Rabu, 27 April 2011

Di depan tempat cuci piring, aku mencuci dan merenung...

Kotak ajaib bernama televisi sudah lama menayangkan sajian khas berselera untuk para ibu rumah tangga yaitu Menu Sinetron dengan berbagai macam bumbu, variasi dan toping. Tapi sejatinya bahan dasarnya sama yaitu menampilkan sesuatu yang tidak sepenuhnya real bahkan ada yang lantang mengatakan bahwa itu semua hanyalah hipereralitas. Konflik yang dijual sejak dari episode pertama sampai entah kapan berakhirnya adalah konflik yang kadangkala over exposed. Sosok para pemainnya pun dengan gamblang dibedakan hitam dan putihnya. Ada tokoh yang hobi teriak, membentak, selalu dipenuhi ide-ide jahat dan keji, macam tidak ada perikemanusiaannya. Ada pula tokoh yang sungguh malang nasibnya karena sejak dari awal episode selalu menangis (saya heran kok ndak capek ya nangis terus), dihina, ditipu, dijebak, dianiaya dan seterusnya. Jarang ada sinetron yang mampu menampilkan karakter yang tidak murni hitam juga tidak sepenuhnya putih. Barangkali memang lebih mudah mengolah dan menampilkan yang ekstrem sekalian ketimbang yang tanggung.

Malam ini sewaktu saya makan, televisi sedang menampilkan adegan sebuah sinetron. Tenang bukan saya yang menonton. Saya yang sedang makan cukup takjub mendengar gaya bicara khas pemain sinetron. Lebih takjub lagi menyaksikan para pemirsa yang setiawan dan setiawati menonton adegan demi adegan. Dan menjadi sangat takjub tatkala adegan-adegan tersebut memancing emosi para pemirsa. Yah, sinetron yang namanya nama bunga, nama karakter sikap, nama sifat, telah berhasil meyedot perhatian pemirsa (tentu tidak semua). Sambil mencuci piring 1 buah, gelas 1 buah, sendok 1 buah saya termenung (tentu saja sambil menyabuni piring, gelas dan sendok). Saya membandingkan karakter-karakter yang ditampilkan di sinetron dengan karakter-karakter manusia yang saya jumpai dalam keseharian saya. Jujur saja, saya adalah orang yang suka mengamati. Mengamati  orang adalah kegiatan yang sangat menarik. Saya betah duduk berjam-jam hanya untuk mengamat-amati cara orang berinteraksi dengan orang lain, mengamati gesture tubuh orang lain ketika mengucapkan kalimat tertentu, ekspresi wajah, intonasi suara dan tanpa mereka sadari, mereka yang saya amati itu sudah mentransferkan begitu banyak informasi kepada saya tanpa mereka sadari. Informasi itu saya pakai nanti ketika saya harus berinteraksi dengan orang-orang yang sudah saya amati itu tadi. Dan menurut pengalaman saya, ini memudahkan saya untuk menjalin keakraban dengan mereka, dan relasi atau kekerabatan itu pun tercipta. Balik lagi ke soal permenungan di depan tempat cuci piring.

"Ehm..enak ya kalau karakter-karakter orang di sekitar ku itu gampang di tebak, jelas hitam dan putihnya." begitulah dialog pertama saya dengan diri saya yang lain. "Iya lho...kalau dalam kehidupan sehari-hari orang-orang yang kita jumpai itu ndak murni hitam atau sepenuhnya putih..tapi ada juga yang abu-abu...ya ndak jahat ya ndak baik-baik amat..." Walah, yang begini ini yang runyam...ya ndak jahat ya ndak baik..nah lo..ni orang berdiri di mana yak. Begitulah rentetan gerutu saya disaksikan piring, gelas, sendok, garpu, penggorengan dan panci yang diam membisu.  Kalau saya berhadapan dengan mereka yang karakternya jelas hitam...barangkali konfrontasi terbuka bisa saja meletus dan dicetuskan. Atau setidaknya saya bisa menciptakan radius aman dengan orang itu. Begitu juga kalau saya berhadapan dengan orang yang karakternya putih, bisa dengan terang benderang hatinya yang baik itu saya saksikan. Tapi ini abu-abu...ya ndak jahat-jahat banget sich...tapi juga ndak baik-baik amat! ckckckckckc...

Tapi sebetulnya setiap kita ini punya grey area. Area dimana kita kadang ndak jahat-jahat banget sama orang lain, tapi ya tetep ada jahatnya walaupun ndak selalu karena masih ada baiknya...begitu sebaliknya. Kalau mau jujur manusia yang paling baik sekalipun...paling putih sekalipun tetap ada grey area-nya. Sebaik-baiknya hati saya, masih ada grey area-nya...dan sejahat-jahatnya saya, masih ada grey area yang menampilkan seberkas kebaikan. Sebaik-baiknya saya, saya masih punya sifat buruk (ndak cuman punya tapi mungkin banyak hehehehe)...dan seburuk-buruknya sifat saya, masih ada baiknya. Begitu juga dengan Anda...dengan kita semua. Sinetron menampilkan sesuatu yang tidak real yaitu karakter grey area yang tidak ditampilkan, sehingga kita hanya menyaksinya indahnya dunia kalau karakter setiap orang itu jelas. Jelas jahatnya dan jelas baiknya. Ada lakon pahlawan yang baiknya minta ampun dan lakon penjahat yang kejinya luar biasa. Tetapi syukur kepada Allah, bahwa narasi hidup saya bukanlah sinetron murahan. Allah menuliskan alur kisah yang menarik dan selalu penuh kejutan. Allah menciptakan karakter-karakter pemain yang tidak sepenuhnya berifat baik, dan tidak sepenuhnya bersifat jahat, sehingga hidup kita indah, berwarna, dan tidak murahan.

Dan akhirnya sambil meletakkan piring, sendok dan gelas, saya melirik sinetron itu dan tersenyum sambil berbisik, "Terimakasih Tuhan untuk orang-orang yang memiliki "grey area" yang kau tempatkan di sekitarku...ini pasti akan menjadi narasi yang indah...terimakasih bahwa seburuk-buruknya aku, masih ada yang baik dalam diriku dan demikian sebaliknya. amin"

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar