Selasa, 18 Desember 2012

talk to my self

Di sela-sela suara hujan

di antara tampiasnya...

aku kembali melihat wajah ini...

wajah jiwaku....

angin yang menderu deru lewat daun jendela

gelombang dingin yang menyeruak mengisi segala arah

di sini aku duduk bersama diriku, lagi.

mudah bagiku kehilangan diriku.

tercecer di antara banyaknya urusan...

tertinggal di atas meja kerja...

terselip di tumpukan tugas...

terbengkalai di puing-puing kesibukan...

teronggok di belakang pemikiran-pemikiran

tanpamu yang tersecer, tertinggal, terselip, terbengkalai  dan teronggok...

hidupku otomatis

hidupku monokromatis....

sudah lama aku mencarimu...

sudah lama aku merindukanmu...

wahai diriku yang  tercecer, tertinggal, terselip, terbengkalai dan teronggok

sudah begitu lama aku tidak menyapamu...

sudah teramat lama aku tidak mendengarkan suaramu...

mari berbincang...

biar hujan juga mendegarkan...

mari bernyanyi...

biar angin ikut mendesau...

mari...

mari jiwaku...

mari diriku...

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 18 Desember 2012

*tulisan ini dibuat karena beberapa waktu yang lalu, cukup lama agaknya saya merasa ada yang terampas dari diri saya. rupa-rupanya saya kehilangan diri saya yang dulu akrab saya ajak bicara, diri saya yang menyempatkan waktu untuk menulis dan melukis. Dan kini kami sudah bertemu kembali....*

Thanks, Please Help, and Sorry Would Be Enough....

Saya pernah mempost "thanks would be enough" di sosmed tanggal 24 November 2012. Tangggapan dari seorang sahabat saya adalah " So pathetic to the man who thinks thanking would be too much..." Kemudian dia melanjutkan "He3.. please dont be mistaken... I mean that there are some people so hard to give thank.. Thanking would be too much to give.." Apa yang diucapkan oleh sahabat saya ini memang benar adanya. Beberapa waktu lalu saya mengalami sendiri bertemu dengan orang-orang yang "thanking would be too much to give". Agak tidak percaya memang, namun setelah bertemu dengan orang-orang seperti ini saya berasa bertemu dengan anak-anak playgroup yang baru belajar "how to say thank you". Jadi untuk bilang "thank you", "Matur nuwun", "Terimakasih" itu masih diajari. Miris memang....

Suatu kali saya mengikuti ceramah yang diadakan John Robert Powers, dalam salah satu sesinya dibahas tentang kata-kata ajaib atau Three Magic Words yaitu "Please help" , "Thank you" dan "Sorry". Tiga kata ajaib yang nampaknya sederhana namun absen dilakukan. Si pembicara menceritakan pengalamannya menguji dampak salah dua kata itu dalam diri anaknya yang masih SD. Suatu pagi si pembicara berkata, "Ambilin sepatu mama yang warna merah." Si anak menatap agak lama pada mamanya lalu memberikan sepatu itu. Keesokan harinya hal yang sama diulangi lagi. Lama-lama kelamaan si anak meletakkan sepatu mamanya dengan agak setengah dibanting. Seminggu kemudian, si pembicara meminta si anak mengambilkan sepatunya, "Nak, mama minta tolong ambilkan sepatu mama ya." setelah sepatu datang, si pembicara berkata, "Terimakasih". Si anak tidak lagi membanting sepatu mamanya. Namun dia tersenyum dan berkata "terimakasih kembali ma."

Dari pengalamannya inilah si pembicara menyimpulkan bahwa dampak dari kata "tolong" dan "terimkasih" itu sangat positif. Namun faktanya, sedikit sekali orang yang menggunakan kata tolong untuk menyatakan permohonan bantuan, yang paling sering adalah kalimat perintah. Apalagi berterimakasih, sangat sedikit orang yang saya jumpai akhir-akhir ini berkata terimakasih kepada orang lain yang sudah menolongnya atau memberikan sesuatu. May be thanking would be too much to give...

Sekarang coba diingat-ingat apakah pernah kita mengatakan "terimakasih" kepada tukang parkir yang sudah menjaga dan menolong kita mengeluarkan kendaraan dengan aman? pernahkah kita mengatakan "terimakasih" kepada pramusaji yang sudah membawakan pesanan kita? Pernahkah kita mengatakan "terimakasih" kepada asisten rumah tangga kita yang sudah melayani semua kebutuhan kita? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada loper koran yang setia mengantar koran atau majalah kesayangan kita? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada Pak Polisi yang sudah menolong kita menyeberang jalan? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada anak-anak kita karena kehadiran mereka mencerahkan hari-hari kita? Seberapa sering kita berkata "terimakasih" kepada pasangan kita? Dan seberapa sering kita mengatakan "tolong" kepada asisten rumah tangga kita? seberapa sering kita menggunakan kata tolong kepada rekan, anggota keluarga dan tetangga kita untuk menyatakan permohonan bantuan?

Kalau mau jujur hati nurani kita akan menjawab bahwa kita masih kayak anak playgroup yang selalu mesti diingatkan dan diajari kapan harus bilang terimakasih dan kapan harus bilang tolong.

 Ketika saya sedang makan bersama dengan teman saya di sebuah restoran jepang, kami dilayani oleh pramusaji yang cukup cekatan. Namun karena pilihan sayuran yang kami pilih sering berubah-ubah, maka dia mesti bolak balik melayani kami. Dan setiap kali itu pula saya katakan "tolong..." dan kemudian "terimakasih" sekalipun barang yang kami pesan belum datang.Dan permintaan maaf karena pesanan kami yang berubah-ubah itulah yang merepotkan si pramusaji. Dia tersenyum dan berkata bahwa itu sudah bagian dari pekerjaannya. Teman saya lama-lama menyadari kalau ternyata si pramusaji ini lebih enjoy melayani di tempat kami ketimbang melayani meja sebelah karena di meja sebelah nyaris tidak ada yang menggubris bantuannya. Semuanya kalimat perintah. Ya emang sih, pembeli adalah raja tapi si pramusaji ini juga manusia loh punya rasa juga. Dari situ sekali lagi kata "tolong dan "terimakasih" juga "Maaf" punya daya positif yang membuat orang lain dihargai dan dihormati ^^

 

Mengucapkan kata "tolong" tidak menunjukkan bahwa kita lemah....

tapi menunjukkan bahwa kita membutuhkan keberadaan orang lain untuk membuat hidup ini berjalan...

Mengucapkan kata "Maaf" bukan berarti kita pengecut dan pecundang....

tapi menunjukkan bahwa kita pribadi yang dewasa dan berani mengakui kesalahan dan berani memaafkan juga...

Mengucapkan kata "Terimakasih"  bukan berarti kita tak berdaya...

justru kita orang yang murah hati yang mampu melihat dan menghargai jerih payah orang lain...

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 18 Desember 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lupa Bawa Otak....

Pagi tadi dalam perjalanan menuju suatu bank saya menjumpai sebagian besar pengendara yang lewat di hadapan saya lupa membawa otaknya. Semuanya berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan. Saya menduga mereka berpikir ini sirkuit balapan F-1 yang mengedepankan kecepatan, ketepatan dan ketangguhan berkendara. Namun ini jalan raya mas dan mbak, jadi kalau mau adu balap cepat ya silahkan berlomba di sirkuit saja yang memang diciptakan untuk itu. Kalau semangat balapan diterapkan di jalanan, alhasil kekacuan dan kecelakaan yang terjadi. Tadi pagi memang tidak terjadi kecelakaan karena rata-rata penyebrang jalan dan pengguna trotoar cukup antisipasif dalam berbagi jalan dengan para pengendara yang lupa membawa otaknya itu. Agaknya yang diutamakan adalah bisa mengendarai kendaraan dulu baru urusan sopan santun dan tata tertib berlalu lintas yang dipikirkan itupun setelah kena sanksi atau lantaran karena ada polisi. Kota tempat saya tinggal memang kota kecil, namun untuk urusan lalu lintas, bisa dibilang semrawut dan sebagian besar pengendara kendaraannya barbar. Tidak butuh waktu lama bagi saya dan mungkin bagi Anda yang baru pertama kali datang ke kota saya untuk mengamati kekacauan berlalu lintas di sini. Sampai-sampai seorang teman saya berseloroh, "Gila, ni jalanan udah kayak di India aja, ruwet, kalau punya nyawa lebih boleh deh diadu."

Ruas jalan yang tidak terlalu lebar, jumlah kendaraan bermotor yang makin banyak (mungkin karena cicilannya dan uang mukanya makin enteng), ditambah dengan fungsi lain yang harus ditanggung jalan yaitu sebagai lahan parkir dan lahan bisnis. Lahan parkirnya saja bisa memakan separoh badan jalan, sekalipun jalan yang dipakai sebagian untuk parkir itu adalah satu arah, namun volume kendaraannya kan banyak. Jadi tetap saja menambah kericuhan berkendara di jalanan. Belum lagi lahan parkir yang luas itu juga berbagi dengan para penjual mulai dari gorengan, penjual es, pulsa sampai tukang kunci ada. Tak heranlah saya kalau acara berlalu lintas menjadi kian rumit di sini.

Selain kereta besi bermesin alias mobil dan motor, kendaraan lain yang masih populer adalah dokar. Bagi teman-teman saya yang di kotanya sudah tidak ada lagi kendaraan bernama dokar, datang ke sini justru menimbulkan sensasi nostalgia dengan naik dokar kemana-mana. Selain lebih murah, naik dokar juga lebih santai. Namun jangan coba-coba kalau pagi hari kita berkomentar seperti itu. Pagi hari, dokar dan kendaraan bermotor lainnya adu cepat menguasai jalanan. Masalahnya, dokar menggunakan kuda sebagai motornya, kuda itu mahluk hidup yang kadangkala susah dikendalikan sekalipun kusirnya sudah merawat dia tahunan tetap saja kadangkala kusirnya tidak memahami isi hati kudanya. Pernah ada kejadian, saya naik dokar yang kudanya tipikal kuda bandel semau gue banget. Bolak-balik si kusir mengatur agar dokarnya minggir supaya bus mini dan aneka truk juga angkot dapat lewat. Eh bukannya nurut minggir si kuda mencak-mencak enggak karuan. Saya putuskan turun aja deh daripada dokar yang saya tumpangi dicium bus mini dari belakang yang nampaknya sopirnya kurang sabaran. Oleh sebab itu kecelakaan dokar yang dicium atau dipepet kendaraan lain seolah-olah hal biasa di sini. Fiuuhhhh....kuda berpacu dengan motor.

