Selasa, 26 November 2013

Selamat ya Kalong (2013)





          Ada rasa yang beda dalam kedatanganku ke sini kali ini. Kalau dulu aku datang untuk belajar, kini aku datang untuk mengenang. Di sini aku pernah berdiri di ambang batas antara mengingini dan menahan diri. 

          Aku melihatnya untuk pertama kali di sini. Duduklah kami berseberangan namun mata selalu beradu. Aku berusaha menunduk. Dia berusaha menahan diri. Namun akhirnya jalan itu terbuka juga. Walaupun aku juga tahu kau sudah memiliki dia yang juga ada di sana waktu itu. Dan aku memiliki dia nun jauh di sana.

          Namun pelan-pelan ada yang tumbuh di dalam hati. Bukan hanya hatiku, tapi aku yakin hatimu juga. Tatapanmu itu tidak bisa berkilah lagi. Tetapi apa yang mulai kuncup di hatiku aku rasakan bagai siksaan. Bagaimana mungkin aku mengingini dia dan meyakini bahwa dia mampu membahagiakan aku sedangkan aku masih dengan yang lain dan kau pun juga. Apakah aku sudah mulai belajar berkhianat?

          Konon katanya mengingini saja sudah sama derajatnya dengan melakukan. Apakah aku salah jika dalam perjalanan memetik bulir gandum, aku sudah memetik tetapi bukannya pulang aku masih meneruskan perjalanan dan ku lihat ada bulir lain yang lebih baik? Kalau aku salah, yang aku butuhkan adalah jalan pulang. Entah pulang ke mana tetapi berdiri di batas ingin dan menahan diri sangat menyiksa diri.

          Sayup-sayup kawan demi kawan berkisah bagaimana hubunganmu dengan dia memasuki masa kritis. Aku sedih sekaligus bahagia. Sedih karena melihatmu menjadi muram. Koleksi candamu tidak sebanyak dulu walaupun kau masih teman yang paling asyik untuk nongkrong sampai pagi menjemput! Kau memang kalong! Aku bahagia karena apakah itu tandanya kita bisa bersama?

          Omong kosong apalagi ini. Bagaimana bisa aku menjadi liar seperti ini? Logika dari mana aku bisa bersama dia sementara aku sendiri masih terikat? Lalu dosakah aku kalau aku meminta kepada Tuhan memutuskan ikatanku demi dia? Mahluk macam apa aku ini! Aku tak sampai hati mendoakan itu. Karena baik dia maupun dia adalah orang-orang yang baik dalam definisinya masing-masing.
         
          Tapi asal kau tahu angin perubahan perlahan bertiup ke arahku. Komunikasiku dengan dia yang jauh di sana makin kurang. Sekalinya kami komunikasi kami bertengkar hebat. Maka kami memutuskan untuk tidak berkomunikasi sesering dulu. Ada rasa lega di sana, itu artinya malam-malam aku tak bericara dengan dia, aku bisa dipastikan bersama dengan dia di sini meneguk kopi dan berbagi tawa dengan teman-teman.
         
          Dan akhirnya aku benar-benar memutuskan berpisah dengan dia yang jauh di sana. Aku menjadi lega namun tak seperti yang ku duga. Aku dan dia mungkin memang ditakdirkan sebagai sesama kalong yang gemar nongkrong di malam-malam dingin. Kami tak pernah benar-benar bisa bicara dari hati ke hati. Kami hanya meracau membuang racun yang mengendap dalam hati sampai gelas terakhir kosong. Hidup para kalong!

          Kalau orang berpikir kami sudah resmi pacaran seperti istilah anak muda masa kini, mereka salah. Walau aku dan dia sama-sama mendamba, namun nyatanya kami cuma sesama kalong. Tim Kalong yang gemar ngeloyor dan nongkrong. Tidak lebih dan tidak kurang. Walaupun dalam tatapan kami masing-masing ada rasa itu. Kami hanya belajar menyimpannya rapat-rapat. Sebab kadangkala tidak mengudar rasa adalah jalan terbaik untuk bersama beriringan.

          Setelah aku pergi dari kota itu, ia kembali hadir menemani sebagai kalong yang bertelepon. Masih seperti dulu kami bisa bicara super tidak penting sampai jam dua dini hari. Mungkin karena itu Tuhan lebih memilih mengubah alur kisah kami cukup menjadi sesama kalong, bukan pasangan kalong. Tak bisa ku bayangkan kalau kami hidup sebagai pasangan kalong, bagaimana nasib anak-anak kalong kalau bapak dan ibunya yang juga kalong baru tidur jam 5 pagi lantaran ngobrol ngalor ngidul. Mungkin anak-anak kalong sekolah di malam hari.

