Sabtu, 02 Juni 2012

Mengalir ke Dua Arah

 In the last day, that great day of the feast, Jesus stood and cried, saying, If any man thirst, let him come unto me, and drink.He that believeth on me, as the scripture hath said, out of his belly shall flow rivers of living water.(KJV, John 7:37-38)

Iseng-iseng saya mencari nama-nama sungai di dunia yang unik (memang sungguh kurang pekerjaan). Tapi dari aktivitas iseng-iseng itulah saya berkenalan dengan sungai yang bernama Sungai Hudson. Sungai Hudson adalah sebuah sungai sepanjang 315-mil (507 km) yang mengalir dari utara ke selatan melintasi wilayah timur New York. Sungai ini berawal di Lake Tear of the Clouds, di kaki Mount Marcy di Pegunungan Adirondack, mengalir melintasi Albany, dan membentuk perbatasan antara New York City dan New Jersey di mulutnya sebelum berakhir di Teluk New York Hulu. Setengah bagian hilirnya berupa muara pasang[1] yang menempati Hudson Fjord yang terbentuk selama glasiasi terakhir Amerika Utara selama bagian akhir Tahap Wiconsin pada Zaman Maksimum Glasial Akhir (26.000 - 13.300 tahun yang lalu).[2] Air pasang memengaruhi aliran Hudson sampai sejauh kota Troy di utara (demikianlah penjelasan mbah wikipedia).

Sungai ini punya nama lain yaitu "Muh-he-kun-ne-tuk" yang berarti "sungai yang mengalir ke dua arah". Inilah keunikannya. Pada saat gelombang dari Samudera Atlantik mengalir ke aliran air ini, sungai mengalir ke utara, dan ketika pasang surut, sungai ini mengalir ke selatan. Unik kan? hehehehe...

Saat membaca ini saya teringat sebuah ungkapan bijak yang sudah saya pampang di atas tulisan ini yang berbunyi, Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:37-38).

Ternyata, apa yang mengalir ke dalam kehidupan kita yang berasal dari Allah mempunyai tujuan agar mengalir keluar dari kita. Di dalam hati, kita memiliki sebuah sungai yang mengalir ke dua arah: Kasih Allah mengalir ke dalam hidup kita, dan kasih Allah itu pula yang harus memancar keluar dari hidup kita.

Hidup Allah menghidup diri kita dan semestinya menghidupi orang lain. Kekuatan dari Allah menguatkan kehidupan kita, dan kekuatan itu juga harus menguatkan orang lain.

Saya teringat kisah seorang lelaki tua yang mendirikan sebuah panti rehabilitasi narkoba di daerah Lembang. Dalam kesaksiannya yang menggebu-gebu, ia mengutip Yohanes 7:37-38. Ia mengisahkan bahwa dulunya dia adalah orang yang mapan, bekerja, sukses, punya istri dan anak dan terjebak dalam lingkaran setan narkoba selama bertahun-tahun hingga tidak ada sanak saudara mau mengakui dia apalagi mencari keberadaannya. Beruntung dia bertemu seorang penginjil yang menolong dia untuk perlahan-lahan memperbaiki hidupnya yang sudah remuk. Dan ia bisa. Sampai akhirnya ia bertekad kuat menolong orang lain yang juga sama seperti dia dulu agar pulih. Panti yang tidak terlalu besar itu merawat banyak kehidupan yang sudah remuk, sebagian sudah menampakkan hasil, dan sebagian masih dalam proses.

Kisah hidup bapak tadi meneguhkan Yohanes 7:37-38. Allah sudah memberkati kita dengan karunia hidup yang luar biasa, dan itu artinya kita diminta menjadi sungai Hudson, yang tidak hanya menerima aliran dari hulu tetapi meneruskannya.

 

 

 

 

Wonosobo, 2012

Y. defrita R.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"Sabar Menanti"

Suatu ketika saya melintasi sebuah warung makan yang segera menarik perhatian mata saya. Di sana terpampang dalam spanduk besar dengan warna dasar hijau muda dan tulisan besar berbunyi, "SABAR MENANTI". Entah apa pula maksud dari si empunya warung dengan nama itu, tetapi setelah berlalu darinya saya jadi kepikiran.

Sabar Menanti. Ya, ungkapan yang mengundang banyak penafsiran. Teman saya bilang itu hanyalah slogan bagi mereka yang sudah pesimis tapi mentok juga, tidak tahu bagaimana lagi. Ada juga yang bilang itu ungkapan penghiburan untuk yang frustasi. Tapi bagi saya ini bukan sekedar ungkapan bermuatan negatif. Justru "sabar menanti" mengajak saya untuk merenung kembali.

Hidup saat ini adalah hidup yang serba cepat, kalau tidak cepat bisa tidak dapat.Sehingga orang menjalani hidup dengan serba tergesa-gesa. Kaki tidak lagi menjejak dengan mantap seutuhnya. Hanya menjijit seumpama penari balet. Asal cepat, melesat, dan dapat!

Contoh paling sederhana yang membuat saya terenyuh adalah ketika dunia kita adalah dunia digital dimana dengan klik sana dan klik sini tetapi masih ada orang yang mau menuliskan berbagai macam curahan hati dan ungkapan doa lewat kartu pos, dan kartu ucapan bahkan surat. Wow! Suatu cara berkomunikasi yang sesungguhnya kita sudah lupa. Dan kecenderungan orang saat ini adalah memilih untuk menuliskan lewat message instan dan tuiiiinggg langsung sampai dan dibaca. Semua serba cepat, tergesa, melesat, dan dapat.

Maka membaca ungkapan "sabar menanti" menyadarkan saya akan hidup masa kini yang serba tergesa-gesa. Tidak sabar. Mudah terbakar. Semuanya mau cepat. Semua mau yang pertama. Bahkan untuk sekedar berbincang-bincang dengan diri kita sendiri saja kita katakan "tak ada waktu" karena kita tidak hanya menjijit, tetapi berlari sampai terengah-engah demi menggapai impian.

ah...hidup yang serba cepat, melesat dan belum tentu dapat. Ya, belum tentu yang kita mau itu kita dapatkan. Belum tentu yang kita inginkan itu terwujud. Kecepatan bukanlah pencapaian. Tetapi menjalani proses seutuhnya adalah sebuah pencapaian.

Jujur saja,saya juga termasuk orang yang tidak sabaran. Dulu saya sering berkata, "kalau bisa cepat ngapain lelet". Termasuk soal ngantri, saya orang paling malas ngantri, tapi juga tidak mau menyerobot. Alhasil, demi menghindari antrian dan demi tidak membawa diri dalam pencobaan menyerobot antrian saya datang pagi-pagi entah untuk registrasi, atau urusan bank. Namun saya jadi mudah kesal ketika saya menelpon seseorang dan yang menjawab sebuah mesin berbunyi, "silahkan menunggu" lalu ada musik yang diperdengarkan di kuping saya. Semenit, dua menit masih bisa bertahan ketel uap emosi saya. Namun kalau sudah lebih dari 5 kali? wah, maaf, ketel uap saya sudah berbunyi tuuuuutttt....tuuuuuttt dan meledak.

Aduh, aduh betapa saya ini sudah termasuk kaum yang tidak sabaran selama ini dan dalam kondisi semacam itu saya sadar,kecenderungan manusia adalah menuntut orang lain, mengkambinghitamkan orang lain.

Dalam kesadaran itulah saya terhenyak. Saya tidak sabaran, dia tidak sabaran, kamu tidak sabaran, kami tidak sabaran dan Allah itu sabar. Saya membayangkan gimana ceritanya nasib saya ya kalau Allah sama tidak sabarannya dengan saya? saya menduga hidup saya pasti sudah game over sejak lama.

Allah bersabar terhadap saya yang bandel. Allah bersabar menyaksikan saya tertatih-tatih belajar memahami jalan-Nya. Allah bersabar mendengarkan saya mengeluh. Allah bersabar ketika saya jatuh lagi dalam hal-hal bodoh dan konyol. Dan Allah bersabar menantikan pertumbuhan saya. Sama seperti kisah yang pernah diceritakan seorang guru kepada saya tentang seorang bapak yang setiap hari sabar menantikan kepulangan anak bungsunya yang mengembara entah dimana rimbanya. Sampai suatu ketika si anak bungsu pulang kembali kepada bapaknya. dan bapaknya yang sabar itu menyambutnya.

