Selasa, 09 April 2013

Catatan tentang pengalaman saya yang baru… “Mencari sampai dapat”



                Setelah saya membuat keputusan dan melewati pertemuan yang maha membosankan itu maka saya tiba pada milestone yang baru. Saya harus mencari. Ya, saya harus mencari sesuatu untuk dikerjakan. Mencari pekerjaan. Sesuatu yang belum pernah terlintas di benak saya sekalipun umur sudah menginjak usia 26 tahun. Sebuah keputusan yang membuat beberapa orang mengernyitkan alis dan bertanya-tanya mengapa saya mencari pekerjaan. Bagi saya mencari pekerjaan atau sesuatu untuk dikerjakan bukan melulu soal gaji dan jenjang karir. Tetapi kepuasan mengerjakan dan kebahagiaan menyaksikan orang lain menikmati apa yang kita kerjakan. Celakanya sudah terlalu banyak orang yang melihat bahwa pekerjaan itu dicari karena melulu soal uang dan posisi. Maka keputusan saya dan pemahaman saya tentang kerja dan mencari kerja ditafsirkan demikian. Tapi sebentar, bukankah pada mulanya adalah Allah yang bekerja? Mengelola kebun, merawat berbagai macam tanaman, bahkan merawat Adam dan Hawa. Dan sampai sekarang pun Allah masih bekerja. Masakan Allah bekerja saya ongkang-ongkang kaki minum kopi….sungguh terlalu.
                Bagi teman-teman saya yang menempuh bidang studi berbeda dari saya semasa kuliah, sudah tidak asing lagi dengan proses mencari kerja, membuat suarat lamaran, menunggu wawancara, menghadiri wawancara dan mengikuti psikotes. Lalu siap-siap menerima pengumuman diterima atau tidak. Namun dengan pilihan bidang studi yang saya tempuh selama 5 tahun, maka saya tidak mengenyam proses itu. Begitu lulus saya tidak perlu kelimpungan dan demumukan mencari pekerjaan karena semua sudah tersedia. Tinggal siapkan tas, berangkat dan jalani saja. Begitu selalu. Sampai akhirnya hidup membawa saya kepada jalan yang berbeda. Di usia saya yang ke-26 sebulan lagi, saya pada tahap mencari pekerjaan. Mungkin terdengar aneh atau bahkan beberapa orang berkomentar minor, tapi bagi saya ini mengasyikan. Pepatah Cina mengatakan, “Bahkan Tuhan pun tidak dapat menolong orang yang tidak menggunakan kesempatan.” Hahahaha, saya pun bersyukur ada banyak kesempatan ditawarkan kepada saya... Gusti mboten nate sare.....
                Saya mulai rajin mendengarkan, mengamati, dan mencari informasi tentang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan saya. Lalu sibuk membuat surat lamaran. Surat lamaran? Ya surat lamaran. Sesuatu yang tadinya saya tidak tahu sama sekali. Namun kini menjadi sangat akrab hehehehe, bahkan sampai hafal mati formula nya seperti apa. Dulu saya tidak terlalu perduli pada i-branding, sekarang saya menghayatinya sungguh hahaha…
Saya bersyukur hidup menuntun saya melewati pengalaman ini. Pengalaman mencari pekerjaan, membuat surat lamaran, menanti dan berdoa, kemudian berharap diundang wawancara dan diterima. Saya jauh lebih bisa berempati terhadap sesama yang juga sedang berjuang mencari pekerjaan, berjuang mencintai dan menikmati pekerjaannya. Sekalipun banyak orang mencemooh saya, memberikan komentar seperti, “Bodoh banget sih. Udah ada “kerjaan” enak malah cari yang lain.” Atau sejenis, “Rasain tuh kalau mau “keluar” dari sistem ya begitu itu kelimpungan cari kerja.” Dan berbagai macam komentar sejenis. Tidak apa-apa. Orang bebas mau berkomentar apapun tentang milestone saya ini hehehe…karena sekeras apapun mereka berteriak dan mencemooh, saya tokh bahagia dengan pilihan saya. Saya menikmati dan bahkan mensyukuri momen mencari pekerjaan ini. Karena dalam momen inilah saya lebih menghayati artinya SABAR…PASRAH SUMARAH MARANG GUSTI ALLAH…KERENDAHAN HATI…dan BERHARAP juga menghargai relasi yang terjalin selama ini dengan teman-teman. Karena ketika satu lowongan tertutup, Allah membukakan lowongan yang lain yang saya yakini passss betul buat saya J
Bayangkan, ketika banyak orang mencemooh saya, saya justru sedang memunguti pembelajaran itu semua hehehe… barangkali benar kata pepatah lama anjing menggonggong, kafilah berlalu. Ya, suara sumbang dan pedas mereka tidak akan mengentikan saya untuk menikmati hidup saya sekarang ini sekalipun sungguh hidup saya jauh dari definisi nyaman menurut mereka hehehe…
Suatu siang ketika saya selesai mengirimkan surat lamaran, seorang sahabat mengirimkan pesan, begini bunyinya:
Ketika kerjamu tidak dihargai
Maka saat itu kau sedang belajar tentang
KETULUSAN…
Ketika usahamu dinilai tidak penting,
Maka saat itu kau sedang belajar tentang
KEIKHLASAN…
Ketika hatimu terluka sangat dalam,
Maka saat itu kau sedang belajar tentang
MEMAAFKAN…
Ketika kau harus lelah dan kecewa,
Maka saat itu kau sedang belajar tentang,
KESUNGGUHAN…
Ketika kau merasa sepi dan sendiri,
Maka saat itu kau sedang belajar tentang,
KETANGGUHAN…
Ketika kau harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kau tanggung,
Maka saat itu kau sedang belajar tentang
BERMURAH HATI
Tetap semangat,
Tetap sabar,
Tetap tersenyum,
Terus belajar
Karena kau sedang menimba ilmu di sekolah kehidupan
Kau berada di tempatmu bukan karena kebetulan…
Orang hebat tidak dihasilkan melalui,
KEMUDAHAN,
KESENANGAN,
KETENANGAN,
Mereka dibentuk melalui,
KESUKARAN,
TANTANGAN,
AIR MATA.
Ketika kau mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa ditinggalkan sendiri dalam hidup ini…
Tegakan kepalamu…tataplah masa depanmu
Ketahuilah kau sedang dipersiapkan untuk menjadi orang yang luar biasa….
Sampai saat ini saya masih dalam rangkaian proses mencari pekerjaan dan berharap menemukan pekerjaan yang tepat… doa dan dukungan dari sanak dan teman menjadi lagu yang mengiringi langkah saya untuk terus berjalan…terus mencari…hingga dapat J