Satu lagi, kalau ada waktu ke pasar pagi, siapkan diri dengan baik-baik, dan sebisa mungkin jangan terlalu gemuk karena ketika Anda sibuk memilih sayur mayur atau daging yang segar tiba-tiba pantat Anda sudah dipepet body angkot atau mungkin kaki Anda terkena knalpot. Pasar pagi yang tumpah ruah di jalanan itu sejatinya sudah harus tutup alias masuk ke dalam pasar induk jam 7 pagi. Namun entah mengapa atau salah siapa, sampai jam 9 pagi pun mereka masih anteng aja jualan di jalanan yang ramai dilalui dokar, angkot, truk, dan motor. Pembeli yang membludak di pagi hari, ibu-ibu yang asik berjongkok memilih sayuran atau buah tiba-tiba harus berdiri dan merapatkan diri supaya pantatnya tidak diserempet angkot atau kendaraan lain. Betapa di kota saya ini yang namanya mau ke pasar saja ibarat mau setor nyawa.

Sudah ada kemacetan semacam itu tetap saja jalanan yang sebagian besarnya berubah jadi pasar pagi itu dibuat dua arah. Kali ini memang harus bilang "wow" karena antrean kendaraan dan bunyi klakson juga teriakan pembeli yang merasa lahannya untuk jongkok dan memilih tidak ada bersahut-sahutan. Ah...memang pada lupa bawa otaknya kali ya....

Berkendara dan bahkan berjalan kaki di sini, memang dibutuhkan kehati-hatian. bukan hanya dari kita sendiri tapi juga orang lain. Teringatlah saya akan kepolosan dan kejujuran seorang bapak yang mengendarai sebuah mobil usang di jalan Magelang beberapa waktu lalu. Di bagian belakang mobilnya dia menempelkan print tulisan yang berbunyi "NYUWUN NGAPUNTEN, JAGA JARAK, NEMBE SINAU". Dari cara berkendaranya memang dia masih belajar, mobilnya selalu ditengah hehehehehe...Namun karena tulisan itu, tak banyak orang yang mengklakson tapi langsung mengambil jarak tertentu atau mendahuluinya. Seandainya semua orang membawa otaknya ketika berkendara, maka angka kecelakaan lalu lintas di negara ini bisa dikurangi setiap tahunnya...

 

kalau orang lain suka lupa bawa otak waktu berkendara, sebaiknya kita jangan ikut-ikutan lupa bawa otak. Demi kita sendiri dan orang lain ^^

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo,18 Desember 2012 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 17 Desember 2012

Apa maknanya....

Tidak terasa seminggu lagi kita merayakan Natal. Sekalipun kesibukannya sudah mulai terasa dari beberapa bulan yang lalu. Saya pun dalam moment jelang Natal ini turut terhanyut dalam kesibukan Natal. Berbeda dari tahun yang lalu, saya menjadi anggota jemaat yang baik, yang mengikuti setiap kegiatan Natal yang diadakan di gereja. Kesibukan itu ternyata tidak hanya menggerus energi saya, sehingga harus terkena ISPA dan radang, namun juga menggerus waktu saya untuk merenung. 

Dalam kesibukan seperti ini, justru hal yang paling saya takutkan adalah saya kehilangan diri saya sendiri di antara tumpukan-tumpukan kegiatan dan urusan. Kesibukan yang terlanjur menancap di benak dengan bentuk jadwal kegiatan dan goalnya, jelas mampu membuat siapapun, termasuk saya jadi lengah dan lelah. Lengah terhadap apa? lengah untuk menikmati apa yang sedang saya kerjakan. Lengah untuk menikmati apa yang sedang menjadi kesibukan saya. Yang terjadi jurstu saya berlari dari satu list kegiatan menuju list berikutnya dan begitu seterusnya. Sehingga ketika semua sudah berlalu, ketika lampu sudah dipadamkan, kemeriahan sudah beranjak menjadi sepi, maka yang terisa adalah pertanyaan besar bagi diri saya sendiri, "Apa maknanya?" 

Saya pun merenung, dalam kesibukan ini, tak masalah apapun jenis kegiatan yang sudah terlanjur membuat saya jadi orang sibuk, satu hal yang pasti saya, si pelakon tidak boleh kehilangan kesadaran saya sendiri saat saya mengerjakan semua urusan yang menyibukkan saya. Tak masalah apa jenis kegiatan yang sudah membuat saya sibuk, saya harus melakoninya dengan seluruh keberadaan diri saya sehingga ketika semua sudah usai, lampu sudah dipadamkan, lagu-lagu natal sudah berhenti, saya dapat memberi jawab pada hati nurani saya, apa makna semua ini bagi saya.

Apakah hanya putaran rutinitas belaka yang begitu adanya setiap tahun? Apakah hanya karena terlanjur mengiyakan? Apakah karena ada keinginan mengasah diri dan menambah jam terbang? Atau karena saya ingin mempersiapkan "ruangan" bagi Dia dan sesama?

 

saya masih merenungkannya...dan hati nurani saya masih setia menunggu jawaban saya :)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 17 Desember 2012

Christmas_greetings_-_namecovers
 

Rabu, 01 Agustus 2012

Aku Belanja Maka Aku Ada...

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

                Belanja, siapa yang tidak menyukai kegiatan berbelanja? Hampir sebagian besar manusia menyukai kegiatan yang satu ini. Belanja apa saja mulai dari sayur mayur sampai onderdil mobil. Kegiatan belanja pada 2-3 dekade yang lampau barangkali dititikberatkan pada karena barang-barang yang dibutuhkan sudah menipis atau bahkan tidak ada di rumah. Namun sekarang orang berbelanja karena suka, karena kebutuhan untuk tampil up to date. Pergeseran pandangan ini nampak jelas di kota tempat saya berada. Beberapa tahun silam, pola belanja orang-orang di sini masih seputar pemenuhan kebutuhan pangan di rumah, peralatan sekolah anak-anak, lalu kalau lebaran baru  membeli pakaian baru. Namun akhir-akhir ini saya menyaksikan pola semacam itu sudah ketinggalan jauh entah di mana. Orang-orang berbelanja apa saja yang mereka inginkan, misalnya, sudah punya magic com, masih beli satu lagi dengan alasan kalau keluarga datang nasi tidak cukup. Pertanyaan saya, apa ya setiap hari keluarganya datang bertandang? Lalu aneka toko pakaian sekarang tersebar seperti jamur, padahal dulu yang namanya toko pakaian di kota saya ini bisa dihitung dengan sepuluh jari, sekarang harus pinjam jari tetangga. Belum lagi tempat-tempat yang menjual makanan dan minuman aneka macam. Bahkan dua hari menjelang puasa ini saya menyaksikan orang-orang seolah-olah berlomba-lomba berbelanja. Entah apakah karena puasa nanti orang sudah harus puasa belanja juga maka sebelum puasa dipuas-puasin berbelanja saya tidak tahu. Semuanya seolah-olah menceritakan tentang penghuni kota yang gemar berbelanja bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup namun disisipi kebutuhan untuk tampil “up to date”.

                Beberapa waktu yang lalu seorang tetangga rumah bercerita panjang lebar tentang liburannya di negara berlogo singa itu. Dengan antusias dia mengisahkan bahwa di sepanjang jalan ada banyak butik-butik milik rumah mode ternama berceceran, namun sayang harganya setinggi langit. Alhasil dengan kantong cekak, ia pun menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang dijual di negeri singa itu. Namun tetap saja, ukuran tidak belanjanya dia dengan saya jelas beda. Bagi saya kalau tidak belanja lantaran kantong cekak, ya sudah berarti benar-benar tidak belanja, namun bagi dia tidak belanja lantaran kantong cekak berarti pulang membawa tas Jimmy Choo kw kesekian dan beberapa penganan dari negeri berlogo singa. Setelah saya lihat-lihat tas Jimmy Choo itu saya hanya bisa tersenyum mengingat bahwa di Pasar Baru dan di Blok M tas sejenis itu banyaknya minta ampun dan Anda mau cari yang kw macam apa juga ada. Barangkali agak sia-sia duta konsumen menyerukan undang-undang untuk orang-orang yang memiliki tas kw hehehe….

                Tak berapa lama tetangga ini melanjutkan liburan ke Batavia. Beberapa hari di Batavia ia sudah menghabiskan uang sekian juta dan pulang membawa satu koper besar berisi pakaian yang konon katanya “up to date” dengan Korea sebagai kiblat mode busananya. Alhasil sudah dua minggu ini dia wara-wiri di depan saya dengan menggunakan “koleksi van Batavia” tadi. Saya berandai-andai, “gimana ya kalau semua orang punya mental seperti tetangga saya ini? Membelanjakan uangnya untuk pakaian sekoper besar? Atau tas-tas bermerk? Sepatu-sepatu buatan perancang terkenal? Apa jadinya negara ini? Dunia ini?”

Bangsa yang GILA MERK

                LV, Jimmy Choo, Channel, St.Yves, dan masih banyak merk ternama lainnya yang produknya mampu membius sebagian besar manusia di dunia untuk memilikinya. Memang siapa sih yang tidak bangga menenteng tas LV, mengenakan sepatu buatan perancang terkenal yang harganya by request, dan baju dengan mode terkiniapalgi yang limited edition? Setiap orang tentu bangga dan senang bukan kepalang apalagi kalau yang dipakai memang merk asli bukan tiruannya. Pertanyaan yang menyeruak dari kepala saya, “Apakah kita menggunakan merk atau produknya?” Bagi sebagian besar orang dua hal ini tidak terpisahkan, merk menjamin kekuatan produknya, bahkan beberapa menyertakan kartu garansi resmi. Namun kita perlu sadar berapa persen orang di Indonesia yang sanggup menggunakan barang-barang merk asli dengan garansi resmi pula. Tidak semua orang sanggup maka banyak yang membuat produk KW-nya supaya orang yang berkantong cekak sanggup pula mencicipi sepotong kebanggaan menenteng tas berlogo BARLY. Menyaksikan fenomena ini saya seolah-olah sedang menyaksikan sebuah parade ironi, bahwa pada akhirnya orang tergila-gila pada merk lupa pada fungsi dari produk dan kebutuhan akan produk tersebut. Bayangkan saja, harga diri Anda, Anda letakkan pada sebaris tulisan yang menjadi merk produk yang Anda miliki, betapa absurdnya hal ini bagi saya. Namun suka tidak suka sebagai manusia Indonesia saya hanya bisa tersenyum miris menyaksikan parade perempuan dan laki-laki yang menggenakan pakaian bermerk entah kw atau asli. Kita sudah menjelma menjadi bangsa yang gila merk, yang meletakkan harga dirinya pada sebaris tulisan yang menjadi merk tersebut.

Belanja terus sampai mati atau mati karena terus belanja? 