          Dan aku ingat bulan itu. Kau mengajakku liburan. Kau aturkan semuanya walaupun dari awal aku bilang aku tidak mau. Dan mungkin itu kali terakhir kami ngobrol panjang di telepon soal kopi dan teh di Nusantara. Ya, satu-satunya obrolan kami yang paling bermutu adalah ketika dua kalong ini sibuk membicarakan aroma kopi, sejarah kopi dan teh di Indonesia. Mungkin diam-diam kami punya potensi untuk membuka kedai kopi kalong kalau saja Tuhan sedang ingin bercanda dengan menulis skenario semacam itu.

          Bulan itu bulan terakhir kau bicara panjang lebar di telepon sampai berjam-jam namun bedanya kali ini bukan malam, tapi sore. Dan itu bulan dimana kau mengumumkan siapa perempuan yang menjadi kekasihmu. Aku terkejut. Semua orang kaget. Aku kira selama ini dia memang mendekatiku. Semua orang kira selama ini dia menaruh hati padaku maka ia berubah. Tapi semua salah. Mungkin memang benar, hati para kalong tak dapat di duga.

          Ada sebagian yang remuk dalam hatiku saat aku tahu dengan siapa dia bersama. Mulailah sisi kalong jahat dalam diriku membuat perbandingan dan menilai bahwa kalong itu pasti sedang khilaf saat mencintai perempuan tambun itu. Tiba-tiba hape ku menyala. Seorang kawan menelpon memberitahu bahwa kalong sudah pacaran dengan perempuan lain. Dan mantan si kalong marah karena perempuan ini adalah sahabatnya. Mantan si kalong ikhlas kalau kalong menjadi pacarku bukan perempuan itu. Wowwww….skenario apa lagi ini. Bahkan mantan kalong pun punya kriteria tersendiri untuk kalongnya.

          Keributan soal kalong dan pacar barunya merambah dunia maya. Ada yang setuju namun banyak yang mencibir. Aku tak tahu di mana letak kesalahan perempuan itu. Atau jangan-jangan diam-diam selama ini setiap orang termasuk aku punya skenario  tersendiri tentang kalong. Dan menelan kekecewaan karena skenarionya dibubarkan oleh langkah si tambun itu yang jelas bukan datang dari kawanan kalong. Ah menyebalkan!
          Entah mengapa aku kecewa. Melebihi kekecewaan ku pada mantanku yang diam-diam menjalin hubungan dengan mantannya justru ketika aku masih bersamanya. Cihhh! Kali ini aku kecewa yang lebih merasa dibohongin dengan bodohnya. Kalau dengan mantanku aku sudah membaca gerak-geriknya dengan mantannya namun ku abaikan. Sedangkan yang ini, sumpah demi para kalong, aku tidak tahu tanda-tandanya.

          Malam itu dengan seluruh tekad bulat aku kirimkan pesan singkat, “Hei kalong, selamat ya sudah menemukan belahan jiwamu. Semoga ia bukan kalong juga. Dan awet-awetlah dengannya.” Lama tak ada balasan. Keesokan paginya ia menelpon tapi tak ku angkat. Masa bodoh. Apalagi yang mau kau bicarakan kalong? Tepat siang hari dia membalas pesan itu, “Sama-sama kalong. Doakan yang terbaik.” Sudah itu saja cukup. Dasar kalong!

          Berita-berita tentangmu paling aku nantikan ketika chatting dengan kawan lain di sana. Namun makin lama berita tentangmu makin berkurang bahkan kadang hanya satu kalimat. Apakah kau sudah tidak eksis lagi kalong? Seorang kawan dalam chattingan bercerita bahwa engkau ketua para kalong kini mulai perlahan-lahan dan pasti jarang nongkrong. Selalu pulang lebih awal. Katanya ada yang mau ditelpon. Tentu bukan aku!

          Awal tahun itu aku mendapat undangan darimu. Ku baca pelan-pelan sambil mengajak hatiku menerima kenyataan ini secepat otakku menerimanya, “Kalong A dan Tambun B”. Menyedihkan hidupmu kalong! Aku kira kau bukan orang yang konvensional, nyatanya melihat daging bertumpuk sudah tak tahan. Apa aku iri? Bisa ya bisa tidak. Aku bisa iri pada mu karena itu mestinya tertulis, “Kalong A dan Kalong B”. Aku bisa iri padamu karena sekalipun ia tambun kau sudah menemukannya. Sedangkan aku, aku masih mencari. Tapi aku juga bisa tidak iri padamu, karena dalam diriku masih ada sisi kalong yang bebas, bukan seperti mu yang jadi kalong kandang.

          Seingatku dalam masa-masa kau pacaran dengan Tambun dan bahkan tunangan dengan Tambun , setiap hari Minggu kau mengirimiku pesan singkat yang isinya sangat formal dan seolah kau punya stok ucapan itu untuk setiap hari Minggu sepanjang tahun. Dan tak selalu ku balas. Bukan karena tak ingin, tapi aku ini kalong bermartabat. Maka demi menjaga perasaan Tambun  aku diam saja. Mendiamkan pesan singkatmu.