Kalau Allah saja mau sabar dengan kita, masakan saya dan Anda tidak sabar dengan orang lain?

 

 

 

 

Wonosobo, 2 Juni 2012

Y. defrita R.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ketika Awan Jatuh Cinta Kepada Bukit Pasir…

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

            Segumpal awan muda lahir di tengah badai dahsyat di atas Laut Tengah, namun dia tak sempat bertumbuh di sana, sebab embusan angin kencang mendorong semua awan menuju Afrika. Setibanya di benua itu, iklimnya berubah. Matahari bersinar terang di langit, dan di bawah mereka terbentang gurun pasir Sahara yang keemasan. Karena di padang gurun hamper tak pernah turun hujan, angin pun terus mendorong awan-awan itu kea rah hutan-hutan di selatan.

            Sementara itu, sebagaimana manusia-manusia yang masih muda, awan muda itu juga memutuskan untuk meninggalkan orangtuanya serta teman-temannya yang lebih dewasa, sebab dia ingin menjelajahi dunia. “Apa-apaan ini?” angin berseru. “Gurun pasir itu sama saja di mana pun. Bergabunglah lagi dengan awan-awan lainnya, dan kita akan pergi ke Afrika Tengah. Di sana ada pegunungan dan pohon-pohon yang sungguh menakjubkan.” Tetapi awan yang masih muda itu mempunyai sifat pemberontak dan tidak mau menurut. Perlahan-lahan dia melayang semakin rendah dan semakin rendah, sampai akhirnya ditemukannya angin sepoi-sepoi yang lembut dan pemurah; angin itu membiarkannya melayang-layang di atas hamparan pasir keemasan. Setelah mondar-mandir ke sana-sini, dilihatnya salah satu bukit pasir itu tersenyum kepadanya.

            Bukit pasir itu juga masih muda, baru saja terbentuk oleh angin yang bertiup melewatinya. Saat itu juga, awan itu jatuh cinta kepada rambut keemasan si bukit pasir. “Selamat pagi,” sapanya. “Seperti apa kehidupan di bawah sana?”

            “Aku punya banyak teman bukit pasir lainnya, juga matahari dan angin, serta caravan-karavan yang sesekali melintas di sini. Kadang-kadang hawanya panas sekali, tapi masih bias kutahankan. Seperti apa hidupmu di atas sana?”

            “Di sini juga ada matahari dan angin, tetapi yang menyenangkan adalah aku bias bepergian di langit dan melihat lebih banyak.”

            “Buatku, hidup ini singkat saja,” kata si bukit pasir. “Begitu angin dating lagi dari arah hutan, aku akan lenyap.”

            “Apakah kau menjadi sedih?”

            “Aku jadi merasa hidupku tak punya tujuan.”

            “Aku juga merasa begitu. Begitu angin berembus kembali, aku akan pergi ke selatan dan diubah menjadi hujan, tetapi itu sudah suratan takdirku.”

            Setelah bimbang sesaat, bukit pasir itu berujar,

            “Tahukah kau bahwa di padang gurun ini kami menyebut hujan sebagai surga?”

            “Tak kusangka diriku bisa sepenting itu,” kata si awan dengan bangga.

            “Aku pernah mendengar bukit-bukit pasir yang lebih tua menceritakan berbagai kisah tentang hujan. Kata mereka, setelah turun hujan, kami semua tertutup rerumputan dan bunga-bunga. Tapi aku tidak akan pernah mengalaminya. Sebab di padang gurun jarang sekali terjadi hujan.”

            Sekarang giliran si awan yang menjadi bimbang. Kemudian dia tersenyum lebar dan berkata,

            “Kalau kau mau, aku bisa menurunkan hujan ke atasmu sekarang juga. Memang, aku baru saja sampai di sini, tapi aku mencintaimu, dan aku ingin tetap di sini selamanya.”

            “Waktu aku pertama melihatmu di langit sana, aku juga jatuh cinta padamu,” sahut si bukit pasir. “Tetapi jika kauubah rambut putihmu yang indah itu menjadi hujan, kau akan mati.”

            “Cinta tak pernah mati,” sahut awan itu. “Cinta membawa perubahan; selain itu, aku ingin menunjukkan surga padamu.”

            Dan dia pun mulai membelai bukit pasir itu dengan tetes-tetes kecil air hujan, supaya mereka bisa lebih lama bersama-sama, sampai muncul sebentuk bianglala. Keesokan harinya, bukit pasir yang kecil itu dipenuhi bebungaan. Awan-awan yang melintas untuk menuju Afrika, mengira itu pastilah bagian dari hutan yang mereka cari-cari, maka mereka pun menebarkan lebih banyak hujan. Dua puluh tahun kemudian, bukit pasir itu telah berubah menjadi oase yang memberikan kesegaran kepada para musafir dengan keteduhan pohon-pohonnya.

            Dan semua itu karena suatu hari sepotong awan jatuh cinta, dan tidak takut menyerahkan hidupnya demi cintanya.

(Paulo Coelho, “Seperti sungai yang mengalir, p.213-216)

 

            Kisah di atas adalah bagian dari buku Paulo Coelho yang bertajuk “Seperti sungai yang mengalir” sebuah buku yang berisikan buah pikiran dan renungan perjalanan hidup Paulo Coelho yang dikemas dengan sederhana namun bernas khas Paulo. Ketika membaca bagian ini saya teremenung dan tidak sanggup melanjutkan membaca bab yang lain. Ini terjadi hanya pada pengarang-pengarang tertentu yang goresan pikirannya membuat saya tercekat dalam diam dan merenung bersama-sama dengan pengarangnya. Ada beberapa nama pengarang yang membuat saya demikian yaitu Pramoedya Ananta Toer, Sindhunata, Arswendo Atmowiloto, Remi Silado, Dewi “dee” Lestari, Ayu Utami, Rm. Mangunwijaya, Karl May, dan Paulo Coelho. Pengarang-pengarang ini pandai mengemas buah pikirannya dengan cara penyampaian yang tidak biasa dan selalu bernas. Itu menyehatkan jiwa saya dan mengenyangkan hati saya.

                Kembali kepada tulisan Paulo Coelho yang membuat saya tercekat di sana. Kisah yang dituturkan oleh Paulo barangkali merupakan sebuah mitos atau cerita lisan dari suatu daerah mengingat Paulo berwawasan luas dan sering berkelana bersama istri atau temannya. Bagi saya tak masalah mengenai asal muasal kisah awan yang jatuh cinta kepada bukit pasir ini. Sebab yang menarik perhatian saya adalah pesan yang begitu lugas dari kisah tadi bahwa “Cinta tidak pernah Mati, tetapi Cinta Membawa Perubahan.” Pengorbanan yang dilakukan oleh sepotong awan mudah itu tidak lagi dilihat sebagai “mati”nya si awan dalam kemudaannya. Tetapi apa yang sering kita sebut sebagai “pengorbanan” tak lain adalah “jalan menuju perubahan”. Perubahan yang bukan hanya dirasakan oleh kita sendiri tetapi membawa pengaruh bagi orang-orang di sekitar kita.

                Pesan yang begitu lugas setegas tetesan air hujan dari awan yang menyentuh bumi, saya pun teringat akan beberapa tokoh bijaksana yang juga memiliki konsep serupa dengan awan. Mulai dari Budhha, Yesus, Gandhi, Teresa, dan masih banyak lagi orang-orang yang rela menjalani hidup “tidak biasa” dan bahkan “mengorbankan” segala bentuk kenyamanan dan keamanan yang selayaknya mereka rasakan demi sebuah perubahan yang lebih baik lagi. Semuanya demi cinta. Sebuah pemikiran dan aksi yang tidak masuk dalam nalar logis kita. Betapa tidak sebab selama ini manusia hidup dalam pola pikir untung rugi. Bukan hanya untung rugi dalam soal bisnis, namun juga dalam soal relasi. Relasi yang sejatinya dijiwai oleh cinta yang membawa perubahan diganti dengan prinsip ekonomi. Kalau kau membahagiakan saya, saya akan bahagiakan kamu. Kalau kamu melukai saya, saya akan melukai kamu lebih lagi, dan seterusnya. Prinsip hidup mencinta semacam ini juga menyeruak dalam tingkah pola para politisi kita. Kenyamanan dan keamanan membuat mereka hanya menemukan kata “pengorbanan” di dalam kamus bahasa Indonesia. Sehingga ketika orang berbondong-bondong menyerukan penderitaan dan tuntutan akan sebuah perubahan yang lebih baik, para pengambil kebijakan hanya melihatnya sepintas lalu. Sekalipun mereka ajeg berdemo sehari tiga kali, mereka menganggapnya sebagai rutinitas serutin mereka menegak obat jantung dan anti-depresan.

