Senin, 28 Oktober 2013

Membuka Kotak Simpanan Wombat

Kemarin siang seketika saya ingin mengunjungi sebuah kotak lama.  Mengunjunginya dan menata kembali barang-barang di dalamnya. Ada foto lama bersama teman-teman, ada foto tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Menata semuanya pada tempatnya. Melihatnya kembali...ahhh..lebih baik.

Kemudian saya membuka kotak yang lain. Disana ada banyak tulisan cerita yang sudah selesai, belum selesai, seperempat jalan, bahkan ada yang baru dua halaman dan jelas masih menyisakan ruang untuk diselesaikan.

Satu per satu saya baca lagi cerita-cerita yang sudah berakhir. Lalu cerita-cerita yang membeku menunggu diakhiri. Di sana saya menemukan diri saya bertahun-tahun lalu. Saya yang menulis dan menulis namun tidak pernah ditampilkan. Cukup dibaca sendiri atau dinikmati oleh teman-teman yang sedang berkunjung. Saya jadi teringat reaksi beberapa dari mereka. Ada yang menangis sambil membaca. Ada yang terus menerus menagih lanjutan ceritanya. Ada pula yang tidak suka karena ceritanya menyedihkan. Namun mereka adalah pembaca pertama saya.

Sekarang, beberapa mengenal saya sebagai orang yang menulis artikel bersifat ilmiah dalam dua buku bergaya bunga rampai. Apa jadinya kalau mereka menemukan kotak ini dan menemukan sisi saya yang lain. Mungkin mereka akan terkejut. Jauhlah tulisan-tulisan itu dari aroma ilmiah.

Bahkan saya pun terkejut. Bagaimana bisa saya menuliskan cerita tentangn seorang perempuan yang cinta mati pada kopi dan pada lelaki yang mengenalkannya pada kopi untuk pertama kalinya. Tentang seorang manusia yang mencari tahu makna kehidupan. Tentang empat orang kawan yang menjalani narasi hidup berbeda. Tentang rasa yang tak pernah sampai. Dan tentang pamit.

Mungkin saat itu saya membiarkan diri saya menyelami lamunan yang mengantarkan saya ke tempat-tempat baru dan rasa yang baru. Saya menjelma notulis yang mencatat semuanya. Maka ada catatan yang rampung ada pula yang menunggu untuk diselesaikan.

Selain saya menemukan tulisan-tulisan tadi saya menemukan tulisan -tulisan ringan yang isinya adalah refleksi dan cara pandang  saya terhadap berbagai hal. Rupanya ada juga sekelompok kecil orang yang rajin membacanya dan memberikan tanggapan di email saya.

Saya sadar mereka adalah orang-orang yang mengetahui aktivitas wombat yang terus menggali. Terimakasih.....

Wombat masih akan terus menggali....

28 oktober 2013
Defrita

Bicara

Mari duduk sejenak
Jangan ragu dan jauh
Mari mendekat kita bicara

Tapi tunggu...
Apa itu yang ada di tanganmu?
Ya, apa yang kau genggam erat-erat nyaris meledak itu?

Agaknya kita tak bisa duduk bersama
Lalu bicara dari hati ke hati
Selama sesuatu yang kau genggam tak kau lepaskan

Buang semua prasangka
Tak hendak aku menghakimimu kawan
Buang semua curiga
Tak aku bawa badik untuk mennghunjammu

Buang semua asumsi-asumsi
Tak hendak kita adu tafsir...

Mari,
Sini ...
Kita bicara..
Apa saja yang membuat jiwamu lega...

Mari kita bicara
Menabung kenangan yang lama tak bersua...

Dengan tanganmu kosong
Dengan tanganku kosong
Kita bicara

Tanpa tendensi...
Tanpa pura-pura...
Tanpa basa-basi...
Kita dua sahabat lama...


Yohana defrita rufikasari
Oktober 2013

Selasa, 15 Oktober 2013

Ubah Gaya Hidup!!!!

Beberapa teman dekat selalu mengatakan kalau saya ini orang yang sangat peduli lingkungan. Entah apa alasannya namun saya menduga alasan terbesarnya adalah karena tugas skripsi saya bertahun-tahun yang lalu. Walaupun tidak secara spesifik membahas soal cinta lingkungan dalam koridor aktivis. Sebab yang saya bahas adalah problematika dan rangkaian pengalaman para perempuan yang menjadi korban dari lumpur Lapindo di Sidoarjo dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia.

Tapi kali ini saya tidak sedang ingin membagi kisah tentang skripsi saya yang sudah jadul itu walaupun harus diakui tulisan ini sangat dijiwai oleh semangat dari skripsi saya itu. Berawal dari skripsi itulah saya mengenal dan akhirnya jatuh cinta pada gaya hidup yang mencintai lingkungan, mencintai alam. Bermula dari cinta pada pandangan pertama maka saya sedapat mungkin menerapkannya dalam kehidupan saya. Prinsipnya sederhana, semakin banyak kita membeli barang, semakin penuh bumi dengan barang-barang kita. Pertanyaannya adalah pada mau dibuang kemana itu kalau sudah penuh? jawabannya...taaa..daaa...gak bisa dibuang ke mana-mana...ya tetep di bumi.

kebayang kan kalau satu orang dalam satu minggu bisa beli dua pasang sepatu dan tiga buah baju baru sementara di rumah masih ada dua lemari? wowwww! Prinsip yang lain adalah mendidik diri saya sendiri untuk tidak jadi orang yang konsumtif tapi kreatif menggunakan, mengolah, menciptakan barang baru dari yang lama. Semangat inilah yang mendorong saya untuk benar-benar merubah gaya hidup saya lebih ke arah eco-friendly dan un-consumtive...

Mulai dari hal yang sederhana seperti tidak menggunakan plastik ketika berbelanja, menolak untuk tawaran petugas supermarket yang mau membungkus barang bawaan saya dengan tas plastik padahal mungkin barang yang saya beli bisa dengan mudah dicemplungin di tas hehehehe, tidak gonta-ganti sepatu selain alasannya gak punya duit hehehe, sepatu yang abru dibeli biar awet dijahitkan dulu alasnya. Kalupun sudah dijahit namun rusak pula tak perlu risau, tukang sepatu punya bayak perbendaharaan materi yang bisa menyulap sepatu rusak (tapi masih layak pakai) jadi okeee lagi hehehe. 