          Dan setelah aku terima undanganmu aku kirimkan pesan padamu: “Hei Kalong, aku sudah terima undanganmu. Selamat ya, akhirnya kau akan segera beranak pinak. Semoga anak-anakmu kelak bukan anak kalong. Maaf ya aku tak bisa hadir dalam pernikahanmu. Be happy Kalong!”  Seperti biasa, dia menelpon. Aku lirik jam, aha, tentu ia berani menelpon ku karena ia sedang di kantor dan si Tambun tak ada. Ku diamkan saja telepon itu. Sebab sudah ku bilang, aku ini kalong bermartabat

          Kemudian dia membalas, “Kalong, datanglah. Aku mohon, sempatkanlah datang. Aku bookingkan hotel untukmu ya. Plisss…” Maaf kalong, aku tak setagguh itu untuk datang demi menyaksikanmu bersanding dengan si Tambun. Maaf kalong, aku hanya bisa bilang, “Selamat ya Kalong!”

          Dan sekarang di kota ini, hal pertama yang ku ingat di pagi buta jalan ini adalah kalong. Yang aku tahu di pagi sedingin ini ia sedang memeluk si Tambun. Mana dia tahu aku ada di sini. Apa pedulinya kalau aku di sini. Kalong sudah bersama Tambun. Dia lebih jinak begitu kata yang lain. Dalam hati aku berjanji, “Mari buktikan…” dan memang benar teoriku, sekali kalong tetap kalong. Ajakan nongkrong pun akan selalu menggoda bagi kalong ketimbang si Tambun yang menggodanya dengan menyingkapkan kainnya. Selamat ya Kalong!





November 2013
inspirasi bisa datang dari mana saja termasuk kalong hahahaha...


Y. Defrita Rufikasari

Kamis, 07 November 2013

T E L I N G A T U H A N (November 2013)

Kalau ada sesuatu yang dianggap misterius dan tidak saya pahami metode kerjanya dan polanya itu adalah jawaban dari Tuhan. Dari sekian banyak kali jawaban dari Tuhan yang saya terima ada dua yang membuat saya tercengang tak percaya walau nyata adanya.

Pertama sekitar dua atau tiga tahun lalu ketika saya diam-diam jenuh dengan relasi yang saya miliki dan tak lagi antusias. Parahnya adalah saya tak melihat ada masa depan di sana. Saya tak tahu apakah itu bisa dibilang iseng-iseng atau tak sengaja karena saya tak tahu per definisinya apa. Saya lebih kepada bicara dengan hati saya dalam suatu petang di lobby sebuah gereja.

Taaaarrraaa....sebuah jawaban saya terima seminggu kemudian dalam cara yang tidak pernah saya pahami. Tapi karena ini bukan berita sukacita maka tak pantas ada gegap gempita. Itulah saat saya sadar Dia punya telinga yang sangat tajam. Bahkan bisik saya pun Ia pahami.

Kedua, akhir bulan lalu peristiwanya. Ketika itu kakak saya pusing cari tempat baru yang secara hitungan bisnis meguntungkan. Cari sana sini tak jua dapat. Tak dinyana malah dapat ditempat yang sesuai keinginan. Pun ternyata keinginan itu pernah terbersit di hati kira-kira sekian bulan lalu hampir separoh tahun.

Dari dua kejadian ini saya terkagum-kagum dengan jawabn Tuhan.
Dan diam-diam saya curiga Tuhan menitipkan telinga-Nya di hati tiap anak manusia.

Maka ucap sehalus apun Ia dengar, Ia pertimbangkan, Ia berikan....

Terimakasih untuk telinga mungil-Mu di hati saya :-)

Senin, 28 Oktober 2013

Membuka Kotak Simpanan Wombat

Kemarin siang seketika saya ingin mengunjungi sebuah kotak lama.  Mengunjunginya dan menata kembali barang-barang di dalamnya. Ada foto lama bersama teman-teman, ada foto tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Menata semuanya pada tempatnya. Melihatnya kembali...ahhh..lebih baik.

Kemudian saya membuka kotak yang lain. Disana ada banyak tulisan cerita yang sudah selesai, belum selesai, seperempat jalan, bahkan ada yang baru dua halaman dan jelas masih menyisakan ruang untuk diselesaikan.

Satu per satu saya baca lagi cerita-cerita yang sudah berakhir. Lalu cerita-cerita yang membeku menunggu diakhiri. Di sana saya menemukan diri saya bertahun-tahun lalu. Saya yang menulis dan menulis namun tidak pernah ditampilkan. Cukup dibaca sendiri atau dinikmati oleh teman-teman yang sedang berkunjung. Saya jadi teringat reaksi beberapa dari mereka. Ada yang menangis sambil membaca. Ada yang terus menerus menagih lanjutan ceritanya. Ada pula yang tidak suka karena ceritanya menyedihkan. Namun mereka adalah pembaca pertama saya.