                Dalam dunia yang nyaris lupa memahami gagasan cinta yang membawa perubahan dibutuhkan lebih banyak lagi orang-orang yang belum terjangkit virus amnesia ini. Dibutuhkan lebih banyak lagi kesadaran bahwa cinta yang kita bangun bersama dengan pasangan kita, dengan rakyat, dengan komunitas, dengan siapapun juga sejatinya demi membawa sebuah perubahan. Perubahan karakter kita misalnya, dari yang egois menjadi yang toleran dan mau berdiskusi. Perubahan sikap dari yang kasar menjadi lebih pengertian. Perubahan tujuan hidup yang tadinya hanya demi kesenangan seorang diri, sekarang berjuang agar hidupnya memberi banyak manfaat bagi banyak orang. Perubahan gaya hidup dari yang tidak menghargai orang dan lingkungan sekitar, menjadi lebih peka dan ramah. Perubahan-perubahan itu tidak semudah saya mengetikkannya di atas tombol-tombol keyboard. Perubahan-perubahan itu menuntut sebuah pengorbanan. Bayangkan saja dari kita yang lebih suka di dengar menjadi orang yang mau mendengar keluh dan kebutuhan orang lain. Dari kita yang lebih suka memaksakan kehendak menjadi orang yang mau berdiskusi secara sehat dan dewasa. Dari kita yang bersikap semaunya sendiri dan kasar (bahkan memukul atau mencaci) menjadi kita yang marah dengan cara yang lebih sehat dan tidak menyakiti orang lain. Dari kita yang hidup dalam arus hedonisme menjadi orang yang welas asih. Dari kita yang cuek bebek seolah dunia adalah warisan tunggal dari nenek moyang kita, menjadi orang yang lebih peduli.

Pengorbanan yang kita lakukan bukanlah sebuah paksaan atau beban demi sebuah keseimbangan relasi, demi sebuah harmonisasi yang indah. Bukan. Kita melakukannya karena cinta, bukan paksa! Kita melakukannya karena kita mencintai orang yang kita cintai. Kita melakukannya karena kita mencintai diri kita. Kita melakukannya karena kita mencintai relasi kita selama ini. Dan kita melakukannya karena kita sama-sama ingin bertumbuh dan berbuah. Maka sejatinya cinta tidak seindah “cocot” (mulut) nya banyak pengarang cerita isapan jempol saat ini. Cinta tidak sesederhana itu. Kita, saya juga mungkin dapat mengungkapkan berbagai macam gagasan tentang cinta tetapi sesungguhnya perasaan cinta itu sendiri tidak pernah muat dalam ruang kata. Karena cinta adalah cinta.

                Terimakasih kepada para tokoh bijak bestari yang lakon hidupnya menjadi cermin gamblang bagi saya untuk semakin menyadari bahwa cinta tidak pernah mati hanya karena kita berkorban demi cinta tetapi cinta itu membawa perubahan, perubahan yang positif bukan hanya bagi kita tetapi orang-orang dan alam semesta ini. Terimakasih kepada Paulo Coelho dengan awan dan bukit pasirnya yang menyentuh jiwa saya. Dan terimakasih kepada Dia Sang Cinta yang mengaliri cinta saya dengan cinta-Nya.

Selamat Mencintai dan selamat berubah oleh CINTA!

 

 

 

 

Wonosobo, 2 Juni 2012

Y. Defrita R.

Hikmat Bertetangga

 Waktu senggang menghantarkan saya untuk mengamati seluk-beluk hidup berdampingan dengan manusia lain alias tetangga. Ngomong-ngomong soal hidup bersama tetangga, saya yakin setiap kita juga punya berbagai pengalaman unik dan menarik. Bokis banget alias bohong banget kalau kita mengsaya tak punya pengalaman hidup bertetangga. Mau kita tinggal di apaterment lantai paling atas sekalipun pastilah kita punya pengalaman yang menarik, entah pada akhirnya membuat kita senyum-senyum jika mengingatnya atau justru memberengutkan kening.

bicara soal hidup bertetangga, saya musti mengorek-ngorek kenangan masa kecil dulu ketika tetangga di kanan kiri depan belakang sesak bukan kepalang. Menempati perumahan bikinan pemerintah yang hanya bersela 1-2 meter dengan tetangga menempa siapa saja untuk pandai bergaul dan menempatkan diri. Bayangkan saja kalau teriakan-teriakan dari tetangga sebelah dan urusan dalam negeri tetangga dengan amat sangat mudah menyeberang melalui pori-pori tembok dan beberapa wartawan lokal di kompleks perumahan. Ah, ngerinya! Betul, ngeri sekali memang. Pertikaian yang terjadi di ujung blok segera menjadi head line news di dua blok setelahnya. Be nice to everyone dan keep your secret perfectly adalah kunci hidup bersama dengan tetangga-tetangga yang mulutnya bisa mencong sana dan sini begitu asyik menggunjingkan sesamanya.

Tapi ternyata menjadi baik pada siapapun dan menjaga rahasia rapat-rapat tidak cukup. Tokh sudah menjalankan jurus seperti itu tetap saja tak dapat mengurangi kebiasaan dan bakat tetangga di kanan dan kiri yang hobi bergunjing. Ah, memang hidup bersama dengan orang lain tidak cukup hanya mendoktrinkan jurus tadi saja, hidup kan kompleks, sekompleks ibu-ibu di kompleks saya dulu. Selain tetangga kanan kiri depan belakang yang hobi menggunjing, mereka juga baik. Bayangkanlah betapa nikmatnya punya tetangga yang selalu bahu membahu dan saling menolong. Termasuk dalam hal soal masak memasak. Kurang merica 10 butir, gak perlu repot-repot ke warung, cukup ketuk pintu tetangga dan anda akan menerima merica 10 butir tidak kurang tidak lebih dan tidak bayar. Konsultasi resep brownis? Tidak perlu kirim email atau surat ke pakar kue. Cukup ketuk pintu tetangga, dan koreksi terhadap brownis anda pun akan segera disampaikan, gratis! Ingin menambah koleksi anggrek? Tidak perlu ke kios bunga demi membeli bibit anggrek. Silahkan mengetuk pintu tetangga depan rumah, anggrek idaman pun akan segera tumbuh dalam beberapa bulan mendatang. Mau buka katering tapi tidak punya modal untuk memasarkannya? Cukup undang tetangga kanan kiri depan belakang dan biarkan mereka bekerja dengan menggunakan bakat menggunjing secara positif. Itulah berkah hidup bertetangga dan ramah kepada siapapun. Kerepotan antar jemput anak? Tetangga sebelah akan senang hati menghantar serta menjemput anak anda sekalian antar dan jemput anaknya. Ada enaknya dan ada tidak enaknya. Tapi para tetangga di kompleks yang lama tetap punya ruang di hati.

Berpindah ke kompleks perumahan yang baru dan lebih dekat ke sekolah serta gereja saya punya pengalaman lain lagi yang tak kalah berkesannya. Di kompleks yang baru ini jarak antar tetangga cukup jauh dan privasi dapat dinikmati. Tetangga sebelah kiri rumah orangtua saya dihuni oleh seorang nenek yang anaknya bekerja di perum perhutani. Sedangkan tetangga sebelah kanan rumah orangtua saya dihuni oleh keluarga dari Aceh. Sedangkan di seberang jalan, karena rumah orangtua saya terletak di jalan utama kompleks, ada dua rumah berhadap-hadapan milik kakak dan adik pasangan muda begitu. Si nenek sebelah rumah pada awalnya sangat menyenangkan. Kerap datang ke rumah dan bercerita panjang lebar. Namun tak berapa lama setiap berkunjung ke rumah dia mulai ngelantur. Bicara soal arwah-arwah bergentayangan yang menghuni rumahnya. Rupa-rupanya cerita si nenek soal arwah-arwah ini tidak stop sampai di situ. Pada suatu malam sekitar jam 12 malam ada sekelompok anggota jaga malam yang mengetuk pagar rumah orangtua saya. Segera mama saya keluar dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Rupa-rupanya kelompok jaga malam ini mendengar teriakan dari rumah si nenek. Mereka menduga rumah si nenek disambangi pencuri dan bermaksud mengecek halaman belakang rumah orangtua saya siapa tahu si maling sembunyi di sana dan melompati pagar rumah kami lalu masuk ke halaman SMP negeri yang tepat ada di belakang rumah orangtua saya. Rumah si nenek diketuk dari tadi tidak ada yang menyahut tetapi teriakan sudah berhenti. Wah, bikin panik aja nih tetangga sebelah!

