perempuan dalam ikatan pernikahan mereka dan setelahnya.

Namun perlu dicermati bahwa perkataan Tuhan Yesus sama sekali tidak berarti Dia melegalkan perceraian. Dalam hal ini sikap Yesus lebih dekat dengan Kaum Esseni yang mdasarkan diri pada Kejadian 1:27.

Lalgu bagaimana dengan MArkus 10:2-12?

Markus 10:2-9 dikatakan oleh Yesus dalam rangka mewakili pandangan orang Yahudi bahwa laki-laki yang berhak menceraikan istrinya dan kembali merujuk kepada perintah Musa karena mereka hidup di masyarakay patriakal.

sedangkan MArkus 10:10-12 mewakili pandangan Yunani yang baik istri maupun suami sama-sama punya hak untuk menceraikan.

Lalu Matius 5:27-32?

Di dalam konteks Matius, Yesus mempunyai pandangan yang sama dengan Rabbi Syammai. Ingat bahwa Matius menulis untuk komunitas Yahudinya.

Jadi melalui pendekatan model kedua ini orang diajak untuk melihat bahwa perbedaan budaya dan pendapat melahirkan "tidak adanya jawaban pasti akan masalah perceraian"...jawabannya tidak selalu sama.

Sebab kalau mau kita lebih jauh khusunya dengan perspektif KErajaan Allah maka Yesus sesungguhnya mau mengajak masyarakat untuk menjadi masyarakat yang egaliter bukan patriakal. Msyarakat yang mengedepankan kesetaraaan relasi antara lelaki dan perempuan, antara istri dan suami...sehingga persoalan boleh cerai atau tidak bukan lagi menjadi core bussinessnya tetapi soal bagaimana kita membangun relasi setara itulah yang harus dikembangkan.

3) Model "Kasih Allah yang Membebaskan"

konon katanya gereja2 beraliran reformasi lebih condong kepada pendekatan yang ke-3 ini. Dalam Pendekatan yang k-3 ini orang diajak untuk memahami terlebih dahulu bahwa pada dasarnya kasih Allah itu membebaskan. Dalam konteks pernikahan, kalau pernikahan itu sudah dirasakan sebagai penjara khususnya dalam kasus KDRT, dan kasih Allah sudah tidak dapat dirasakan lagi...maka dengan berat hati...perceraian dimungkinkan terjadi...

begitu pula dengan persoalan kawin lagi setelah bercerai, perlu ditelisik kasus per kasus...sehingga memang tidak ada jawaban pasti boleh atau tidak.

 

Maka ketika sedari tadi kita bercuap cuap soal cerai  dan kawin lagi, kita perlu arif untuk "turun" dan "memasuki" kasus per kasus yang ada sehingga tidak sampai salah memberi jawab seturut dengan firman Tuhan...

 

 

Bandung, 18 Januari 2012

Y. defrita R.

Selasa, 17 Januari 2012

BEREBUT KEBENARAN

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

tulisan yang saya temukan dalam tumpukan file-file saya....

Menarik menyimak tuturan Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul “Bilangan Fu” dalam rangka mengamat-amati rentetan peristiwa kerusuhan dan penyerbuan terhadap kelompok-kelompok agama tertentu yang berakibat hilangnya nyawa dan kerusakan tempat ibadah dan tempat-tempat umum. Di dalam novel yang oleh pengarangnya disebut sebagai spiritualisme kritis, Ayu banyak berbicara mengenai masa-masa seputar Soeharto dan lengsernya Soeharto dalam konteks keberbedaan yang senantiasa mudah disulut jika sumbu emosi dan dendam pendek. Novel tersebut secara garis besar berkisah tentang tiga orang tokoh yaitu Yuda, Marja dan Parangjati. Di dalam bagian Monotesime khususnya Kritik Hu Atas Monoteisme, tokoh Parangjati mengungkapkan pemikirannya mengenai Monoteisme. Parangjati mengajukan pertanyaan yang barangkali semestinya perlu kita renungkan dalam-dalam khususnya dalam kondisi negara kita saat ini. Pertanyaan yang diajukan oleh Parangjati adalah “Kenapa monoteisme begitu tidak tahan pada perbedaan?”. Benarkah monoteisme tidak tahan pada perbedaan?