Sekarang, beberapa mengenal saya sebagai orang yang menulis artikel bersifat ilmiah dalam dua buku bergaya bunga rampai. Apa jadinya kalau mereka menemukan kotak ini dan menemukan sisi saya yang lain. Mungkin mereka akan terkejut. Jauhlah tulisan-tulisan itu dari aroma ilmiah.

Bahkan saya pun terkejut. Bagaimana bisa saya menuliskan cerita tentangn seorang perempuan yang cinta mati pada kopi dan pada lelaki yang mengenalkannya pada kopi untuk pertama kalinya. Tentang seorang manusia yang mencari tahu makna kehidupan. Tentang empat orang kawan yang menjalani narasi hidup berbeda. Tentang rasa yang tak pernah sampai. Dan tentang pamit.

Mungkin saat itu saya membiarkan diri saya menyelami lamunan yang mengantarkan saya ke tempat-tempat baru dan rasa yang baru. Saya menjelma notulis yang mencatat semuanya. Maka ada catatan yang rampung ada pula yang menunggu untuk diselesaikan.

Selain saya menemukan tulisan-tulisan tadi saya menemukan tulisan -tulisan ringan yang isinya adalah refleksi dan cara pandang  saya terhadap berbagai hal. Rupanya ada juga sekelompok kecil orang yang rajin membacanya dan memberikan tanggapan di email saya.

Saya sadar mereka adalah orang-orang yang mengetahui aktivitas wombat yang terus menggali. Terimakasih.....

Wombat masih akan terus menggali....

28 oktober 2013
Defrita

Bicara

Mari duduk sejenak
Jangan ragu dan jauh
Mari mendekat kita bicara

Tapi tunggu...
Apa itu yang ada di tanganmu?
Ya, apa yang kau genggam erat-erat nyaris meledak itu?

Agaknya kita tak bisa duduk bersama
Lalu bicara dari hati ke hati
Selama sesuatu yang kau genggam tak kau lepaskan

Buang semua prasangka
Tak hendak aku menghakimimu kawan
Buang semua curiga
Tak aku bawa badik untuk mennghunjammu

Buang semua asumsi-asumsi
Tak hendak kita adu tafsir...

Mari,
Sini ...
Kita bicara..
Apa saja yang membuat jiwamu lega...

Mari kita bicara
Menabung kenangan yang lama tak bersua...

Dengan tanganmu kosong
Dengan tanganku kosong
Kita bicara

Tanpa tendensi...
Tanpa pura-pura...
Tanpa basa-basi...
Kita dua sahabat lama...


Yohana defrita rufikasari
Oktober 2013

Selasa, 15 Oktober 2013

Ubah Gaya Hidup!!!!

Beberapa teman dekat selalu mengatakan kalau saya ini orang yang sangat peduli lingkungan. Entah apa alasannya namun saya menduga alasan terbesarnya adalah karena tugas skripsi saya bertahun-tahun yang lalu. Walaupun tidak secara spesifik membahas soal cinta lingkungan dalam koridor aktivis. Sebab yang saya bahas adalah problematika dan rangkaian pengalaman para perempuan yang menjadi korban dari lumpur Lapindo di Sidoarjo dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia.

Tapi kali ini saya tidak sedang ingin membagi kisah tentang skripsi saya yang sudah jadul itu walaupun harus diakui tulisan ini sangat dijiwai oleh semangat dari skripsi saya itu. Berawal dari skripsi itulah saya mengenal dan akhirnya jatuh cinta pada gaya hidup yang mencintai lingkungan, mencintai alam. Bermula dari cinta pada pandangan pertama maka saya sedapat mungkin menerapkannya dalam kehidupan saya. Prinsipnya sederhana, semakin banyak kita membeli barang, semakin penuh bumi dengan barang-barang kita. Pertanyaannya adalah pada mau dibuang kemana itu kalau sudah penuh? jawabannya...taaa..daaa...gak bisa dibuang ke mana-mana...ya tetep di bumi.

kebayang kan kalau satu orang dalam satu minggu bisa beli dua pasang sepatu dan tiga buah baju baru sementara di rumah masih ada dua lemari? wowwww! Prinsip yang lain adalah mendidik diri saya sendiri untuk tidak jadi orang yang konsumtif tapi kreatif menggunakan, mengolah, menciptakan barang baru dari yang lama. Semangat inilah yang mendorong saya untuk benar-benar merubah gaya hidup saya lebih ke arah eco-friendly dan un-consumtive...

