Rabu, 30 Maret 2011

“Bangkit Dalam Pengharapan” Matius 28:1-10 oleh Y.Defrita Rufikasari

Tradisi Paskah bukan sekedar perayaan teologis namun juga politis

Salah satu tradisi iman dalam Kekristenan adalah Tradisi Paskah. Walaupun sebenarnya tradisi ini bukan khas tradisi Kekristenan. Sebab jemaat mula-mula mengambil tradisi ini dari tradisi Yahudi. Dalam agama Yahudi, tradisi ini merupakan perayaan keagamaan yang memiliki makna penting berhubungan dengan sejarah bangsa Israel sebagaimana dicatat dalam tradisi Kitab Suci Perjanjian Lama. Para ahli Kitab Suci Perjanjian Lama, Ch. Barth dalam bukunya Teologia Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa tradisi Paskah merupakan tradisi iman Israel yang paling kuna yang berkaitan langsung dengan identitas mereka sebagai umat Allah baik secara teologis maupun politis melalui peristiwa keluaran dari tanah perbudakan yaitu Mesir. Mengapa tradisi Paskah bukan sekedar perayaan teologis namun juga politis? Menurut catatan sejarah Eusibius dari Kaisarea, umat Israel ditindas Firaun Ramses II selama 430 tahun. Oleh sebab itu jelaslah sudah bahwa peristiwa Paskah bukan sekedar berita yang bernada rohani saja tetapi ini adalah sebuah perayaan politik bahwa dibalik kemustahilan yang amat panjang dalam perjalanan sebuah bangsa, masih ada secercah harapan. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi Paskah berdampingan erat dengan berita politik seperti yang terjadi lima ratus tahun kemudian (490 sM) dimana imam Ezra menyerukan kembali perayaan Paskah sebagai ungkapan syukur karena bebasnya mereka dari pembuangan Babilonia selama 50 tahun.

Sikap politis Yesus sebelum dan sampai kebangkitanNya

Peristiwa Paskah di dalam Perjanjian Lama bukan hanya bermakna teologis namun juga politis. Lantas bagaimana dengan jaman Yesus? Jaman Yesus merupakan jaman yang secara politik carut marut dan sulit. Lagi-lagi Palestina berada dalam penjajahan. Saat itu Romawi menjajah Palestina dan memberikan status “imperial provinces” yang artinya propinsi yang dianggap pembangkang dan mudah memberontak kepada Kaisar Romawi. Jaman Yesus juga menjadi jaman multipartai politik, tidak beda dengan kondisi kita saat ini. Terlepas dari motivasi keagamaan yang kuat yang mendorong partai-partai ini, sebenarnya mereka masing-masing memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari penjajahan Romawi dengan caranya sendiri-sendiri. Sayap politik nasionalis dimotori oleh Kaum Zelot yang berupaya membebaskan kaum Yahudi dari penjajah dengan kekuatan militer. Kelompok lain yang sangat berpengaruh adalah Kelompok Farisi. Awalnya kelompok ini merupakan kelompok sosial-keagamaan, namun seiring perkembangan waktu dan perkembangan dalam kelompok ini, maka Kelompok Farisi ini berubah wujud menjadi kelompok politik bernafaskan agama.

Disamping dua kelompok di atas yang dapat dianggap sebagai kelompok oposisi terhadap pemerintah dan penjajah Romawi, saat itu ada dua kelompok yang pro-pemerintah dan penjajah Romawi. Yang pertama adalah Kelompok Herodian, memang kelompok ini jarang disebutkan dalam Alkitab (Mat. 22:16 dan Mark. 3:6, 12:13). Namun dalam kenyataannya kelompok ini adalah kelompok yang kuat karena menjadi penyokong utama dinasti Herodes. Kelompok lainnya adalah Kelompok Saduki. Kelompok ini adalah penguasa Bait Allah. Kelompok ini sangat liberal dalam pengajaran dan sangat kompromistis dalam praktik hidup sesehari. Di tengah situasi politik yang carut marut itu, Yesus hadir dengan sikap politiknya. Dia tidak tergiur untuk menjadi relevan, populer dan merengkuh kekuasaan dan pengaruh dengan mengikuti salah satu kelompok, namun Dia setia melakukan kehendak Bapa-Nya yaitu memberikan perhatian pada mereka yang tersisih, tertolak dan terpinggirkan di masyarakat. Walaupun pada akhirnya Dia menjadi tumbal dari kompromi politik tingkat tinggi antara Pilatus, Herodes, dan para pemimpin parpol agama Yahudi. Dengan membunuh Yesus Sang Mesias-utusan Allah, mereka yang hidupnya korup dan manipulatif menganggap bahwa kehidupan politik mereka tidak akan diinterupsi lagi. Dengan kematian Yesus, masyarakat yang percaya pada-Nya saat itu dan para murid akan berpikir bahwa berakhirlah perjuangan melawan kegelapan, kelaliman, dan ketidakadilan. Sosok yang selama ini menjadi tumpuan harapan akan Israel yang lebih baik sudah dibunuh… Pahlawan mereka sudah tiada!! Yesus yang sepanjang hidupnya memberikan perhatian pada mereka yang tersingkir dan tak dianggap, sudah tiada!