 

Agama-agama monoteis adalah agama-agama Semit yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Di dalam perjalanan, dalil, dan perilaku penganut agama monoteisme menunjukkan  kegerahan monoteisme terhadap perbedaan dan bahkan mengutip tulisan Ayu Utami-“membenarkan hujatan dan tindakan meniadakan yang lain”. Memang di dalam panggung kerusuhan dan penyerbuan yang ditampilkan di atas panggung negara ini, kita dapat melihat ada perilaku penganut agama monoteisme yang selalu saja bisa dipolitisir demi kepentingan tertentu. Namun yang mendasar yang seharusnya juga mendapat perhatian dari setiap pemimpin umat beragama dan umat beragama adalah meninjau ulang dalil-dalil dan aneka macam tafsir yang menyekitari dan bahkan mendasari sikap anti terhadap nilai lain.Monoteisme-lebih lanjut di dalam tuturan tokoh Parangjati-menekankan pada bilangan satu. Tuhan mereka adalah satu[1] maka kebenaran itu pun diyakini hanya satu. Masalahnya masing-masing agama sama-sama merasa diri benar dan menggunakan dalil-dalil kebenaran itu untuk meneropong dan bahkan menghakimi pihak lain yang dianggap tidak seturut dengan kebenaran yang mereka anut.

 

Memang perlu juga kita sadari bahwa tidak semua pemeluk agama monoteisme berlaku demikian. Ada saja orang-orang yang dengan lapang dada, pikiran jernih dan hati murni bergandengan tangan dengan yang lain meretas batas-batas yang sudah didirikan selama ratusan tahun dan bahkan sudah pernah disulut api dendam. Namun kalau dilihat dari segi kuantitatif dan kualitatif, maka menarik menyimak pendapat Burhannudin Muthadi seorang pengamat politik yang mengatakan bahwa dari 117 juta penduduk Indonesia, sebanyak 3% orang dewasa adalah pelaku sweeping ke tempat-tempat yang diduga maksiat. Tiga persen bukan jumlah yang sedikit, ingat 19 orang saja mampu merobohkan WTC. Muthadi melihat ini sebagai revolusi senyap, bak api dalam sekam yang mudah menghangus hitamkan apapun juga. Dan sebanyak 60% penduduk Indonesia yang beragam Islam menolak dibangun gereja disekitar pemukiman mereka.[2] Betapa ini perlu menjadi sorotan tidak hanya dari pemuka agama dan mereka yang beragama namun menjunjung toleransi tetapi perlu direspon oleh pemerintah secara tegas.

 

Menjunjung kebenaran agama sebagai sebuah kemutlakan dan menjadikannya tolok ukur untuk menilai dan menghakimi bahkan menghujat kelompok agama atau aliran tertentu tidak baru-baru ini saja terjadi, namun sudah sejak awal cikal bakal sejarah agama monoteisme menjejak di bumi. Tetapi yang patut diwaspadai adalah ketika respon terhadap keberbedaan itu mendapatkan bentuk konkretnya dalam aksi-aksi main hakim sendiri dan perusakan bahkan kematian. Tengoklah kasus penyerbuan terhadap kelompok Ahmadiyah pada hari senin tanggal 7 Februari 2011 yang mengakibatkan 5 orang meninggal dunia dan 3 orang terluka. Betapa keberbedaan yang disulut api dan dipolitisir membawa pada kematian. Belum usai pilunya kita menyaksikan kebrutalan manusia “menghabisi” sesamanya manusia dan belum hilang dari ingatan kita retorika dari Presiden SBY yang menyatakan kasus Ahmadiyah harus diusut sampai tuntas dan hukum harus ditegakkan dalam kasus tersebut, maka pada hari Selasa tanggal 8 Februari 2011, kita menyaksikan sekali lagi aksi main hakim sendiri di Temanggung, Jawa Tengah.