Mulai dari hal yang sederhana seperti tidak menggunakan plastik ketika berbelanja, menolak untuk tawaran petugas supermarket yang mau membungkus barang bawaan saya dengan tas plastik padahal mungkin barang yang saya beli bisa dengan mudah dicemplungin di tas hehehehe, tidak gonta-ganti sepatu selain alasannya gak punya duit hehehe, sepatu yang abru dibeli biar awet dijahitkan dulu alasnya. Kalupun sudah dijahit namun rusak pula tak perlu risau, tukang sepatu punya bayak perbendaharaan materi yang bisa menyulap sepatu rusak (tapi masih layak pakai) jadi okeee lagi hehehe. 

Seperti yang saya ceritakan tadi, perubahan yang saya lakukan sekarang tergolong "ekstrem" dalam definisi saya. Mengapa ekstrem? karena kalau dulu life style eco-friendly itu cuman sebatas pengurangan pemakaian tas plastik, lalu mengupayakan sepatu lama jadi oke dipakai tanpa beli baru, maka sekarang perubahan itu merambah ke pakaian. Ya, pakaian. 

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak orang-orang yang menggiatkan semangat cinta lingkungan dan tidak konsumtif ini. Julukannya adalah RE-FASHION. Ya, mendesain ulang pakaian jadul menjadi baru dan nyaman dipakai tanpa merogoh kocek terlalu dalam. Salah seorang blogger, Chonie bahkan mengaku terakhir kali beli baju baru sekitar tiga tahun lalu karena sekarang ia bisa menciptakan pakaian baru yang sesuai dengan karakternya.

Memang itulah salah satu keuntungan me-RE-FASHION pakaian, kita dapat memperoleh pakaian yang pas dengan yang kita inginkan. Pas dengan badan dan ada kepuasaan tiada tara ketika baju lama yang jarang dipakai (entah karena rusak sedikit, tidak muat, tidak cocok modelnya tapi enak bahannya dll) menjadi sering dipakai. Walaupun dengan menjadi re-fashionista (julukan yang saya buat sendiri) kita tidak bisa semodis perguliran trend fashion. Namun untuk orang sejenis saya yang abai terhadap apapun trend fashion dunia saat ini, jelas ini tidak menjadi point yang merugikan hehehehe. Prinsip saya adalah NYAMAN, SEDERHANA TAPI CHIC, dan MURAH hehehehehe...

Hari minggu lalu, saya sudah resmi me-re-fashion satu kemeja hitam kotak-kotak hitam putih ala papan catur yang saya beli waktu saya kuliah semester 8 hehehehehe (lamaaaa bangeeettt) masih muat sih cuman saya ubah bagian kerutan di belakang dan samping kanan kiri saya lepas. Karena kalau dipaksakan begitu tubuh saya yang seperti buah pear makinnnnnn sepertiiiiii peeeearrrr. Lalu kantong kecil di dada kanan kiri saya lepas juga...maka jadilah kemeja yang simple namun chic karena kerutan di tangan dan pundak masih saya pertahankan.... (saya janji begitu ada waktu saya up-load deh fotonya)

Kemudian saya me-re-fashion kemeja hitam yang saya suka bahannya tapi talinya di belakang bikin saya makin terlihat seperti pear. Kalau dipiki-pikir kenapa juga dulu saya beli ckckckckck mungkin dulu saya khilaf T__T tidak sadar kalau badan seperti pear ;)

Tali dibelakang di lepas, lalu belahan di samping kanan dan kiri dijahit dan kemudian saya menambahkan brokat sisa sehingga lebih panjang sedikit. Maklum itu kemeja saya beli waktu saya semester 2 hehehehehe...barang lama selalu punya cerita kan :)

Dan yang ketiga adalah blous kembang-kembang kecil dengan aksen kerutan di seputar leher yang mengekspos badan saya sedemikian rupa. KArena itu pemberian pamali kalau dikasih ke orang lain (atau tangan ke tiga) heheheheh maka saya putuskan melepaskan semua kerutan itu walapun butuh waktu lama dan jari saya sampai berdarah hiksss....tapi tak apa demi mendapatkan hasil oke...

Rencana kedepan saya akan me-refashion kaos putih polos yang akan saya tempeli tulisan CHLOE bling bling dari kaos saya yang lama. Itu yang pertama, yang kedua masih dengan kaos putih, akan saya tambahkan renda dan merubah model kerahnya hehehehe. 

Waktu saya buka lemari pakaian saya...taaaaddaaa ada banyak materi yang bisa dikreasikan ulang :D jadi tidak sabar untuk segera melaksanakan dua rencana saya itu hehehehe...

Inilah yang saya maksud dengan perubahan ekstrem karena dulu sih cuman sebatas mengurangi konsumsi pakaian. JAdi kalau saya beli satu baju, satu baju di lemari harus saya berikan pada orang lain. Kali ini tidak, saya tidak beli baju baru, tapi saya tidak memenuhi lemari...tidak konsumtif...dan terlebih lagi tidak membuat bumi semakin terbeban dengan limbah ciptaan saya hehehehe...