Mama pun mempersilahkan kelompok jaga malam memeriksa halaman belakang rumah kami. Hasilnya nihil. Di halaman belakang rumah kami berdiri pohon mangga dan belimbing serta jambu plus sekelompok anggrek yang tidak bergeming menyaksikan aksi kelompok jaga malam menyisir halaman belakang. Dan tetap hasilnya nihil. Diburu rasa penasaran mama saya menawarkan tangga untuk memanjat tembok sebelah dan melihat sumber yang membuat si nenek berteriak tengah malam. Ragu tapi mau akhirnya semua kelompok jaga memanjat dan berhasil masuk ke rumah si nenek. Sedangkan mama saya tidak kurang akal, dia ikutan manjat tangga tapi mengintip lewat lubang udara segede kepala orang dewasa yang belum dipasang jendela. Lubang itu adalah lubang kamar mandi yang belum digunakan. Dari sanalah mama mendengarkan apa sich yang sebenarnya terjadi di rumah si nenek. Ah, tetangga sebelah membuat mama saya jadi detektif dadakan. Ada-ada saja!

Keesokan paginya demi tidak puas mengintip, mama saya menyambangi si nenek yang kebetulan dikunjungi anaknya. Di sanalah terbuka rahasia yang cukup mengejutkan. Ternyata si nenek depresi hidup seorang diri di rumah sebesar itu. Depresi yang membuat ia mempunyai ilusi seolah-olah ada genduruwo dan kawan-kawannya di rumah itu. Untuk yang terakhir ini saya tidak tahu pasti. Beberapa minggu kemudian si nenek dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Entah apakah itu keputusan bijak atau tidak saya tidak mau menilai! Selang beberapa bulan, si nenek sudah kelihatan belanja di tukang sayur yang lewat di kompleks. Ah, kenapa saya jadi curiga gini ya. Entah karena dia sudah eks rumah sakit jiwa atau apa.

Si nenek masih sering berkunjung ke rumah dan selalu membawa masakan yang katanya tak akan habis ia makan seorang diri. Awalnya masakannya terasa enak tapi lama-kelamaan ada saja benda-benda asing di dalam masakannya yang saya tidak tahu mengapa bisa tercampur, misalnya karet gelang, isi streples. Astaganaga, nek…itu bumbu rahasia ya. Dengan sangat halus mama saya menyetop si nenek yang mulai keranjingan mengirimkan masakannya. Selain masakannya yang ajib, tingkahnya juga ajib. Hobi baru si nenek adalah setiap ketemu saya selalu mengelus pipi saya kanan dan kiri sekaligus. Astaganaga. Dan ditambah ciuman di jidat saya! Bisa dibayangkan kan, lipstick merah si nenek melekat sempurna di jidat saya. Pengalaman dengan tetangga sebelah kiri alias si nenek saya kira cukup sekian.

Dan sekarang pindah ke tetangga sebelah kanan saya yang made in Atjeh. Kalau pengalaman si nenek cenderung bikin dag dig dug dan meringis lucu, maka pengalaman dengan tetangga sebelah kanan adalah pengalaman luar biasa. Apa luar biasanya? Suatu sore saya dan kakak saya yang waktu itu SMA kelas 3 asyik berkejar-kejaran di dalam rumah. Karena saya tsayat ditangkap dan dijungkir balikkan oleh kakak saya, saya lari ke ruang makan yang menyatu dengan halaman belakang. Melewati ambang pintu saya terpeleset keset yang licin bukan kepalang. Demi melindungi kepala yang satu-satunya ini, saya berjuang agar posisi jatuh saya enak. Aneh ya, mana ada sih jatuh yang enak. Akhirnya saya sukses mendarat di lantai ubin berwarna hijau pastel dengan pose terakhir saya mirip boddhisatva ketika menutup usia. Yup! Tangan saya sebelah kanan jatuh duluan menopang kepala dan langsung badan selonjoran. Ketika saya sudah berpose sedemikian menakjubkan itu, saya belum mengerti mengapa saya bisa berpose begitu. Kok sempet-sempetnya yah.

Dan ternyata, kakak saya tidak mengejar saya. Dia lagi di kamar mandi! Aih mak…malu bukan kepalang! Saya jatuh karena ke-GR-an mengira diri dikejar! Alhasil, kakak saya, mama dan nenek saya keluar mengerumuni saya yang masih anteng dengan pose ajib itu. Tanpa dikomando mereka puas menertawakan saya! Buahnya baru saya petik keesokan harinya. Tangan saya yang sebelah kanan tidak dapat digerakkan. Padahal hari itu saya ada pelajaran olah raga dan mengharuskan saya berganti pakaian olahraga. Dan ganti bajunya di sekolah! Sempurna sudah penderitaan saya hari itu. Bayangkan saja, untuk melepas kancing seragam saja saya musti dibantu sahabat saya. Berganti pakaian olah raga dan melipatnya juga dibantu. Wah ini tidak bisa dibiarkan. Sesampainya di rumah saya berganti baju dibantu mama. Dan segera mama mengomando saya untuk mengikutinya ke tetangga sebelah kanan. Saya bingung mau ngapain saya ke sana. Seumur-umur sejak tetangga sebelah kanan pindah saya nggak pernah kontak sama sekali, cuman mama saya aja.

Saya masuk ke halaman rumahnya yang sumpah tidak terurus. Dan disanalah saya berjumpa dengan seorang nenek lengkap dengan daster dan kerudung dan senyum yang ramah. Ah, kenapa nggak dari dulu saya ikutan kenalan ama tetangga sebelah. Setelah duduk di ruang tengah rumahnya barulah saya tahu bahwasannya mama saya sudah menceritakan hal ihwal kebodohan saya semalam yang membuat tangan kanan saya tidak berfungsi dengan baik hari ini. Nenek tadi memperhatikan lengan atas tangan kanan saya. Memegangnya dan kemudian meminta saya mengangkat tangan saya luru ke depan. Entah bagaimana ceritanya dengan sekali bunyi “klek” tangan saya kembali dapat melaksanakan fungsinya. Ah, nikmatnya punya tetangga yang baik luar biasa ini. Di kemudian hari ketika lutut kanan saya terpeluntir ke kanan, saya mengingat pertolongan tetangga sebelah kanan itu dan betapa saya merindukan nenek van Atjeh yang menyembuhkan itu. Ah apa daya saya sudah di jogja!

Tadi saya bilang tetangga belakang rumah saya adalah SMP Negeri. Ada pengalaman menggelikan dengan tetangga yang satu ini. Saban istirahat selalu ada asap membumbung dari balik pagar. Dan disela dengan obrolan khas remaja, mulai dari pengalaman pacaran, berciuman dan masih banyak tingkah laku mereka yang selalu bikin saya ketawa ngakak, maklum jadwal libur SMP saya dengan mereka beda. Namun ada satu pengalaman tidak mengenakkan dengan mereka. Suatu siang pas jam istirahat, beberapa gerombol anak terdengar adu mulut (dan entah adu apa lagi saya tidak tahu karena tertutup tembok) dan ujung-ujungnya mereka lempar-lemparan(terdengar dari bunyinya). Dan halaman belakang rumah pun menjadi sasaran lemparan putung rokok dan kaleng juga bungkus makanan. Lantaran di rumah saat itu hanya saya seorang, saya langsung menelepon Ibu Kepala Sekolah SMP Negeri tersebut dan melaporkan tingkah laku para muridnya. Tak berselang lama saya mendengar si ibu berkotbah persis ketika anak-anak itu masih adu mulut di bawah tembok halaman belakang rumah saya. Tak lama kemudian hening yang cukup panjang. Dan serempak terdengar, “Kami minta maaf sudah melempar puntung rokok, kaleng dan bungkus makanan.” Hahahahaha, lucu sekali sebuah permintaan maaf dari balik tembok, entah siapa yang meminta maaf dan mereka pun tak tahu wajah yang dimintai maaf.