 

Kerusuhan yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah terjadi ketika hakim membacakan vonis hukuman 5 tahun terhadap Antonius Richmond. Antonius Richmond adalah seorang warga Jakarta kelahiran Manado yang pada awal Oktober 2010 menyebarkan pamflet berisi hujatan terhadap agama Islam. Dia menyebarkan pamflet tersebut di Desa Kranggan, Temanggung. Tidak puas dengan vonis hukum maka massa yang memiliki standard sendiri dalam menilai apa yang sedang terjadi mulai melakukan aksi anarkis. Setelah situasi di Pengadilan Negeri Temanggung berhasil dikendalikan (menggunakan istilah yang selama ini sering dipakai oleh media massa dan bahkan aparat sendiri) maka massa yang sudah tersulut sumbu emosinya segera merangsek ke 3 buah gereja dan 1 sekolah untuk kemudian dirusak dan dibakar. Aksi ini juga membawa 12 motor yang sedang parkir di depan sekolah menjadi sasaran amukan massa yaitu dibakar.

 

Menyimak dua rentetan peristiwa kerusuhan yang berkelindan erat dengan masalah agama dan respon terhadap yang lain pada awal 2011 ini kita mesti mulai mengambil sikap konkret. Sikap konkret ini antara lain adalah tidak hanya beretorika seperti yang selalu ditampilkan oleh Presiden SBY yang ternyata ada gap dengan kenyataan lapangan. Jika selama ini aksi konkret yang ditawarkan oleh berbagai tokoh agama, pengamat politik, budayawan, dan bahkan wartawan adalah soal dibukanya dan dikembangkannya upaya dialog, maka perlu dicatat bahwa sebetulnya upaya dialog itu sudah ada namun barangkali belumlah merembes ke bawah. Dialog antar agama seharusnya mulai dijadikan agenda serius bagi setiap umat beragama sehingga persoalan-persoalan yang terjadi terkait dengan keberbedaan beragama yang berujung pada pelanggaran HAM tidak muncul bahkan tidak dipolitisir. Jika ini tidak mendapat perhatian serius dan tindakan serius namun hanya sebatas ungkapan “prihatin”, “harus ditindaklanjuti secara serius” maka sangat mungkin panggung ini akan diwarnai dominasi mayoritas terhadap mereka yang dicap minoritas dalam bentuk-bentuk kerusuhan, perusakan bahkan pembunuhan, dan situasi “chaos” pun lahir. Dalam kondisi demikian, negara sudah sangat sulit untuk melakukan kontrol dan proteksi terhadap warga negaranya.

 

Sungguh persoalan hidup berdampingan dengan banyak keberbedaan yang menjadi latar belakang memang bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi ketika keyakinana bahwa yang benar itu menjadi klaim untuk mengukur yang lain, maka intoleransi menjadi sesuatu yang hadir dan mewarnai relasi yang serba berbeda. Terlepas dari ini, ada beberapa elemen masyarakat yang melihat bahwa kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi tak lain adalah skenario dari seseorang atau sekelompok orang dalam rangka pengalihan fokus. Benar tidaknya masih buram.

Dan di dalam keburaman yang ditebarkan saya tepekur membatin betapa sebuah kebenaran dapat berubah menjadi monster demi mempertahankan dirinya. Betapa kebenaran kadangkala menjelma relatif? Kebenaran semacam apakah yang sedang asyik masyuk dipertikaikan di sini? Di negeri ini? dan sampai kapan?

 

 

 

 

yogyakarta dan Bandung untuk finishing, januari 2012

y.defrita r.

 

 



[1] Ayu Utami, Bilangan Fu, hlm. 321.

[2] Pendapat Burhanudin Muthadi di dalam tayangan Suara Anda di Metro TV pada hari Selasa, 8 Februari 2011 pukul: 20.00 WIB.

Rabu, 04 Januari 2012

Untuk Indonesia yang aku cintai dengan pedih....

Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai di kata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah ku rasa senang
Tanah ku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Lirik lagu "Tanah Air" karya Ibu Soed sontak membuat saya terdiam ketika ia diperdengarkan di salah satu stasiun televisi pada suatu pagi. Dan tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benak saya yang masih saja tercekat dengan lagu ini. "Apa yang bisa ku banggakan dari negeri ini?, Apa yang bisa ku kenang dan ku kisahkan pada anak cucuku kelak? apa yang bisa membuat aku merindukan tanah ini selalu dan selalu?"

