Rabu, 01 Agustus 2012

Aku Belanja Maka Aku Ada...

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

                Belanja, siapa yang tidak menyukai kegiatan berbelanja? Hampir sebagian besar manusia menyukai kegiatan yang satu ini. Belanja apa saja mulai dari sayur mayur sampai onderdil mobil. Kegiatan belanja pada 2-3 dekade yang lampau barangkali dititikberatkan pada karena barang-barang yang dibutuhkan sudah menipis atau bahkan tidak ada di rumah. Namun sekarang orang berbelanja karena suka, karena kebutuhan untuk tampil up to date. Pergeseran pandangan ini nampak jelas di kota tempat saya berada. Beberapa tahun silam, pola belanja orang-orang di sini masih seputar pemenuhan kebutuhan pangan di rumah, peralatan sekolah anak-anak, lalu kalau lebaran baru  membeli pakaian baru. Namun akhir-akhir ini saya menyaksikan pola semacam itu sudah ketinggalan jauh entah di mana. Orang-orang berbelanja apa saja yang mereka inginkan, misalnya, sudah punya magic com, masih beli satu lagi dengan alasan kalau keluarga datang nasi tidak cukup. Pertanyaan saya, apa ya setiap hari keluarganya datang bertandang? Lalu aneka toko pakaian sekarang tersebar seperti jamur, padahal dulu yang namanya toko pakaian di kota saya ini bisa dihitung dengan sepuluh jari, sekarang harus pinjam jari tetangga. Belum lagi tempat-tempat yang menjual makanan dan minuman aneka macam. Bahkan dua hari menjelang puasa ini saya menyaksikan orang-orang seolah-olah berlomba-lomba berbelanja. Entah apakah karena puasa nanti orang sudah harus puasa belanja juga maka sebelum puasa dipuas-puasin berbelanja saya tidak tahu. Semuanya seolah-olah menceritakan tentang penghuni kota yang gemar berbelanja bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup namun disisipi kebutuhan untuk tampil “up to date”.

                Beberapa waktu yang lalu seorang tetangga rumah bercerita panjang lebar tentang liburannya di negara berlogo singa itu. Dengan antusias dia mengisahkan bahwa di sepanjang jalan ada banyak butik-butik milik rumah mode ternama berceceran, namun sayang harganya setinggi langit. Alhasil dengan kantong cekak, ia pun menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang dijual di negeri singa itu. Namun tetap saja, ukuran tidak belanjanya dia dengan saya jelas beda. Bagi saya kalau tidak belanja lantaran kantong cekak, ya sudah berarti benar-benar tidak belanja, namun bagi dia tidak belanja lantaran kantong cekak berarti pulang membawa tas Jimmy Choo kw kesekian dan beberapa penganan dari negeri berlogo singa. Setelah saya lihat-lihat tas Jimmy Choo itu saya hanya bisa tersenyum mengingat bahwa di Pasar Baru dan di Blok M tas sejenis itu banyaknya minta ampun dan Anda mau cari yang kw macam apa juga ada. Barangkali agak sia-sia duta konsumen menyerukan undang-undang untuk orang-orang yang memiliki tas kw hehehe….

                Tak berapa lama tetangga ini melanjutkan liburan ke Batavia. Beberapa hari di Batavia ia sudah menghabiskan uang sekian juta dan pulang membawa satu koper besar berisi pakaian yang konon katanya “up to date” dengan Korea sebagai kiblat mode busananya. Alhasil sudah dua minggu ini dia wara-wiri di depan saya dengan menggunakan “koleksi van Batavia” tadi. Saya berandai-andai, “gimana ya kalau semua orang punya mental seperti tetangga saya ini? Membelanjakan uangnya untuk pakaian sekoper besar? Atau tas-tas bermerk? Sepatu-sepatu buatan perancang terkenal? Apa jadinya negara ini? Dunia ini?”

Bangsa yang GILA MERK

                LV, Jimmy Choo, Channel, St.Yves, dan masih banyak merk ternama lainnya yang produknya mampu membius sebagian besar manusia di dunia untuk memilikinya. Memang siapa sih yang tidak bangga menenteng tas LV, mengenakan sepatu buatan perancang terkenal yang harganya by request, dan baju dengan mode terkiniapalgi yang limited edition? Setiap orang tentu bangga dan senang bukan kepalang apalagi kalau yang dipakai memang merk asli bukan tiruannya. Pertanyaan yang menyeruak dari kepala saya, “Apakah kita menggunakan merk atau produknya?” Bagi sebagian besar orang dua hal ini tidak terpisahkan, merk menjamin kekuatan produknya, bahkan beberapa menyertakan kartu garansi resmi. Namun kita perlu sadar berapa persen orang di Indonesia yang sanggup menggunakan barang-barang merk asli dengan garansi resmi pula. Tidak semua orang sanggup maka banyak yang membuat produk KW-nya supaya orang yang berkantong cekak sanggup pula mencicipi sepotong kebanggaan menenteng tas berlogo BARLY. Menyaksikan fenomena ini saya seolah-olah sedang menyaksikan sebuah parade ironi, bahwa pada akhirnya orang tergila-gila pada merk lupa pada fungsi dari produk dan kebutuhan akan produk tersebut. Bayangkan saja, harga diri Anda, Anda letakkan pada sebaris tulisan yang menjadi merk produk yang Anda miliki, betapa absurdnya hal ini bagi saya. Namun suka tidak suka sebagai manusia Indonesia saya hanya bisa tersenyum miris menyaksikan parade perempuan dan laki-laki yang menggenakan pakaian bermerk entah kw atau asli. Kita sudah menjelma menjadi bangsa yang gila merk, yang meletakkan harga dirinya pada sebaris tulisan yang menjadi merk tersebut.