Pupuskah harapan mereka? Peristiwa Paskah diawali oleh Injil Matius dengan suatu kesaksian, “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria lainnya , menengok kubur itu” (Matius 28:1). Apa yang para perempuan itu pikirkan ketika mengunjungi kuburan Yesus? Apakah mereka memiliki harapan bahwa Yesus akan bangkit dan bersama-sama dengan mereka? Tentunya jelas terlihat bahwa mereka tidak memiliki bayangan bahwa Yesus akan bangkit, mereka datang dengan hati pilu hanya ingin mengurapi jenazah Yesus dengan rempah-rempah dan minyak pengharum sebagai tanda kasih dan penghormatan mereka pada Yesus. Mereka juga tidak memiliki harapan bahwa Yesus akan bangkit. Ketika kita menghadiri sebuah upacara pemakaman atau sekedar mengunjungi makam saudara, kita akan menatap batu nisannya dan menyadari bahwa kehidupannya sudah berakhir. Yang kita lakukan biasanya adalah mengenang (flash back) kepada kehidupan masa lalu mereka yang sudah tiada. Mereka sudah tiada dan tidak dapat hadir secara fisik menemani kita. Demikian pula sikap para perempuan tatkala mengunjungi kubur Yesus. Mereka merasa sedih, berduka dan sangat kehilangan dengan kematian Yesus. Apa yang tersisa? Apa lagi yang dapat diharapkan? Semua sudah berakhir!! Sungguh mengejutkan, peristiwa Paskah justru diawali dengan tiadanya harapan, walaupun sebelumnya mereka mendengar sendiri dari Yesus bahwa Dia akan bangkit pada hari yang ketiga.

Namun simaklah kisah selanjutnya. Harapan mereka yang sudah pupus itu kini bangkit. Sebab Allah mengutus seorang Malaikat-Nya untuk memberitakan kabar kebangkitan Yesus, “Janganlah kamu takut sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada disini, sebab Ia telah bangkit sama seperti yang telah dikatakanNya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring”(Matius 28:5-6). Harapan para perempuan yang tadinya hanya ingin mengurapi jenazah Yesus dengan rempah-rempah dan minyak wangi berubah menjadi harapan yang baru dan penuh sukacita. Di depan kubur Yesus itulah harapan para perempuan berubah drastis, Pahlawan mereka sudah bangkit!! Lihatlah reaksi para perempuan itu, awalnya mereka datang dengan hati dirundung pilu sekarang “mereka segera pergi dari kubur itu dengan takut dan sukacita yang besar berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya pada murid-murid Yesus “ (Matius 28:8). Peristiwa Paskah bermakna transformasi pengalaman iman yang mengubah kesedihan menjadi sukacita dan mampu mengubah kehidupan yang penuh keputusasaan menjadi penuh pengharapan.