Well, dengan gaya khas berseloroh lewat sebuah irama lincah nan kocak, group musik Project Pop mengisahkan apa-apa saja yang membuat mereka terkenang akan negeri bernama Indonesia, berikut lirik lagu mereka yang bertajuk "Indovers"

sodaraku sebangsa dan setanah air
sampaikan dulu salam di tanah kami lahir
kami disini rindu sekali
untuk bisa kembali berkumpul lagi
sayang sepertinya kami belum bisa pulang
sayang sepertinya kami masih harus berjuang
harap mengerti kami pun sedih
rindu makan nasi lauk sambel terasi

sodaraku sebangsa dan setanah air
jika saja mungkin kamu yg datang mampir
bawakan kami kue serabi
atau apa saja buatan ibu Asti
ingin lihat lagi balapan di jalan raya
ingin denger gosip artis atau siapa saja
apa yg terjadi cium tangan kami
sekarang di sini

reff: dimanapun aku berpijak 
tak kenal hati beranjak
merindukan hangatnya rasa bersamamu

tiada lebih yg seindahmu
hadirkan banyak kisah cinta
damai dan jayalah selalu indonesia

sodaraku sebangsa dan setanah air
di sini kami bangga jika kami dapat mengibarkan
sang merah putih ke langit tinggi
tidak hanya jadi rutinitas upacara
tapi rasa bangga sebagai seorang anak bangsa
itu benderaku merah darahku putih tulangku

sodaraku yg jauh di tanah air
dukungan doaku bagi kami sangat berarti
semoga kami di sini takkan sia-sia
semoga saja nanti kami jadi lebih sakti
antarkan bangsa ini ke tempat lebih tinggi
hei lihatlah nanti kami kembali buktikan janji

repeat reff

bayu terpa daun melambai (melambai-lambai)
indah ayunan nyiur di pantai (nyiur di pantai)
rasa kalbu berbisik cinta (berbisik-bisik)
raja kelana (raja kelana)

memuja pulau nan rupawan (memuja pulau)
ibu pertiwi indah permai (nan indah permai)
ku cinta kau tanah airku (tanah airku)
indonesia (indonesia)

melambai-lambai nyiur di pantai
berbisik-bisik raja kelana
memuja pulau nan indah permai
tanah airku indonesia

mereka merindukan makanan khas Indonesia yang a lot of spicy in every single bite-nya , merindukan gosip yang makin edan-edanan mencekoki pikiran masyarakat dan menaikkan rating artis, balapan alias ugal-ugalan di jalanan Indonesia yang memang masih awam dengan perkara tertib berkendara di jalanan, merindukan pohon kelapa dan pantai yang indah luar biasa. Di sela-sela nyanyian kocak mereka saya menangkap nada getir disana. Sebuah kerinduan yang absurd. carut marut yang dirindukan. Dan kembali, apa yang saya banggakan? apa yang saya kenang? apa yang saya tuturkan tentang Indonesia?

Tiada lain hanyalah Republik Kekerasan yang membuat orang harus was-was bahkan ketika mereka ingin berdoa kepada Yang Ilahi. Republik yang membuat saya melihat fakta orang saling curiga satu dengan yang lain. Republik yang membuat saya tertawa miris tatkala perkara sandal jepit diproses seolah perkara berat. Tetapi perkara korupsi disimpan rapat dengan skenario pengalihan. Republik yang membuat saya menangis pilu ketika teriakan demi teriakan anak bangsa tak pernah digubris sekalipun ia muncul sehari tiga.Republik yang membuat saya memendam amarah tatkala menyaksikan tingkah pola gerombolan berjas tak ubahnya tingkah kanak-kanak playgroup. Republik yang diam-diam membuat saya merenung, akan dibawa kemana nasib Ibu Pertiwi yang konon katanya selalu dirindukan dan selalu dikenang?

Republik yang semarak dengan adegan tembak-tembakan menjelang pergantian tahun. Republik yang tak pernah usai mengeksekusi perkara demi perkara sekalipun perkara itu menyangkut hajat hidup jutaan orang. Republik yang menjual dan menggadaikan apa saja demi perut sebagian orang. Republik yang setiap saat membuat mata hati saya pedih. pilu. sakit. Betapa Ibu Pertiwi digagahi, diperkosa, dianiaya, dan dibiarkan merana oleh siapa lagi kalau bukan anak-anaknya yang menjelma Rahwana. Teriakan nyeri sang Ibu dibiarkan lalu dibawa angin. Angin mengabarkan gaungnya kepada yang lain, namun tak jua dapat menghentikan para Rahwana yang selalu dan selalu haus untuk menggagahi sang ibu demi kenikmatan sesaat. Ibu sudah letih. Ibu sedang bersusah hati menyaksikan para Rahwana yang dulu ia susui dengan kekayaan alam nan elok kini tumbuh menjadi raksasa dan raksasi yang beringas. Ibu tak berdaya. Republik yang mengalami amnesia. Republik yang melahirkan pelupaan massal. Republik yang tak pernah usai membuatku menangis....