Banyu urip 2013
Yohana defrita rufikasari

Catatan tentang pilihan yang saya buat (bagian 2-habis) “Pertemuan yang membosankan”



                Menjadi berbeda memang seringkali mengundang tanya dan serempak menuai protes. Begitu sudah hukum alam yang tidak tertulis namun berlaku dalam kehidupan manusia. Orang akan dengan mudah mencecar, menyudutkan bahkan mungkin juga diam-diam mengagumi. Itu pula yang saya alami pasca pilihan yang saya buat. Saya dipanggil dalam sebuah pertemuan yang saya tahu sudah ada skenarionya. Maka sesungguhnya saya tidak pernah memiliki harapan bahwa pertemuan ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Mungkin bagi para motivator, orang dengan model seperti saya ini merusak semua teori motivasinya hahaha. Saya tidak berharap hasil pertemuan menguntungkan kedua belah pihak bukan karena saya sejenis mahluk pesimis akut, tidak. Saya justru realistis. Saya sudah “membaca” gaya mereka. Saya sudah menyiapkan strategi. Terimaksih sedalam-dalamnya untu almarhum Sun Tzu yang diam-diam menginstal semua ini dalam otak saya jauh sebelum saya belajar hal lainnya hehehe…
                Membaca lawan dan menyiapkan strategi adalah bagian wajib sebelum memulai pertempuran, kira-kira begitu gambaran sederhananya. Memang benar pertemuan ini bukan pertempuran dalam arti harafiah kami akan saling berteriak dan adu otot bak kaum barbar. Namun pertemuan ini menjadi genting karena kami mengadu argumentasi. Hal yang paling saya kuatirkan waktu itu adalah saya terpancing secara emosi, sehingga saya tidak bisa lagi membaca mereka dan menyiapkan cara menghadapi mereka. Maka doa saya berhari-hari sebelum pertemuan itu dihelat adalah “Tuhan tolong saya untuk mengendalikan diri saya.”hehehe…
                Ketika pertemuan dilaksanakan di suatu hari yang cerah di kota yang panas, saya berhasil mengendalikan diri saya. Sampai sekarang saya tidak bisa mengerti mengapa saya bisa begitu tenang. Saking tenangnya sampai-sampai mereka kelabakan mencari kata-kata. Dalam hal ini ketenangan kita juga menjadi sebuah strategi tertentu yang membuat pihak lain bingung dan cenderung mengobral kata-kata. Kejadian ini persis seperti cerita tentang perang yang terjadi antara negara Qi dan negara Lu pada tahun 684 S. M.Seorang pria bernama Cao Gui menjadi penasihat bangsawan Zhuang, penguasa negeri Lu. Ketika mereka sudah ada di medan pertempuran, bangsawan Zhuang hampir memberi perintah untuk menabuh genderang sebagai tanda serangan. Namun Cao Gui mencegah. Ketika tentara Qi menabuh genderang, bangsawan Zhuang sekali lagi menyuruh membalas dengan menabuh genderang. Namun Cao Gui mencegah. Setelah pasukan Qi menabuh genderang tiga kali, barulah Cao Gui memerintah pasukan Lu untuk menabuh genderang. Dalam peperangan itu pasukan Qi kalah dan mundur teratur.
                Bangsawan Zhuang heran dengan taktik Cao Gui. Cao Gui menjelaskan, “Ketika mendengar genderang ditabuh untuk yang pertama kalinya, semangat perang tergerak. Musuh bersemangat tinggi tetapi kita tetap diam dan tidak menanggapi. Setelah mendengar genderang ditabuh kedua kalinya, moral dari musuh masih tinggi tetapi tidak setinggi yang pertama. Sekali lagi kita juga tidak menanggapi. Ketika genderang ditabuh untuk yang ketiga kalinya, semangat mereka sudah hampir lenyap, namun emosi yang terkumpul membuat pasukan kita lebih kuat.”
                Dalam beberapa hal ketenangan kita membuat orang lain seolah-olah terdesak untuk melakukan sesuatu. Itulah yang saya alami dalam pertemuan maha membosankan itu. Setiap kali mereka bicara saya diam mendengarkan dan tersenyum sesekali. Ketika mereka minta saya menanggapi untuk pertama kalinya saya diam dan tersenyum. Sekali lagi mereka menjelaskan dengan sangat antusias dan meminta saya menanggapi. Barulah kemudian saya menanggapi dengan ketenangan yang saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi (terimakasih Tuhan hehehe). Beberapa kalimat saja yang membuat mereka semakin menunjukkan siapa diri mereka. Dengan mudah saya kembali membaca mereka.
                Ketenangan saya mungkin bisa ditafsirkan sebagai kebodohan, kedunguan, atau bahkan ketidakmengertian saya akan perkataan mereka. Namun ini point menguntungkan bagi saya karena diam-diam saya merekam mereka dalam benak saya. Ketenangan saya justru mendorong mereka untuk menunjukkan diri mereka habis-habisan. Dan pada akhirnya saya belajar dari mereka,