Yukkk ikutan merubah gaya hidup kita jadi lebih ramah lingkungan, dan tidak menjadi manusia Indonesia yang konsumtif :D



note:
untuk-untuk fotonya menyusul ya... :D





Yohana Defrita Rufikasari
15 Oktober 2013
















Senin, 14 Oktober 2013

Suara Ibu

Pagi tadi saya berkunjung ke rumah teman kuliah saya dulu. Saya sampai di rumahnya jampir jam sepuluh pagi. Setelah mengetuk beberapa saat, pintu dibukakan. Dari balik pintu saya melihat wajah seorang perempuan sederhana namun bersahaja. Dia mempersilahkan saya masuk dan duduk. Dia segera masuk ke dalam dan memanggil-manggil anaknya.
Selang sepuluh menit kemudian, saya dan teman saya asyik ngobrol ke sana ke mari. Tiba-tiba di sela-sela tawa dan kisah kami, saya mendengar bunyi srekk..srekkk..srekk... Ya, suara orang sedang menyikat sesuatu. 
Suara yang konstan namun kentara sekali tak ingin menganggu perbincangan dua anak muda yang doyan cerita di sisi ruangan yang lain. Namun suara itu makin menggoda saya untuk mengalihkan perhatian saya ke suara sikat itu. Tiba-tiba saya teringat suara yang serupa di rumah saya. Ya,suara sikat yang setiap dua hari sekali terdengar bersemangat.
hahahaha...rupa-rupanya suara ibu di mana saja itu sama.
Suara sikat itu menemani cerita sana sini kami soal perjalanan hidup kami dan ternyata ibu ada di sana. Ada di setiap lekukan dan tanjakannya, ada di setiap jalan yang curam. Ada di setiap keputusan sulit yang harus diambil. Dan ada di saat bahagia. 
Teman saya menceritakan kedekatan hubungannya dengan ibunya, dan saya dapat melihat haru itu memancar. Sungguh, baru kali ini saya melihat ada seorang laki-laki yang menahan air matanya lompat ketika ia bercerita tentang ibunya, ketika ia memperagakan belaian ibunya. Cinta kepada ibu nyata sungguh di dalam binar matanya.Keharuan dan kecintaan yang diekspresikan dengan lugas. 
Ibu di mana saja rupanya sama...sama-sama mendukung anaknya, apapun keputusan yang diambil oleh anaknya. Tiada kata mendebat. Tiada sikap menolak. Yang ada hanya tatapan lembut dan memasrahkan semua jalan-jalan di depan sana kepada kehendak-Nya semata-mata agar anaknya bahagia. Dan ketika anaknya terperosok dan terluka, tiada kata menghakimi, tiada sikap menyalahkan. Tangan kasar ibu merengkuh dan mendorong untuk melangkah lagi.
Ahhhh...ibu di mana saja sama. begitu simpulan saya tadi...

Dari suara sikat yang melatar belakangi obrolan saya dan teman saya, ekspresi cinta dan apresiasi terhadap cinta ibu mengalir deras memenuhi batin...


terima kasih ibu.... 
untuk membiarkan ku memilih jalanku
membiarkanku bersikukuh dengan apa yang ku anggap benar
dan walaupun kemudian aku salah...
untuk berada bersamaku dalam kekalahanku...
untuk menemaniku dalam luka dan kecewa...
untuk selalu percaya bahwa aku bisa
bahkan ketika tak seorangpun yakin...
untuk berharap yang terbaik untuk ku...
untuk membelaku menghadapi orang-orang jahat...
untuk meyakinkan aku bahwa hidup itu indah walaupun tidak selalu mudah...
untuk namaku dalam doa-doa mu...
untuk selalu memberikan yang terbaik untuk ku
terima kasih ibu 
sudah menghadirkan keindahan dalam hidupku...







Y.Defrita Rufikasari
Senin, 14 Oktober 2013











Kamis, 03 Oktober 2013

Catatan Perjalanan: Perjumpaan di Filipina....

Catatan Perjalanan: Perjumpaan di Filipina....: Bila hendak ada damai di dunia, bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa, kota-kota henda...

Perjumpaan di Filipina....


Bila hendak ada damai di dunia,
bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai
Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa,
kota-kota hendaknya tidak saling berperang
Bila hendak ada damai di kota-kota,
para tetangga harus saling memahami
Bila hendak ada damai di antara para tetangga,
mesti ada keharmonisan di rumah tangga
Bila hendak ada damai di rumah tangga,
kita masing-masing mesti menemukan hati kita
-Lao Tsu, abad ke-6 S.M-
           