Perkataan pertama dari Yesus yang bangkit adalah, “Salam bagimu” (Matius 28: 9). Ucapan salam dari Tuhan Yesus tentunya memiliki makna yang dalam. Sebab Tuhan Yesus telah bangkit dan menyatakan realita “syaloom” dari Allah yaitu realita Damai Sejahtera. Tuhan Yesus datang menjumpai para murid dalam keadaan damai sehingga mereka dibebaskan dari rasa takut. Yesus melanjutkan perkataanNya, “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu supaya mereka pergi ke Galilea dan disanalah mereka akan melihat Aku” (Matius 28:10). Yang sangat menarik adalah Yesus menyuruh mereka berjumpa lagi dengannya di Galilea. Mengapa di Galilea? Pada jaman itu orang Israel pada umumnya tahu bahwa Galilea adalah daerah yang dianggap terbelakang, udik dan kebanyakan tidak berpendidikan serta lemah secara ekonomi. Pada awal pelayananNya Tuhan Yesus memulainya dari Galilea, dan ketika bangkit Dia berada kembali di Galilea. Ini berarti Tuhan Yesus yang pernah hidup, wafat dan kemudian bangkit dari antara orang mati pada hakikatnya menjadi juruselamat bagi setiap orang yang lemah dan terbuang! Jadi, Yesus yang bangkit secara nyata memposisikan diriNya sebagai seorang pembela dan juruselamat bagi mereka yang tertolak dan terpinggirkan di dunia ini. Yesus konsisten dengan misiNya.

Berita Paskah adalah berita pengharapan

Peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus adalah titik permulaan Kerajaan Allah yang eskatologis atau suatu titik permulaan hidup baru dalam realisme hidup kekinian. Oleh sebab itu kebangkitan Yesus Kristus sangatlah menentukan orientasi sikap etis-kekristenan perdana dalam kehidupan sehari-hari yaitu mereka selalu kritis terhadap kekuasaan hegemonis Kekaisaran Romawi ( ten Napel hlm. 65-67). Uraian di atas memperlihatkan pada Anda dan saya bahwa peristiwa kebangkitan Yesus Kristus bukan hanya bersifat teologis namun juga politis. Peristiwa kebangkitan Yesus Kristus adalah wujud sikap politis Allah dalam sejarah umat manusia. Melalui kebangkitan Yesus Kristus itulah Allah menerobos belenggu-belenggu perbudakan dan kematian sosial seperti nyata dalam sistem dan struktur ekonomi, politik, budaya dan agama yang diskriminatif dan meng-dehumanisasikan manusia! Dalam proses dehumanisasi itulah manusia kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia gambar Allah. Manusia sebagai imago Dei tidak dapat diperlakukan hanya sebagai alat untuk kepentingan ekonomi, politik, budaya dan agama. Allah yang menciptakan manusia tidak membiarkan manusia mengalami dehumanisasi. Oleh sebab itu Allah berinisiatif untuk menerobos masuk ke dalam sejarah manusia yang dikendalikan oleh kuasa-kuasa dehumanisasi seperti misalnya sistem ekonomi dan politik yang diskriminatif dan eksploitatif. Sistem ekonomi dan politik yang hanya memperdaya manusia yang dibongkar oleh Allah sejak jaman Perjanjian Lama sampai pada peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus. Melalui kebangkitan Tuhan Yesus itulah Allah membongkar kedok kekuasaan politik, ekonomi dan budaya serta agama yang hanya memperdaya manusia dan membuka perspektif baru untuk menghayati bahwa kekuasaan politik, ekonomi, budaya dan agama dapat menjadi sumber kekuatan pemberdayaan rakyat!