Belanja terus sampai mati atau mati karena terus belanja? 

                Belanja dan belanja seakan-akan menjadi bagian dari gaya hidup yang imbasnya bisa dirasakan di kota sekecil Wonosobo, hebat bukan. Bahkan tetangga saya tadi itu mengaku meriang dan masuk angin kalau sehari tidak membuka dompet dan membelanjakan sesuatu entah butuh entah tidak. Ada pula film tentang seorang perempuan yang gila belanja namun akhirnya tobat. Belum lagi banyaknya buku-buku yang bersifat advice  tentang tempat-tempat belanja dari yang kaki lima sampai bintang lima, dari dalam dan luar negeri plus  tips berbelanjanya. Ya belanja ternyata sama kejamnya dengan narkoba karena menimbulkan efek ketergantungan. Kita sendiri yang mesti pegang kendali untuk mengatur nafsu berbelanja agar tidak dikendalikan oleh nafsu itu. Itu artinya bukan berarti kita tidak boleh belanja,tapi kita harus jadi PEMBELI YANG CERDAS. Tidak mudah termakan iklan dan dorongan untuk tampil terkini, namun pintar memilah dan memilih apa yang kita butuhkan dan inginkan.

                Kalau satu orang di negara ini setiap harinya membeli 1 pakaian, maka selama setahun satu orang itu sudah punya 365 pakaian, tentu saja yang jadi contoh ini orang ternama dengan uang yang tak kunjung menipis. Kalau satu orang di negara ini seminggu sekali membeli 1 pakaian bisa Anda hitung sendiri kan berapa banyak baju baru yang ia punya selama setahun? Berlaku juga bagi mereka yang dalam setahun dapat membeli 2 gadget kebayang kan kalau seandainya seperempat penduduk Indonesia juga bersikap seperti ini? Ada berapa banyak bangkai gadget yang terbuang ya? Maka bayangkan saja pakaian-pakaian yang kita punya old or new kalau kita bentangkan sesungguhnya sanggup menutup seluruh permukaan bumi berikut sampah-sampah dari gadget lama yang kita tinggalkan karena beli yang baru? Mengerikan sekali kan menyadari bahwa kita adalah mahluk absurd yang rakus?

                Pilihan ada di tangan kita, kita mau belanja terus sampai mati atau kita mati karena terus-terusan belanja? Yang satu menawarkan pola pikir “masa bodoh” yang penting happy by shopping sementara yang satu menawarkan sebentuk kesadaran bahwa lama-kelamaan planet yang kita tempati ini akan penuh dengan sampah hasil belanjaan kita dan kita akan mati tertimbun sampah lama-kelamaan. Dalam hal belanja atau mengelola apa yang kita miliki saya punya beberapa tips:

 

Tipssssssss:

ü  Setiap kali saya membeli satu buah pakaian maka saya akan memberikan satu buah pakaian dari dalam lemari saya kepada orang lain yang membutuhkan. Kalau saya membeli 3 buah pakaian saya akan memberikan 3 buah pakaian layak pakai yang ada di dalam lemari saya kepada mereka yang membutuhkan. Mengapa? Terbayang tidak jika Anda setiap saat membeli pakaian baru sementara isi lemari Anda akan terus menerus penuh. Padahal kalau mau jujur berapa persen pakaian yang Anda pakai sehari-hari? Saya yakin tidak semua pakaian yang ada di lemari Anda itu Anda pakai kecuali Anda membuat jadwal untuk setiap pakaian dan setiap kegiatan maka yang namanya “rolling” atau perputaran pakaian mungkin terjadi. Dan alasan lainnya adalah saya ingin berbagi dengan yang lain, toh saya sudah dapat “berkat” mengapa yang ada pada saya tidak saya berikan pada yang lain? Feel good by doing good.

