Sabtu, 29 Maret 2014

Lima Belas Menit Untuk Selamanya.....

Hari senin yang lalu saya melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Memang tidak persis sama seperti ketika  3 tahun yang lalu saya melakukan perjalanan ke sana dalam suasana campur aduk demi menyaksikan dia yang sudah tiada. Kali ini tidak demikian namun tentu saja ada yang menggelayut di hati dan air mata.
Perjalanan yang sedianya saya nikmati karena saya penggemar kereta api menjadi perjalanan yang membuat saya ingin segera sampai. tergesa dan cemas menggerakan roda-roda besi kereta.
 
Sesampainya di Yogyakarta, seharusnya saya senang. bagaimanapun kota ini pernah menempa saya 5 tahun lengkap dengan segala suka dan dukanya. Kota ini yang merubah saya dari seorang perempuan yang polos da naif menjadi perempuan yang berdiri menatap hidup. 
 
Perjalanan saya tidak berhenti di Yogyakarta. saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Parakan, sebuah kota kecil namun dingin. Ada apa di sana?
 
Minggu dini hari yang lalu nenek saya dibawa ke ruang ICU RS. Ngesti Waluyo karena kondisi fisiknya yang tidak baik. Sekarang saya di sini hendak menengoknya. Walaupun saya tak berharap ia akan merespon perkataan saya.
 
Saya sampai di PArakan jam 18.30. Oleh ijin dokter dan perawat saya boleh menjumpai nenek saya di ruang ICU jam 20.00. Tepat jam 20.00 saya masuk ke dalam dan terkejut. Nenek saya terbaring seperti seorang anak kecil yang tertidur lelap. Saya tak tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Selang berseliweran di tubuhnya yang ringkih. Saya genggam tangannya. Saya cium keningnya. Saya berbisik, "Mak, saya datang. Maafkan segala kesalahan saya selama ini." Tidak ada respon dari tangannya hany tarikan nafas panjang dan tersengal sebanyak 2 kali kemudian ia kembali tidur nyenyak bak bayi.

Kemudian saya berdoa bersama dengan mama saya di sana. Seluruh pertemuan itu memakan waktu tak lebih dari 10 menit. sangat singkat. teramat singkat.

Kemudian jam 02.45 dini hari, seorang perawat memanggil saya agar masuk ke ruang ICU. Saya segera masuk bersama dengan mama saya. Saya genggam tangan nenek saya. Saya amati tekanan darahnya di monitor yang terus turun dan grafik jantungnya yang kian melemah. Perawat meminta mama saya memanggil tante saya. Sesaat setelah mama saya keluar, grafik jantung nenek saya meningkat kemudian melemah kembali. saya tetap genggam tangannya. 

Mama dan tante semua mengelilingi nenek dengan sebuah doa yang menghantarnya menghadap Sang Sumber Hidup. Saya tidak bisa berdoa, justru saya menyanyikan potongan lagu "aku memuji kebesaranMu, ajaib Tuhan...ajaib Tuhan..." Kami semua menunggu sampai tepat jam 03.00 nenek pergi menghadap Tuhan dalam tidur yang sangat nyenyak seperti bayi.

Ini kali pertama saya menemani keberangkatan seseorang menghadap Allah. Inikali pertama saya melihat bagaimana Allah menjemputnya. Ada perasaan lega, namun ada perasaan "mengapa demikian cepat? hanya 15 menit?" 

Peristiwa yang hanya 15 menit dalam hitungan arloji saya, namun peristiwa yang mengajarkan kepada saya arti hidup dan mati dalam Allah.

Saya tidak tahu dari sekian cucunya, mengapa saya yang menghantar kepergian nenek? apakah Allah sedang mengajari saya sesuatu hal? barangkali...

Setelah lima belas menit yang mendebarkan, mengharukan, saya disibukkan dengan menelpon sanak dan kerabat. Dan tepat jam 07.00 kami semua kembali ke Wonosobo. 

Di rumah duka, saya dan mama me-make up nenek yang entah bagaimana dia nampak begitu cantik, begitu indah dan tenang. Apakah perjalanan bersama Sang mempelai begitu menyenangkan hingga ia bahagia? saya rasa begitu.

dan dimulailah rangkaian kegiatan yang melelahkan secara fisik dan emosi. Sampai pada puncaknya adalah pemakaman nenek. 

Setelah acara pemakaman, saya dan mama kembali ke rumah. Kembali kami teringat oleh berbagai macam hal yang biasa nenek lakukan di sana. Benarlah kata orang bahwa sekalipun nenek sudah bersama dengan Allah, kenangan akan nenek akan terus hidup dalam sanubari kami keluarganyan.