Pengalaman bertetangga tidak berhenti sampai di sana. Ketika saya masuk asrama saya punya banyak tetangga, atas bawah malah. Maklum model asrama kan bertingkat. Di dalam kamar seuprit itupun saya punya dua tetangga. Satu sebelah kanan satu sebelah atas. Dan serunya kali ini tetangga-tetangga saya berasal dari seluruh Indonesia. Mantap banget! Perbedaan budaya, kebiasaan dan karakter adalah menu setiap saat. Awalnya tidak mudah tetapi lama-kelamaan bisa juga kok. Ketika bertetangga di asrama saya punya pengalaman tak terlupakan ketika satu lantai yang berisi belasan perempuan dari berbagai daerah berkumpul di ruang belajar dengan lampu padam. Hanya lampu ala diskotek milik tetangga kamar yang menyala berkedap kedip. Di sanalah kami menyalakan musik keras-keras dan berjoget sampai dini hari. Jangan tanya apakah ibu asrama tidak marah. Kemarahannya baru kami terima keesokan harinya. Tetapi dasar badung, sabda ibu asrama hanya mampir sedetik di otak kami yang terlanjur dipenuhi kejailan. Ada suka dukanya hidup bertetangga di lokasi yang mirip Taman Mini Indonesia Indah karena isinya dari seluruh pelosok Indonesia. Sukanya bisa menggila bersama-sama dan menangis bersama-sama. Dan makan bersama-sama. Ini enaknya. Saya bisa ngrasain makanan yang baru saya tahu ketika di asrama. Ada yang bawa makanan dari Medan, Papua, Malang, Banyuwangi, Banten. Ah, pokoknya wisata kuliner deh!

Tapi dukanya juga tak kalah banyak. Ketika yang satu pengen merem bentar lantaran tugas kuliah seabrek, eh tetangga sebelah kasur malah asyik berkaraoke ria di kamar. Yang di kasur atas pengen tidur dengan lampu wafat, eh yang bawah pengen lampu menyala terang benderang. Dan duka terdalam adalah ketika semua mengucapkan selamat tinggal pada “kandang merpati” (lantaran bentuknya kotak-kotak imut) dan mulai dilepaskan ke “alam liar”. Ah, sedihnya! Pindah dari asrama masuk ke kost-kostan.

Kost saya yang pertama terletak agak jauh dari kampus walaupun kalau jalan kaki yang masih lumayan deket tapi nggak persis depan kampus. Kost yang saya pilih bersama teman saya ini memiliki pagar tinggi makanya sering disebut kost benteng. Di kost yang baru ini saya harus menyesuaikan diri dengan 6 orang lainnya yang tingkahnya ajib-ajib. Ada si M yang saban hari jumat pas Indonesian Idol nongol, dia akan nyanyi-nyanyi dan teriak-teriak histeris plus lompat-lompat nggak jelas sampai pernah saya kira ada gempa di jogja! Asem tenan ik! Lalu ada si W dari pulau dewata yang diam bukan kepalang. Tapi ramah dan bukan tipe suka berkonflik. Ah, ademnya bertetangga sama dia. Lalu persis di sebelah kamar saya adalah kamar si K yang selalu saya lewati kamarnya kalau mau ke dapur, ke kamar mandi dan ke tempat cuci baju. Si K ini lebih tua daripada saya tapi tingkahnya bikin saya dan temen saya senewen juga ibu kost.

Mengapa? Suatu pagi yang damai dimana saya masih melsayakan perhalanan astral di dunia mimpi. Saya terbangun karena mendengarkan teriakan-teriakan dan bentakan serta tangis dari kamar si K. Lantaran nyawa belum genap saya cuman kepikiran sms temen saya dan nanya what happen aye naon sih di kamar si K. Rupanya teman saya juga nggak tahu. Saya buka jendela dan kaget bukan main demi melihat pak RT, Bapak dan Ibu kost serta tetua kampung. Ada apa sih? Rupanya si K membawa cowoknya. Entah si cowok menginap atau tidak tetapi ibu kost kaget jam 5 pagi si cowok udah nongol aje di kamar si K. Maka teriakan itu lahir dari mulut Ibu dan Bapak kost, lalu bentakan-bentakan bernada instruksi itu dari Pak RT dan tetua kampung dan terakhir tangisan itu dari si K. Cowoknya? Kagak ada suaranye!

Sebulan kemudian, di pagi hari yang syahdu karena saya masih asyik bergelung di balik selimut. Saya kembali terkejut setengah mati karena mendengar teriakan penuh amarah dari kamar si K lagi. Kali ini saya tidak sms teman saya di sebelah kamar. Langsung saya buka jendela dan menyaksikan si K membawa pisau dapur kost-kostan dan sibuk memaki-maki cowoknya. Itu dugaan saya karena dia menggunakan bahasa yang saya tidak tahu. Tapi logikanya kan ya ndak mungkin dia bawa pisau dengan wajah penuh angkara murka begitu merayu cowoknya ya kan. Dan sekali lagi Pak RT, tetua kampung, ibu dan bapak kost melerai mereka. Beberapa minggu pasca kejadian mengejutkan di pagi hari itu si K pindah kost, ahhh tenangnya hidupku! Awalnya begitu. Tapi nggak tahunya tetangga pojokan kamar bikin ulah yang nyaris sama dengan si K. Bawa masuk cowoknya ke kamar kost dan ributlah Pak RT, tetua kampung, bapak dan ibu kost. Walahdalah kok ya ndak belajar dari pengalaman si K yang mirip sinetron!

Setahun di kost benteng saya hijrah ke rumah kontrakan yang dihuni kawan-kawan sekampung dari berbagai angkatan. Seru karena di rumah itu nyaris sudah pada saling kenal dan seru bisa bebas menggunakan bahasa kampung tanpa kawatir ada yang roaming. Tetapi kebahagiaan itu musti berselang seling dengan duka juga. Tapi justru di situlah rasa kekeluargaannya muncul. Mulai belajar mecahin masalah bareng, berantem, beda pendapat dan akhirnya damai. Pengalaman lain saat di kontrakan adalah tetangga sebelah kontrakan. Tadinya saya nggak ngerti itu rumah dibikin apa. Tapi belakangan saya tahu rumah itu semacam tempat ngumpulnya para salesgirl gitu.

Saban hari mata saya disuguhi perempuan-perempuan cantik berbaju pendek di atas dan bawah yang berseliweran di bawah jendela kamar saya. Lantaran mereka parkir motor tepat di bawah jendela kamar saya. Penderitaan sesungguhnya dimulai ketika orang yang disapa “babe” oleh tetangga saya mulai mengeluarkan suaranya yang menggelegar. Merdu sih merdu tapi kalau nyanyinya saban jam 12 siang dan 10 malam, dimana merdunya? Itu jam orang lagi molor, lagi rempong sama tugas kuliah. Kuping saya musti bersabar karena setiap jam 6 pagi dia akan memanaskan motornya yang saya curiga banget itu sudah pantas dimuseumkan aja. Asap knalpotnya masuk melalui celah lubang angin. Beneran deh kamar saya saban pagi mirim kayak difoging anti nyamuk demam berdarah. Belum lagi suaranya yang memekakkan kuping. Alhasil saya langsung membuka jendela kamar dan menegur anak buah si “babe”. Untunglah mereka masih punya tepo seliro.

Dan tak lama kemudian saya hidup nomaden sesuai tuntutan pelayanan. Namun sebagian besar saya ditempatkan di rumah atau kamar yang tidak memiliki tetangga. Wah, ini nih yang kadang bikin saya kangen punya tetangga. Bayangin aja buka pintu gak ada tetangga. Cuman di sapa oleh tanaman, pagar, dan tembok saja. Aduh sedihnya! Tapi beda lagi ketika saya pelayanan di Bandung, saya punya tetangga yang aneh-aneh kelsayaanya. Mulai dari yang hobi hamster tapi gak bertanggung jawab lantaran sering ninggalin hamsternya (coba baca tulisan saya yang lain tentang tetangga “mama hamster” ini) sampai tetangga sebelah kamar yang aseli dari perkebunan kelapa sawit di borneo sana yang hobi masang alarm jam dua pagi. Lha masalahnya dimana?

Masalahnya adalah dia nggak matiin alarmnya. Yang denger dan keganggu adalah orang-orang di lantai satu. Alhasil suatu hari jam 3 pagi teman kamar saya mengetuk pintu kamarnya. Dan sejak itu tetangga saya tidak lagi menyalakan alarm dengan suara keras. Bangun enggaknya, telat kuliah apa enggak, saya enggak perduli. Hehehehe….

Dan sekarang saya punya pengalaman bertetangga yang bener-bener bikin senewen. Apa pasal? Dimulai ketika tetangga sebelah rumah merenovasi rumahnya. Renovasi rumahnya ternyata membawa bencana bagi rumah orangtua saya. Mulai dari tembok retak ampe miring, atap depan yang rubuh kesenggol bak truk, sampai jalan depan rumah yang rusak. Ditambah ketinggian halaman tetangga sebelah yang mengakibatkan air lari ke rumah. Perundingan dari yang paling halus sampai puncaknya kemarin yang paling ketus sudah dilsayakan tapi yang terdengar hanya kata maaf yang hanya lip service. Ah hidup bertetangga hidup kaya warna. Dibalik setiap kejengkelan dan kemarahan serta kesedihan selalu ada hikmat yang tersembunyi untuk ditemukan. Kita menemukan teman baru sampai keluarga baru. Kita mendapat informasi mulai dari yang penting sampai yang nggak penting seperti menggunjingkan orang lain. Kita mendapatkan pertolongan pertama juga dari tetangga sebagai orang terdekat. Itulah seluk beluk hidup bertetangga. Catatan ini tentu akan terus bertambah seiring dengan perjalanan hidup saya yang akan selalu mempertemukan saya dengan tetangga-tetangga baru…

Selamat menemukan hikmat dalam bertetangga

 

Wonosobo, awal Mei 2012 Y. Defrita R.