                Belanja dan belanja seakan-akan menjadi bagian dari gaya hidup yang imbasnya bisa dirasakan di kota sekecil Wonosobo, hebat bukan. Bahkan tetangga saya tadi itu mengaku meriang dan masuk angin kalau sehari tidak membuka dompet dan membelanjakan sesuatu entah butuh entah tidak. Ada pula film tentang seorang perempuan yang gila belanja namun akhirnya tobat. Belum lagi banyaknya buku-buku yang bersifat advice  tentang tempat-tempat belanja dari yang kaki lima sampai bintang lima, dari dalam dan luar negeri plus  tips berbelanjanya. Ya belanja ternyata sama kejamnya dengan narkoba karena menimbulkan efek ketergantungan. Kita sendiri yang mesti pegang kendali untuk mengatur nafsu berbelanja agar tidak dikendalikan oleh nafsu itu. Itu artinya bukan berarti kita tidak boleh belanja,tapi kita harus jadi PEMBELI YANG CERDAS. Tidak mudah termakan iklan dan dorongan untuk tampil terkini, namun pintar memilah dan memilih apa yang kita butuhkan dan inginkan.

                Kalau satu orang di negara ini setiap harinya membeli 1 pakaian, maka selama setahun satu orang itu sudah punya 365 pakaian, tentu saja yang jadi contoh ini orang ternama dengan uang yang tak kunjung menipis. Kalau satu orang di negara ini seminggu sekali membeli 1 pakaian bisa Anda hitung sendiri kan berapa banyak baju baru yang ia punya selama setahun? Berlaku juga bagi mereka yang dalam setahun dapat membeli 2 gadget kebayang kan kalau seandainya seperempat penduduk Indonesia juga bersikap seperti ini? Ada berapa banyak bangkai gadget yang terbuang ya? Maka bayangkan saja pakaian-pakaian yang kita punya old or new kalau kita bentangkan sesungguhnya sanggup menutup seluruh permukaan bumi berikut sampah-sampah dari gadget lama yang kita tinggalkan karena beli yang baru? Mengerikan sekali kan menyadari bahwa kita adalah mahluk absurd yang rakus?

                Pilihan ada di tangan kita, kita mau belanja terus sampai mati atau kita mati karena terus-terusan belanja? Yang satu menawarkan pola pikir “masa bodoh” yang penting happy by shopping sementara yang satu menawarkan sebentuk kesadaran bahwa lama-kelamaan planet yang kita tempati ini akan penuh dengan sampah hasil belanjaan kita dan kita akan mati tertimbun sampah lama-kelamaan. Dalam hal belanja atau mengelola apa yang kita miliki saya punya beberapa tips:

 

Tipssssssss:

ü  Setiap kali saya membeli satu buah pakaian maka saya akan memberikan satu buah pakaian dari dalam lemari saya kepada orang lain yang membutuhkan. Kalau saya membeli 3 buah pakaian saya akan memberikan 3 buah pakaian layak pakai yang ada di dalam lemari saya kepada mereka yang membutuhkan. Mengapa? Terbayang tidak jika Anda setiap saat membeli pakaian baru sementara isi lemari Anda akan terus menerus penuh. Padahal kalau mau jujur berapa persen pakaian yang Anda pakai sehari-hari? Saya yakin tidak semua pakaian yang ada di lemari Anda itu Anda pakai kecuali Anda membuat jadwal untuk setiap pakaian dan setiap kegiatan maka yang namanya “rolling” atau perputaran pakaian mungkin terjadi. Dan alasan lainnya adalah saya ingin berbagi dengan yang lain, toh saya sudah dapat “berkat” mengapa yang ada pada saya tidak saya berikan pada yang lain? Feel good by doing good.

ü  Teknologi Informasi dan Komunikasi melahirkan gadget terkini. Hanya dalam hitungan bulan sudah muncul seri tercanggihnya. Kalau Anda menjadi kalap bisa dipastikan rumah Anda segera berubah menjadi museum gagdet. Belilah gagdet sesuai dengan kebutuhan dan mobilitas Anda. Kalau Anda masih bersekolah, saya kira handphone dengan Android menjadi sesuatu yang too much karena kebutuhan Anda baru sekitar komunikasi dengan teman sebab untuk browsing dan pengerjaan tugas sudah ada laptop atau tablet. Jangan rakus dan sombong, ukur kemampuan dan kebutuhan Anda. Sebab bangkai gagdet Anda yang lama itu sangat sulit diuraikan. Apakah Anda mau planet kita ini dipenuhi oleh sampah gagdet? Mungkin kita berpikir, “lha kalau begitu sebaiknya tidak usah buat perusahaan yang menjual gagdet dong.” Sah-sah saja ada perusahaan yang menjual gadget karena mereka sudah punya sistem pengurai sampah bagi gagdet jadul mereka. Dan bukankah keputusan kita untuk mencintai planet ini dengan menjadi konsumen cerdas adalah pilihan yang kita buat dengan tidak terpengaruh oleh ada atau tidaknya perusahaan gagdet yang terus menerus melahirkan teknologi terkini kan.

ü  Barang-barang lama seringkali hanya teronggok di gudang atau tempat pembuangan sampah. Beberapa memang sudah diambil oleh para pemulung dan entah mereka olah menjadi apa yang pasti menghasilkan uang. Namun kita juga bisa mengolah barang-barang lama kita menjadi sesuatu yang cantik dan berdaya guna setidaknya untuk hiasan interior. Di London ada seorang lelaki beranam Cliff Pearcey yang menciptakan barang-barang lama menjadi karya seni. Cliff mampu membuat mainan lucu berbentuk monyet dari ketam untuk bagian tubuhnya, kaki meja bekar untuk kakinya, dan ganjalan sepatu untuk hidung serta kaki kursi sebagai ekor si monyet. Atau kita dapat “mengais-ngais” ide dari internet tentang mengelola barang-barang lama menjadi sesuatu yang berfaedah. Misalnya saja pigura yang sudah usang dan kacanya sudah tak ada. Kita dapat manfaatkan pigura ini menjadi media untuk memamerkan foto-foto. Kita pasangkan benang putih melintang, buat beberapa susunan dengan jarak cukup renggang, dan foto-foto kita pun dapat kita jepit di benang itu dengan penjepit baju persis seperti sedang menjemur pakaian. Lihat, yang lama bukan berarti tak bermakna, tinggal kita yang mau berupaya atau tidak.

ü  Bukalah garage sale di lingkungan sekitar, sehingga barang-barang dan pakaian lama Anda dapat Anda jual dengan harga sangat murah dan sangat terjangkau bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian Anda sudah menguras isi gudang dan lemari, dan mereka yang membeli pun puas karena punya “pakaian baru” untuk dikenakan.

ü  Biasakan untuk membeli segala sesuatu berdasarkan KEBUTUHAN bukan keinginan. Prinsip ini membuat Anda terhindar dari “menumpuk barang baru” di rumah dan menghindarkan Anda dari ketergantungan berbelanja. Kalau hanya membutuhkan sepasang sepatu, karena sepatu yang lama sudah puluhan kali diopname di tukang sol sepatu maka kita perlu membeli sepatu baru  untuk meringankan “tugas” sepatu lama yang sudah langganan di sol sepatu. Saya dan keluarga saya mempunyai kebiasaan untuk menjahitkan sepatu yang baru di beli supaya lebih awet. Dan ajaib cara ini berhasil memperpanjang usia sepatu kami walaupun memang kalau sepatu sudah kami lepas, di bagian dalam akan nampak jahitan sepatu yang besar-besar. Tak apa yang penting sepatu lebih panjang umur.

ü  Memang ada sebagian orang yang meragukan ide untuk memberikan pakaian kepada orang lain sejumlah dengan pakaian yang saya beli ataupun ide mengadakan garage sale. Penyebabnya adalah “takut ketinggalan jaman”. Maksudnya kalau pakaian atau barang-barang kita diberikan pada orang lain maka apa yang kita pakai kan “itu-itu” saja. Bagi saya tidak menjadi masalah kalau baju yang saya pakai “itu-itu” saja yang terpenting bagi saya adalah SUMBANGSIH SAYA UNTUK BUMI dan ORANG LAIN. Tidak peduli orang mengatakan saya tidak punya baju baru yang seturut dengan trend masa kini, karena bagi saya “mengapa kita tidak membuat tren buat diri kita sendiri? Mengapa harus mengikuti orang lain?” Sejauh saya nyaman dengan apa yang saya pakai dan orang lain pun mendapat berkat dari barang-barang yang saya berikan, bagi saya itulah indahnya hidup dan itulah makna yang saya berikan bagi hidup saya. Sebuah seloroh dari gadis SMU yang diwawancari dalam Kick Andy Show, “Dengan Anda berbelanja barang-barang mahal setiap saat, Anda terlibat dalam dosa sosial” Sebuah seloroh yang cerdas dan menggugah. What do you think? Hehehe….

Kita hanya punya satu bumi dan satu kesempatan untuk hidup, mengapa tidak pergunakan dengan baik untuk mulai memberikan peran serta kita untuk mencintai bumi dan kehidupan ini dengan MENJADI KONSUMEN YANG CERDAS? Pilihan ada di tangan kita semua, ingat, peran serta satu orang sangat berarti untuk terjadinya sebuah perubahan….

 

 

 

 

 