Melihat kain perca dan jarum jahit yang menjadi hobi nenek, cempal yang ia buat dan ia bagikan kepada siapa saja, melihat beberapa kebaya dan kainnya, ahhhh...hati kami kembali mengenangnya...

juga candaan kami akan kebiasaan nenek yang mengingatkan kami agar memakai sandal di dalam rumah, memotong kuku dan menyapu potonganya untuk di buang, dan masih banyak lagi...

Dia kini sudah menang dan bersama-sama dengan Allah di rumah-Nya, namun perjuangannya, kenangan akan dia...ada di hati kami...


terimakasih mak, sudah memberi saya kesempatan menemani, menghantar sekalipun hanya 15 menit...







Y.Defrita R.
Banyuurip, akhir maret 2014
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Jumat, 21 Maret 2014

What happen with you madammmmmm....



Hari ini hari kamis. Saya datang tidak terlalu pagi namun tidak bisa dibilang terlambat. Hari ini dengan segala pikiran positif dan asupan semangat yang saya jejalkan di kepala, saya melangkah memasuki ruang guru. Menatap semua guru sibuk dengan aktivitas menulis lesson plan masing-masing. Ketika saya hendak meletakkan tas saya di bangku yang biasanya saya pakai, saya kaget! Ada tas tangan di sana. Well, siapa yang duduk? Hmmmm…mengatur napas saya lepaskan jaket saya, saya sandarkan di kursi. Aktivitas ini mengulur waktu agar si empunya tas segera mengambil tasnya. Dan demi Tuhan, membiarkan saya duduk sebelum doa pagi dimulai!
            Tapi apa yang terjadi selanjutnya sangat mengejutkan. Si empunya tas datang dari arah pintu masuk dan segera berteriak, “Kamu tidak boleh duduk di sana. Duduk di ujung situ. Kursi itu kosong.” Bukan hanya saya yang terkejut namun semua orang melihat saya dan wajah si empunya tas. Pagi itu doa saya adalah, “Ya Tuhan biarkan aku mengecil dan menghilang tertiup angin seperti debu. Atau kalau itu terlalu sulit Kau wujudkan biarkan aku mencair saja.”
            Mendapat “serangan” tidak terduga saya hanya diam. Saya menduga-setelah peristiwa itu terjadi-bahwa saat itu kemungkinan besar otak saya terkena bibit alzeimer. Sehingga entah mengapa sulit bereaksi. Sulit menemukan kalimat yang tepat untuk membalasnya. Apa? Membalas? Ya! Saya merasa kehilangan “kemampuan” saya membalas sebagai bentuk pertahanan diri sebelum saya diterkam bulat-bulat oleh kalimat berikutnya dari si penyerang. Saya diam. Itulah kenyataannya. Saya diam tanpa bisa berpikir bagaimana sebaiknya saya membalas orang itu.
            Kemudian hal lain yang membuat saya terkejut adalah, otak dan mulut serta hati saya hari ini menolak bekerja sama dengan baik. Ketika otak saya sedang tak bisa diajak memikirkan strategi, hati saya masih merasakan pedihnya kalimat itu, saya mendengar mulut saya mengeluarkan serangkaian kalimat, “Oh ya tidak apa. Maaf. Terimakasih. Selamat pagi.” Dengan seulas senyuman di ujung kalimat.
            Well, mungkin besok saya akan periksa kepala saya! Tetapi ini benar-benar di luar kebiasaan saya. Bahkan ketika saya menganalisa kejadian itu saya sungguh amat yakin bahwa orang suci sekalipun akan terkejut demi mendengar teriakan “pengusiran” itu! Tetapi saya? Saya justru tersenyum dan beringsut duduk di kursi yang ditunjuk walaupun perasaan saya masih campur aduk. Dan jujur saja isi kepala saya sibuk menganalisa mengapa ia begitu kasar kepada saya dan itu dilakukannya sepagi ini!
            Dari sekian banyak kemungkinan yang saya pikirkan saya hanya menemukan jawaban logis bahwa mungkin saja ia sedang mencobai saya. Semacam ospek mungkin. Hmmmm tapi harus saya akui ini sudah merusak mood saya. Tapi hari itu saya tidak mau membiarkan mood saya buyar ambyar. Saya hanya menundanya dan akan menikmati sakit itu nanti di kamar. Tidak di depan anak-anak.
            Benar saja ketika saya tiba di kamar saya kembali membuka brankas ingatan saya. Saya menganalisa lagi dan lagi sampai bosan. Dan saya menyadari perasaan minor sedang dibuahi dengan subur! Well, sekarang musuh saya bukan lagi si empunya tas dengan teriakan kejam itu, tetapi diri saya sendiri. Saya harus berjuang untuk tetap berpikir positif! Hmmmm…saya berpikir lebih baik saya mencuci 3 ember besar pakaian daripada membuat diri saya yang sudah diserang tanpa belas kasihan tadi pagi dan masih harus menegakkan kepala demi berpikir positif