Hikmat Bertetangga

HIKMAT BERTETANGGA… Waktu senggang menghantarkan saya untuk mengamati seluk-beluk hidup berdampingan dengan manusia lain alias tetangga. Ngomong-ngomong soal hidup bersama tetangga, saya yakin setiap kita juga punya berbagai pengalaman unik dan menarik. Bokis banget alias bohong banget kalau kita mengsaya tak punya pengalaman hidup bertetangga. Mau kita tinggal di apaterment lantai paling atas sekalipun pastilah kita punya pengalaman yang menarik, entah pada akhirnya membuat kita senyum-senyum jika mengingatnya atau justru memberengutkan kening. bicara soal hidup bertetangga, saya musti mengorek-ngorek kenangan masa kecil dulu ketika tetangga di kanan kiri depan belakang sesak bukan kepalang. Menempati perumahan bikinan pemerintah yang hanya bersela 1-2 meter dengan tetangga menempa siapa saja untuk pandai bergaul dan menempatkan diri. Bayangkan saja kalau teriakan-teriakan dari tetangga sebelah dan urusan dalam negeri tetangga dengan amat sangat mudah menyeberang melalui pori-pori tembok dan beberapa wartawan lokal di kompleks perumahan. Ah, ngerinya! Betul, ngeri sekali memang. Pertikaian yang terjadi di ujung blok segera menjadi head line news di dua blok setelahnya. Be nice to everyone dan keep your secret perfectly adalah kunci hidup bersama dengan tetangga-tetangga yang mulutnya bisa mencong sana dan sini begitu asyik menggunjingkan sesamanya. Tapi ternyata menjadi baik pada siapapun dan menjaga rahasia rapat-rapat tidak cukup. Tokh sudah menjalankan jurus seperti itu tetap saja tak dapat mengurangi kebiasaan dan bakat tetangga di kanan dan kiri yang hobi bergunjing. Ah, memang hidup bersama dengan orang lain tidak cukup hanya mendoktrinkan jurus tadi saja, hidup kan kompleks, sekompleks ibu-ibu di kompleks saya dulu. Selain tetangga kanan kiri depan belakang yang hobi menggunjing, mereka juga baik. Bayangkanlah betapa nikmatnya punya tetangga yang selalu bahu membahu dan saling menolong. Termasuk dalam hal soal masak memasak. Kurang merica 10 butir, gak perlu repot-repot ke warung, cukup ketuk pintu tetangga dan anda akan menerima merica 10 butir tidak kurang tidak lebih dan tidak bayar. Konsultasi resep brownis? Tidak perlu kirim email atau surat ke pakar kue. Cukup ketuk pintu tetangga, dan koreksi terhadap brownis anda pun akan segera disampaikan, gratis! Ingin menambah koleksi anggrek? Tidak perlu ke kios bunga demi membeli bibit anggrek. Silahkan mengetuk pintu tetangga depan rumah, anggrek idaman pun akan segera tumbuh dalam beberapa bulan mendatang. Mau buka katering tapi tidak punya modal untuk memasarkannya? Cukup undang tetangga kanan kiri depan belakang dan biarkan mereka bekerja dengan menggunakan bakat menggunjing secara positif. Itulah berkah hidup bertetangga dan ramah kepada siapapun. Kerepotan antar jemput anak? Tetangga sebelah akan senang hati menghantar serta menjemput anak anda sekalian antar dan jemput anaknya. Ada enaknya dan ada tidak enaknya. Tapi para tetangga di kompleks yang lama tetap punya ruang di hati. Berpindah ke kompleks perumahan yang baru dan lebih dekat ke sekolah serta gereja saya punya pengalaman lain lagi yang tak kalah berkesannya. Di kompleks yang baru ini jarak antar tetangga cukup jauh dan privasi dapat dinikmati. Tetangga sebelah kiri rumah orangtua saya dihuni oleh seorang nenek yang anaknya bekerja di perum perhutani. Sedangkan tetangga sebelah kanan rumah orangtua saya dihuni oleh keluarga dari Aceh. Sedangkan di seberang jalan, karena rumah orangtua saya terletak di jalan utama kompleks, ada dua rumah berhadap-hadapan milik kakak dan adik pasangan muda begitu. Si nenek sebelah rumah pada awalnya sangat menyenangkan. Kerap datang ke rumah dan bercerita panjang lebar. Namun tak berapa lama setiap berkunjung ke rumah dia mulai ngelantur. Bicara soal arwah-arwah bergentayangan yang menghuni rumahnya. Rupa-rupanya cerita si nenek soal arwah-arwah ini tidak stop sampai di situ. Pada suatu malam sekitar jam 12 malam ada sekelompok anggota jaga malam yang mengetuk pagar rumah orangtua saya. Segera mama saya keluar dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Rupa-rupanya kelompok jaga malam ini mendengar teriakan dari rumah si nenek. Mereka menduga rumah si nenek disambangi pencuri dan bermaksud mengecek halaman belakang rumah orangtua saya siapa tahu si maling sembunyi di sana dan melompati pagar rumah kami lalu masuk ke halaman SMP negeri yang tepat ada di belakang rumah orangtua saya. Rumah si nenek diketuk dari tadi tidak ada yang menyahut tetapi teriakan sudah berhenti. Wah, bikin panik aja nih tetangga sebelah! Mama pun mempersilahkan kelompok jaga malam memeriksa halaman belakang rumah kami. Hasilnya nihil. Di halaman belakang rumah kami berdiri pohon mangga dan belimbing serta jambu plus sekelompok anggrek yang tidak bergeming menyaksikan aksi kelompok jaga malam menyisir halaman belakang. Dan tetap hasilnya nihil. Diburu rasa penasaran mama saya menawarkan tangga untuk memanjat tembok sebelah dan melihat sumber yang membuat si nenek berteriak tengah malam. Ragu tapi mau akhirnya semua kelompok jaga memanjat dan berhasil masuk ke rumah si nenek. Sedangkan mama saya tidak kurang akal, dia ikutan manjat tangga tapi mengintip lewat lubang udara segede kepala orang dewasa yang belum dipasang jendela. Lubang itu adalah lubang kamar mandi yang belum digunakan. Dari sanalah mama mendengarkan apa sich yang sebenarnya terjadi di rumah si nenek. Ah, tetangga sebelah membuat mama saya jadi detektif dadakan. Ada-ada saja! Keesokan paginya demi tidak puas mengintip, mama saya menyambangi si nenek yang kebetulan dikunjungi anaknya. Di sanalah terbuka rahasia yang cukup mengejutkan. Ternyata si nenek depresi hidup seorang diri di rumah sebesar itu. Depresi yang membuat ia mempunyai ilusi seolah-olah ada genduruwo dan kawan-kawannya di rumah itu. Untuk yang terakhir ini saya tidak tahu pasti. Beberapa minggu kemudian si nenek dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Entah apakah itu keputusan bijak atau tidak saya tidak mau menilai! Selang beberapa bulan, si nenek sudah kelihatan belanja di tukang sayur yang lewat di kompleks. Ah, kenapa saya jadi curiga gini ya. Entah karena dia sudah eks rumah sakit jiwa atau apa. Si nenek masih sering berkunjung ke rumah dan selalu membawa masakan yang katanya tak akan habis ia makan seorang diri. Awalnya masakannya terasa enak tapi lama-kelamaan ada saja benda-benda asing di dalam masakannya yang saya tidak tahu mengapa bisa tercampur, misalnya karet gelang, isi streples. Astaganaga, nek…itu bumbu rahasia ya. Dengan sangat halus mama saya menyetop si nenek yang mulai keranjingan mengirimkan masakannya. Selain masakannya yang ajib, tingkahnya juga ajib. Hobi baru si nenek adalah setiap ketemu saya selalu mengelus pipi saya kanan dan kiri sekaligus. Astaganaga. Dan ditambah ciuman di jidat saya! Bisa dibayangkan kan, lipstick merah si nenek melekat sempurna di jidat saya. Pengalaman dengan tetangga sebelah kiri alias si nenek saya kira cukup sekian. Dan sekarang pindah ke tetangga sebelah kanan saya yang made in Atjeh. Kalau pengalaman si nenek cenderung bikin dag dig dug dan meringis lucu, maka pengalaman dengan tetangga sebelah kanan adalah pengalaman luar biasa. Apa luar biasanya? Suatu sore saya dan kakak saya yang waktu itu SMA kelas 3 asyik berkejar-kejaran di dalam rumah. Karena saya tsayat ditangkap dan dijungkir balikkan oleh kakak saya, saya lari ke ruang makan yang menyatu dengan halaman belakang. Melewati ambang pintu saya terpeleset keset yang licin bukan kepalang. Demi melindungi kepala yang satu-satunya ini, saya berjuang agar posisi jatuh saya enak. Aneh ya, mana ada sih jatuh yang enak. Akhirnya saya sukses mendarat di lantai ubin berwarna hijau pastel dengan pose terakhir saya mirip boddhisatva ketika menutup usia. Yup! Tangan saya sebelah kanan jatuh duluan menopang kepala dan langsung badan selonjoran. Ketika saya sudah berpose sedemikian menakjubkan itu, saya belum mengerti mengapa saya bisa berpose begitu. Kok sempet-sempetnya yah. Dan ternyata, kakak saya tidak mengejar saya. Dia lagi di kamar mandi! Aih mak…malu bukan kepalang! Saya jatuh karena ke-GR-an mengira diri dikejar! Alhasil, kakak saya, mama dan nenek saya keluar mengerumuni saya yang masih anteng dengan pose ajib itu. Tanpa dikomando mereka puas menertawakan saya! Buahnya baru saya petik keesokan harinya. Tangan saya yang sebelah kanan tidak dapat digerakkan. Padahal hari itu saya ada pelajaran olah raga dan mengharuskan saya berganti pakaian olahraga. Dan ganti bajunya di sekolah! Sempurna sudah penderitaan saya hari itu. Bayangkan saja, untuk melepas kancing seragam saja saya musti dibantu sahabat saya. Berganti pakaian olah raga dan melipatnya juga dibantu. Wah ini tidak bisa dibiarkan. Sesampainya di rumah saya berganti baju dibantu mama. Dan segera mama mengomando saya untuk mengikutinya ke tetangga sebelah kanan. Saya bingung mau ngapain saya ke sana. Seumur-umur sejak tetangga sebelah kanan pindah saya nggak pernah kontak sama sekali, cuman mama saya aja. Saya masuk ke halaman rumahnya yang sumpah tidak terurus. Dan disanalah saya berjumpa dengan seorang nenek lengkap dengan daster dan kerudung dan senyum yang ramah. Ah, kenapa nggak dari dulu saya ikutan kenalan ama tetangga sebelah. Setelah duduk di ruang tengah rumahnya barulah saya tahu bahwasannya mama saya sudah menceritakan hal ihwal kebodohan saya semalam yang membuat tangan kanan saya tidak berfungsi dengan baik hari ini. Nenek tadi memperhatikan lengan atas tangan kanan saya. Memegangnya dan kemudian meminta saya mengangkat tangan saya luru ke depan. Entah bagaimana ceritanya dengan sekali bunyi “klek” tangan saya kembali dapat melaksanakan fungsinya. Ah, nikmatnya punya tetangga yang baik luar biasa ini. Di kemudian hari ketika lutut kanan saya terpeluntir ke kanan, saya mengingat pertolongan