Penutup

Disini dapat kita saksikan bahwa berita Paskah menjadi berita yang membangkitkan kesadaran kritis, harga diri dan harapan mereka yang miskin dan dimarginalisasi oleh kekuatan politik, ekonomi, budaya dan agama yang bersifat menindas dan eksploitatif. Berita Paskah adalah berita yang memberdayakan dengan jalan menumbuhkan kesadaran kritis untuk menyadari sistem ekonomi dan politik yang menindas dan eksploitatif yang menyembunyikan diri dalam bentuk kesalehan iman ritualistik dan kesopanan kultural formalistik dan bantuan-bantuan karitatif seperti pembagian beras murah, BLT, dan subsidi BBM! Oleh sebab itu berita Paskah yang tidak hanya bersifat teologis namun juga politis ini dapat menjadi inspirasi pemberdayaan bagi rakyat miskin dan mereka yang termarginalkan seperti waria, anak-anak jalanan, remaja jalanan, keluarga terlantar, dan masih banyak lagi. Namun sayang sekali jika masih banyak umat Kristen yang terperangkap teologi vertikalistik pietisme yang hanya mengartikulasikan berita paskah dalam ranah rohani saja daripada kesalehan iman-transformatif yang memberdayakan mereka yang tersisihkan dan tertindas dalam struktur masyarakat kita. Nampaknya Anda dan saya harus rela mempertanyakan ulang akan makna dan signifikansi dari peringatan dan penghayatan Paskah selama ini di dalam lingkungan gereja. Apakah berita kebangkitan Yesus sudah membawa Anda dan saya untuk menyatakan keberpihakan gereja dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan eksploitasi alam semesta yang diciptakan oleh struktur ekonomi, politk, budaya dan agama yang diskriminatif dan eksploitatif? Berita Kebangkitan Yesus bukan hanya berita rohani namun berita politik yang memberitakan pembebasan bagi mereka yang tertindas dan terjajah sekaligus menantang semua bentuk penjajahan. Dan pada akhirnya, berita Kebangkitan Yesus adalah berita kontroversial yang menantang Anda dan saya…setiap orang percaya kepadaNya untuk berani bertindak dan mengambil sikap. Berita Kebangkitan Yesus adalah berita yang menggemakan bahwa ada pengharapan akan pembebasan tuntas dari Allah untuk dunia ini. Dan seharusnyalah berita Kebangkitan Yesus ini memberi sukacita dan asa bagi Anda dan saya untuk giat bekerja bagi Allah, tanpa takut dan tidak hanya bersembunyi di balik tembok Gereja namun juga berkarya di sektor kehidupan masyarakat. Tempat-tempat gelap di dunia ini yang tidak berpengharapan memerlukan kehadiran Kristus yang bangkit dan membutuhkan saksi-saksi kebangkitanNya yaitu Anda dan saya. Amin.


Note:

kotbah ini sudah pernah saya sampaikan pada pembinaan homilitika dibawah asuhan Pdt. Em. Liem Ie Tjiauw. Walaupun Paskah masih jauh, kiranya kotbah ini bisa menjadi teman merenung dalam menghayati Kematian dan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.



Just Do it !!!!!

Saya kelaparan,

Dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.

Saya terpenjara,

Dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagi kebebasan saya.

Saya telanjang,

Dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.

Saya sakit,

Dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.

Saya tak mempunyai tempat berteduh,

Dan Anda berkotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spritual.

Saya kesepian,

Dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.

Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.

Tetapi saya tetap amat lapar, dan kesepian dan kedinginan.

Dibuat oleh seorang perempuan yang meminta bantuan seorang pendeta, namun tak kunjung memperoleh bantuan.

Kisah ini saya temukan dalam tumpukan artikel yang tak berjudul dan tak berhalaman, entah barangkali dia terselip disana atau bagaimana tiba-tiba ada di antara tumpukan artikel makalah saya. Walaupun cuma sekedar "nyelip" tapi kata-katanya "Jleeeeppppp" dalam dan menusuk. Betapa tidak, apa yang dikatakan di dalam bait itu memang fakta kok. Kalau mau jujur buka-bukaan mengoreksi diri, yuk coba lihat seberapa sering kita terlibat dalam obrolan atau diskusi atau bahkan rapat yang membahas soal ORANG MISKIN yang KELAPARAN?ORANG YANG TELANJANG? ORANG YANG DIPENJARA?ORANG YANG SAKIT?DAN ORANG YANG KESEPIAN? kalau mau jujur ya jawabannya: SUERRRRIIIINGGGG BUUUAAANNNGGGEEETTTT!!!! Sering sekali kita bicara tentang mereka dan seolah-olah atas nama mereka. Tapi betulkah hati kita juga bicara soal mereka? Atau kita memang lebih suka terlibat dalam diskusi-diskusi kemanusiaan agar terlihat dermawan nan rupawan bin filantropis dan penuh empati?? hati kita masing-masing yang dapat menjawabnya.... Bicara saja, Diskusi saja, Rapat saja tidak cukup. Perlu ada perubahan paradigma...perubahan hati. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 9:1-3.