Wonosobo, awal Agustus 2012

Y. Defrita Rufikasari              

Selasa, 31 Juli 2012

Puasa Adalah Mi'raj Dari Egoisme Menuju Belarasa

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

           
            Sudah hampir sepekan lewat saudara-saudari umat muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sekalipun saban tahun kita disuguhi adegan tarik ulur pendapat mulainya awal puasa, namun tokh tidak mengurangi kebahagiaan sebagian besar umat muslim dimanapun untuk menyambut bulan Ramadhan dan menjalankan kewajibannya untuk berpuasa. Bagi saya sendiri sekalipun tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, saya belajar banyak dari bulan yang penuh ampunan dan bulan untuk berbagi ini ( syahr al-munawasat ). Dan melalui tulisan inilah saya ingin berbagi sebuah sudut pandang…
            Di kota tempat saya tinggal sekarang ini memang bukan kota besar, namun begitu menjelang H-1 puasa dimulai, orang-orang dari seluruh pelosok kota datang dan membelanjakan uangnya di pasar dan segala pertokoan. Yang paling menarik bagi saya adalah menyaksikan mereka makan dari satu warung kaki lima ke tempat makan lainnya dengan kalap. Konon katanya hal ini dilakukan mengingat besok sudah harus menahan nafsu makan dan minum, entah apa hubungannya dengan makan kalap di H-1 puasa dan entah benar atau tidak persepektif semacam itu.  Belum lagi banyak orang yang membeli magic jar dan kompor gas. Salah seorang pegawai toko kakak saya berseloroh bahwa setiap tahun sekali magic jar mereka rusak dan itu tandanya puasa segera dimulai. Sungguh saya tidak mengerti ada hubungan apa antara magic jar yang saban tahun diganti dengan yang baru dengan mulainya puasa. Semoga di lain waktu saya mampu memahami koneksinya.
Siang itu menjelang H-1 puasa, saya nyaris putus asa menyaksikan antrean kendaraan dan padatnya orang di segala penjuru kota. Seumur-umur baru kali ini saya menyaksikan kota saya mendadak macet. Kepadatan ini akan berangsur-angsur mereda ketika puasa memasuki hari pertama dan kedua. Namun untuk hari-hari berikutnya, keramaian akan pindah pada jam 15.00-18.00. Orang-orang akan memenuhi jalan dan pusat jajanan untuk berbuka puasa. Mulai dari tempat makan yang memang rasanya wahid sampai yang absurd rasanya sama-sama padat pengunjung. Dan satu ruas jalan di daerah yang disebut Sudagaran menjelma menjadi kampung jajanan sejak jam 3 sore selama bulan Ramadhan. Jajanan yang dijual memang kurang variatif menurut pendapat saya. Paling banyak kita temui ya gorengan semacam tempe kemul, geblek dan saudara-saudaranya, lalu es cendol, jenang dan aneka sup buah atau minuman pelepas dahaga lainnya. Namun sekalipun kurang variatif tetap saja anemo masyarakat sangat tinggi untuk membeli aneka penganan untuk berbuka puasa, istilah kerennya ngabuburit. Gang di depan jalan rumah saya pun juga ikutan menjelma menjadi pusat jajanan. Sesekali saya survei ke sana. Dan benar saja tidak jauh beda dengan yang terjadi di Sudagaran. Jajanannya sama, namun pengunjungnya luar biasa. Barangkali ini pula yang disebut-sebut sebagai berkah Ramadhan, orang dapat mengais rejeki dengan berjualan makanan untuk buka dan sahur selama bulan Ramadhan.
            Dari pengamatan sehari-hari itulah saya menyaksikan sebuah fakta bahwa pada bulan Ramadhan anemo masyarakat untuk berbelanja aneka kebutuhan rumah tangga sampai pakaian juga makanan meningkat berkali-kali lipat. Jauh berbeda dengan bulan-bulan lainnya selama ini. Lalu sebuah pertanyaan terlintas dalam benak saya, “Ada apa dengan bulan Ramadhan? Apakah lantas pada bulan Ramadhan,hasil kerja sebelas bulan ludes dalam sebulan? Apakah puasa dijadikan alasan untuk makan lebih enak dan lebih mewah?” Sebagai orang yang tidak menjalankan ibadah puasa saya tergelitik untuk merenungkannya J 
            Ali Bin Musa Al-Ridha A.S pernah berkata, “Sebab diwajibkannya puasa agar manusia merasakan kelaparan dan kehausan, sehingga ia mengetahui kerendahan, kehinaan, dan kemiskinan dirinya juga agar mengetahui beratnya kehidupan akhirat sehingga bisa meninggalkan dosa dan maksiat. Puasa pertama-tama memang berkaitan dengan makan dan minum yang dikurangi lalu kemudian berkembang kepada seluruh sikap hidup yang juga puasa dari segala macam bentuk dosa. Oleh sebab itu tidak heran kalau selama bulan Ramadhan beberapa artis yang biasanya berbusana you can see my body very well mendadak tertutup atau semi tertutup. Yang di bulan-bulan lain bermesraan dengan pasangan tanpa tedeng aling-aling maka di bulan Ramadhan agak menjauhkan diri. Namun itu semua hanya akan menjadi sebuah pendangkalan makna dari puasa jika tidak dibarengi dengan sebuah kesadaran dan semangat bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan dilakukan semata-mata untuk melatih diri dari egoisme manusiawi yang sudah terlanjur mengurat akar dalam hidup kita. Sehingga sikap “puasa” dari segala macam hal-hal yang bernafaskan egoisme menjadi sebuah life style yang tidak hanya muncul pada saat bulan Ramadhan saja namun juga di bulan-bulan yang lainnya. Bagi saya apa yang diungkapkan oleh Ali Bin Musa Al-Ridha A.S  adalah sebuah pemaknaan bahwa puasa bukan sekedar ibadah yang terjadi “sekali” dalam setahun namun yang terjadi “sekali” dalam setahun itu adalah latihan sekaligus bekal untuk menjalani bulan-bulan yang lainnya.
            Memang tidak semua terjebak dalam pendangkalan makna akan ibadah puasa. Ada pula yang dalam bulan Ramadhan ini makin giat mendengarkan kotbah-kotbah para ustad dan ustadzah di berbagai kesempatan, ada pula yang makin giat beramal dan berazakat serta sudah tentu ada pula yang makin giat melafazkan ayat-ayat suci Al-qur’an setiap malam. Semuanya dilakukan semata-mata untuk mengisi bulan Ramadhan dengan “harta” yang memperkaya jiwa kita sebagai manusia. Tetapi kalau kita tidak hati-hati, maka semua kegiatan yang idealnya untuk memperkaya batin kita dan mendekatkan kita kepada Sang Khalik, akan berubah menjadi sebuah “adegan” yang mempertontonkan kesalehan demi kepuasan pribadi. Motif yang satu ini tersimpan dengan sangat rapi, dan orang lain belum tentu tahu.
            Sebentuk kesalehan memang dapat menjelma menjadi puja dan puji kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan. Namun sebentuk kesalehan dapat menjelma menjadi kepuasan pribadi karena kita mampu menjalankan segala macam kebaika yang diperintahkan oleh Allah. Nabi Muhammad S.A.W mengajari umat-Nya untuk tidak mudah terpesona pada tontonan kesalehan manusia. Manusia tidak pernah menjadi saleh selama masih merasa diri sebagai orang paling saleh. Sebab kesalehan sejati ada dalam kerendahan hati. Oleh sebab itu tajuk tulisan saya ini adalah “Puasa adalah mi’raj dari egoisme menuju belarasa”. Selama bulan Ramadhan ini manusia melakukan hijrah atau mi’raj dari pondok egoisme yang sempit kepada rumah semesta tak terbatas yaitu Allah dan para Rasul-Nya dengan berbela rasa kepada sesama ciptaan.
            K.H. Jalaluddin Rakhmat seorang profesor komunikasi massa yang menekuni tasawuf ini menggunakan teori psiko-analisis Sigmund Freud untuk merefleksikan Ramadhan sebagai sebuah turning point dalam hidup manusia,
·         Tahap Oral
Pada tahap ini anak-anak pada umumnya menemukan kenikmatan dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Dan menurut K.H. Jalaluddin Rakhmat, orang dewasa yang mengalami hambatan dalam perkembangan psikologisnya menemukan kenikmatan dengan memakan dan meminum banyak makanan dan minuman (bahkan dengan kalap). Persis seperti bebek yang menenggelamkan lehernya ke dalam kubangan untuk mengais-ngais makanan, leher yang tak berhenti menelan makanan.
·         Tahap Anal
Pada tahap ini anak-anak pada umumnya menemukan kenikmatan pada saat membuang kotoran dari tubuhnya. Tak jarang mereka juga menemukan keasyikan memain-mainkan kotorannya sendiri tanpa rasa jijik karena belum mengenal konsep jijik. Menurut K.H. Jalaluddin Rakhmat, orang dewasa yang mengalami hambatan pada fase ini dia akan menjelma menjadi orang dewasa yang menemukan kenikmatan dengan memandangi segala macam bentuk dan rupa hartanya, juga menemukan keasyikan memandangi rekening depositonya dan menghitung jumlah kekayaannya.
·         Tahap Genital
Pada tahap ini anak-anak pada umumnya menemukan kenikmatan dengan memain-mainkan alat kelaminnya tanpa rasa risih atau malu karena memang belum mengenal konsep tersebut. Menurut K.H. Jalaluddin Rakhmat, orang dewasa yang mengalami hambatan pada fase ini akan menjelma menjadi orang dewasa yang gemar dengan segala sesuatu yang terkait dengan alat kelaminnya misalnya mengunjungi tempa prostitusi atau mengunjugi web-site yang porno.
Tak hanya menggunakan teori psiko-analisis Sigmund Freud, K.H. Jalaluddin Rakhmat juga memberikan sebuah solusi yang bagi saya tentu saja ini memperkaya perspektif kita tentang puasa di bulan Ramadhan. Solusi untuk orang dewasa yang mengalami hambatan pada fase oral yaitu dengan menjadi orang dewasa yang gemar makan atau bahasa lainnya rakus, adalah dengan berpuasa. Sehingga dalam solusi pertama inilah apa yang dikatakan oleh Ali Bin Musa Al-Ridha A.S terpenuhi maknanya. Karena hanya dengan puasalah manusia yang rakus dapat melatih tubuhnya untuk merasakan tidak hanya lapar dan dahaga namun penderitaan dari mereka yang selama ini mengalami kesulitan pangan.
            Sayidina Ali A.S berkata, “jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan.”  Dalam konteks yang lebih luas lagi puasa bukan hanya sekedar menghindarkan perut kita menjadi kuburan hewan, tanaman, buah-buahan dan lain sebagainya namun juga tidak menjadikan diri kita sebagai “penyedot” rumah, harta, sawah, ladang dari milik orang lain. Dalam konteks yang lebih holistik inilah semestinya para pemimpin berwajah ulama berhati koruptor ini dapat insyaf dan taubat akan segala tingkah batilnya yang dikuasai oleh keinginan “perut”. Sebab para pemimpin berwajah ulama berhati koruptor ini memang menelikung agama sebagai sarana pemuas nafsu kepentingan pribadi mereka sendiri. Agama yang dijadikan penjaga status quo lebih berbahaya daripada tentara paling fasis yang brutal.
            Solusi yang kedua yang diusulkan oleh K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah dengan mengendalikan keinginan diri untuk memupuk kemewahan dan kenyamanan. Dalam point kedua inilah kita sekali lagi disadarkan akan makna puasa dalam bulan Ramadhan yaitu puasa tidak boleh dijadikan sebuah alasan untuk makan lebih mewah dan belanja lebih banyak. Justru dalam ibadah puasa orang diajar untuk lebih prihatin sehingga hati nurani ini terasah untuk merasakan denyut derita kaum nestapa dan terlatih mendengarkan suara yang biasanya terbungkam oleh riuh rendah keinginan hedonis kita.
            Ada sebuah pohon istimewa yang dicintai oleh para dewa dan tumbuh di ladang milik Erisychthon. Doa-doa dari orang-orang beriman dikaitkan pada ranting-ranting pohon tersebut. Namun Erisychthon tidak peduli, ia lantas menebang pohon itu dan menjual kayunya. Semua orang protes, tapi Erisychthon tidak peduli. Dewa mengutuk keserakahan Erisychthon. Saudagar kaya ini pun menderita rasa lapar tiada berkesudahan. Seolah perutnya adalah tubir tak bertepi. Setelah memakan segala yang ia miliki, ia makan pula anak dan istrinya sampai akhirnya ia memakan dirinya sendiri. Ditarik dalam konteks Indonesia dan kaitannya dengan solusi kedua dari K.H. Jalaluddin Rakhmat, maka bangsa Indonesia sesungguhnya juga sedang didera oleh kutukan hedonisme yang membuat orang cenderung hidup mewah tanpa susah payah. Didera oleh pragmatisme yang membuat orang berperilaku ingin sukses tanpa kerja keras sehingga semua jalan diterabas. Didera oleh sekularisme yang membuat orang makin larut dan kepentingan duniawi dan mengabaikan dimensi spritual. Yang terakhir didera oleh materialisme yang menjadikan orang memuja martabat secara berlebihan dan mengarahkan hidup untuk memjua harta benda, uang dan kekuasaan. Semuanya ini melahirkan orang-orang Indonesia yang berlomba-lomba memupuk kekayaan, kemewahan dan kenikmatan apapun caranya, yang kemudian kita eja sebagai K O R U P S I.
            Disadari atau tidak praksis keberagamaan kita saat ini belum mampu menghadapi dera hedonisme, pragmatisme, sekularisme dan materialisme sebab jujur saja, agama masih menjadi simbol normatif dan berhenti pada praktik ritualisme belaka. Ibadah puasa yang sejatinya diniatkan untuk melatih diri hidup prihatin dan secukupnya karena kita berbelarasa kepada mereka yang dipinggirkan dan ditindas belum mampu mengikis akhlak buruk yang daya rusaknya luar biasa ini. Namun bukan berarti ibadah puasa yang kita lakukan menjadi sia-sia melawan kedigdayaan hedonisme dan kawan-kawannya. Ingatlah bahwa perubahan yang dilakukan oleh satu orang besar artinya dan manfaatnya minimal bagi orang-orang di sekitar kita. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?
            Solusi yang ketiga yang diberikan oleh K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah dengan mengendalikan basic instinct  (naluri primitif kebinatangan) kita sebagai manusia. Kita belajar untuk tidak melekat pada kenikmatan badaniah semata namun berupaya sekuat tenaga menyantuni kebutuhan rohani kita. Alat kelamin dan segala macam aksi reaksi di dalamnya haruslah dipandang sebagai sebuah karunia dari Allah. Karunia ini patut disyukuri bukan dijadikan sebagai komando dalam kehidupan kita. Walaupun yang terjadi adalah sebaliknya, yang menjadi otak atau komando hidup sebagian besar orang adalah alat kelaminnya. Dalam konteks inilah puasa menjadi media mendisiplinkan diri untuk mengubah “otak komando” kita yang tadinya di bawah pusar menjadi di kepala dan hati kita. Dengan demikian kita melatih diri sendiri (syukur-syukur orang lain juga) untuk melawan hedonisme, pragmatisme, sekularisme dan materialisme.
            Merenungkan makna ibadah puasa di bulan Ramadhan memang tidak dapat dilepaskan dari konteks bangsa Indonesia saat ini. Maka menunduk lebih dalam untuk merenungkan makna kita menjalani ibadah puasa adalah sebuah keharusan sehingga ibadah kita tidak mengalami pendangkalan makna yang berhenti pada ritual belaka. Ibadah puasa adalah sebuah perjalanan hijrahnya kita, mi’rajnya kita dari hidup yang ditelikung oleh hedonisme, pragmatisme, sekularisme dan materialisme menuju hidup yang berbelarasa sama seperti Allah dan para Rasul-Nya berbelarasa kepada mereka yang dipinggirkan, kepada mereka yang terlunta-lunta dan tidak dipandang sebagai mahluk Allah yang sempurna. Ibadah puasa menjadi sarana kita belajar untuk menjalani sebelas bulan kedepan dengan gaya hidup yang berbelarasa. Maka, selamat menjalakan ibadah puasa senyampang belum terlambat untuk melakukan mi’raj juga bagi kita yang tidak menjalankan ibadah puasa, kiranya kita sama-sama melakukan mi'raj.







Wonosobo, 31 Juli 2012
Y. Defrita Rufikasari

Rabu, 18 Juli 2012

THE WISDOM OF “THE WIZARD OF OZ”

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

The_wizard_of_oz

 

            Seorang penulis terkenal asal Brasil Paulo Coelho pernah berkata, “It is doubt that makes us grow because it forces us to look fearlessly at the many answer that exist to one question.” Ungkapan ini terasa benarnya tatkala saya menandaskan buku berjudul “The Wizard of Oz” karya L. Frank Baum tahun 1900. Sebuah cerita yang tentu saja (dan semoga saja) tidak asing di telinga kita kecuali kita sudah mulai malas membaca. Buku “The wizard of Oz” ini adalah milik keponakan saya yang kemudian saya pinjam untuk menyegarkan ingatan saya akan kisah-kisah fantastis nan imaginatif di dalamnya. Sekalipun ini kali kedua saya membacanya saya menemukan hal-hal baru yang bagi saya jauh lebih baik ketika saya mengikuti petualangan Dorothy dan kawan-kawannya. Hal-hal baru yang saya temukan ini menolong saya tidak hanya untuk melihat secara keseluruhan petualan Dorothy dan kawan-kawannya namun membawanya juga sebagai bekal dalam kehidupan sesehari. Dalam rangka itulah saya ingin membagikannya untuk Anda.

            Secara keseluruhan kisah yang dituliskan oleh L. Frank Baum ini memang bernafaskan petualangan dan tentu saja sarat dengan keajaiban yang tidak perlu diperdebatkan cukup dikagumi saja. Mungkin sepintas lalu hampir sama dengan kisah Alice in the wonderland yang juga sarat petualangan dan keajaiban. Namun saya tidak hendak mencari persamaan dan perbedaan keduanya, barangkali di lain kesempatan J. Kisah dengan nafas petualangan semacam ini memang cenderung membangkitkan semangat dan keingintahuan bagi para pembaca cilik bahkan orang dewasa pun dapat larut di dalamnya. Maka alur petualangan Dorothy dan kawan-kawannya berhasil menyihir saya untuk ikut berjalan mengikuti bata kuning menuju pengalaman-pengalaman yang fantastis.

            Dikisahkan Dorothy adalah anak yatim piatu yang tinggal di Kansas bersama paman dan bibinya. Namun dalam suatu peristiwa putting beliung yang ajaib, rumah tinggal mereka dan juga Dorothy di dalamnya terjatuh di suatu negeri bernama Oz. Negeri yang bagi mata Dorothy sangat indah dibandingkan dengan Kansas yang gersang dan kelabu. Di sinilah petualangan itu akan segera dimulai. Dorothy bertemu dengan Penyihir dari Utara yang baik hati karena Dorothy berhasil membunuh Penyihir Timur yang jahat tanpa sengaja lantaran rumah yang dibawa angin putting beliung itu menimpa tubuh si penyihir timur. Sekalipun Dorothy dicintai oleh para Munchkin dan penyihir utara namun ia rindu Kansas yang gersang dan kelabu. Penyihir utara memberikan petunjuk agar Dorothy menjumpai Oz penyihir yang bijaksana dan memberi dia ciuman di kening sebagai tanda perlindungan. Berdua dengan anjingnya toto, Dorothy memulai petualangannya.

            Yang saya sukai dari anak kecil bernama Dorothy ini adalah keberaniannya dan daya adaptasinya yang baik. Sesuatu yang jarang saya jumpai dewasa ini. Jauh dari tempat yang dia kenal yaitu Kansas, hanya bersama anjingnya, tidak kenal siapapun, dia masih berani menjalani nasibnya dan mencoba beradaptasi dengan segala kemungkinan yang ada di depannya. Ya, kadangkala ketakutan dan keraguan lah yang melahirkan keberanian dalam diri seseorang untuk terus melangkah mencari jawaban. Di sinilah seolah Paulo Coelho menggarisbawahi petualangan Dorothy dan kawan-kawannya.

         

Thewizoz1
   Di hari pertama petualangan panjangnya itu Dorothy bertemu dengan Boneka Jerami yang terpancang pada tiang kayu di tengah ladang gandum. Dorothy membebaskannya dan mereka pun bersama-sama berjalan menuju Kota Zamrud tempat Oz memerintah. Mereka memiliki dua keinginan yang berbeda, Dorothy ingin pulang ke Kansas sedangkan Boneka Jerami ingin otak agar ia dapat berpikir sebagaimana layaknya manusia.
Tin_woodman
Kemudian di tengah hutan mereka bertemu manusia kaleng bernama Tin Woodman yang sudah berkarat badannya. Dengan diminyaki sedikit engsel-engselnya ia pun bergabung dengan Dorothy dan boneka jerami. Si Tin Woodman ingin bertemu Oz untuk meminta hati karena bagi dia hati-lah yang memandu jalan manusia. Dalam hutan rimba mereka bertemu dengan Singa Penakut yang berbadan besar.
Big_lion
Singkat cerita si Singa besar ini pun ikut juga karena ia menginginkan keberanian dan katanya Oz punya banyak persedian keberanian di singgasananya. Berbeda keinginan dan penghayatan mereka berjalan bersama-sama.

            Tantangan demi tantangan demi mencapai Kota Zamrud dapat mereka hadapi bersama-sama. Di sinilah L. Frank Bau menampilkan keunikan dari masing-masing tokoh, Dorothy yang optimis, Boneka Jerami yang cerdas walaupun dia tak punya otak, Tin Woodman yang sangat sensitif perasaannya hingga dia mudah terharu walaupun dia tak punya hati untuk merasa, dan Singa besar yang selalu menolong kawanan ini dari mahluk-mahluk jahat walaupun ia mengaku dia penakut. Entah apa maksud L. Frank Baum membuat kontras dalam tokoh-tokohnya.

            Sampai suatu ketika mereka berhasil menginjakkan kaki di singgasana Oz. Malang nasib mereka, semua keinginan mereka “ditolak” oleh Oz sebab mereka harus membunuh Penyihir Barat yang jahat  dulu baru kemudian Oz mengabulkan keinginan mereka. Sedikit kecewa dengan Oz, namun itu tidak membuat mereka menyerah sekalipun mereka tidak punya pengalaman membunuh penyihir barat yang konon keji bukan kepalang. Sekali lagi mereka berpetualang menembus kemustahilan, tercerai berai, dijadikan budak oleh penyihir barat dan sampai akhirnya tanpa sengaja Dorothy menyiram penyihir barat dengan air lantara penyihir barat mencuri sepatu perak yang dipakai Dorothy (dari penyihir timur). Maka penyihir barat meleleh dan mereka berhasil menyelesaikan misi membasmi penyihir barat lalu kembali ke Kota Zamrud. Halangan masih rajin menyambangi kawan-kawan kecil ini. Namun perjumpaan mereka sebelumnya dengan Ratu Tikus Ladang berhasil menolong mereka juga karena kecerdikan Dorothy mengambil topi emas penyihir barat. Dengan topi itulah kera bersayap dipanggil oleh Dorothy dan mereka diterbangkan ke kota Zamrud dengan selamat.