tetangga sebelah kanan itu dan betapa saya merindukan nenek van Atjeh yang menyembuhkan itu. Ah apa daya saya sudah di jogja! Tadi saya bilang tetangga belakang rumah saya adalah SMP Negeri. Ada pengalaman menggelikan dengan tetangga yang satu ini. Saban istirahat selalu ada asap membumbung dari balik pagar. Dan disela dengan obrolan khas remaja, mulai dari pengalaman pacaran, berciuman dan masih banyak tingkah laku mereka yang selalu bikin saya ketawa ngakak, maklum jadwal libur SMP saya dengan mereka beda. Namun ada satu pengalaman tidak mengenakkan dengan mereka. Suatu siang pas jam istirahat, beberapa gerombol anak terdengar adu mulut (dan entah adu apa lagi saya tidak tahu karena tertutup tembok) dan ujung-ujungnya mereka lempar-lemparan(terdengar dari bunyinya). Dan halaman belakang rumah pun menjadi sasaran lemparan putung rokok dan kaleng juga bungkus makanan. Lantaran di rumah saat itu hanya saya seorang, saya langsung menelepon Ibu Kepala Sekolah SMP Negeri tersebut dan melaporkan tingkah laku para muridnya. Tak berselang lama saya mendengar si ibu berkotbah persis ketika anak-anak itu masih adu mulut di bawah tembok halaman belakang rumah saya. Tak lama kemudian hening yang cukup panjang. Dan serempak terdengar, “Kami minta maaf sudah melempar puntung rokok, kaleng dan bungkus makanan.” Hahahahaha, lucu sekali sebuah permintaan maaf dari balik tembok, entah siapa yang meminta maaf dan mereka pun tak tahu wajah yang dimintai maaf. Pengalaman bertetangga tidak berhenti sampai di sana. Ketika saya masuk asrama saya punya banyak tetangga, atas bawah malah. Maklum model asrama kan bertingkat. Di dalam kamar seuprit itupun saya punya dua tetangga. Satu sebelah kanan satu sebelah atas. Dan serunya kali ini tetangga-tetangga saya berasal dari seluruh Indonesia. Mantap banget! Perbedaan budaya, kebiasaan dan karakter adalah menu setiap saat. Awalnya tidak mudah tetapi lama-kelamaan bisa juga kok. Ketika bertetangga di asrama saya punya pengalaman tak terlupakan ketika satu lantai yang berisi belasan perempuan dari berbagai daerah berkumpul di ruang belajar dengan lampu padam. Hanya lampu ala diskotek milik tetangga kamar yang menyala berkedap kedip. Di sanalah kami menyalakan musik keras-keras dan berjoget sampai dini hari. Jangan tanya apakah ibu asrama tidak marah. Kemarahannya baru kami terima keesokan harinya. Tetapi dasar badung, sabda ibu asrama hanya mampir sedetik di otak kami yang terlanjur dipenuhi kejailan. Ada suka dukanya hidup bertetangga di lokasi yang mirip Taman Mini Indonesia Indah karena isinya dari seluruh pelosok Indonesia. Sukanya bisa menggila bersama-sama dan menangis bersama-sama. Dan makan bersama-sama. Ini enaknya. Saya bisa ngrasain makanan yang baru saya tahu ketika di asrama. Ada yang bawa makanan dari Medan, Papua, Malang, Banyuwangi, Banten. Ah, pokoknya wisata kuliner deh! Tapi dukanya juga tak kalah banyak. Ketika yang satu pengen merem bentar lantaran tugas kuliah seabrek, eh tetangga sebelah kasur malah asyik berkaraoke ria di kamar. Yang di kasur atas pengen tidur dengan lampu wafat, eh yang bawah pengen lampu menyala terang benderang. Dan duka terdalam adalah ketika semua mengucapkan selamat tinggal pada “kandang merpati” (lantaran bentuknya kotak-kotak imut) dan mulai dilepaskan ke “alam liar”. Ah, sedihnya! Pindah dari asrama masuk ke kost-kostan. Kost saya yang pertama terletak agak jauh dari kampus walaupun kalau jalan kaki yang masih lumayan deket tapi nggak persis depan kampus. Kost yang saya pilih bersama teman saya ini memiliki pagar tinggi makanya sering disebut kost benteng. Di kost yang baru ini saya harus menyesuaikan diri dengan 6 orang lainnya yang tingkahnya ajib-ajib. Ada si M yang saban hari jumat pas Indonesian Idol nongol, dia akan nyanyi-nyanyi dan teriak-teriak histeris plus lompat-lompat nggak jelas sampai pernah saya kira ada gempa di jogja! Asem tenan ik! Lalu ada si W dari pulau dewata yang diam bukan kepalang. Tapi ramah dan bukan tipe suka berkonflik. Ah, ademnya bertetangga sama dia. Lalu persis di sebelah kamar saya adalah kamar si K yang selalu saya lewati kamarnya kalau mau ke dapur, ke kamar mandi dan ke tempat cuci baju. Si K ini lebih tua daripada saya tapi tingkahnya bikin saya dan temen saya senewen juga ibu kost. Mengapa? Suatu pagi yang damai dimana saya masih melsayakan perhalanan astral di dunia mimpi. Saya terbangun karena mendengarkan teriakan-teriakan dan bentakan serta tangis dari kamar si K. Lantaran nyawa belum genap saya cuman kepikiran sms temen saya dan nanya what happen aye naon sih di kamar si K. Rupanya teman saya juga nggak tahu. Saya buka jendela dan kaget bukan main demi melihat pak RT, Bapak dan Ibu kost serta tetua kampung. Ada apa sih? Rupanya si K membawa cowoknya. Entah si cowok menginap atau tidak tetapi ibu kost kaget jam 5 pagi si cowok udah nongol aje di kamar si K. Maka teriakan itu lahir dari mulut Ibu dan Bapak kost, lalu bentakan-bentakan bernada instruksi itu dari Pak RT dan tetua kampung dan terakhir tangisan itu dari si K. Cowoknya? Kagak ada suaranye! Sebulan kemudian, di pagi hari yang syahdu karena saya masih asyik bergelung di balik selimut. Saya kembali terkejut setengah mati karena mendengar teriakan penuh amarah dari kamar si K lagi. Kali ini saya tidak sms teman saya di sebelah kamar. Langsung saya buka jendela dan menyaksikan si K membawa pisau dapur kost-kostan dan sibuk memaki-maki cowoknya. Itu dugaan saya karena dia menggunakan bahasa yang saya tidak tahu. Tapi logikanya kan ya ndak mungkin dia bawa pisau dengan wajah penuh angkara murka begitu merayu cowoknya ya kan. Dan sekali lagi Pak RT, tetua kampung, ibu dan bapak kost melerai mereka. Beberapa minggu pasca kejadian mengejutkan di pagi hari itu si K pindah kost, ahhh tenangnya hidupku! Awalnya begitu. Tapi nggak tahunya tetangga pojokan kamar bikin ulah yang nyaris sama dengan si K. Bawa masuk cowoknya ke kamar kost dan ributlah Pak RT, tetua kampung, bapak dan ibu kost. Walahdalah kok ya ndak belajar dari pengalaman si K yang mirip sinetron! Setahun di kost benteng saya hijrah ke rumah kontrakan yang dihuni kawan-kawan sekampung dari berbagai angkatan. Seru karena di rumah itu nyaris sudah pada saling kenal dan seru bisa bebas menggunakan bahasa kampung tanpa kawatir ada yang roaming. Tetapi kebahagiaan itu musti berselang seling dengan duka juga. Tapi justru di situlah rasa kekeluargaannya muncul. Mulai belajar mecahin masalah bareng, berantem, beda pendapat dan akhirnya damai. Pengalaman lain saat di kontrakan adalah tetangga sebelah kontrakan. Tadinya saya nggak ngerti itu rumah dibikin apa. Tapi belakangan saya tahu rumah itu semacam tempat ngumpulnya para salesgirl gitu. Saban hari mata saya disuguhi perempuan-perempuan cantik berbaju pendek di atas dan bawah yang berseliweran di bawah jendela kamar saya. Lantaran mereka parkir motor tepat di bawah jendela kamar saya. Penderitaan sesungguhnya dimulai ketika orang yang disapa “babe” oleh tetangga saya mulai mengeluarkan suaranya yang menggelegar. Merdu sih merdu tapi kalau nyanyinya saban jam 12 siang dan 10 malam, dimana merdunya? Itu jam orang lagi molor, lagi rempong sama tugas kuliah. Kuping saya musti bersabar karena setiap jam 6 pagi dia akan memanaskan motornya yang saya curiga banget itu sudah pantas dimuseumkan aja. Asap knalpotnya masuk melalui celah lubang angin. Beneran deh kamar saya saban pagi mirim kayak difoging anti nyamuk demam berdarah. Belum lagi suaranya yang memekakkan kuping. Alhasil saya langsung membuka jendela kamar dan menegur anak buah si “babe”. Untunglah mereka masih punya tepo seliro. Dan tak lama kemudian saya hidup nomaden sesuai tuntutan pelayanan. Namun sebagian besar saya ditempatkan di rumah atau kamar yang tidak memiliki tetangga. Wah, ini nih yang kadang bikin saya kangen punya tetangga. Bayangin aja buka pintu gak ada tetangga. Cuman di sapa oleh tanaman, pagar, dan tembok saja. Aduh sedihnya! Tapi beda lagi ketika saya pelayanan di Bandung, saya punya tetangga yang aneh-aneh kelsayaanya. Mulai dari yang hobi hamster tapi gak bertanggung jawab lantaran sering ninggalin hamsternya (coba baca tulisan saya yang lain tentang tetangga “mama hamster” ini) sampai tetangga sebelah kamar yang aseli dari perkebunan kelapa sawit di borneo sana yang hobi masang alarm jam dua pagi. Lha masalahnya dimana? Masalahnya adalah dia nggak matiin alarmnya. Yang denger dan keganggu adalah orang-orang di lantai satu. Alhasil suatu hari jam 3 pagi teman kamar saya mengetuk pintu kamarnya. Dan sejak itu tetangga saya tidak lagi menyalakan alarm dengan suara keras. Bangun enggaknya, telat kuliah apa enggak, saya enggak perduli. Hehehehe…. Dan sekarang saya punya pengalaman bertetangga yang bener-bener bikin senewen. Apa pasal? Dimulai ketika tetangga sebelah rumah merenovasi rumahnya. Renovasi rumahnya ternyata membawa bencana bagi rumah orangtua saya. Mulai dari tembok retak ampe miring, atap depan yang rubuh kesenggol bak truk, sampai jalan depan rumah yang rusak. Ditambah ketinggian halaman tetangga sebelah yang mengakibatkan air lari ke rumah. Perundingan dari yang paling halus sampai puncaknya kemarin yang paling ketus sudah dilsayakan tapi yang terdengar hanya kata maaf yang hanya lip service. Ah hidup bertetangga hidup kaya warna. Dibalik setiap kejengkelan dan kemarahan serta kesedihan selalu ada hikmat yang tersembunyi untuk ditemukan. Kita menemukan teman baru sampai keluarga baru. Kita mendapat informasi mulai dari yang penting sampai yang nggak penting seperti menggunjingkan orang lain. Kita mendapatkan pertolongan pertama juga dari tetangga sebagai orang terdekat. Itulah seluk beluk hidup bertetangga. Catatan ini tentu akan terus bertambah seiring dengan perjalanan hidup saya yang akan selalu mempertemukan saya dengan tetangga-tetangga baru… Selamat menemukan hikmat dalam be Wonosobo, awal Mei 2012 Y. Defrita R.