            Dalam perjalanan hidup ini, ada banyak kejutan-kejutan kecil yang disiapkan Tuhan untuk saya. Termasuk kejutan saya menghadiri Asia-Pacific Student and Youth Gathering (ASYG) yang diadakan di Bukal Ng Tipan, Taytay Rizal, Filipina dari 30 Agustus-5 September 2013. Kejutan yang menghantarkan saya mengalami perjumpaan dengan sesama yang memperkaya batin. Sebenarnya, ini adalah kali pertama Indonesia melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengikuti forum ASYG. ASYG sendiri adalah forum pertemuan yang diprakarsai oleh Ecumenical Asia Pacific Students and Youth Network (EASY NET) yang beranggotakan:
·         International Young Christian Students (IYCS)
·         International Movement of Catholic Students (IMCS)
·         Christian Conference of Asia (CCA)
·         World Student Christian Federation Asia-Pacific (WSCF-AP)
·         Young Mens’ Christian Assosiation Asia-Pacific (YMCA-AP)
·         World Young Women’s Christian Association (World YMCA)
·         Asia Pacific Allianceof YMCAs (APAY)
·         International Young Christian Workers (IYCW)
Dan kini Christian Churches in Indonesia (CCI) atau PGI menjadi salah satu anggota EASY NET bersamaan dengan Hong Kong Christian Council dan Hong Kong Christian Students. Sebuah “kemajuan” yang sangat baik mengingat harus diakui dengan jujur kurangnya partisipasi dari pemuda-pemudi Kristen Indonesia dalam forum-forum Internasional seperti itu. Sebagai anggota termuda dan kali pertama bergabung dalam EASY NET, PGI mengirimkan kurang lebih 35 utusan termasuk di dalamnya Sekretaris Eksekutif Depera PGI, Frangky Tampubolon yang ikut mendampingi para delegasi dari Indonesia.
            Dari 35 delegasi Indonesia, GKI SW Jateng mengirimkan 6 orang yaitu Pdt. Samuel Adi Perdana, Pdt. Debora Vivi, Pdt. Bonnie Andreas, Pdt. Surya Samudera Giamsyah, Haleluya Timbo Hutabarat dan saya. Sebelum berangkat ke Manila, tim dari GKI SW Jateng sudah “rapat harian” mempersiapkan segala hal yang mungkin diperlukan selama mengikuti ASYG. Dan syukur, segala macam persiapan itu sangat menolong 6 orang delegasi dari GKI SW Jateng untuk berpartisipasi secara aktif di setiap kegiatan ASYG.
            Asia-Pacific Student and Youth Gathering kali ini mengambil tema “JUSTICE AND PEACE NOW!”. Pertemuan ini dalam rangka menyongsong sidang WCC di Busan, Korea Selatan Oktober 2013 yang memiliki tema: GOD OF LIFE: LEAD US TO JUSTICE AND PEACE. Melalui ASYG ini dihasilkan berbagai macam rekomendasi dari pemuda-pemudi se Asia-Pacifik yang akan disampaikan dalam sidang WCC nanti. Dalam rangka mendukung tema JUSTICE and PEACE NOW! Maka dalam ASYG ada yang namanya EXPOSURE. Exposure dibagi ke dalam beberapa kelompok dan lokasi yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Unik dalam pengertian kasusnya, unik dalam penanganannya dan unik dalam pemaknaannya. Enam delegasi dari GKI SW Jateng pun memisahkan diri ke dalam kelompok-kelompok exposure yang sesuai dengan minatnya. Saya dan Pdt. Bonnie Andreas memilih exposure ke indigenous people di Barangay Laiban, Tanay Rizal, Filipina. Dalam exposure tersebut saya mendatangi dua desa (sitio-tagalog) yaitu Sitio Manggahan dan Sitio Magata.
Kata Laiban memiliki akar kata “Laib” yang berarti “Baga” atau arang. Selama abad ke 16, masyarakat yang tinggal di Laiban menggunakan arang untuk mengeringkan kulit kayu atau daun yang nantinya akan mereka gunakan sebagai pakaian. Dari kebiasaan inilah maka munculah nama Laiban. Pada tahun 2012 populasi di Laiban kurang lebih 4500 orang (2700 perempuan dan 1800 laki-laki). Mata pencaharian mereka adalah bertani, memancing dan berdagang. Setidaknya ada 10 keluarga yang memiliki kendaraan umum yang membawa mereka dari barangay ke kota, sitios ke kota dan sebaliknya. Produk-produk pertanian yang sebagian mereka jual adalah jagung, kelapa, pisang, alpukat, kacang, jahe, dan ubi serta masih banyak yang lainnya.
Saya dan kelompok menempuh jarak 33 kilometer untuk mencapai Barangay Laiban, Sitio Manggahan. Sesampainya di Sitio Manggahan, saya dan teman-teman berkenalan dengan kepala suku di sana dan mulai mengunjungi kebun kacang panjang, serta mendaki “tembok batu” untuk mencapai kebun labu. Mengapa saya bilang tembok batu? Kontur dari bukit ini nyaris tegak lurus seperti batu, dibutuhkan kerjasama yang baik dan kondisi tubuh yang baik mengingat panasnya luar biasa. Dan karena panasnya luar biasa itulah saya tidak bisa menikmati perjalanan ini. Saya terus bertanya-tanya “mau apa sih di kebun labu? Sesampainya di puncak saya menyaksikan hamparan kebun labu dan hutan di punggung Siera Madre. Di situlah saya melihat area yang sangat luas dan sangat indah ini akan diratakan dengan tanah demi pembangunan dam yang akan menyuplai air dan listrik ke Manila. Padahal penduduk di Sitio Manggahan dan Magata tidak mendapatkan aliran listrik dari pemerintah.
Tidak sia-sia pendakian “tembok batu” di siang yang terik itu. Sebab di situlah spot terbaik untuk melihat bagaimana sekelompok orang dikuasai ketamakan dan rela menghancurkan alam serta penduduk Barangay Laiban demi sebuah pembangunan yang nyatanya hanya mensejahterakan sekelompok orang.  Pemandangan yang miris mengingat keramahan dan kesederhanaan penduduk di Sitio Manggahan dan Sitio Magata, serta keindahan alam yang tidak ada bandingnya. Gunung Siera Madre yang melindungi dan menghidupi mereka, sungai yang jernih dan tanah yang subur. Akankah ini semua akan menjadi kenangan?
Penduduk di Sitio Magata dan Sitio Manggahan sudah berupaya sedemikian rupa agar pembangunan dam dibatalkan. Dalam perbincangan bersama dengan beberapa keluarga di dua sitios tersebut, mereka menceritakan bahwa pemerintah Filipina akan menunda pembangunan dam sampai kurang lebih 2 tahun mendatang. Beberapa menyikapinya dengan tidak mau bercocok tanam apapun karena bagi mereka janji 2 tahun lagi itu tidak bisa dipegang karena mereka berurusan dengan pemerintah. Sedangkan beberapa tetap berusaha bercocok tanam sampai waktunya tiba mereka tidak dapat lagi tinggal di sana.

Dalam perjalanan ke Sitio Manggahan saya berjumpa dengan dua orang anak laki-laki bertubuh kurus mengangkut sekarung arang yang lebih besar dari tubuhnya. Badan mereka hitam oleh arang, langkah sempoyongan menahan beban karung dan kondisi jalan yang tidak rata. Rupanya banyak sekali anak-anak di Sitio Manggahan yang tidak bersekolah dan bekerja sebagai kuli arang demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Beberapa anak yang lebih kecil hanya bermain ke sana ke mari. Kemiskinan dan penderitaan tidak menghapuskan keceriaan senyum dan suara tawa mereka. Namun saya meyakini bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, mereka sangat ingin sekolah. Pergi ke sekolah pagi-pagi bukan pergi mengangkut karung arang seharian. Sebenarnya ada sekolah di Sitio Magata yang dapat ditempuh dengan jalan kaki dan menyeberangi sungai dari Sitio Manggahan. Namun beban perekonomian menuntut anak-anak ini memilih bekerja demi membeli beras bagi keluarga.


Dari exposure di Barangay Laiban saya melihat mitos pembangunan yang berlangsung langgeng di negara-negara berkembang. Pembangunan yang bertujuan menyejahterakan, ternyata hanya dinikmati beberapa orang saja. Pembangunan justru meminta tumbal orang-orang seperti di Barangay Laiban-rakyat kecil dan meminta korban dari Siera Madre-alam.
Satu komentar dari seorang ibu yang saya jumpai dalam perjalanan ke Sitio Manggahan, “Kalian luar biasa, dari negeri-negeri jauh mau datang menengok kami. Kalian tahu, pemerintah tidak perlu mengurusi kami. Siera Madre mengurus kami.” Ibu tadi berbicara dengan penuh semangat dalam bahasa tagalog yang diterjemahkan oleh teman saya dari Filipina, Christian Lina. Ungkapan yang diucapkan oleh perempuan sederhana namun pesannya menohok. Sebab seringkali orang-orang dari luar komunitas bertindak bak mesias, padahal yang paling dibutuhkan mereka adalah “biarkan kami tetap tinggal di sini bersama alam dan tradisi kami”. Bagaimana di Indonesia? Apakah ada  konteks serupa?
Seperti tulisan Lao Tsu di atas, saya menemukan diri saya ketika berjumpa dengan Tita (bibi) Ruby, Kuya (abang) Edward (fasilitator dari Harris Memorial College-Community Extension Services and Development) serta orang-orang di Sitio Magata dan Sitio Manggahan. Panas terik, lelah dan migrain justru mengantarkan saya untuk belajar memahami perjuangan mereka. Ya, bila ingin mewujudkan kedamaian, maka pertama-tama temukan diri kita sendiri. Dari sana terbit empati dan dorongan untuk melangkah bersama dalam perjalanan panjang menuju keadilan dan kedamaian…
MARAMING SALAMAT PO! MABUHAY!