Untukmu Indonesia yang aku cintai dengan pedih, ku sampaikan semuanya....

Bandung, 4 Januari 2012
Y. defrita R.[[posterous-content:pid___0]]

Selasa, 03 Januari 2012

DICARI ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI!!!!!

He_qi_good_samaritan

 

Beberapa kali saya mendengar tentang berita kecelakaan dan selalu di sela-sela kisah yang dituturkan dengan pedih itu ada secuil kisah yang kadang menyisakan lubang menganga di dalam diri kita tanpa pernah kita sadari. Dalam kisah yang dituturkan kepada saya terkait dengan kecelakaan maut yang menimpa beberapa remaja gereja yang baru pulang dari camp remaja saya mendengarkan kegelisahan dan sekaligus pertanyaan besar yang menggantung begitu saja di udara, "waktu itu tidak seorangpun warga membuka pintu dan berlari keluar untuk melihat dan menolong para remaja yang sudah babak belur dan bahkan ada yang hancur". Dan kisah kisah semacam ini makin banyak saya dengar sampai puncaknya adalah ketika tunangan saya Abdismar mengalami kecelakaan maut di ruas jalan Kutowinangun Kebumen. Menurut penuturan temannya Adi yang ada di sana, ia sudah berteriak minta tolong dan bahkan berusaha mengehentikan beberapa mobil untuk minta pertolongan. Dan rumah para warga pun terkunci rapat. Barangkali alasan sederhana yang bisa didapat adalah mereka trauma terhadap kecelakaan yang terjadi di depan mata mereka sudah sedemikian sering, mereka tak mau terlibat terlalu jauh dalam hal ini, mereka takut dijadikan saksi, dan mereka tak mau repot. Dan tentu saja masih banyak alasan lain yang mengudara di sana demi membenarkan sebuah tindakan bungkam dan tidak peduli itu. Sekali lagi memang hak mereka untuk menolak memberikan pertolongan, tapi tidakkah hati nurani ini terusik menyaksikan sesama manusia ditimpa kemalangan??????

Beberapa hari sebelum Hari Natal, saya dan teman saya berjalan kaki dari kost ke gereja. Tepat beberapa meter sebelum gereja, saya dan teman saya menyaksikan seorang perempuan terjerembab di tanah bersama seorang lelaki dan sepeda yang bersandar seadanya disana plus seorang teman kost kami dari Cirebon. Kami langsung menghampiri mereka dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Teman dari Cirebon inilah yang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sepasang suami istri ini rupanya hendak ke stasiun dan jalanan ini adalah jalanan yang saban hari dilewati oleh suaminya yang bekerja sebagai penjual buku anak-anak di depan kost kami. Pada waktu mereka lewat jalan ini ada mobil yang mepet mereka dan sampai akhirnya merek terjerembab di tanah dan si mobil melenggang tanpa beban (parah!). Si ibu rupanya mengalami cidera tulang yang cukup parah, karena tempurung lutut dan tulang keringnya menabrak pembatas jalan dari besi sampai si pembatas jalan itu ikutan tercabut dari tanah (sulit dibayangkan bagaimana sakitnya). Dan si suami pergelangan tangannya terkilir. Naasnya sedari tadi orang-orang hanya menyaksikan dari seberang jalan (emang topeng monyet ditonton) dan ada banyak kendaraan melaju di ruas jalan itu tapi semua tetap melaju tanpa berhenti.