Seperti yang saya ceritakan tadi, perubahan yang saya lakukan sekarang tergolong "ekstrem" dalam definisi saya. Mengapa ekstrem? karena kalau dulu life style eco-friendly itu cuman sebatas pengurangan pemakaian tas plastik, lalu mengupayakan sepatu lama jadi oke dipakai tanpa beli baru, maka sekarang perubahan itu merambah ke pakaian. Ya, pakaian. 

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak orang-orang yang menggiatkan semangat cinta lingkungan dan tidak konsumtif ini. Julukannya adalah RE-FASHION. Ya, mendesain ulang pakaian jadul menjadi baru dan nyaman dipakai tanpa merogoh kocek terlalu dalam. Salah seorang blogger, Chonie bahkan mengaku terakhir kali beli baju baru sekitar tiga tahun lalu karena sekarang ia bisa menciptakan pakaian baru yang sesuai dengan karakternya.

Memang itulah salah satu keuntungan me-RE-FASHION pakaian, kita dapat memperoleh pakaian yang pas dengan yang kita inginkan. Pas dengan badan dan ada kepuasaan tiada tara ketika baju lama yang jarang dipakai (entah karena rusak sedikit, tidak muat, tidak cocok modelnya tapi enak bahannya dll) menjadi sering dipakai. Walaupun dengan menjadi re-fashionista (julukan yang saya buat sendiri) kita tidak bisa semodis perguliran trend fashion. Namun untuk orang sejenis saya yang abai terhadap apapun trend fashion dunia saat ini, jelas ini tidak menjadi point yang merugikan hehehehe. Prinsip saya adalah NYAMAN, SEDERHANA TAPI CHIC, dan MURAH hehehehehe...

Hari minggu lalu, saya sudah resmi me-re-fashion satu kemeja hitam kotak-kotak hitam putih ala papan catur yang saya beli waktu saya kuliah semester 8 hehehehehe (lamaaaa bangeeettt) masih muat sih cuman saya ubah bagian kerutan di belakang dan samping kanan kiri saya lepas. Karena kalau dipaksakan begitu tubuh saya yang seperti buah pear makinnnnnn sepertiiiiii peeeearrrr. Lalu kantong kecil di dada kanan kiri saya lepas juga...maka jadilah kemeja yang simple namun chic karena kerutan di tangan dan pundak masih saya pertahankan.... (saya janji begitu ada waktu saya up-load deh fotonya)

Kemudian saya me-re-fashion kemeja hitam yang saya suka bahannya tapi talinya di belakang bikin saya makin terlihat seperti pear. Kalau dipiki-pikir kenapa juga dulu saya beli ckckckckck mungkin dulu saya khilaf T__T tidak sadar kalau badan seperti pear ;)

Tali dibelakang di lepas, lalu belahan di samping kanan dan kiri dijahit dan kemudian saya menambahkan brokat sisa sehingga lebih panjang sedikit. Maklum itu kemeja saya beli waktu saya semester 2 hehehehehe...barang lama selalu punya cerita kan :)

Dan yang ketiga adalah blous kembang-kembang kecil dengan aksen kerutan di seputar leher yang mengekspos badan saya sedemikian rupa. KArena itu pemberian pamali kalau dikasih ke orang lain (atau tangan ke tiga) heheheheh maka saya putuskan melepaskan semua kerutan itu walapun butuh waktu lama dan jari saya sampai berdarah hiksss....tapi tak apa demi mendapatkan hasil oke...

Rencana kedepan saya akan me-refashion kaos putih polos yang akan saya tempeli tulisan CHLOE bling bling dari kaos saya yang lama. Itu yang pertama, yang kedua masih dengan kaos putih, akan saya tambahkan renda dan merubah model kerahnya hehehehe. 

Waktu saya buka lemari pakaian saya...taaaaddaaa ada banyak materi yang bisa dikreasikan ulang :D jadi tidak sabar untuk segera melaksanakan dua rencana saya itu hehehehe...

Inilah yang saya maksud dengan perubahan ekstrem karena dulu sih cuman sebatas mengurangi konsumsi pakaian. JAdi kalau saya beli satu baju, satu baju di lemari harus saya berikan pada orang lain. Kali ini tidak, saya tidak beli baju baru, tapi saya tidak memenuhi lemari...tidak konsumtif...dan terlebih lagi tidak membuat bumi semakin terbeban dengan limbah ciptaan saya hehehehe...


Yukkk ikutan merubah gaya hidup kita jadi lebih ramah lingkungan, dan tidak menjadi manusia Indonesia yang konsumtif :D