Tuhan Yesus melihat orang buta ini. Orang buta ini tidak menarik perhatian Tuhan Yesus dengan teriak-teriak atau melakukan gerakan-gerakan yang mencuri perhatian Tuhan Yesus. Orang buta ini duduk diam saja. Namun Tuhan Yesus dan para murid menghampirinya. Para murid mengajukan pertanyaan filosofis teologis mengenai asal-asul penyebab orang ini buta. Pertanyaan para murid tidak salah, karena pandangan masyarakat waktu itu adalah ada kaitan antara dosa dan penderitaan manusia, karena semua penderitaan manusia itu disebabkan oleh kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3:16).Dan selain itu sakit penyakit yang diderita seseorang dianggap sebagai hasil dari dosa individual (Im. 26:16, Ul. 28:22, I Kor. 11:30, Yak. 5:15). Selain dosa individual yang barangkali dilakukan seseorang, dosa orangtuanya juga bisa dianggap sebagai penyebab penderitaan atau penyakit anaknya (Kel. 20:5).

Tuhan Yesus merespon pertanyaan filosofis teologis dari para muridnya dengan statemen di ayat 3. Pernyataan ini hendak mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan bahwa orang buta dan kedua orang tuanya itu tidak berdosa. Tetapi Tuhan Yesus hendak mengajak para muridnya untuk mengubah perspektif mereka tentang penderitaan yang dialami oleh manusia. Penderitaan yang dialami oleh manusia dimaksudkan Allah agar pekerjaan Allah dinyatakan atas manusia. Selain itu Tuhan Yesus juga mengajarkan kepada para muridnya untuk tidak hanya sibuk dengan diskusi atau pertanyaan-pertanyaan yang filosofis teologis saja ketika berhadapan dengan penderitaan manusia tetapi juga diarahkan pada sikap filantropis.

Bicara soal penderitaan yang dialami orang lain boleh...

diskusi soal kemanusiaan juga boleh...

rapat membahas segala macam strategi untuk mengurangi penderitaan mereka juga boleh...

tapi sebelumnya, mari koreksi dan benahi persepktif hati kita supaya kita benar-benar dapat menjadi SESAMA MANUSIA YANG MEMANUSIAKAN ORANG LAIN!



Yohana Defrita Rufikasari

Surabaya, 30 Maret 2011


“Tetap Percaya Walau Tidak Melihat” Yohanes 20:19-31

Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Kanada. Pada tanggal 2 Juli 1977 kapal itu tenggelam di Samudera Pasifik. Hanya satu sekoci yang berhasil diturunkan dan membawa penumpang seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang-utan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg dan seorang anak lelaki India berusia 16 tahun bernama Piscine Molitor Patel atau Pi Patel. Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang ambing di Samudera Pasifik yang biru dan ganas. Pada tanggal 19 Februari 1978, Pi Patel dirawat di Rumah Sakit Benito Juarez di Tomatlan, Mexico. Ketika dia dirawat di sana, dia didatangi oleh Mr. Okamoto dan Mr. Chiba dari Departemen Maritim Kementrian Transportasi Jepang yang diberitahu bahwa ada seorang korban yang selamat dari kapal Jepang Tsimtsum yang tenggelam tanpa jejak. Mereka berdua mulai mewawancari Pi Patel, namun di tengah-tengah wawancara itu mereka berdua sangat meragukan cerita Pi Patel yang bertahan hidup lebih dari 7 bulan di Samudera Pasifik. Pi Patel dapat merasakn ketidakpercayaan mereka, dia mengatakan:”Cinta sulit dipercaya, tanyakan pada siapa saja yang sedang jatuh cinta. Kehidupan ini juga sulit dipercaya, tanyakan pada ilmuwan manapun. Tuhan juga sulit dipercaya, tanyakan pada siapapun yang mempercayainya. Kenapa Anda tidak bisa menerima hal-hal yang sulit dipercaya?” Mr.Chiba berkata, “Kami cuma mencoba menggunakan akal sehat.” Jawaban telak diperoleh mereka dari Pi Patel, “Saya juga demikian. Saya menggunakan akal sehat dalam setiap kesempatan. Akal sehat sangat bermanfaat. Akal sehat adalah perangkat terbaik kita.Tetapi kalau menggunakan akal sehat secara berlebihan maka bisa-bisa keajaiban Alam semesta ini ikut terbuang bersama air mandi Anda”. Dengan kata lain Pi Patel mau bilang bahwa di dunia ini ada hal-hal yang menuntut kita untuk percaya begitu saja tanpa pembuktian.