Senyampang teman saya memapah si ibu dan si suami mengurusi motornya. saya lari ke gereja dan menyiapkan tempat untuk ibu itu berbaring. Kami ajak mereka beristirahat di gereja sampai kondisi si ibu pulih dari shocknya. Si ibu dipapah ke gereja dan ditidurkan di sofa ruang tamu gereja. Saya minta office boy membuatkan teh hangat untuk si ibu. Dan kami pun menemani si ibu sambil menggunting sisi-sisi kertas liturgi yang akan kami pakai carolling sore hari. Tanpa dinyana, seorang petugas administrasi berseloroh,"Wah, ternyata sekarang masih ada orang samaria yang murah hati walaupun kalian bukan dari samaria ya".

Keliahatan si ibu dan si bapak yang kami tolong ini sungkan luar biasa ketika mereka harus ditolong dan diajak ke gereja. Tetapi batas-batas itu sekejap runtuh ketika kemanusiaan yang berbicara. Batas agama, suku, ras, status sosial, dan pendidikan tidak ada artinya ketika kasih terhadap sesama yang berbicara di sini. Jujur saja, saya dan teman saya repot  walau tak serepot ketika harus berurusan dengan polisi untuk menjadi saksi dari suatu peristiwa. Tetapi apalah arti semua kerepotan itu ketika kita menyaksikan sesama manusia kita itu ditolong, diperlakukan secara manusiawi.

Dalam obrolan pagi sambil sarapan dengan teman saya, saya nyletuk "dicari orang samaria". Saya ceritakan kepada dia berapa banyak peristiwa kecelakaan yang diabaikan oleh orang-orang di lokasi karena berbagai macam alasannya. Teman saya shock. Dia tidak menyangka bahwa menolong orang lain itu semakin sulit diterapkan! Dan ternyata orang samaria yang murah hati itu mungkin cuma 1 banding 1 juta orang. Dalam sebuah pidato penganugerahan Doktor Honoris Causa bidang Seni Pertunjukan, Sri Sultan Hamengku Buwono X membacakan pidato yang sepenggal kalimatnya membuat kita tepekur merenung:

“Pendidikan karakter ini saya pilih karena terdorong oleh menguatnya kecemasan akan hilangnya karakter bangsa yang adiluhung, ramah, suka menolong, jujur dan nilai-nilai keutamaan lainnya”

Yup, soal tolong menolong orang lain kini sudah menjadi "barang" langka. Banyak orang enggan merepotkan diri dengan urusan membantu orang lain. Pun ketika pendidikan karakter sudah didengungkan di masyarakat, tapi kita belum memetik hasilnya....

Berbaik hati dan bermurah hati kepada orang yang baik pada kita sudah biasa. Menyumbang ini dan itu kepada orang lain yang nun jauh di sana juga sudah bisa. Tetapi sadarkah kita bahwa kata "sesama manusia" dalam kisah Orang Samaria yang Murah hati adalah "plesion" yang arti harafiahnya adalah "your neighbor" orang di dekat kita, tetangga kita. So, kalau ada bencana di Aceh, di Sulawesi, di Yogyakarta dengan sigap orang membantu ini dan itu tetapi ingatlah bahwa pertama-pertama menjadi orang yang murah hati adalah menjadi orang yang murah hati bagi orang terdekatnya...bagi tetangganya. Jangan dulu yang jauh-jauh...tapi mulai dari yang dekat, menolong orang yang jatuh, menolong tetangga kita. Kasih dimulai dari lingkaran terdekat kita, saya percaya itu!

Maka dalam kegelisahan hati menyaksikan pudarnya karakter suka menolong ini sayup-sayup saya mendengar, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"...

 

 

Bandung, 3 Januari 2012

Y. Defrita R.

Keluar lintasan????

dari tanggal satu kemarin sampai hari ini saya sudah menerima dua kabar dukacita. Yang satu datang dari pendeta emeritus di gereja tempat mama pelayanan yang mengabarkan bahwa besannya meninggal dunia dalam perjalanan pulang ke Solo seusai resepsi pernikahan putra dan putri mereka di Wonosobo. Dan tepat tadi malam, kabar duka datang dari teman mama di gereja dan sekaligus orang yang sempat menghantar mama dari Kebumen menuju Yogyakarta dalam peristiwa kematian Abdismar C. Z. 19 November 2011 lalu. Dikabarkan kalau putri bungsunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Speechless saya mendengarnya!
 Dan well, sekali lagi saya merasakan pilunya hati setiap orang yang ditinggalkan oleh mereka yang sudah lebih dulu dijemput Allah. 