note:
untuk-untuk fotonya menyusul ya... :D





Yohana Defrita Rufikasari
15 Oktober 2013
















Senin, 14 Oktober 2013

Suara Ibu

Pagi tadi saya berkunjung ke rumah teman kuliah saya dulu. Saya sampai di rumahnya jampir jam sepuluh pagi. Setelah mengetuk beberapa saat, pintu dibukakan. Dari balik pintu saya melihat wajah seorang perempuan sederhana namun bersahaja. Dia mempersilahkan saya masuk dan duduk. Dia segera masuk ke dalam dan memanggil-manggil anaknya.
Selang sepuluh menit kemudian, saya dan teman saya asyik ngobrol ke sana ke mari. Tiba-tiba di sela-sela tawa dan kisah kami, saya mendengar bunyi srekk..srekkk..srekk... Ya, suara orang sedang menyikat sesuatu. 
Suara yang konstan namun kentara sekali tak ingin menganggu perbincangan dua anak muda yang doyan cerita di sisi ruangan yang lain. Namun suara itu makin menggoda saya untuk mengalihkan perhatian saya ke suara sikat itu. Tiba-tiba saya teringat suara yang serupa di rumah saya. Ya,suara sikat yang setiap dua hari sekali terdengar bersemangat.
hahahaha...rupa-rupanya suara ibu di mana saja itu sama.
Suara sikat itu menemani cerita sana sini kami soal perjalanan hidup kami dan ternyata ibu ada di sana. Ada di setiap lekukan dan tanjakannya, ada di setiap jalan yang curam. Ada di setiap keputusan sulit yang harus diambil. Dan ada di saat bahagia. 
Teman saya menceritakan kedekatan hubungannya dengan ibunya, dan saya dapat melihat haru itu memancar. Sungguh, baru kali ini saya melihat ada seorang laki-laki yang menahan air matanya lompat ketika ia bercerita tentang ibunya, ketika ia memperagakan belaian ibunya. Cinta kepada ibu nyata sungguh di dalam binar matanya.Keharuan dan kecintaan yang diekspresikan dengan lugas. 
Ibu di mana saja rupanya sama...sama-sama mendukung anaknya, apapun keputusan yang diambil oleh anaknya. Tiada kata mendebat. Tiada sikap menolak. Yang ada hanya tatapan lembut dan memasrahkan semua jalan-jalan di depan sana kepada kehendak-Nya semata-mata agar anaknya bahagia. Dan ketika anaknya terperosok dan terluka, tiada kata menghakimi, tiada sikap menyalahkan. Tangan kasar ibu merengkuh dan mendorong untuk melangkah lagi.
Ahhhh...ibu di mana saja sama. begitu simpulan saya tadi...

Dari suara sikat yang melatar belakangi obrolan saya dan teman saya, ekspresi cinta dan apresiasi terhadap cinta ibu mengalir deras memenuhi batin...


terima kasih ibu.... 
untuk membiarkan ku memilih jalanku
membiarkanku bersikukuh dengan apa yang ku anggap benar
dan walaupun kemudian aku salah...
untuk berada bersamaku dalam kekalahanku...
untuk menemaniku dalam luka dan kecewa...
untuk selalu percaya bahwa aku bisa
bahkan ketika tak seorangpun yakin...
untuk berharap yang terbaik untuk ku...
untuk membelaku menghadapi orang-orang jahat...
untuk meyakinkan aku bahwa hidup itu indah walaupun tidak selalu mudah...
untuk namaku dalam doa-doa mu...
untuk selalu memberikan yang terbaik untuk ku
terima kasih ibu 
sudah menghadirkan keindahan dalam hidupku...







Y.Defrita Rufikasari
Senin, 14 Oktober 2013











Kamis, 03 Oktober 2013

Catatan Perjalanan: Perjumpaan di Filipina....

Catatan Perjalanan: Perjumpaan di Filipina....: Bila hendak ada damai di dunia, bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa, kota-kota henda...

Perjumpaan di Filipina....


Bila hendak ada damai di dunia,
bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai
Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa,
kota-kota hendaknya tidak saling berperang
Bila hendak ada damai di kota-kota,
para tetangga harus saling memahami
Bila hendak ada damai di antara para tetangga,
mesti ada keharmonisan di rumah tangga
Bila hendak ada damai di rumah tangga,
kita masing-masing mesti menemukan hati kita
-Lao Tsu, abad ke-6 S.M-
           
            Dalam perjalanan hidup ini, ada banyak kejutan-kejutan kecil yang disiapkan Tuhan untuk saya. Termasuk kejutan saya menghadiri Asia-Pacific Student and Youth Gathering (ASYG) yang diadakan di Bukal Ng Tipan, Taytay Rizal, Filipina dari 30 Agustus-5 September 2013. Kejutan yang menghantarkan saya mengalami perjumpaan dengan sesama yang memperkaya batin. Sebenarnya, ini adalah kali pertama Indonesia melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengikuti forum ASYG. ASYG sendiri adalah forum pertemuan yang diprakarsai oleh Ecumenical Asia Pacific Students and Youth Network (EASY NET) yang beranggotakan:
·         International Young Christian Students (IYCS)
·         International Movement of Catholic Students (IMCS)
·         Christian Conference of Asia (CCA)
·         World Student Christian Federation Asia-Pacific (WSCF-AP)
·         Young Mens’ Christian Assosiation Asia-Pacific (YMCA-AP)
·         World Young Women’s Christian Association (World YMCA)
·         Asia Pacific Allianceof YMCAs (APAY)
·         International Young Christian Workers (IYCW)
Dan kini Christian Churches in Indonesia (CCI) atau PGI menjadi salah satu anggota EASY NET bersamaan dengan Hong Kong Christian Council dan Hong Kong Christian Students. Sebuah “kemajuan” yang sangat baik mengingat harus diakui dengan jujur kurangnya partisipasi dari pemuda-pemudi Kristen Indonesia dalam forum-forum Internasional seperti itu. Sebagai anggota termuda dan kali pertama bergabung dalam EASY NET, PGI mengirimkan kurang lebih 35 utusan termasuk di dalamnya Sekretaris Eksekutif Depera PGI, Frangky Tampubolon yang ikut mendampingi para delegasi dari Indonesia.
            Dari 35 delegasi Indonesia, GKI SW Jateng mengirimkan 6 orang yaitu Pdt. Samuel Adi Perdana, Pdt. Debora Vivi, Pdt. Bonnie Andreas, Pdt. Surya Samudera Giamsyah, Haleluya Timbo Hutabarat dan saya. Sebelum berangkat ke Manila, tim dari GKI SW Jateng sudah “rapat harian” mempersiapkan segala hal yang mungkin diperlukan selama mengikuti ASYG. Dan syukur, segala macam persiapan itu sangat menolong 6 orang delegasi dari GKI SW Jateng untuk berpartisipasi secara aktif di setiap kegiatan ASYG.
            Asia-Pacific Student and Youth Gathering kali ini mengambil tema “JUSTICE AND PEACE NOW!”. Pertemuan ini dalam rangka menyongsong sidang WCC di Busan, Korea Selatan Oktober 2013 yang memiliki tema: GOD OF LIFE: LEAD US TO JUSTICE AND PEACE. Melalui ASYG ini dihasilkan berbagai macam rekomendasi dari pemuda-pemudi se Asia-Pacifik yang akan disampaikan dalam sidang WCC nanti. Dalam rangka mendukung tema JUSTICE and PEACE NOW! Maka dalam ASYG ada yang namanya EXPOSURE. Exposure dibagi ke dalam beberapa kelompok dan lokasi yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Unik dalam pengertian kasusnya, unik dalam penanganannya dan unik dalam pemaknaannya. Enam delegasi dari GKI SW Jateng pun memisahkan diri ke dalam kelompok-kelompok exposure yang sesuai dengan minatnya. Saya dan Pdt. Bonnie Andreas memilih exposure ke indigenous people di Barangay Laiban, Tanay Rizal, Filipina. Dalam exposure tersebut saya mendatangi dua desa (sitio-tagalog) yaitu Sitio Manggahan dan Sitio Magata.
Kata Laiban memiliki akar kata “Laib” yang berarti “Baga” atau arang. Selama abad ke 16, masyarakat yang tinggal di Laiban menggunakan arang untuk mengeringkan kulit kayu atau daun yang nantinya akan mereka gunakan sebagai pakaian. Dari kebiasaan inilah maka munculah nama Laiban. Pada tahun 2012 populasi di Laiban kurang lebih 4500 orang (2700 perempuan dan 1800 laki-laki). Mata pencaharian mereka adalah bertani, memancing dan berdagang. Setidaknya ada 10 keluarga yang memiliki kendaraan umum yang membawa mereka dari barangay ke kota, sitios ke kota dan sebaliknya. Produk-produk pertanian yang sebagian mereka jual adalah jagung, kelapa, pisang, alpukat, kacang, jahe, dan ubi serta masih banyak yang lainnya.
Saya dan kelompok menempuh jarak 33 kilometer untuk mencapai Barangay Laiban, Sitio Manggahan. Sesampainya di Sitio Manggahan, saya dan teman-teman berkenalan dengan kepala suku di sana dan mulai mengunjungi kebun kacang panjang, serta mendaki “tembok batu” untuk mencapai kebun labu. Mengapa saya bilang tembok batu? Kontur dari bukit ini nyaris tegak lurus seperti batu, dibutuhkan kerjasama yang baik dan kondisi tubuh yang baik mengingat panasnya luar biasa. Dan karena panasnya luar biasa itulah saya tidak bisa menikmati perjalanan ini. Saya terus bertanya-tanya “mau apa sih di kebun labu? Sesampainya di puncak saya menyaksikan hamparan kebun labu dan hutan di punggung Siera Madre. Di situlah saya melihat area yang sangat luas dan sangat indah ini akan diratakan dengan tanah demi pembangunan dam yang akan menyuplai air dan listrik ke Manila. Padahal penduduk di Sitio Manggahan dan Magata tidak mendapatkan aliran listrik dari pemerintah.
Tidak sia-sia pendakian “tembok batu” di siang yang terik itu. Sebab di situlah spot terbaik untuk melihat bagaimana sekelompok orang dikuasai ketamakan dan rela menghancurkan alam serta penduduk Barangay Laiban demi sebuah pembangunan yang nyatanya hanya mensejahterakan sekelompok orang.  Pemandangan yang miris mengingat keramahan dan kesederhanaan penduduk di Sitio Manggahan dan Sitio Magata, serta keindahan alam yang tidak ada bandingnya. Gunung Siera Madre yang melindungi dan menghidupi mereka, sungai yang jernih dan tanah yang subur. Akankah ini semua akan menjadi kenangan?
Penduduk di Sitio Magata dan Sitio Manggahan sudah berupaya sedemikian rupa agar pembangunan dam dibatalkan. Dalam perbincangan bersama dengan beberapa keluarga di dua sitios tersebut, mereka menceritakan bahwa pemerintah Filipina akan menunda pembangunan dam sampai kurang lebih 2 tahun mendatang. Beberapa menyikapinya dengan tidak mau bercocok tanam apapun karena bagi mereka janji 2 tahun lagi itu tidak bisa dipegang karena mereka berurusan dengan pemerintah. Sedangkan beberapa tetap berusaha bercocok tanam sampai waktunya tiba mereka tidak dapat lagi tinggal di sana.

Dalam perjalanan ke Sitio Manggahan saya berjumpa dengan dua orang anak laki-laki bertubuh kurus mengangkut sekarung arang yang lebih besar dari tubuhnya. Badan mereka hitam oleh arang, langkah sempoyongan menahan beban karung dan kondisi jalan yang tidak rata. Rupanya banyak sekali anak-anak di Sitio Manggahan yang tidak bersekolah dan bekerja sebagai kuli arang demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Beberapa anak yang lebih kecil hanya bermain ke sana ke mari. Kemiskinan dan penderitaan tidak menghapuskan keceriaan senyum dan suara tawa mereka. Namun saya meyakini bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, mereka sangat ingin sekolah. Pergi ke sekolah pagi-pagi bukan pergi mengangkut karung arang seharian. Sebenarnya ada sekolah di Sitio Magata yang dapat ditempuh dengan jalan kaki dan menyeberangi sungai dari Sitio Manggahan. Namun beban perekonomian menuntut anak-anak ini memilih bekerja demi membeli beras bagi keluarga.


Dari exposure di Barangay Laiban saya melihat mitos pembangunan yang berlangsung langgeng di negara-negara berkembang. Pembangunan yang bertujuan menyejahterakan, ternyata hanya dinikmati beberapa orang saja. Pembangunan justru meminta tumbal orang-orang seperti di Barangay Laiban-rakyat kecil dan meminta korban dari Siera Madre-alam.
Satu komentar dari seorang ibu yang saya jumpai dalam perjalanan ke Sitio Manggahan, “Kalian luar biasa, dari negeri-negeri jauh mau datang menengok kami. Kalian tahu, pemerintah tidak perlu mengurusi kami. Siera Madre mengurus kami.” Ibu tadi berbicara dengan penuh semangat dalam bahasa tagalog yang diterjemahkan oleh teman saya dari Filipina, Christian Lina. Ungkapan yang diucapkan oleh perempuan sederhana namun pesannya menohok. Sebab seringkali orang-orang dari luar komunitas bertindak bak mesias, padahal yang paling dibutuhkan mereka adalah “biarkan kami tetap tinggal di sini bersama alam dan tradisi kami”. Bagaimana di Indonesia? Apakah ada  konteks serupa?
Seperti tulisan Lao Tsu di atas, saya menemukan diri saya ketika berjumpa dengan Tita (bibi) Ruby, Kuya (abang) Edward (fasilitator dari Harris Memorial College-Community Extension Services and Development) serta orang-orang di Sitio Magata dan Sitio Manggahan. Panas terik, lelah dan migrain justru mengantarkan saya untuk belajar memahami perjuangan mereka. Ya, bila ingin mewujudkan kedamaian, maka pertama-tama temukan diri kita sendiri. Dari sana terbit empati dan dorongan untuk melangkah bersama dalam perjalanan panjang menuju keadilan dan kedamaian…
MARAMING SALAMAT PO! MABUHAY! 

Perjalanan Ke Hong Kong


Lagi-lagi saya diberi kejutan oleh Tuhan. Melalui Depera PGI dan restu dari Pdt. Samuel Adi Perdana, saya berangkat ke Hong Kong seorang diri mengikuti Ecumenical Youth Leadership Development On Justice And Peace Building yang diselenggarakan oleh Christian Conference of Asia Ecumenical Formation, Gender Justice and Youth Empowerment dari tanggal 12-16 Agustus 2013 di Tao Fong Shan Christian Center, Shatin, N.T, Hong Kong.
            Training peace building ini diikuti oleh utusan dari Korea, Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, Hong Kong, dan New Zealand. Tidak banyak pesertanya, kurang lebih 20 orang karena memang bentuk kegiatannya training bukan gathering.  Training ini memiliki tema: JUSTICE-PEACE FOR LIFE:SOWING THE GRAINS OF PEACE. Training dalam rangka menyongsong Sidang Raya WCC di Busan, Korea Selatan, Oktober 2013.
            Saya tiba di Hong Kong tanggal 10 Agustus 2013 jam 21.00 waktu setempat. Setelah selesai mengurus ini dan itu di bandara, saya melanjutkan perjalanan dengan taxi menuju Tao Fong Shan Christian Center. Empat puluh lima menit kemudian saya tiba di sana. Disambut dengan suasana sepi. Setelah berkeliling ke semua lorong dan gedung akhirnya saya bertemu dengan seorang petugas di sana yang kesulitan menyebutkan nama saya. Dengan cepat dia menjelaskan apa yang boleh saya lakukan dan yang tidak boleh saya lakukan. Setelah itu ia mengantar saya ke kamar. Di sana sudah ada teman sekamar saya dari New Zealand, Janice namanya. Pagi harinya saya dan Janice mengikuti ibadah di kapel yang naasnya dilangsungkan dalam bahasa kanton. Tentu saja saya hanya paham “Amin” lain tidak. Tetapi keramahan mereka menyambut saya yang disangka orang Hong Kong ternyata orang Indonesia membuat saya tidak merasa terasing atau diasingkan.
            Kegiatan di hari Minggu nan panas itu hanya saya isi dengan berkeliling lokasi Tao Fong Shan dengan teman sekamar dan teman dari Malaysia. Sore harinya kami menuju pusat kota bersama dengan teman dari Taiwan yang sedikit bisa berbicara bahasa kanton. Syukur kepada Allah! Sebab tidak semua orang-orang di Hong Kong memahami bahasa inggris. Puas melihat Sha Tin, kami bergegas kembali ke Tao Fong Shan sebab makan malam disediakan dari jam 18.00-19.00 lewat dari jam itu, maaf, silahkan makan mie instan. Saya dan teman dari Malaysia, Taiwan, New Zealand dan Filipina serta Grace Moon dari CCa makan malam dengan menu tradisional China dan diiringi dengan instrumentalia lagu-lagu TaizĂ© di dining hall yang arsitekturnya kental nuansa China tradisional. Pengalaman makan malam yang mengesankan.
            Hari pertama diisi dengan presentasi dari negara masing-masing peserta training. Tema yang diberikan untuk peserta dari Indonesia adalah “Globalization and  Freedom Religious in Indonesia. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi terbuka menanggapi presentasi. Barulah di hari kedua training dimulai. Narasumbernya adalah Baht Latumbo dari Filipina. Dia mengawalinya dengan “permainan” Agree or Disagree. Dia memunculkan banyak statement-statement baik tentang konflik, kekerasan, dan ketidakadilan dll. Dalam beberapa kali kami diminta menyampaikan alasan mengapa kami setuju dan mengapa ragu-ragu, atau mengapa tidak setuju.
            Setelah itu Baht memaparkan bentuk-bentuk kekerasan dan Anthony Hope memaparkan tema gender dan keadilan yang semakin menambah wawasan dan kepekaan terhadap situasi-situasi ketidakadilan yang dihadapi oleh orang lain termasuk juga mungkin yang dihadapi diri sendiri. Anthony Hope sendiri datang setiap pagi untuk membawakan PA interaktif.
            Dalam dua hari terakhir, Baht mengajarkan “ACTIVE NON VIOLENCE” yang sangat menyentuh setiap partisipan. Baht menjelaskan bahwa ada berbagai macam respon kita terhadap kekerasan yang terjadi terhadap kita atau komunitas:
·         Passivity
Respon ini muncul karena merasa tidak berdaya, lemah, takut, tidak terorganisir, tidak ada sebuah ikatan batin dalam suatu komunitas. Dampak dari sikap ini adalah ketidakadilan masih berlangsung, pelaku penindasan semakin merasa berkuasa. Dan Baht menambahkan bahwa dengan bersikap pasif, sebenarnya kita turut mendukung langgengnya ketidakadilan di masyarakat. Dalam konteks ini diam tidak selalu emas.
·         Counter Violence
Respon ini muncul karena seseorang atau komunitas sudah merasa terjepit dan ingin segera menyudahi keadaan yang tidak  adil. Responnya seringkali sama atau bahkan lebih buas daripada perlakuan si penindas. Dampaknya adalah kita seperti hamster yang berputar-putar di lingkaran kekerasan, kita menolak kekerasan dan menolak ketidakadilan namun kita justru menindas orang lain. Dan sadar atau tidak respon ini justru menyemai konflik yang baru, menambah dendam, dan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan yang baru.
·         Active Non Violence (ANV)
Definisi dari Active Non Violence adalah sistem individu atau komunitas yang berlandaskan kasih dan keadilan yang bertujuan menciptakan rekonsiliasi. Karakteristik dari ANV adalah:
1.      Proclaim The Truth
Setiap kita yang mengaku murid Kristus harus menyuarakan kebenaran sekalipun dengan suara gemetar. Kebenaran bahwa kita hidup di bumi yang sama mengapa tidak bisa akur, tidak bisa saling menghargai dan merawat?
2.      Protest The Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus dengan teguh menentang kekerasan terhadap kemanusiaan dan terhadap alam. Sampai di poin ini saya tercenung. Apakah saya, gereja sudah teguh dan  lantang memprotes ketidakadilan yang melanda banyak komunitas, banyak kaum marginal di Indonesia? Atau selama ini jangan-jangan saya, gereja hanya sibuk dengan diri sendiri?
3.      Penetrate The Conscience Of The Adversary
Sebagai murid Kristus kita harus meyakini bahwa sejahat-jahatnya orang, di dalam dirinya ada pijar kebaikan. Seperti kata Nelson Mandela, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his background or his religion. People learn to hate and if they learn to hate, they can be taught to love for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
4.      Part From Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus menolak terlibat dan melakukan ketidakadilan. Menjadi agen-agen pembawa damai itu membutuhkan konsistensi dan integritas. Tidak bisa kita bilang “pejuang damai” namun di rumah atau di lingkungan masyarakat kita bertindak diskriminatif.
5.      Pray Incessantly
Sebagai murid Kristus kita harus merendahkan hati kita dihadapan Allah dan tidak menyombongkan diri sebagai orang hebat yang mampu membawa perdamaian. Karena sesungguhnya kita bisa menjadi pembawa damai oleh karena Allah memberi kita kekuatan dan harapan.
6.      Pay The Price
Menjadi murid Kristus yang memperjuangkan keadilan dan kedamaian harus berani dan rela membayar harga yaitu menerima setiap resiko buruk yang mungkin terjadi bahkan yang berujung pada kematian.
Dalam diskusi mengenai ANV, Baht dengan sangat indah mengajak partisipan untuk merefleksikan Yohanes 8:2-11. Kisah seorang perempuan yang ketahuan berzinah dan nyaris dirajam batu sampai mati oleh masyarakat. Dalam refleksi itu Baht mengajak partisipan menelaahnya dengan kacamata ANV. Pertama, pertanyaan Yesus: Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Pertanyaan Yesus ini hendak menunjukkan bahwa “Setiap orang sesungguhnya berdosa” jadi tidak ada seorang pun yang paling suci di dunia ini.
Bukankah dalam kasus perzinahan, bukan hanya perempuan saja pelakunya, tentu lebih dari satu orang, lalu mengapa hanya perempuan itu saja yang hendak dirajam? Tentu ada yang salah dalam sistem keberagamaan yang berlangsung saat itu, maka pernyataan Yesus menunjukkan protesnya terhadap sistem keberagamaan yang ada saat itu, yang bias gender. Melalui satu kalimat itu Yesus juga hendak penetrate the conscience of the adversary. Kalimat Yesus menyentak kesadaran mereka tentang arti hidup beragama mereka selama ini. Dan Yesus memutuskan untuk tidak mengambil bagian dalam tindakan penuh ketidakadilan itu sekalipun sudah digariskan dalam hukum. Dia tidak ikut-ikutan mengambil batu dan merajam perempuan itu.
Kemudian Baht berefleksi bahwa ketika Yesus sedang duduk dan menulis di tanah, dan kita tidak tahu apa yang dia tuliskan, Yesus sedang berdialog dengan Bapa-Nya. Memohon kekuatan dari Bapa-Nya dan kebijaksanaan untuk melihat kasus ini dengan jernih. Dan yang terakhir adalah, dengan sikap Yesus yang active non violence, Dia sangat beresiko dirajam batu saat itu karena ia tampil menyatakan kebenaran dan keadilan demi kemanusiaan si perempuan tersebut. Setelah orang-orang itu pergi, Yesus pun tidak menghakimi si perempuan, Dia hanya berpesan, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
            Menjadi murid Kristus kita memang harus meneladani gaya hidup-Nya salah satunya adalah menjadi orang-orang yang Active Non Violence. Ketika saat ini di Indonesia kita diperhadapkan dengan banyak permasalahn mulai dari soal perekonomian hingga soal maraknya kelompok-kelompok radikal yang menjelma hakim dan jagal bagi umat Kristen, Katholik, Ahmadiyah, Syi’ah, apa peran serta yang bisa kita lakukan berkaca dari prinsip Active Non Violence ala Yesus? Di balik perasaan pesimis dan serba runyam yang melanda negeri ini, toh saya masih melihat ada harapan di dasar kotak pandora yang kadung terbuka. Bersamanya mari menaburkan benih-benih keadilan dan kedamaian di manapun kita berada…

Biarlah Kotak Pandora Itu Terbuka


Ketika saya membuka hubungan dengan kawan-kawan di seberang pulau dan benua, hanya sepersekian detik kemudian, maka saya sudah dilimpahi banyak berita. Barangkali itulah sebabnya banyak orang yang akhirnya terpaku di depan layar komputer, laptop, tablet, smartphone karena ada banyak berita yang menuntut dicermati entah penting atau tidak. Beberapa hari belakangan memang saya menjadi kian akrab dengan beberapa sosial media. Yang awalnya hanya membagi pikiran sekarang berubah menjadi obrol sana obrol sini. Ya, rapat yang dulunya hanya terjadi di dunia nyata, kini tengah berlangsung di dunia maya.
Maka suatu pagi di hari Minggu, saya mendapat kabar dari teman saya di Pakistan bahwa telah terjadi bom bunuh diri di tengah misa. Beberapa saat kemudian seorang teman di Tangerang mengirimkan kabar bahwa sebuah gereja katolik di dekat tempat tinggalnya ditutup. Tak lupa ia mengirimkan selebaran yang berisi ajakan untuk bersama-sama menolak pembangunan gereja tersebut.
            Kemudian ditambah kabar dari teman saya di Bangladesh yang menceritakan situasi opresif yang umat Kristen hadapi di Bangladesh. Ya, satu hari Minggu itu saya melihat wajah Pakistan, wajah Tangerang dan wajah Bangladesh. Wajah penuh duka. Wajah penuh ketakutan dan kerapuhan.
            Teman-teman saya di Hong Kong, Taiwan, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea serta New Zealand bersama-sama memanjatkan doa bagi semua orang yang sedang mengalami penderitaan di Pakistan, Tangerang dan Bangladesh. Dalam sosial media itu pula beberapa teman menyampaikan keprihatinan dan solidaritasnya.
            Pikiran saya terbang pada sebuah ingatan ketika saya di Hong Kong, seorang teman bertanya tentang kabar penutupan gereja, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah. Ah…berita tentang negera saya sudah menyeberangi lautan mendahului saya. Tak banyak yang bisa saya ceritakan padanya. Sebab kata-kata yang tidak diwujudkan menjadi tindakan akan membawa petaka, begitu kata William Blake.
            Namun ketika pertanyaannya beralih “Apa kontribusi gerejamu?” saya hanya diam. Saya mungkin yang bodoh dan tidak tahu apa saja karya yang sudah dibuat oleh gereja saya. Maka saya diam daripada salah bicara. Saya mengalihkan pandangan pada kapel pagoda yang menjadi kelabu karena taifun berhari-hari.
            Dan kini di sini, di rumah saya duduk dan menyimak semua berita yang disampaikan oleh teman-teman saya dengan duka yang mendalam. Benarkah kebrutalan bisa dilawan? Saya berjuang mati-matian untuk meyakini bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik, bahwa dunia akan menjadi damai. Namun jam demi jam, berita dari pelosok negeri nampaknya makin runyam.Siapapun yang menjadi presiden, entah dari partai politik mana pun yang berkuasa, apa pun rancangan-rancangan ekonomi mereka, atau bahkan ketika hal itu tidak, tetap runyam.
            Saya menyaksikan kekerasan demi kekerasan terhadap umat beragama lain hanya melalui gambar, bukan melihat secara langsung. Namun pesan yang terpampang dalam gambar dan berita yang berseliweran itu menimbulkan keprihatinan. Tidak bisakah kita hidup dengan damai dan rukun karena sesungguhnya kita menjejak di bumi yang sama? Menghirup udara yang sama? Melihat matahari yang sama? Saya punya harapan bahwa suatu ketika nanti di bumi ini orang tidak lagi dinilai dari warna kulitnya, tidak lagi dinilai dari apa agamanya, apa sukunya, apa pekerjaannya, kaya atau tidak, pandai atau bodoh, tidak dinilai dari orientasi seksualnya. Namun setiap orang disambut, dirangkul, dan dilibatkan dalam keramahtamahan.
Dalam salah satu mitos penciptaan Yunani, Zeus menjadi murka karena Prometheus telah mencuri api dan dengan demikian memberikan kekuasaan kepada manusia untuk hidup mandiri. Maka dikirimnya Pandora untuk menikah dengan saudara lelaki Prometheus yaitu Ephemetheus. Pandora membawa sebuah kotak yang tidak boleh dibukanya. Akan tetapi, seperti kejadian dengan Hawa dalam mitologi Kristen, rasa ingin tahu tak terbendung lagi. Maka dibukanya tutup kotak itu untuk melihat isinya. Seketika itu juga semua kejahatan di dunia ini terbang keluar dan menyebar ke seluruh penujuru bumi. Tetapi masih ada yang tersisa di dalam kotak yaitu harapan.
Jadi walaupun segalanya nampak runyam dan melahirkan sikap pesimis, meskipun saya menjadi gundah, dan tidak berdaya melihat situasi yang tidak makin membaik sedikit pun, saya tidak boleh kehilangan hal yang membuat saya tetap hidup: HARAPAN. Kata yang seringkali diremehkan oleh beberapa orang karena dianggap meninabobokan. Kata yang telah begitu banyak diplintir oleh pemerintah-pemerintah yang membuat janji-janji yang banyak kali tidak mereka tepati. Dan akhirnya menimbulkan banyak luka di hati orang-orang.
Kata yang saat ini saya pegang erat-erat karena sepelik apapun jalan hidup saya, kata itu sudah membuat saya hidup. Maka saya tidak akan membiarkan kata-kata yang bangun bersama saya di pagi hari itu menjadi terluka parah saat siang hari dan mati mengenaskan di malam hari. Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada kehidupan, masih ada harapan”. Berpegang pada pepatah itu saya optimis menapaki jalan hidup saya dan optimis untuk Indonesia yang lebih ramah, dan dunia yang lebih damai.


Kelekatan



Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!"
Lalu kata orang itu kepada-Nya: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Markus 10:17-22

            Acapkali masyarakat dan budaya mengajari kita untuk percaya bahwa kita tidak akan bahagia tanpa orang-orang tertentu dan benda-benda tertentu, jabatan dan posisi tertentu. Sebagian besar orang membangun hidupnya berdasarkan keyakinan ini tanpa mempertanyakan lagi yaitu bahwa tanpa uang, tanpa kekuasaan, tanpa jabatan tertentu, tanpa kesuksesan, tanpa reputasi bagus, tanpa cinta orang tidak bisa bahagia. Hal ini pada akhirnya menciptakan ketergantungan emosional yang parah. Dalam dunia pastoral dikenal istilah psychological attachement terhadap sesuatu atau seseorang yang kita tanam dari waktu ke waktu yanga diam-diam menimbulkan grief ketika terhadi detachement.
            Kelekatan semacam ini bukan hanya melahirkan kedukaan ketika terjadi detachement namun bahkan sebelum detachement itu terjadi, kelekatan ini menimbulkan beban. Kita akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan semua obyek yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan. Ironinya adalah: orang berjuang mati-matian untuk memperoleh dan mempertahankan kebahagiaan yang sudah menjadi beban bagi kita. Dan tidak mungkin orang bisa menciptakan resep untuk mempertahankan uang, pasangan, keluarga, jabatan, kesuksesan, popularitas tanpa perjuangan rasa cemas, takut, gelisah dan akhirnya tidak menikmati hidup.
Padahal kelekatan itu bukan kenyataan. Kelekatan adalah keyakinan dalam kepala kita yang kita program sendiri.Keyakinan bahwa hanya dengannya kita akan bahagia. Apabila keyakinan ini tidak ada, maka kelekatan juga tidak akan ada. Namun bagaimanapun juga banyak manusia yang sudah terlanjur meyakini bahwa tanpa uang, tanpa popularitas, tanpa jabatan, tanpa reputasi tidak akan bahagia.
Kisah yang ditulis dalam Markus 10:17-22 menggambarkan seorang pemuda yang kaya raya dan mematuhi segala hukum agama namun ia tidak dapat menikmati hidupnya. Ia tidak dapat merasakan damai sejahtera. Mengapa? Sebab ia melekat pada harta kekayaannya. Kelekatannya bisa menyebabkan kegelisahan, ketakutan, dan bahkan kekuatiran bahwa semua itu akan lenyap dari tangannya. Persis seperti orang yang memasukan makanan ke mulutnya namun tangan yang lain sibuk melindungi makanan di piring agar tak direbut orang.
Bisa dibayangkan betapa mirisnya kehidupan pemuda kita ini. Hidup dengan harta melimpah namun beban dan kecemasan senantiasa menghantui. Kondisinya ini dapat dikatakan sebagai kondisi “un-peace” dia kehilangan “inner peace”. Sekalipun ia sudah menaati semua hukum Tuhan, namun dia hanya menjadi orang yang “peace-keeping” bukan “peace-making”. Dia hanya menaati hukum Tuhan dalam relasi antara dirinya dan Tuhan. Bukan menaati hukum Tuhan dalam aksi konkrit yang mensyaratkan sebuah relasi dalam komunitas.
Kondisi yang dialami pemuda kita ini juga masih nampak dan bahkan mungkin makin menjadi-jadi sekarang ini. Harus diakui dengan jujur kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang materialistis dan konsumerisme menjadi sesuatu yang lumrah. Coba saja perhatikan ketika suatu produk smartphone meluncurkan produk terbarunya, kita akan segera melihat antrian mengular dari orang-orang yang ingin menjadi orang pertama yang membeli barang tersebut. Bahkan ada yang rela mengantri dari malam agar ketika mall buka, dia menjadi orang pertama yang ada di antrian. Lihatlah satu orang bisa memiliki 2 sampai 5 handphone sekaligus. Jika tertinggal salah satunya mampu membuat kita frustasi bak nyaris mati. Namun sadarkah kita, semakin kita menjelma masyarakat materialistis, semakin banyak produk barang dan jasa menggelontor hidup kita, semakin banyak sampah yang dihasilkan dan bersama-sama kita menghancurkan dunia dalam sebuah parade konsumerise besar-besaran.
Belum lagi jika kita melongok isi lemari kita masing-masing, akan ada banyak pakaian, aksesories, sepatu, dan tas yang tergantung di sana. Padahal kalau mau jujur acapkali tidak semua benda-benda itu kita gunakan. Bahkan seringkali kita sudah lupa kalau pernah membeli baju atau sepatu namun belum pernah dipakai karena sudah terlalu banyak. Dan ngeri ketika menyaksikan bagaimana jurang antara masyarakat yang kaya dan yang miskin kian hari kian lebar. Si A sudah berkeliling Eropa, sudah menggunakan gadget Apple, sedangkan di belahan bumi yang lain, si B hanya butuh makan. Si C memiliki properti di mana-mana, sementara di negara lain si D tiap malam tidur di emperan toko.  Si E hidup dengan kemudahan teknologi komunikasi yang memampukan ia menanyakan kabar temannya di benua lain. Namun si F meninggal di apartemennya selama 29 tahun tanpa ada yang mengetahuinya. Inilah wajah masyarakat kita.
Bukan berarti saya hendak mengajak Anda hidup ala jaman batu tanpa apapun. Namun menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita menjalani hidup, ada yang tidak beres dalam sistem masyarakat kita. Karena kalau benar-benar kita renungkan, kebutuhan mendasar kita tidaklah sebanyak dan semeriah yang ditawarkan oleh produsen. Betapa sesunguhnya manusia mampu menciptakan barang-barang dan jasa yang mutakhir namun lupa meng-up-grade hatinya.
Memiliki uang, reputasi bagus, jabatan, kesuksesan, cinta dan lain sebagainya memang baik, namun menjadi bencana ketika kita menganggap itu adalah sumber kebahagiaan kita. Bukan, mereka bukan sumber kebahagiaan kita. Tanpa mereka pun kita bisa bahagia. Bahagia itu adalah cara kita memandang segala sesuatu. Dan yang lebih mendasar lagi adalah, merubah fokus kehidupan kita. Fokus kehidupan kita adalah Allah yang murah hati. Allah yang selalu memberikan apa yang paling kita perlukan dalam kehidupan kita. Dengan pemahaman ini kita tidak akan lagi diperbudak oleh uang, gadget, kekuasaan, popularitas, posisi, kesuksesan dan lain-lain. Sebab tolok ukur kita bukan pada “apa yang kita terima” tetapi “siapa yang memberi” yaitu Allah yang murah hati. Maka jika Si Pemberi memutuskan untuk mengambil kembali pemberian-Nya dari kita, kita tidak akan lagi merasa berduka, frustasi, takut, sebab kita tahu Allah yang murah hati akan memberikan sesuatu yang lain yang lebih kita butuhkan.
Dengan konsep demikian, maka urusan berbagi dengan sesama bukanlah persoalan yang menakutkan dan sulit. Sebab setiap orang tidak lagi terikat tidak lagi lekat terhadap harta bendanya. Dan semakin ringan langkah kaki dan hati dalam berbagi…