Ilmu pengetahuan mengutamakan pembuktian-pembuktian agar suatu dalil dinyatakan benar. Ilmu pengetahuan mengutamakan kemampuan nalar yang logis realistis. Ilmu pengetahuan mengutamakan rangkaian yang sistematis dan dapat dibuktikan keabsahannya. Pendeknya, ilmu pengetahuan menuntut manusia untuk menggali sekaligus membuktikan segala macam peristiwa yang terjadi di dunia. Sementara agama mendasarkan kebenarannya pada keyakinan atau kepercayaan tanpa membutuhkan atau menuntut adanya pembuktian akan segala hal yang terjadi. Keyakinan akan adanya Tuhan, sorga dan neraka juga didasarkan pada kepercayaan bukan didasarkan pada penjelasan ilmiah. Orang-orang yang mendasarkan diri pada penjelasan dan pembuktian ilmiah tak akan menerima kebenaran yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan. Teilhard de Chardin (seorang ahli geologi, paleontologi, dan Imam Yesuit) menangkap ketegangan dan jurang antara agama dan ilmu pengetahuan. Yang satu berpijak pada keyakinan dan yang lain berpijak pada pembuktian ilmiah.

Sama halnya dengan peristiwa kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkitan Tuhan Yesus adalah dasar iman setiap orang Kristen. Dan bagi ilmu pengetahuan kebangkitan orang mati adalah suatu peristiwa yang tidak ilmiah. Peristiwa tersebut tak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah. Walaupun ilmu pengetahuan berhasil menemukan jenis kematian yang lain yaitu “mati suri”. Dan memang kita sering atau setidaknya pernah mendengar tentang orang-orang yang mengalami mati suri namun hidup kembali seperti sedia kala. Tetapi tidak ada penjelasan ilmiah atau metode tertentu yang sanggup membuka tabir peristiwa orang mati yang bangkit lagi! Dari sini kita dapat melihat ada jurang yang cukup jauh antara iman dan ilmu pengetahuan.

Upaya ilmiah untuk membuktikan kebangkitan Tuhan Yesus telah dilakukan orang tanpa banyak hasil. Penulis Injil Matius, Markus, Lukas, Paulus juga berupaya untuk memberi dasar ilmiah tentang kebangkitan Tuhan Yesus (Mat. 27:53; Kis. 13:31; 1 Kor. 15:6). Pada waktu itu upaya mereka membuahkan hasil bahkan ketika mereka memberikan kesaksian akan kebangkitan Tuhan Yesus pada orang-orang yang menuntut bukti atau penjelasan. Mereka masih memiliki saksi-saksi hidup yang mampu memberikan kesaksian nyata akan kebangkitan Tuhan Yesus dan sekarang orang-orang yang menjadi saksi hidup itu sudah tiada.

Seperti halnya penulis Injil yang lain maka Yohanes juga berbicara tentang peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus. Agaknya Yohanes juga berupaya meyakinkan orang-orang tentang kebangkitan Kristus. Yohanes mau mengatakan bahwa wajar saja jika ada banyak orang yang tidak dapat percaya pada kisah tentang kebangkitan orang mati. Orang-orang itu nampaknya diwakili oleh sosok Tomas, salah seorang murid Yesus. Tomas dikisahkan tidak mempercayai bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit jika dia tidak melihatnya secara langsung dan mencucukkan jari tangannya pada lubang di tangan Tuhan Yesus. Yohanes menampakkan betapa Tuhan Yesus memahami Tomas. Tuhan Yesus tidak mempersalahkan Tomas akan pola pikirnya tersebut. Tuhan Yesus hanya diceritakan mempersilahkan Tomas untuk mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan Tuhan Yesus. Yohanes tidak menceritakan lebih lanjut apakah Tomas benar-benar mencucukkan jarinya pada lubang di tangan Tuhan Yesus atau tidak. Namun Yohanes menceritakan bahwa Tomas percaya (pisteuo = to have faith is to think in the heart). Kesimpulan tentang kebenarang peristiwa kebangkitan itu ditempatkan Yohanes pada pihak Tuhan Yesus ketika Ia mengatakan ,”Karena engkau telah melihat Aku engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” Melalui pernyataan ini kita sampai pada pertanyaan pokok, Apakah iman itu?

Apakah kita beriman ketika sesuatu itu dapat dibuktikan?dapat dijelaskan secara ilmiah…dapat diterima dengan pikiran logis realistis. Apakah iman itu? Bukankah tiap minggu kita mengakui iman percaya kita…bukan sekedar mengucapkan saja tentunya namun ketika kita mempercayainya, maka itulah pengakuan iman kita. Menurut Stanley Jones, Iman itu the adventure of the spirit. Iman adalah suatu petualangan roh. Iman adalah respon yang berasal dari relung hati kita yang terdalam akan sesuatu yang kita yakini sebagai yang paling berharga dan yang paling menentukan dalam hidup ini yaitu Tuhan. Iman adalah sebuah petualangan. Karena ia adalah sebuah petualangan maka dibutuhkan keberanian untuk memasuki pengalaman itu. Dan Tomas berani untuk memulai pengalaman itu. Iman tidak dimulai dari pengetahuan tetapi dimulai dari keberanian untuk percaya dan memulai perjalanan…lalu bertumbuh sepanjang perjalanan.

Jangan menanti mengerti atau memahami semuanya baru percaya…jangan tunggu sampai mengerti seluk beluk tentang Tuhan Yesus baru percaya…baru ikut Tuhan Yesus. Saya tidak tahu banyak soal bagaimana bekerjanya organ-organ pencernaan di tubuh saya, bagaimana makanan bisa diserap oleh seluruh komponen yang ada di dalam tubuh saya dan diubah menjadi energi. Tetapi saya tidak mau menahan lapar hanya karena saya belum tahu bagaimana makanan itu nantinya dicerna. Begitu juga dengan iman dimulai dari percaya dan pengertian akan tumbuh seiring dalam perjalanan.

“… berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.”… Melalui pernyataan ini Yohanes mengundang kita untuk berani percaya dan menerima Tuhan Yesus serta kebangkitan-Nya. Walaupun kebangkitan itu tak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah manapun namun kita dapat melihat pengaruhnya pada murid-murid Tuhan Yesus, jemaat mula-mula, gereja dalam segala jaman…dan kini di sini! Kebangkitan Kristus telah mempengaruhi kehidupan mereka dan kita yang percaya walaupun tak melihat secara langsung.

Pernyataan tersebut juga mengundang kita untuk bertanya pada diri kita masing-masing, apakah ada dampak kebangkitan Kristus bagi hidup kita? Adakah kita mengalami kehadiran Kristus yang bangkit itu? Sehingga kita mampu memasrahkan…menyerahkan secara penuh hidup kita pada Dia yang bangkit.. Sehingga Anda dan saya berani menghadapi setiap permasalahan dan tantangan hidup. Ketika tubuh kita didera sakit selama puluhan tahun…adakah kita masih bisa percaya bahwa selama puluhan tahun pula Kristus menemani kita yang sakit? Ketika sudah berbulan-bulan menanti pekerjaan…adakah kita mau tetap mempercayakan hidup kita pada Allah? bukankah memang banyak orang yang baru mau percaya ketika sakitnya sembuh…mau percaya ketika sudah dapat pekerjaan…mau percaya ketika sudah kaya raya…mau percaya ketika sudah dipenuhi segala keinginan hatinya..dan itu berarti masih banyak orang yang mau percaya ketika sudah ada bukti di depan mata! Jika demikian, maka iman kita hanya dinilai dari apa yang terlihat…bukti-bukti... itu artinya jika segala yang kita pinta tak terwujud…maka iman kita pun raib! Iman diawali dengan percaya dulu baru mengerti…dan mengalami. Iman tidak tergantung pada terwujud atau tidaknya doa dan pinta kita…tetapi iman menuntut kita untuk percaya akan Penyelenggaraan Allah (Providentia Dei) di dalam setiap tarikan nafas kita…Mengerti atau memahami bahwa Allah hadir bagi kita…dan mengalami kehadiran-Nya! Ketika Anda dan saya percaya akan Kristus…maka seyogianya kita juga mengalami kehadiran-Nya secara nyata dalam hidup kita…bukan hanya sekedar tahu dan menuntut bukti.

Mari kita belajar untuk percaya…dan mempercayakan hidup ini hanya pada Allah saja sehingga kita pun mampu mengalami kehadiran-Nya dalam hidup kita! Amin.



Yohana Defrita Rufikasari

Surabaya, 25 Maret 2011