Sasaran Panah



           

Well, it’s been too so long to write in it and I think now is a good time to share what happen with my life hahahahaha….

            After so many adventures, so many time and pray in it, now I’m living on my dream!!!! Hahahaha… Yup, setelah melalui banyak skenario aneh yang terkadang mengasyikkan, kadang menyebalkan, kadang membuat frustasi, sekarang saya sedang menjalani apa yang menjadi mimpi saya. Walaupun demikian saya tidak pernah berpikir bahwa mendadak segalanya akan menjadi lebih mudah. Percayalah, saya sudah melewati banyak jalan berbukit dan berkerikil tajam hanya untuk mempelajari apa arti melihat sebuah kesempatan pada tatapan pertama.
            Bisa dibilang saya nyaris mengubur dalam-dalam impian saya yang satu ini. Saya tidak lagi pernah berpikir apalagi berharap bahwa impian saya akan terwujud dengan cara yang dramatis. Begini, sudah lama saya memiliki impian menjadi guru bagi anak-anak TK. Namun karena banyak hal maka baru sekarang skenario mengijinkan saya merasakan hidup dan bergerak sebagai guru TK bukan guru yang lain.
            Pengalaman ini jelas mengejutkan saya karena saya sudah lama tidak berani berharap bahwa  suatu ketika kehidupan dengan segala kemurahan hatinya dan keabsurd-annya akan menghantarkan impian saya dalam nampan dan mengangsurkannya kepada saya. Tanpa pertanda dan isyarat! Kehidupan paling tahu kapan saat terbaik memberi saya kejutan yang memorable. Dan well, itu berhasil. Sampai saat ini saya menganggapnya sebagai sebuah hadiah natal yang terlalu awal datangnya namun tepat pada waktunya.
            Maksudnya begini, Anda pasti pernah berdiri di persimpangan menatap semua pilihan yang berserakan di hadapan Anda. Dan sejujur-jujurnya dari sekian banyak pilihan yang ada itu, Anda tak pernah terpikirkan bahwa akan ada pilihan lain yang entah bagaimana rumusnya bisa pas dan tepat untuk Anda jalani.
            Maka dalam rangka rasa takjub tak berkesudahan saya berniat mendokumentasikan apa saja pengalaman menarik yang saya alami bersama dengan rekan kerja dan murid-murid saya. Saya belum menemukan judul yang tepat untuk membungkus semua kisah ini dan kisah yang akan terjadi nanti lalu suatu waktu saya akan membuka bungkusan itu dengan sejuta rasa. Semoga dalam perjalanan nanti saya menemukan bungkus yang pas!
 

Well kisah yang pertama dan berkesan adalah saya yang mendadak menjadi sasaran panah. Saya curiga jangan-jangan orang-orang ini dulunya pernah ikut pencak silat atau semacam itu sehingga tahu kapan harus melontarkan jurus keji nan menyakitkan tepat pada waktunya. Ohhhh…tidak!!!!

            Terlambat! Saya sudah merasakannnya. Jleeeebbbbbbbb!!!!! Ketika serangkaian kalimat minor itu menghujani saya. Saya hanya bisa menguatkan hati saya dengan saran, “sabar…yang ini pun akan berlalu.” Selama perbincangan tidak berkualitas itu saya diam-diam berjuang meyakinkan diri bahwa saya tidak seburuk itu. Bahwa saya tidak seperti yang dikatannya, “tidak berguna”!!!
            Sungguh, selama obrolan maha menyakitkan itu saya hanya diam!!!! Tidaaaakkkk…ada apa sih dengan otak saya. Terbentur apa sehingga saya tidak sanggup membalas satupun kalimat-kalimatnya. Saya hanya diam. Diam dan berpikir. Berpikir membalas? Hmmmm sudah saya katakan saya tidak bisa menemukan kalimat yang pas dan bahkan lupa bagaimana caranya membalas.
            Kalau saja saat itu ada orang kurang pekerjaan yang merekam adegan itu saya jamin ini akan jadi pemandangan paling aneh dan paling tidak enak dilihat. Satu orang berbicara berapi-api dan sibuk merendahkan saya saat itu juga dan hebatnya TIDAK ADA FAKTA sama sekali. Jadi saya tidak tahu dia sedang orasi dengan karangan hasil imajinasinya atau apa. Dan satu orang yang diam nyaris seperti dungu demi menatap berondongan kalimat-kalimat menyakitkan.
            Dan yang membuat saya semakin bingung dengan diri saya adalah saya mengucapkan terimakasih dan pamit pulang. Nah, dalam perjalanan pulang saya merasa diri saya seperti prajurit yang baru saja dijadikan sasaran latihan memanah oleh seorang pemanah profesional yang tanpa ampun dan sekarang dipaksa berjalan sejauh-jauhnya masih dengan panah tertancap di tubuhnya. Dan setiap langkah yang saya ambil membuat rasa pedihnya semakin terasa menyayat! Yang membuat saya semakin nampak menyedihkan sore itu adalah hujan deras, angin yang berhasil membuat saya basah kuyup dan perasaan tercabik-cabik sebagai seorang manusia!
            Sungguh perjalanan menuju kost saya semakin nampak seperti melintasi gurun gobi ketimbang berjalan di bawah guyuran hujan. Sesampainya di kost saya-kamar lantai tiga, perasaan tidak berharga, tidak layak, tidak pantas itu menyerbu. Saya menduga serbuan anak panah orang tadi sudah berhasil mengeluarkan racunnya. Dan kini racun itu sedang bereaksi!
            Setelah itu saya hanya duduk dengan tangis terisak sampai bahu saya bergetar. Saya berniat melepaskan semua panah-panah beracun itu saat ini juga. Namun tiba-tiba selintas pemikiran kejam lewat. Saya harus membalas? Benarkah itu? Saya mengenyahkan bayangan bahwa saya harus membalas serbuan panah orang itu dengan satu panah beracun. Satu panah beracun yang bagi saya lebih mirip seperti taruhan karena jujur saja saya belum bisa memprediksikan akan seperti apa hasilnya. Akankah saya yang menang atau dia yang justru akan menghancurkan saya.
            Sore itu saya habiskan dengan “mencabuti” ratusan anak panah yang menancap dan sudah membuat luka. Dan saya butuh waktu satu bulan untuk benar-benar pulih dari racunnya! Well, sekarang saya baru sadar bahwa itulah buruknya efek dari kalimat negatif yang diucapkan tanpa dipikir dan diperiksa dengan hati. Kata orang jawa timur, “asal njeplak” asal ngomong saja. Bayangkan pertemuan 15 menit dengan serbuan kalimat negatif tiada jeda, dibutuhkan waktu 30 hari untuk menyembuhkannya.
            Dari peristiwa mencabuti anak panah itulah saya akhirnya belajar untuk tidak seperti orang itu. Pemikiran pertama, dalam konteks tertentu orang itu sudah mengajari saya sebuah teladan dalam kebalikkannya, bahwa kombinasi kekuasaan, pengalaman, dan perangai buruk adalah senjata ampuh untuk membunuh jiwa manusia seketika! Tetapi kombinasi kekuasaan, pengalaman dan perangai baik adalah senjata ampuh untuk memulihkan jiwa manusia!
            Pemikiran kedua yang terlintas di benak saya ketika mencabuti panah-panah itu adalah, saya menyadari kemungkinan ada sesuatu yang membuat seseorang dengan sangat lihai dan terbiasa menyerang orang dengan panah beracun tanpa ampun dan jeda. Entahkah dia pernah menjadi sasaran panah? Entahkah ada kenangan pahit yang tak terelakkan?
            Pemikiran ketiga, saya punya kebebasan untuk MEMILIH. Memilih apakah saya akan terus menerus menjadikan diri saya seperti apa yang dikatakan orang itu, atau saya memilih untuk membuktikan bahwa saya bukan seperti yang dia katakan. Saya memilih yang kedua. Dan saya mensyukuri kedunguan saya yang diam saja tanpa emosi ketika saya dijadikan sasaran panah. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya dijadikan sasaran tembak dan saya memberontak? Mungkin saya akan tewas di ruangannya tanpa punya kemampuan menyatukan hati saya dan berjalan pulang.
            Pengalaman ini akan selalu saya kenang dengan sebuah tonggak, bahwa saya pernah dijadikan sasaran panah dan saya mencabuti panah itu dan berjalan lagi!




Salam.
Yodeeruf