·         Sistem dan kekuasaan itu bukan segala-galanya. Hormatilah sistem dan kekuasaan tapi jangan pernah memperlakukannya seperti dewa, begitulah nasehat Yan Zhitui (531-591). Sistem dan kekuasaan tidak selamanya buruk, tetapi semua yang serba terlalu itu lah yang mendatangkan keburukan. Dan inilah yang saya saksikan. Sepanjang pertemuan ini yang namanya sistem menjadi sesuatu yang diagung-agungkan, dipuja tiada cela. Dan kekuasaan menjadi mahkotanya. Ah kawan, adakah itu semua mendatangkan kebahagiaan sejati dalam batinmu? Adakah itu semua membahagiakan orang lain? Atau justru hanya demi dirimu semata.
·      Kalau sudah “di atas” bisanya sulit menengok “ke bawah” namun yang “di bawah” diminta selalu menengadah “ke atas”. Padahal kalau sudah di atas itu jangkauan pandangannya bisa luas sekali. Tapi yang terjadi sebaliknya, selalu ada pihak yang disudutkan dengan pilihan-pilihan yang berat dan rumit. Betapa sulitnya mereka memahami orang lain dan segenap pengalamannya. Sungguh beda dengan Jenderal Wu Qi dari negara Wei yang sangat memperhatikan para prajuritnya. Bahkan mau menjadi sama dengan mereka sekalipun sebagai jenderal ia punya segala fasilitas mumpuni. Sulit memang mencari pemimpin yang mau sejenak duduk ndlosor bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya untuk sekedar mendengarkan…
·      Kerendahan hati bukan slogan kering. Kalian sering meminta saya bercermin dengan seksama, bahkan memberi saya waktu untuk itu. Namun ketika saya selesai bercermin, adakah kalian juga sudah melihat wajah kalian di cermin tadi? Lalu bagaimana wajah kalian? Seorang teman pernah berkata, “monyet saja kalau dilempari cermin langsung akan mengambil cermin dan bercermin, tapi manusia? Nunggu disuruh, diperintah.” Tanpa kalian suruh dan minta saya sudah bercermin, hingga hapal lekuk dan ceruknya maka saya berhadapan dengan kalian. Tetapi memang lebih mudah menyuruh seseorang melakukan sesuatu tanpa perlu kita melakukannya. Kerendahan hati adalah kesediaan untuk bercermin dan mengingat betul wajah kita di cermin sebelum bertemu orang lain. Dari sini saya merasa tiba-tiba menyayangi monyet-monyet yang suka becermin hehehehehehe…uuupppssss :D
·      Ketika seseorang sudah terpojok bahkan dengan ketenangan yang ada di hadapannya, maka tiada lain senjata terakhir adalah ayat-ayat Alkitab yang didaraskan tanpa mengenal konteks. Asal cocok dan pas saja di kuping pendengarnya. Belum lagi refleksi teologi asal-asalan yang main tempel sana-sini asal pas dan demi meneguhkan pendapat pribadi. Hmmm…memang ya dari dulu yang namanya Akitab ini bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Sangat lentur rupanya. Namun risih hati ini mendengarkan ayat-ayat diumbar sedemikian rupa, refleksi teologi dijejerkan semenarik mungkin. Ah kawan, dangkal sekali pemahaman ini rupanya. Belajar seharusnya meningkatkan diri kalian bukan?!
·      Panggilan itu adalah milik Allah. Selama Ia masih berkenan memanggil saya dan yang lainnya, maka akan selalu ada jalan. Akan selalu ada skenario bagi saya. Panggilan Allah itu luas, tidak terkotak dan terpusat pada seseorang atau lembaga tertentu. Maka kalau jalan menuntun saya melewati liku yang lain, janganlah semudah itu menganggap Allah mencampakkan saya. Panggilan itu milik Allah tiada guna kita mempertahankan mati-matian. Kalau Allah masih berkenan, maka panggilan itu masih tertuju pada saya, kalau tidak, maka Ia menyediakan jalan yang lain, menuntun saya melewati rute yang lain.
“Bertemanlah dengan orang-orang di mana kamu dapat mempelajari sesuatu darinya.”,begitulah petuah Konfusius kepada murid-muridnya yang saya amini. Sekalipun pertemuan itu menjadi sangat membosankan karena ketenangan saya justru mengundang mereka mengobral kalimat-kalimat normatif yang diplomatif, namun sejujurnya saya perlu mengucapkan terimakasih kepada mereka yang sudah melatih saya untuk membaca mereka dengan jeli… sekalipun saya dan mereka berseberangan dalam banyak hal, namun mereka adalah teman-teman saya yang mengajari saya banyak hal untuk tidak saya lakukan hehehe…
                Maka sekalipun pertemuan dua jam itu tidak menghasilkan apapun karena masing-masing pihak tetap berdiri pada posisinya masing-masing namun saya bersyukur dalam situasi dan pengalaman seperti itu saya tidak kehilangan rasa hormat saya kepada mereka. Saya tidak kehilangan kendali atas diri saya sehingga dua jam itu saya begitu tenang mendengarkan dan menanggapi mereka. Saya tidak juga menaruh harapan yang berlebihan pada pertemuan tersebut. Saya sangat bersyukur untuk semua itu….tidak sia-sia sekalipun membosankan…hehehehe…
Banyu urip 2013-yohana defrita rufikasari



(melengkapi catatan...)

Kamis, 04 April 2013

catatan tentang pilihan yang saya buat...


Catatan tentang saya dan pilihan yang saya buat…..       

Pagi tadi seorang teman mengirimkan gambar yang dengan kalimat inspirasional, begini bunyinya “Doing what you like is freedom, liking what you do is happiness.” Namun dalam kenyataannya tidak selalu seindah bunyi kalimat inspirasional itu. Setidaknya bukan hanya ketika berhadapan dengan orang lain namun dengan hati sendiri.
                Ketika saya memutuskan melakukan sesuatu yang saya anggap benar, memang seketika itu pula rasanya plong dan enteng. Seolah-olah gunung es sudah di pundak itu sudah dibuang jauh entah kemana. Namun seketika itu pula saya dikerubuti oleh berbagai macam pertanyaan yang bising. Mulai dari pertanyaan mengapa sampai pernyataan bahwa saya cukup gila untuk melawan arus dan menciptakan jalan saya sendiri. Sesuatu yang sudah pada tempatnya tak perlulah dipertanyakan ulang mengapa harus di sana atau mengapa begini dan begitu. Cukup diterima saja dan dijalani. Ibaratnya telur hendak memindahkan batu, maka si telur ini yang akan hancur. Bahkan ada yang tidak segan-segan mengatakan saya gila karena mau jadi mesias. Sok pahlawan. Pembangkang. Kurang lebih begitulah pendapat-pendapat yang beredar di sekitar kuping saya. Mungkin beginilah keadaannya kalau orang terlampau memuja keteraturan dan sistem, sekali lagi ini tidak salah. Namun semua yang serba terlalu itu biasanya tidak baik hehehe. Maka sekalinya ada yang memilih berbeda jalan, seluruh penghuni sistem kebakaran jenggot. Sibuk melontarkan komentar miring dan menyudutkan. Bahkan tak segan-segan menggunakan cara lama “keroyokan”. Jengah memang dan bahkan muncul hasrat untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya mengambil langkah seperti ini. Pada awalnya saya pikir cara ini paling pas untuk meredam dengungan pertanyaan yang kian lama kian bising dan menyengat.
                Tetapi saya salah. Saya lelah. Tidak satu pun kalimat saya diterima dengan baik. Tidak satu pun kata-kata saya diresapi. Maka saya menyerah. Saya menyerah untuk terus berjuang membuat orang lain mengerti mengapa saya begini dan begitu. Saya tidak lagi mau mengobral kata pada mereka yang benar-benar tidak mau belajar mendengar…karena pada kenyataannya mereka juga tidak benar-benar memahami apa yang mereka lakukan. Para pemuja sistem yang sulit mengakui bahwa ada yang tidak baik di sana. namun alij-alih mengakui, justru ayat-ayat Alkitab dipakai sekenanya, refleksi teologi dipakai hanya untuk mengukuhkan keyakinan mereka...Ah, percuma bicara berjam-jam dengan orang macam begini....
                Kelelahan itu menghantarkan saya kepada satu pemahaman bahwa pilihan saya, perjuangan saya, milestone yang harus saya tempuh bukanlah tentang membuat orang lain mengerti mengapa saya begini dan begitu namun pertama-tama adalah saya tahu apa yang saya lakukan. Saya bukan hanya tahu, tetapi saya bahagia melakukannya. Sekalipun ketika jalanan ini saya susuri, makin terasa bahwa saya memang sendirian memilih jalan ini. Sepi memang. Namun di balik itu semua, saya merasa saya melakukan sesuatu yang saya anggap benar dan layak untuk diperjuangkan. Dan saya bebas dalam diri saya sendiri. Saya tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi pada hidup saya, sebab hidup menuntun saya melewati jalan yang tidak biasa, itu saja.
                Setelah saya lelah menjelaskan ke sana dan ke mari, suara bising tanya itu memang tidak juga mereda namun berubah menjadi “lalu setelah ini kamu mau apa?” atau “kamu mau jadi apa?”. Awalnya saya terhenyak! Iya, saya mau apa? Apakah saya hanya sampai pada semangat perjuangan lalu sudah, selesai ceritanya? Atau ada kelanjutannya?.
                Kembali lagi saat-saat seperti tersengat listrik itu membawa saya kepada pemahaman bahwa hidup ini bukan soal status, bukan soal kamu punya apa, tapi kamu bahagia tidak dengan apa yang kamu lakukan dan kamu miliki. Beranjak dari sana maka setiap kali orang bertanya, “mau jadi apa kamu?” saya tidak lagi tersengat listrik, saya menjawab, “jadi apa saja yang membahagiakan saya. Dan saya tidak kuatir akan hal itu.” Benar memang, ketika satu pintu tertutup untuk saya, masih ada jendela dan atap yang terbuka. Selalu begitu polanya. Maka saya katakan saya tidak kuatir akan hal itu.
                Maka tergelak lah saya ketika mendengar seseorang berkata kepada saya, “kamu tidak save di sana, kamu tidak punya status apapun di sana.” Ah, kawan, hidup ini terlalu luas dan terlalu indah untuk kau rangkum dalam sesuatu yang kau sebut status. Hidup ini terlalu kaya untuk kau masukkan dalam definisi harta. Jika hidup, dan pilihan-pilihan yang kau buat di dalamnya hanya berputar-putar di sana, aha…kau sudah melewatkan banyak hal berharga di sepanjang perjalanan itu.
                Dari pengalaman yang awalnya mendebarkan, kemudian melelahkan dan berangsur-angsur membahagiakan saya justru belajar menemukan diri saya dan mencintai diri saya. Saya belajar menemukan bahwa saya tidak mudah menyerah sekalipun dalam pilihan hidup ini saya bertemu dengan orang-orang dan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, namun juga ada yang tidak, tetapi semuanya sangat berharga. Saya belajar menemukan bahwa pendapat banyak orang bukan jaminan bahwa pendapat itu benar mutlak. Saya belajar bahwa mendengarkan hati adalah hal terpenting sebelum memulai perjalanan. Sebab sesungguhnya hati kita sudah berbicara dengan semesta dan menangkap maksudnya jauh sebelum kita memikirkannya. Saya belajar mempercayai bahwa sekalipun jalan itu penuh aral melintang, jalan itu harus saya lalui sebab sukacita yang memancar dari hati saya ibarat magnet yang menyiratkan jalan hidup. Harus saya susuri. Dan terlebih dari itu semua saya makin percaya dan merasakan nikmatnya digenggam oleh-Nya….

                Lalu untuk apa saya repot-repot membuat catatan yang mungkin bagi sebagian orang tidak penting? Inilah jawaban saya yang mungkin juga tidak kalah dianggap tidak penting hehehehe….Untuk semua yang tidak memahami, tidak akan pernah memahami dan belum memahami mengapa saya memilih jalan yang berbeda dari yang kalian tempuh, ketahuilah….ada masanya kalian akan sampai pada jalan yang juga berbeda dari yang lain. Hanya dengan begitu, mungkin kalian bisa memahami mengapa saya memilihnya. Untuk semua yang memahami dan mendukung saya baik dalam sayup-sayup doa…terimakasih…kalian adalah pelampung yang membuat saya tetap berani melawan arus…satu hal, kalian tidak pernah memaksa saya mengikuti yang kalian maui….bersama kalian saya masih memeluk kebebasan saya dan kebahagiaan saya……terimakasih sedalam-dalamnya…..

God may show you the way…
But you still have to make the journey
It is not always easy
But you will arrive at your destination





Banyuurip, 2013
Y.Defrita R.


"Siapa mau dan senang jadi pelayan?"


Apa yang akan Anda lakukan jika Anda tahu bahwa 12 jam lagi Anda akan meninggal dunia? Apakah Anda akan tetap tinggal di dalam gedung gereja ini dan berdoa? Apakah Anda akan bergegas pulang bahkan sebelum kebaktian ini selesai dan mulai menelpon orang-orang terdekat dan meminta maaf kepada mereka? Atau anda akan segera pulang, duduk tenang dan mulai menulis pesan-pesan terakhir lalu berbaring di tempat tidur? Pertanyaan sejenis ini pernah ditanyakan kepada saya sewaktu saya mengikuti wawancara masuk Fakultas Theologia UKDW tahun 2005. Anda pasti penasaran apa jawaban saya waktu itu? Hehehe…want to know aja.
            Sekarang, apa yang Yesus lakukan 12 jam sebelum Ia meninggal di salib? Apakah Ia duduk dan menulis pesan-pesan terakhir? Tidak. Ia berjongkok di bawah kaki para murid-Nya dan mencuci kaki mereka. Suatu kegiatan yang saya yakin tidak akan kita lakukan jika kita tahu 12 jam lagi kita akan meninggal. Siapa yang sempat berpikir mencuci kaki orang lain kalau 12 jam lagi kita sudah di Rumah Bapa berpisah dengan sanak saudara dan teman. Namun itulah yang Yesus lalukan. Mencuci kaki para muridNya.
            Setiap tahun melalui bacaan leksionari kita akan selalu berjumpa dengan kisah Yesus mencuci kaki para murid-Nya. Jadi jelas saja kisah ini tidak lagi asing di telinga kita. Namun mari kita sejenak mencermati bacaan yang sudah akrab dengan kita ini lebih seksama…
            Plato, seorang filsuf pernah bertanya, “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” Rupanya Plato lebih jujur daripada saya dan Anda. Sebab sering kali kita berkata bahwa kita mau melayani orang lain, namun dalam prakteknya kita bersikap, “Eh, enak aja nyuruh-nyuruh, emang aku jongosmu dia?” Ketika saya melemparkan pertanyaan serupa di sebuah media sosial, ya melemparkan sesuatu ke media sosial itu berarti kita sedang memberi umpan pada lele-lele yang kelaparan. Saya bertanya, “siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” Tak dinyana jawaban yang masuk kurang lebih begini, “Saya, saya mau melayani tapi kalau yang dilayani baik, ndak jahat, aktif, kreatif, cerdas, berbakat…” dan makin panjang daftarnya. Tuh kan, baru saja dibicarakan, memang Plato lebih jujur daripada kita. Sebab melayani itu mengandung banyak segi dan resiko. Melayani itu bukan sekedar bersibuk di sana dan di sini, atau sekedar memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan sesama. Jiwa Kristus adalah melayani dan menghamba. Itu pula jiwa kristiani para pengikut-Nya. Kalau Plato bertanya, “Siapa yang mau menjadi pelayan?” Maka Yesus menjawab, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
            Perkataan Yesus itu bukan hanya OMDO (omong doang) tetapi diwujudnyatakan dalam tindakan, salah satunya mencuci kaki para muridNya. Orang yang membaca atau mendengar cerita tentang Tuhan Yesus yang mencuci kaki para murid-Nya bisa membayangkan skenario kejadiannya. Menurut skenario, apa sebab Yesus membasuh kaki para murid? Pertama, karena di antara para murid tidak ada yang mau bersedia melakukannya. Penyebab yang lain adalah karena di ruangan itu tidak ada hamba atau pelayan. Namun Injil Yohanes mencatat yang lain. Mari kita simak jalan ceritanya…
            Ruangan yang dipakai oleh Yesus dan para murid agaknya bukan rumah tinggal, sehingga di situ tidak ada pelayan. Mereka meminjam ruangan itu dari seseorang yang tidak dikenal dan mereka harus menyiapkan sendiri segala kebutuhan. Begitulah Yesus dan murid-muridNya memasuki ruangan tanpa disambut oleh pelayan yang biasanya membuka sandal para tamu dan mencuci kaki para tamu. Ini adalah adat istiadat dalam budaya Yahudi pada zaman itu, mengingat orang waktu itu tidak pakai sepatu dan jalanan tidak beraspal sehingga kaki kotor karena debu jalanan.
            Menurut catatan pengarang Injil yang lain, suasana di sekitar meja makan malam itu terasa kaku dan tegang. Injil Lukas mencatat demikian, “Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka” (Luk. 22:24). Yesus menentramkan suasana itu dengan berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk. 22:25-26). Lalu Yesus melanjutkan, “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
            Pada masa itu ada kelaziman bahwa di samping kanan seorang pemimpin adalah orang terhormat kepercayaan si pemimpin. Kemudian di sebelah kiri adalah orang terhormat kepercayaan kedua si pemimpin, lalu orang-orang “biasa”. Agaknya para murid sedang ribut soal siapa yang duduk di samping kanan Yesus karena itu berarti ia yang terbesar, terhormat dan orang kepercayaan Yesus. Sehingga persaingan pun jauh dari kata reda dan usai. Maklum bapak, ibu, ini menyangkut gengsi. Siapa sih yang mau dianggap lebih rendah? Bodoh? Lebih kecil? Atau biasa-biasa saja? Tiap orang itu mau dianggap sebagai yang lebih tinggi, lebih besar, lebih terhormat, lebih pandai, lebih kaya dari kenyataan sesungguhnya.
            Karena itu bisa dimengerti bahwa sampai makan malam sudah dimulai, belum juga ada seorang pun di antara keduabelas murid yang mau mencuci kaki para hadirin, karena kalau sampai ada orang nekat yang melakukannya, ahaa…dia akan langsung dianggap sebagai murid yang paling rendah. Bukankah itu tugas pelayan, padahal mereka kan bukan pelayan, mereka tamu.
            Di tengah ketegangan itulah, terjadilah sesuatu yang membuat para murid terkejut, kikuk dan malu. Tanpa mengucapkan kata-kata, Yesus meninggalkan meja, melepaskan jubah-Nya, mengambil sehelai kain, mengikatkan kain itu pada pinggang-Nya, mengambil sebuah baskom, menuangkan air ke baskom itu, berjongkok di depan para murid, mencuci kaki mereka dan mengeringkannya dengan kain yang terikat pada pinggan-Nya.
            Jelas, apa yang diperbuat oleh Yesus merupakan wujud dari apa yang diucapkannya. Supaya para murid-Nya ini lebih “mudeng”, Yesus bertanya, “Mengertikah kamu apa yang telah Ku perbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu: sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Ku perbuat kepadamu” (Yoh. 13:12-15).
            Kembali ke pertanyaan di awal kotbah ini: menurut Yohanes apa sebabnya Yesus mencuci kaki para murid?” Yohanes 13:3-4 mencatat, “Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus menanggalakan jubah-Nya…” Pertanyaan kita telah terjawab kalau kita melihat naskah Yunaninya yang secara harafiah berbunyi, “karena mengetahui bahwa segala perkara diberikan kepada-Nya oleh Bapa ke dalam tangan-Nya dan bahwa dari Allah Ia berasal dan kepada Allah pergi, Ia berdiri dari santapan dan melepaskan jubah-Nya…”
            Perhatikan bahwa ayat 3 berawal dengan “karena mengetahui”. Perhatikan pula bahwa kedua ayat itu tidak terputus titik melainkan koma. Jadi menurut Yohanes, Yesus meninggalkan meja karena Ia mengetahui bahwa segala kekuasaan diberikan Allah kepada-Nya dan karena Ia mengetahui bahwa Ia datang dari Allah dan kembali ke Allah. Dengan kata lain, karena Yesus mengetahui bahwa Ia punya KEKUASAAN yang begitu besar dan KEDUDUKAN yang begitu tinggi maka Ia melayani para murid-Nya.
            Itulah penyebab utama mengapa Yesus merendahkan diri dan berlaku sebagai pelayan. Itulah cara Yesus menggunakan kekuasaan dan kedudukannya. Kekuasaan dan kedudukan tidak Ia gunakan untuk menekan orang dan menganiaya orang namun untuk MELAYANI KEPENTINGAN MEREKA.
            Itulah paradoks yang terjadi pada malam itu. Para murid merasa bahwa kedudukan mereka terlalu tinggi untuk menggantikan tugas pelayan mencuci kaki. Padahal Yesus yang berkedudukan jauh lebih tinggi, bersedia melakukan tugas itu. Para murid menggunakan kedudukannya untuk meninggikan diri masing-masing dan menekan sesama mereka, padahal Yesus menggunakan kedudukanNya untuk MELAYANI KEPENTINGAN ORANG LAIN.
Di tengah-tengah kecenderungan manusia untuk dihormati, dilayani, dikasihi dan diperhatikan, sikap hidup yang ditunjukkan oleh Yesus kepada para murid-Nya ini menjadi sesuatu yang selalu menantang untuk dilakukan. Bukan hanya tindakan fisiknya yaitu jongkok dan mencuci kaki orang lain namun makna di balik itu. Sebab seperti ungkapan kejujuran Plato, “siapa sih yang mau dan senang jadi pelayan?” Nyaris sedikit sekali orang yang akan mengacungkan jari telunjuk dan menjawab “saya mau” tanpa embel-embel syarat dan ketentuan yang berlaku.
Almarhum Pdt. Eka Darmaputera pernah mengatakan demikian, “Melayani di mata dunia sama sekali bukan pekerjaan bergengsi…oleh karena itu melakukannya membutuhkan KERENDAHAN HATI dan PENYANGKALAN DIRI. Kesediaan berjongkok di bawah kaki orang lain dan membasuh kakinya, bukan menjilat kakinya. Pernyataan Alm. Pdt. Eka Darmaputera ini semakin menegaskan bahwa tindakan MENGHAMBA DAN MELAYANI SESAMA itu hanya dimungkinkan jika saya dan Anda belajar rendah hati dan menyangkal diri. Menjadi orang yang rendah hati itu tidak mudah, sakit rasanya. Apalagi kalau kita sudah terlanjur punya kedudukan, kuasa, dan harta serta kompetensi yang baik, maka biasanya makin sulit untuk rendah hati karena merasa sudah punya segala. Lalu bagaimana dengan penyangkalan diri? Apa itu artinya kita tidak mengakui diri kita sendiri? Atau artinya kita tidak mengakui bahwa kita menderita, sakit, sulit ketika menghamba untuk melayani sesama? Bukan, bukan demikian artinya. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar akan kekuasaan, kedudukan, kekayaan dan kompetensi yang dimiliki NAMUN MEMILIH TIDAK MENGGUNAKANNYA. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar sepenuh bahwa ketika kita menghamba untuk melayani sesama ada pedih perih dan sedih yang dirasakan, kita tidak mengelak, tapi kita tidak juga terpancang. Rendah hati itu dimungkinkan ketika kita sanggup menyangkal diri. Itulah yang dilakukan oleh Yesus ketika mencuci kaki para murid-Nya.
Tetapi kenyataan tidak sesederhana perkataan. Dalam kehidupan sesehari ditambah dengan kecenderungan manusia untuk dihormati, dikasihi, dilayani, diperhatikan maka makin jauh panggang dari api, alias makin jauh kita menjadi hamba yang melayani sesama. Paling banter kita menjadi hamba yang melayani sesama kalau sesama itu MENYENANGKAN, TIDAK REWEL DAN BAWEL, KREATIF, AKTIF, CERDAS, BAIK HATI, TIDAK SUKA BIKIN PERKARA. Tetapi yang diminta oleh Yesus ketika mencuci kaki murid-murid-Nya dan memberikan perintah baru bukan itu! Yesus tidak mencuci para murid dan membiarkan kaki Yudas tidak dicuci karena tahu Yudas akan menghianati Dia. Yesus juga tidak melewatkan kaki Petrus walaupun tahu dia juga akan menyangkali Yesus 3 kali. Mau murid baik atau pengkhianat, semua dicuci kaki-Nya oleh Yesus. Tidak ada yang dilewatkan! Juga Yesus tidak memilih kaki siapa yang tidak terlalu dekil dan tidak terlalu bau untuk dicuci. Semua dicuci. Titik!
Dengan demikian makin jelas, bahwa ketika kita berjalan di belakang Yesus sebagai pengikut-pengikutNya, maka kita sedang berjalan melawan arus. Kalau orang pada umumnya yang baik yang dilayani, yang berduit yang dilayani, yang berkedudukan yang dilayani, maka mengikut Yesus semua itu dijungkir balikkan.
·     Kita melayani bukan hanya mereka yang baik, yang jahat pun dilayani. Sekalipun sering kita berpikir, “Ah kalau kita baik kepadanya, nanti dia mengambil keuntungan dari saya.” Ya memang tidak ada yang bisa mencegah resiko semacam itu terjadi. Buktinya Yesus baik kepada Yudas, mencuci kakinya, namun Ia mengkhianatiNya sekalipun jauh hari nanti ia insyaf setelah sekian waktu khilaf.
·     Kita melayani mereka yang secara status sosial lebih rendah dari kita. Bukan hanya sibuk memberi ini dan itu namun bagaimana kita mendorong mereka dan mendukung mereka sehingga mereka bisa berusaha secara mandiri. Tidak hanya memberi ikan, tetapi beri pancing dan kalau perlu sediakan kolam, biarkan mereka berusaha.
·     Kita melayani mereka yang selama ini tersisihkan karena pernah melakukan suatu aib di masa lalu. Tidak lagi sibuk memberi stempel kepada mereka sebagai “orang yang punya aib”, “orang berdosa”. Stempel seperti itu tidak akan menolong orang lain berubah, maka jangan jauhi, tetapi rangkul dan ajak bersekutu.
·     Kita melayani mereka yang selama ini mengalami ketidakadilan. Gereja dipanggil bukan hanya untuk mengurusi organisasinya namun juga membela ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, sekalipun resikonya besar. Itu panggilan gereja, berada dan berdiri bersama-sama dengan mereka yang teraniaya karena Allah pun hadir di dunia berada bersama-sama dengan manusia yang menderita dan teraniaya.
            Selalu ada resiko yang akan kita hadapi ketika kita berupaya hidup menghamba untuk melayani sesama. Selalu ada godaan yang muncul ketika kita berupaya melayani sesama sepenuh hati. Banyak kisah dan bahkan potret sebagian pemimpin kita atau mungkin kita sendiri yang menceritakan bahwa ketika resiko dan godaan kian besar, maka biasanya orang akan berjongkok di bawah kaki orang lain dan menjilatnya. Bukan dalam arti harafiah bapak, ibu. Tetapi maksudnya adalah, alih-alih berteguh hati hidup sebagai hamba untuk melayani sesama, yang terjadi adalah kita menjilat, cari muka. Ini bukan melayani! Ini cari aman! Jadi jangan sekali-kali menganggap tindakan tadi sebagai tindakan hamba yang melayani yaitu Asal Bapak Senang...itu tindakan cari aman. Sebab MENGHAMBA UNTUK MELAYANI SESAMA ITU MENEMPATKAN KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DI BAWAH KEPENTINGAN ORANG LAIN DAN TUHAN…bukan mementingkan diri sendiri…
            Pelbagai kata sudah digunakan oleh gereja abad pertama untuk menjelaskan makna menghamba, melayani, dan mengabdi kepada Tuhan dan kepada sesama.Pelbagai tafsiran sudah dikemukakan. Namun di balik semua penjelasan indah akan makna mendalam tentang hidup sebagai hamba yang melayani sesama rupa-rupanya dapat pula kita jumpai tatkala kita memperhatikan lilin…
            Untuk memberi terang sebatang lilin harus berkorban. Ia meleleh. Ia menjadi pendek. Seandainya lilin itu tidak mau meleleh dan tidak sudi menjadi pendek, maka ia tidak bisa bersinar. Lilin yang memenuhi perannya adalah lilin yang rela meleleh. Sebatang lilin hidup bukan untuk dirinya sendiri. Ia memberi diri. Menghamba untuk melayani sesama adalah memberi diri….
            Sinarnya memang kalah dari lampu petromaks atau lampu emergensi. Cahanya kecil saja, tetapi ia bersinar dengan setia. Diam-diam tanpa gembar-gembor, lilin itu sudah memenuhi perannya dengan setia, menjadi terang dan memberi terang. Mungkin pelayanan kita biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Tidak luar biasa. Tidak hebat. Bahkan mungkin kita tidak punya kedudukan. Tetapi biarlah kita tetap seperti lilin yang menjadi terang dan memberi terang. Menghamba untuk melayani sesama bukan berarti sibuk sana sini, tetapi hidup seperti lilin yang sederhana, tidak gembar-gembor, tapi nyata dampaknya!
Dan lilin itu terus bersinar sampai sumbu penghabisan. Hidup dan pelayanan kita juga pada suatu waktu akan berakhir. Ada waktu menyala, ada waktu padam.  Tetapi, selama kita masih bisa bersinar….bersinarlah…Menjadi terang sebisanya. Menjadi cahaya seadanya. Selama Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk menghamba demi melayani sesama…kita terus melayani! Terus bersinar sampai sumbu penghabisan…