            Merasa bahwa tantangan dari Oz sudah diselesaikan mereka berharap-harap cemas Oz akan segera mengabulkan keinginan mereka. Namun sampai berhari-hari mereka tidak dipanggil sampai akhirnya Dorothy mengancam akan memanggil kera bersayap untuk datang ke singgasana Oz. Segera Oz memanggil mereka dan misteri terungkap. Rupanya Oz hanyalah manusia biasa sama seperti Dorothy yang diterbangkan angin ke Oz. Sekalipun mereka kecewa karena Oz tak lebih dari penipu namun mereka berusaha memaafkannya.

            Entah mengapa si Bonek Jerami tetap meyakini bahwa Oz sudah menambahkan “otak” dalam kepalanya yang sebenarnya hanyalah campuran dedak, peniti dan jarum saja. Lalu Tin Woodman yang merasa di dada kirinya berdetak padahal Oz hanya memasukkan semacam bantal kecil berbentuk hati merah. Tak ketinggalan Singa Besar yang meneguk cairan hijau yang sebenarnya hanya cairan biasa namun ia merasa tumbuh keberanian dalam dirinya.  Sampai di sini saya masih menduga-duga apa maksud dari kisah ini. Apakah sejatinya tanpa otak sekalipun si bonek jerami sudah bijaksana dan banyak akal dan itu sudah terbukti dalam petualangan sebelumnya? Apakah Tinwoodman tanpa hati sekalipun sesehari ia sudah menunjukkan bagaiman hatinya begitu lembut dan penuh kasih berbeda dengan tampilan luarnya yang terbuat dari kaleng? Dan singa besar, sesungguhnya ia tak perlu mereguk cairan keberanian karena sepanjang petualangan tadi keberanian di dalam dirinya sudah dibentuk? Seolah-olah L. Frank Baum hendak menegaskan bahwa seringkali kita tidak mampu menemukan kebijaksanaan, belas kasih dan keberanian yang bersemayam dalam diri kita yang akan bangkit seiring perjalanan. Seolah-olah pernyataan dari orang luar-lah yang menentukan kita punya kebijaksanaan, belas kasih dan keberanian atau tidak.

            Singkat cerita Dorothy tak dapat kembali ke Kansas namun ia diberi petunjuk untuk bertemu dengan Penyihir dari Selatan yang konon katanya baik dan dapat menolong Dorothy kembali ke Kansas. Ternyata Penyihir Selatan nyaris tidak melakukan apapun untuk menolong Dorothy selain memberi dia informasi bahwa sepatu perak yang ia pakai itu adalah alat untuk membawanya kembali ke Kansas bahkan pada hari pertama ia berhasil membunuh penyihir timur dan memakai sepatu perak tersebut. Dorothy tidak kecewa, justru ketidaktahuannya menjadi berkah bagi Boneka Jerami, Tin Woodman, dan Singa Besar. Ketidaktahuan Dorothy menghantarkannya kepada sebuah peziarahan panjang dimana ia berjumpa dengan karakter-karakter yang unik dan  dalam peziarahan itulah setiap insan berkembang menjadi orang-orang yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam sekejap Dorothy sudah ada di Kansas.

            Apa yang disampaikan oleh L. Frank Baum pada tahun 1900 masih relevan di tahun 2012, setidaknya bagi saya. Dari kisah Dorothy dan kawan-kawannya saya belajar,

     Saya belajar arti optimisme dari si kecil Dorothy.

Optimisme Dorothy memang luar biasa walaupun ia pernah menangis karena tidak tahu apakah ia sanggup membunuh penyihir barat atau tidak. Bagi saya optimisme bukan berarti kita tidak diperkenankan menitikan air mata atau gamang. Optimisme bagi saya adalah bagaimana seseorang sekalipun ia sedih atau gamang (tidak tahu bisa atau tidak, mampu atau tidak) tetap memutuskan untuk melangkah apapun hasilnya nanti.

     Saya belajar arti “membentuk diri sendiri”

Bonek Jerami, Tin Woodman dan Singa Besar pada awal petualangan menggambarkan orang-orang yang tidak mampu melihat apa yang ada di dalam diri mereka sebagai sebuah potensi yang mengubahkan. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa hidup adalah melulu soal menemukan diri sendiri. Tapi hidup sesungguhnya adalah soal membentuk diri sendiri dengan bahan mentah yang ada di dalam diri kita masing-masing. Terbukti pada Boneka Jerami yang mengeluhkan dirinya tak berotak padahal dalam setiap tantangan ia mampu mencetuskan ide-ide cemerlang bagi kawanan ini. Lalu Tin Woodman yang mengeluhkan dirinya tak berhati sehingga tak mampu memahami situasi dengan hatinya padahal sepanjang petualangan Tin Woodman adalah orang yang penuh perasaan dan belas kasih. Serta Singa Besar yang menjadi tidak percaya diri karena merasa diri pengecut padahal beberapa kali ia tampil sebagai penyelamat. Mereka adalah orang-orang yang tidak menyadari akan potensi yang begitu berharga dalam diri mereka. Petualangan dan tantangan lah yang membentuk potensi mereka sebab sesungguhnya Oz tidak melakukan apapun pada mereka. So, create your self.

     Saya belajar arti perjumpaan yang mengubahkan dari kawan-kawan saya ini. 

Dari ketidaktahuan lahirlah perjumpaan yang merangkai petualangan, bukankah sebenarnya ini yang acapkali terjadi dalam kehidupan kita? Ketika kita dihadapkan pada situasi tertentu atau pilihan tertentu, paling banter kita hanya tahu “plus minusnya” tapi tidak benar-benar tahu akan apa yang nantinya kita hadapi dalam setiap keputusan yang kita buat. Nah ketidaktahuan ini janganlah dianggap sebagai sebuah beban namun jalani saja seperti Dorothy. Karena kita tidak pernah tahu kita akan berjumpa dengan siapa dan akan seperti apa kisah hidup kita. Biarkanlah orang lain menempuh jalan hidupnya dengan ritmenya sendiri, kita jalani dengan ritme kita sendiri. Dan ini benar terjadi pada saya. Keputusan saya rehat sejenak dari proses yang ada tidak membuat saya lantas kecewa karena ritme saya melambat yang ada saya bersyukur karena punya kesempatan melukis lebih banyak, menulis lebih leluasa, pengalaman menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman dan menghayati hidup dengan lebih baik dari sebelumnya.

 

Ketidakmengertian kita akan masa depan membawa kita pada perjumpaan-perjumpaan yang mengubah kita maupun orang lain, hanya dibutuhkan keberanian dan kepercayaan untuk menjalaninya.

Terimakasih Dorothy, Boneka Jerami, Tin Woodman, Singa Besar dan toto J

 

 

Thewizoz2

 

Wonosobo, 18 Juli 2012

Y. defrita R.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang suka membaca….

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Bacabuku1

            Di tengah serbuan aneka games dan media jejaring sosial sesungguhnya bangsa ini sedang terbuai dalam arusnya. Pemandangan orang-orang dewasa dan anak-anak yang sedang menekuni gadget-nya menjadi sesuatu yang lumrah dewasa ini. Dengan kemudahan dan kecanggihan serta daya beli yang bagus maka siapapun dapat menikmati teknologi informasi dan komunikasi dengan sangat mudah dan nyaman. Maka bangsa yang sedang tergagap-gagap menerima berbagai kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi ini di satu sisi masih dalam taraf “belajar suka membaca”. Mengapa? Budaya membaca bukanlah budaya bangsa kita, apalagi menulis. Walaupun tingkat buta huruf pelan-pelan dapat diberantas oleh pemerintah namun bisa membaca dengan suka membaca adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bisa membaca belum tentu suka membaca. Itulah mengapa saya bilang bangsa kita ini masih belajar untuk suka membaca.

            Kalau mau jujur dalam satu bulan ada berapa banyak buku yang Anda baca sampai tandas? Dua buku? Tiga buku? Atau tidak ada sama sekali? Kampanye untuk menumbuhkan minat membaca seakan-akan terseok-seok melawan gempuran pola pikir yang entah dari mana datangnya yang berhasil menyulap orang-orang untuk berbondong-bondong hanyut dalam arus games  dan media jejaring sosial. Seolah-olah lebih keren kalau ketahuan nge-games atau nge-tweet ketimbang sedang memegang buku dan asyik membacanya sampai habis. Dan sadar atau tidak kebiasaan nge-games dan asyik di dunia jejaring sosial mempengaruhi kemampuan membaca kita. Kita jadi ingin cepat menyelesaikan paragraf-paragraf yang kita baca dengan membacanya ke sebelah kanan sebaris lalu turun ke bawah dengan cepat seolah-olah dnegan begitu kita “sudah membaca”. Kebiasaan ini muncul karena pengaruh pesan-pesan singkat apapun itu entah untuk games maupun yang ada di media jejaring sosial yang cenderung singkat dan padat. Dan kebiasaan itu pula yang sadar atau tidak kita praktekkan dalam membaca buku atau artikel. Kita jadi mudah mengeluh lelah, bosan bahkan sampai pada akhirnya malas membaca tulisan-tulisan yang kita sebut tulisan panjang. Dan lebih memilih buku-buku yang ada gambarnya dengan demikian tanpa membaca secara detail hanya menyaksikan gambar-gambarnya kita sudah “ngeh” dengan isinya. How poor it is?!

Seruan untuk suka membaca juga sudah difasilitasi oleh pemerintah-pemerintah daerah dengan revitalisasi perpustakaan daerah seperti di Wonosobo, maupun perpustakaan keliling yang menjangkau pelosok-pelosok terpencil dari negara ini. Di satu sisi upaya para “pahlawan” yang mengkampanyekan “suka membaca” memang belum bisa dilihat hasilnya sekarang. Seumpama menanam benih, maka upaya yang mereka lakukan mungkin baru bisa dirasakan bertahun-tahun kemudian. Dan bagi saya ini bukan melulu perjuangan milik para pahlwan itu, tetapi setiap kita punya tanggung jawab untuk memulai kebiasaan suka membaca sejak kecil. Karena dari suka membaca kita punya banyak pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam point inilah semestinya gadget  yang kita punya menjadi media untuk meningkatkan minat baca. Bukankah men-download buku sudah semakin mudah seperti menjentikkan jari tangan?