Vanderlei de Lima adalah seorang pelari maraton dari Brazil yang bertubuh kecil dibandingkan pelari yang lain membuat saya tepekur merenung. Pada Olimpiade tahun 2004 ia yang seharusnya mendapatkan medali emas ternyata hanya mendapatkan medali perunggu. Bayangkan saja, ia memimpin perlombaan dan tinggal 5 kilometer lagi ia akan menjadi pemenang. Namun tepat 5Km sebelum finish ada seorang penonton yang gila dan menyerang dia. Memaksanya keluar dari jalur dan masuk dalam keramaian penonton. Tapi yang mengejutkan adalah sekalipun ia sudah nyaris pingsan dan terhuyung-huyung ia mengumpulkan kekuatan dan masuk lagi ke lintasan dan ia menyelesaikan pertandingannya. Dan ketika ia menerima medali perunggu ia tak berkecil hati. Justru ia tersenyum dan mengungkapkan kegembiraannya karena perlombaannya adalah unik dan tak kan terlupakan. 

Well, mari kita lihat lebih seksama sosok Vanderlei de Lima. See, setiap kita adalah pelari dalam lintasan hidup yang sedemikian rupa ini. Dan ketika kita merasa kita sudah berlari dengan benar, dengan ritme yang konstan dan lihat garis finish sudah melambai di depan sana. Tapi lihat...BRRRRAAAKKKK ada yang menabrak kita. Menghempaskan kita ke tanah. Menyeret kita keluar lintasan. Mendorong kita dan itu semua membuat kita lelah dan nyaris pingsan. Plihannya jelas: tergeletak dan mati konyol di sana atau bangkit lagi walaupun sakit!

kita berlari dan berlari...everything is on the track lah, tapi masalah, sakit, kehilangan, kecelakaan, dan masih banyak lagi yang bisa menabrak kita seperti orang gila dari Irlandia yang menabrak Vanderlei de Lima. Sosok Vanderlei de Lima secara tak langsung menyemangati saya untuk kembali ke track lari saya dan meneruskan pertandingan saya sampai finish nanti.
dan hal lain yang mengagumkan adalah ia tidak menyalahkan orang gila yang menabraknya dan berhasil membuat dia meraih perunggu bukan emas. See, jarang ada orang yang bisa bersyukur alih alih mengeluh untuk situasi yang dialami.

Selain Vanderlei de Lima, ada sosok lain yang meringkuk dalam penjara bawah tanah namun semangatnya untuk terus menyelesaikan perlombaan tak pernah pudar. Ia adalah Paulus. Bayangkan kalau Vanderlei ditabrak sekali oleh orang gila. Paulus ditabrak berkali-kali oleh masalah, pejabat pemerintah, penderitaan, sakit dan masih banyak lagi tapi alih-alih mengeluh dan memilih mati konyol berserah untuk dikendalikan oleh itu semua, ia justru bersorak penuh sukacita dan bahkan ia mengatakan "Segala perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku"
Baik Paulus maupun Vanderlei de Lima adalah orang-orang yang memandang positif setiap peristiwa kehidupan mereka. Mereka mengijinkan diri sebentar keluar dari lintasan lantaran ditabrak dan mereka mengumpulkan tenaga untuk kembali memasuki lintasan dan menyelesaikannya...

barangkali sekarang ini, baik keluarga besar besan Pdt. Em. Daniel S. dan keluagar besar Om Tjoan juga saya sedang  mengalami apa yang dialami Vanderlei de Lima...ditabrak dan keluar lintasan sambil terhuyung-huyung. Kita sama-sama mengalami pedih dan perihnya kehilangan orang yang berarti bagi hidup kita...dan seolah-olah kita sedang keluar lintasan bukan karena kehendak kita...dan saya percaya, Tuhan yang dulu menguatkan Paulus di penjara yang dingin itu telah dan selalu menguatkan kita. Tuhan yang dulu menghibur Paulus tatkala ia sadar bahwa nyawanya tergantung pada anggukan kepala Nero, adalah Tuhan yang menghibur setiap hati yang remuk...


selamat memunguti serpihan-serpihan hati yang remuk bersama Tuhan sang sumber kekuatan dan penghiburan....






Bandung, 2 Januari 2012
Y. Defrita R.