            Keluhan harga buku yang mahal seringkali menjadi alibi bagi sebagian orang untuk tidak membeli buku belum lagi keluhan buku-buku jadul yang teronggok di perpustakaan menjadi alasan untuk tidak meminjamnya. Memang harga buku yang mahal seringkali menjadi penghalang bagi kita untuk tetap membeli buku tersebut. Namun dengan hadirnya toko-toko buku yang konsisten menjual buku murah dengan potongan 10% bahkan lebih macam TOGA MAS dan sejenisnya menjadikan alasan ini kadangkala tidak relevan. MAsakan iya kita mampu membeli sepotong baju seharga 150 ribu rupiah tapi membeli buku yang dapat menjadi investasi kita tidak mampu? Tidak mampu dan tidak mau kadangkala menjadi sepupu. Saya sendiri juga bukan orang yang berkelebihan dalam hal budget. Namun saya punya trik yang saya pakai sejak jaman SMA dan masih sampai sekarang. Kalau saya menginginkan sebuah buku, saya akan tanya pada si petugas di toko buku tersebut kira-kira bulan depan itu buku masih nampang atau tidak? Setelah tahu kalau bulan depan itu buku masih nampang saya akan nabung buat beli buku. Bahkan waktu kuliah saya rela deh makan murah meriah asal lemari buku saya ter-up date. Dan memang pada akhirnya ketika kuliah sudah usai dan harus pulang kandang, saya memboyong 4 kardus besar berisi buku-buku saya. Suatu ketika kakak lelaki saya takjub melihat buku-buku yang berderet di rak buku saya. Iseng-iseng dia bertanya dari mana saya dapat uang untuk beli buku sebanyak itu? Saya bilang bahwa itu murni uang saya sendiri dari hasil menabung, makan murah meriah, tidak sering beli baju-artinya tidak mengikuti trend fashion mode saat itu. Dan bagi saya cara ini paling jitu untuk tetap membeli buku tanpa merasa sayang karena harganya mahal. Dan kalau soal buku jadul, di satu sisi memang ada semacam keharusan untuk selalu “up to date” termasuk dalam hal membaca. Namun bagi saya tidak ada salahnya loh membaca buku-buku yang sudah “jadul”, karena bisa jadi pada masa buku itu diterbitkan kita belum lahir. Melongok kehidupan masa lalu bukanlah hal yang tabu, barangkali ada hikmah-hikmah yang bisa kita pungut dari bacaan-bacaan yang kita kategorikan “jadul”.  Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak suka membaca!!

            Membaca tidak asal membaca, begitulah yang saya yakini sampai saat ini. Ibaratnya orang makan kan yang dipikirkan asupan nutrisinya, jangan sampai saban hari kita cuman makan junk food saja karena alasan efesien dan efektif. Begitu juga soal membaca, kita perlu memberikan nutrisi yang baik bagi otak dan jiwa kita bukan sekedar bacaan ringan melulu.. Dewasa ini banyak sekali bacaan-bacaan yang berbobot yang dihasilkan anak bangsa seperti tulisan-tulisan Sindhunata yang bernafaskan sastra yang sangat luhur, tulisan-tulisan Dewi “dee” Lestari yang cerkas,  tulisan-tulisan Ayu Utami yang berani dan cerdas lalu tulisan-tulisan Remysilado, Pramoedya Ananta Toer, Mangunwijaya, dan masih banyak lagi tulisan-tulisan anak bangsa dari yang termuktahir sampai yang “jadul” yang dapat memperkaya jiwa dan menyehatkan otak kita. KAlau soal bacaan untuk anak-anak memang tidak banyak penerbit yang menyajikan kumpulan dongeng aseli Indonesia namun tidak banyak bukan berarti tidak ada. Anak-anak perlu dan wajib diperkenalkan dengan dongeng khas negeri sendiri entah itu mau diberi julukan mitos atau legenda namun cerita-ceirta itu harus mampu melahirkan moral yang baik bagi anak-anak kita. Dan cerita-cerita untuk anak-anak dari luar negeri pun perlu diperkenalkan pada anak-anak kita semata-mata agar anak-anak mengenali nilai-nilai luhur yang ada di luar negaranya. Dengan demikian anak-anak kita tidak kerdil pemikiran dan jiwanya dan ia akan mampu tumbuh sebagai anak yang punya toleransi yang baik terhadap perbedaan dan persamaan yang ia jumpai. Maka, kebiasaan suka membaca adalah sebuah proses panjang menanam benih kecintaan pada bacaan yang entah kapan akan kita tuai hasilnya. Tetap semangat membaca dan menyebarkan virus suka membaca, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang suka membaca!

 

 

 

 

 

Bacabuku2

 

Wonosobo, 18 Juli 2012

Y. Defrita R.

Minggu, 15 Juli 2012

A cup of Coffee

C1
Indonesia patut berbangga diri sebagai negara yang menghasilkan kopi dengan rasa yang relatif luas karena letak geografis Indonesia, suhu, kandungan mineral tanahnya, iklimnya  yang menjadikan biji kopi made in Indonesia punya banyak rasa. Dan ternyata ketakjuban saya akan biji ajaib ini bertambah ketika membaca tulisan Sdr. Jeffrey Satria tentang rasa kopi yang ternyata juga ditentukan dari cara menggorengnya,

C5

* Gorengan paling ringan (cinnamon) Biji kopi dikeluarkan pada suhu dibawah 205 C. Warna coklat sangat muda, berasa asam dan body-nya tipis di mulut. Aromanya tidak terlalu muncul.

* Gorengan enteng (Light) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 205 C. warna lebih gelap dari cinnamon, dengan rasa asam cukup kuat, dan terasa cukup tebal di mulut.

* Gorengan sedang-berat (medium-high) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 225 C. Warna coklat agak tua. Rasa asam tetap kuat, namun lebih kaya. Masih terasa tebal dan penuh di mulut.

*Gorengan berat (full city) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 230 C. warna coklat tua dengan rasa asam yang sedikit berkurang. Rasa di mulut tetap tebal dan penuh.

*Gorengan lebih berat (espresso atau dark) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 235 C. Warna coklat kehitaman. Rasa asam berubah menjadi kaya atau bervariasi. Tetapi terasa tebal dan penuh di mulut.

*Gorengan paling berat (heavy) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 245 C. Warna cenderung hitam dengan minyak di permukaan biji. Rasa cenderung pahit-manis dan terasa tebal dan berat di mulut mulai berkurang banyak.

Setelah menyimak ulasan Jeffrey Satria saya baru "ngeh" bahwa kopi yang sampai di hadapan saya pagi tadi adalah kopi yang sudah melalui proses yang begitu panjang, mulai dari biji tanaman Coffea Arabica yang warnanya masih hijau, lalu disangrai atau digoreng dan begitu seterusnya sampai mendapatkan tingkat rasa dan tekstur yang sangat enak di mulut, tidak asam namun ada sedikit pahit di sana. Ini yang membuat saya jatuh cinta pada biji ajaib ini. Selain bijinya sendiri sudah mengalami "ritual" yang cukup panjang, nantinya dalam penyajiannya pun akan ada "ritual" yang membuat kopi menjadi luas spektrum rasanya dan teksturnya.

Untuk urusan yang satu itu kita patut mencontoh masyarakat Italia yang memberikan apresiasi cukup tinggi dalam soal minum meminum kopi, sama seperti masyarakat Jepang dan Taiwan yang memberikan apresiasi tinggi untuk acara minum meminum teh. Sebetulnya di Indonesia gejala mengapresiasi minum kopi sudah mulai menjamur. Terbukti dengan banyaknya kafe yang menjual aneka macam jenis kopi dan bahkan ada kafe-kafe yang begitu eksklusif lantaran racikan kopinya hanya ada di kafe tersebut.

Namun dalam soal meminumnya rata-rata orang Indonesia langsung main teguk saja begitu berjumpa dengan kopi dalam berbagai "penampilannya". Padahal seharusnya kita menghirup dulu aroma kopi yang ada di hadapan kita. Hirup dalam-dalam dan rasakan kekayaan aromanya. Lalu seruputlah kopi secara perlahan sambil dirasakan. Syukur kalau lidah sudah terlatih merasakan pasti setidaknya tahu dari daerah mana kopi itu berasal. Untuk urusan yang satu ini saya belum ada apa-apanya hehehehe....

Belum lagi kebiasaan orang Indonesia kebanyakan (tentu tidak semua) yang hobby menambahkan gula dalam minuman kopinya. Misalnya pesan espresso se-sloki kecil, orang Indonesia akan menambahkan gula 2 sachet, ckckckckkck...kalau ingin kopi yang mild and sweet ya jangan pesan espresso 1 sloki karena itu biang yang akan diracik dengan berbagai macam variasi sehingga "keturunannya" banyak.

C4
Saya sendiri lebih menyukai kopi hitam yang tidak dimacem-macemin. Susahnya kalau sudah pergi keluar rata-rata kafe hanya menyajikan kopi yang sudah mengalami transformasi macam-macam. Bagi saya kopi hitam itu sederhana dalam rupa namun soal rasa ia orisinal. Begitulah penafsiran saya soal kopi hitam.

Baru-baru ini seorang rekan di gereja menghadiahi saya kopi Manggarai dari Flores. Saya senang bukan kepalang karena ini kopi rasanya jauh dari asam, tapi ia pahit dan teksturnya tebal di mulut. Tekstur tebal itu misalnya sirup, sedangkan tekstur tipis itu air, istilah ini seringkali dipakai untuk menggambarkan kopi yang sedang kita seruput. Dan seorang teman beberapa waktu lalu memberi saya kopi cap Kapal Tengker yang berasal dari Riau. Rupanya si kopi ini digiling kasar dan ketika diseduh warnanya cenderung coklat. Saya pernah mendengar kabar bahwa kalau kopi-kopi dari daerah Sumatera biasanya cenderung coklat warnanya, entah benar entah tidak. Alhasil butiran-butiran kasar itu tidak cepat "turun" ketika sudah dijerang air panas mendidih. Maka ritual-nya pun bertambah. Saya mesti menanti si kopi bercampur dengan air panas dan menunggu beberapa saat barulah ia saya saring, sehingga saya hanya mendapatkan air kopi tanpa ampas butiran kasar itu. Dengan ritual tambahan ini pun saya tidak mengeluh karena rasa kopinya mantap :)

Seorang teman pernah bercerita pada saya bahwa di suatu daerah (dia rupanya juga lupa nama daerahnya) ada "tradisi" unik soal kopi. Orang-orang di daerah tersebut justru menyeduh daun kopinya bukan kopinya. Saya mendengar cerita itu tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya daun kopi yang diseduh bak kita menyeduh daun teh. Konon katanya, hal ihwal tradisi minum daun kopi ini bermula ketika masa kolonialisasi di Indonesia. Para petani kopi tidak diijinkan menyeduh kopi dari biji kopinya, maka mereka pun mengambil daun kopinya dan menyeduhnya.

Di Indonesia ada Adi Taroepratjeka yang mendapatkan sertifikat Internasional untuk urusan kopi. Dia adalah salah satu dari 42 orang yang mendapatkan sertifikat tersebut, bolehlah kita bangga dengan orang yang benar-benar concern dengan dunia perkopian di Indonesia. Bagi saya ulasan dan aneka macam tulisan Adi T. di blog pribadinya sangat memperkaya wawasan soal kopi. Dengan wawasan yang dibagikan oleh Adi Taroepratjeka di blogsnya http://aditaroepratjeka.wordpress.com/ ini saya makin mencintai Indonesia yang menjadi surganya kopi enak :)

 

 

 

 

Wonosobo, juli 2012

Y. defrita R.

 

 

 

HOPE

Harapan. Apa yan ada di benak Anda ketika saya munculkan kata HARAPAN? Apakah seketika ju6a Anda membuka kotak yan6 selama ini menyimpan se6udan harapan-harapan Anda? Atau justru Anda merasa terte6un menden6arnya karena in6at akan harapan-harapan Anda yan kemban6 kempis? Oran6-oran6 di sekitar kita banyak yan bicara soal HARAPAN. Memotivasi kita untuk berani berharap. Seolah-olah harapan dan berharap itu sesuatu yan6 mudah adanya. Padahal tidak semua oran beran66apan bahwa berharap itu mudah. Men6apa?

Kita hidup di dunia yan6 sudah terlanjur dijejali den6an konsep bahwa hidup itu yan pasti-pasti aja deh, syukur kalau bisa cepat men6apa musti menun66u lama  apala6i belum pasti. Kita yan terbiasa hidup di jaman seperti ini tentu saja men6an66ap berharap seba6ai tindakan "palin6 akhir" yan6 palin6 mun6kin kita kerjakan. Dan biasanya disertai oleh perasaan tidak sabar, cemas dan seterusnya. Belum la6i kalau yang terjadi diluar dari harapan kita, kita cenderun6 "trauma" untuk berharap. Lihatlah bahwa berharap itu menjadi sesuatu yan tidak la6i mudah. Tidak la6i sederhana seperti perkataan kebanyakan oran6.

Hope1

Ba6i saya untuk berharap dibutuhkan keberanian. Kok keberanian? ya, untuk berharap saya dan Anda butuh  keberanian memeluk ketidakpastian justru ketika saya dan Anda hidup dalam dunia yan6 selalu menuntut kepastian. Berharap menuntut saya dan Anda untuk berani melan6kahkan kaki sekalipun tidak tahu besok bagaimana. Berharap menuntut saya dan Anda untuk berani MEN66ANTUN6KAN HIDUP kepada pemeliharaan San6 Sumber Kehidupan yang selalu punya banyak cara untuk menunjukkan belas kasih-Nya.Dan berharap mendoron6 saya dan Anda untuk terus menyusuri jalan kehidupan ini den6an se6ala macam ketidakmen6ertian kita akan nasib kita sendiri.

Hope2
Inilah yang menarik dari kehidupan kita, bahwa kita diberi kesempatan untuk berharap dan harapan itu masih ada kalau saya dan Anda tidak pernah lelah mengasah keberanian untuk terus berharap. Sepahit apapun kehidupan saya dan Anda, kita semua masih punya kesempatan untuk berani berharap. Seberat apapun beban kehidupan yang ada di pundak saya dan Anda saat ini, kita semua masih diberi kesempatan untuk menyusurinya dengan berani karena suluh harapan itu masih menyala.

Sadar atau tidak, sesulit apapun kita memahami makna berharap yang kontekstual dengan hidup kita saat ini, keberanian untuk menyusuri lorong-lorong ketidakpastian hidup dimungkinkan karena suluh harapan kita belum padam, jangan padam!

 

 

Hope3

 

 

Wonosobo, 15 Juli 2012

Y. Defrita R.

 

Sabtu, 14 Juli 2012

Menarik?

Kalau menyimak tuturan beberapa motivator dalam dan luar negeri selalu saya mendengar ajakan untuk "berani bermimpi, berani mewujudkan mimpi." Belum lagi pagi ini saya mendengar kicauan Paulo Coelho beberapa tahun silam terkait mimpi. Si empu sastra ini berkata bahwa hal yang menarik dari sebuah kehidupan manusia adalah kemungkinan mimpi kita menjadi kenyataan. Bagi saya ada benarnya, dan jelas benar karena tentulah yang namanya kesempatan untuk mewujudkan mimpi itu datang menghampiri setiap manusia dengan waktu dan cara yang berbeda. Namun benarkah hidup ini menarik hanya karena ada seonggok kemungkinan bahwa mimpi kita dapat menjadi nyata? apakah harus selalu begitu?

Bagi saya hidup tidak hanya sekedar menawarkan kemungkinan mimpi menjadi kenyataan, namun kemungkinan bahwa mimpi-mimpi kita tidak dapat menjadi kenyataan. Dalam kondisi semacam itu agaknya kurang normal kalau sesorang berkata bahwa hidup ini menarik lantaran mimpinya tidak kesampaian. Tapi barangkali di belakang hari, orang-orang yang tengah berada di situasi kehilangan kesempatan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan dapat menyelami hal-hal menarik dari skenario hidup semacam itu. Dengan terbangnya kemungkinan kita mewujudkan mimpi, kita akan diajak menjelajahi berbagai macam situasi, rasa, pikiran dan pengalaman bahkan relasi yang mungkin saja tidak akan kita cecap kalau kita meraih kemungkinan mewujudkan mimpi kita.

Dari perenungan sederhana inilah saya menyadari bahwa entah kita memperoleh kemungkinan untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan atau tidak pada dasarnya hidup itu sudah menarik begini adanya. Maka tugas kita adalah menajamkan hati untuk melihat dan merasakan hal-hal menarik yang dipersembahkan oleh kehidupa setiap saat.

 

selamat menikmati akhir pekan :)

Wonosobo, juli 2012

Y. defrita R.

Jumat, 13 Juli 2012

catatan kecil

Candi

Kemarin saya menemani seorang kerabat dari Belanda yang ingin mengunjungi Candi Borobudur. Memang bagi kami ini bukan kunjungan yang pertama. Namun yang menjadikan ini "pertama" adalah kami mengunjunginya ketika senja tiba dan nuansanya memang berbeda. Berbeda bukan dalam artian bangunan candinya berubah, tetapi komposisi warna hitam batu candi, punggung Menoreh yang berwarna hijau gelap dan langit senja yang bernuansa keemasan. Pemandangan yang sangat indah bahkan untuk sekedar direkam dalam kamera pun saya kira tetap lebih indah ketika ia saya rekam di otak saya.

Di sela-sela kekaguman saya berdiri di atas susunan batu yang luar biasa rumit dan eksotis itu saya berandai-andai dalam tanya yang tentu tak terjawab. Saya bertanya-tanya, "apa gerangan yang sedang dipikirkan oleh para wisatawan dalam dan luar negeri yang sedang menginjakkan telapak kakinya di bangunan megah ini?" Apakah sekedar foto-foto lalu disebar di dunia maya sehingga banyak teman "berkerumun dan berkicau" di sana? Apakah sekedar tidak dianggap "kamseupay" oleh orang lain? entahlah barangkali ada banyak macam hal yang mereka niatkan ketika kaki menginjak Borobudur yang megah.

Kalau diperhatikan dengan lebih jeli, kita akan menemukan perbedaan orang yang benar-benar ingin datang ke sana karena ingin pulang membawa sesuatu atau hanya sekadar ingin "uptodate" biar tidak dianggap kuper. Bahkan yang paling menggelikan saya adalah seorang wanita yang menurut ukuran mode masa kini tentulah ia masuk kategori cantik dan bergaya. Dia mendatangi 3 orang remaja dari Perancis kalau menilik logat mereka berbicara. Dengan bahasa tarzan si wanita mengajak 3 remaja ala justin beiber ini untuk berfoto bersamanya. Kerabat saya dari belanda bertanya apakah mereka itu artis? saya bilang mereka bertiga bukan artis. mereka sama seperti wisatawan internasional lainnya. Dan itu menggelikan bagi saya karena setelah wanita itu ada seorang bapak dan putrinya meminta tiga remaja lelaki asal Perancis ini berfoto dengannya. Alamak....barangkali sosok tiga remaja ala justin asal Perancis ini jauh lebih menarik ketimbang stupa kaku yang diam di sana. Sontak saja ini menjadi dagelan bagi kami semua...oh, lucunya orang Indonesia ini ya, sekalipun saya juga aseli Indonesia tapi "nggak segitunya juga kaleeeee..." hahahahhaha.

Hanya beberapa orang yang saya amati benar-benar menganggumi keindahan ceruk dan lekuk Borobudur. Dengan jasa seorang pengantar yang bercerita panjang lebar tentang Borobudur mereka mendengarkan dengan khusyuk. Ini yang namanya "menghargai" :)

Saya sendiri punya impian yang sederhana dengan Candi Borobudur. Saya ingin datang ke sana ketika sepi pengunjung dan saya benar-benar ingin memahami setiap relief yang menjadi dokumentasi kala itu dan tidak hanya mempelajarinya saya ingin memahami falsafah di balik setiap lekuk bangunannya karena saya terlanjur jatuh cinta pada Candi Borobudur (dan semua candi yang pernah saya datangi ^_^ )

Kunjungan kali ini saya sempat menjelaskan kepada ketiga keponakan saya yang ikut saat itu tentang "kuncian" yang membuat Borobudur dibangun tanpa semen.

Kuncian
Bagi orang lain ini mungkin bukan hal baru tapi bagi mereka yang masih kelas 3 SD, 4 SD, dan 6 SD adalah sesuatu yang baru. Dan saya selalu senang berbagi informasi dengan mereka yang saban hari dijejali games pc. Mereka takjub menyaksikan cerukan yang menjadi kuncian saat itu dan pada akhirnya mereka membanggakan setiap orang yang sudah berjerih lelah membangun Candi Borobudur. Sedikit informasi sudah mampu membuat mereka  MENCINTAI DAN MENGHARGAI KARYA BANGSA SENDIRI. Maka bayangkan kalau dalam setiap liburan mereka diajak mengunjungi tempat-tempat yang tidak hanya indah namun ada sejarah dan kisah dibaliknya? saya yakin mereka akan tumbuh menjadi anak yang bangga menjadi orang Indonesia sekalipun citra negatif tentang orang Indonesia sudah kondang setidaknya mereka mampu mencintai bangsa ini secara proposional.

Maka kunjungan saya kali ini ke Candi Borobudur menjadi kunjungan yang berkesan karena kesempatan menyaksikan senja dari pucuk Borobodur dan berbagi bersama dengan "3 teman kecil" saya informasi yang menggugah kecintaan mereka akan Indonesia!

 

 

Wonosobo, juli 2012

Y. defrita R.