ü  Teknologi Informasi dan Komunikasi melahirkan gadget terkini. Hanya dalam hitungan bulan sudah muncul seri tercanggihnya. Kalau Anda menjadi kalap bisa dipastikan rumah Anda segera berubah menjadi museum gagdet. Belilah gagdet sesuai dengan kebutuhan dan mobilitas Anda. Kalau Anda masih bersekolah, saya kira handphone dengan Android menjadi sesuatu yang too much karena kebutuhan Anda baru sekitar komunikasi dengan teman sebab untuk browsing dan pengerjaan tugas sudah ada laptop atau tablet. Jangan rakus dan sombong, ukur kemampuan dan kebutuhan Anda. Sebab bangkai gagdet Anda yang lama itu sangat sulit diuraikan. Apakah Anda mau planet kita ini dipenuhi oleh sampah gagdet? Mungkin kita berpikir, “lha kalau begitu sebaiknya tidak usah buat perusahaan yang menjual gagdet dong.” Sah-sah saja ada perusahaan yang menjual gadget karena mereka sudah punya sistem pengurai sampah bagi gagdet jadul mereka. Dan bukankah keputusan kita untuk mencintai planet ini dengan menjadi konsumen cerdas adalah pilihan yang kita buat dengan tidak terpengaruh oleh ada atau tidaknya perusahaan gagdet yang terus menerus melahirkan teknologi terkini kan.

ü  Barang-barang lama seringkali hanya teronggok di gudang atau tempat pembuangan sampah. Beberapa memang sudah diambil oleh para pemulung dan entah mereka olah menjadi apa yang pasti menghasilkan uang. Namun kita juga bisa mengolah barang-barang lama kita menjadi sesuatu yang cantik dan berdaya guna setidaknya untuk hiasan interior. Di London ada seorang lelaki beranam Cliff Pearcey yang menciptakan barang-barang lama menjadi karya seni. Cliff mampu membuat mainan lucu berbentuk monyet dari ketam untuk bagian tubuhnya, kaki meja bekar untuk kakinya, dan ganjalan sepatu untuk hidung serta kaki kursi sebagai ekor si monyet. Atau kita dapat “mengais-ngais” ide dari internet tentang mengelola barang-barang lama menjadi sesuatu yang berfaedah. Misalnya saja pigura yang sudah usang dan kacanya sudah tak ada. Kita dapat manfaatkan pigura ini menjadi media untuk memamerkan foto-foto. Kita pasangkan benang putih melintang, buat beberapa susunan dengan jarak cukup renggang, dan foto-foto kita pun dapat kita jepit di benang itu dengan penjepit baju persis seperti sedang menjemur pakaian. Lihat, yang lama bukan berarti tak bermakna, tinggal kita yang mau berupaya atau tidak.

ü  Bukalah garage sale di lingkungan sekitar, sehingga barang-barang dan pakaian lama Anda dapat Anda jual dengan harga sangat murah dan sangat terjangkau bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian Anda sudah menguras isi gudang dan lemari, dan mereka yang membeli pun puas karena punya “pakaian baru” untuk dikenakan.

ü  Biasakan untuk membeli segala sesuatu berdasarkan KEBUTUHAN bukan keinginan. Prinsip ini membuat Anda terhindar dari “menumpuk barang baru” di rumah dan menghindarkan Anda dari ketergantungan berbelanja. Kalau hanya membutuhkan sepasang sepatu, karena sepatu yang lama sudah puluhan kali diopname di tukang sol sepatu maka kita perlu membeli sepatu baru  untuk meringankan “tugas” sepatu lama yang sudah langganan di sol sepatu. Saya dan keluarga saya mempunyai kebiasaan untuk menjahitkan sepatu yang baru di beli supaya lebih awet. Dan ajaib cara ini berhasil memperpanjang usia sepatu kami walaupun memang kalau sepatu sudah kami lepas, di bagian dalam akan nampak jahitan sepatu yang besar-besar. Tak apa yang penting sepatu lebih panjang umur.

ü  Memang ada sebagian orang yang meragukan ide untuk memberikan pakaian kepada orang lain sejumlah dengan pakaian yang saya beli ataupun ide mengadakan garage sale. Penyebabnya adalah “takut ketinggalan jaman”. Maksudnya kalau pakaian atau barang-barang kita diberikan pada orang lain maka apa yang kita pakai kan “itu-itu” saja. Bagi saya tidak menjadi masalah kalau baju yang saya pakai “itu-itu” saja yang terpenting bagi saya adalah SUMBANGSIH SAYA UNTUK BUMI dan ORANG LAIN. Tidak peduli orang mengatakan saya tidak punya baju baru yang seturut dengan trend masa kini, karena bagi saya “mengapa kita tidak membuat tren buat diri kita sendiri? Mengapa harus mengikuti orang lain?” Sejauh saya nyaman dengan apa yang saya pakai dan orang lain pun mendapat berkat dari barang-barang yang saya berikan, bagi saya itulah indahnya hidup dan itulah makna yang saya berikan bagi hidup saya. Sebuah seloroh dari gadis SMU yang diwawancari dalam Kick Andy Show, “Dengan Anda berbelanja barang-barang mahal setiap saat, Anda terlibat dalam dosa sosial” Sebuah seloroh yang cerdas dan menggugah. What do you think? Hehehe….

Kita hanya punya satu bumi dan satu kesempatan untuk hidup, mengapa tidak pergunakan dengan baik untuk mulai memberikan peran serta kita untuk mencintai bumi dan kehidupan ini dengan MENJADI KONSUMEN YANG CERDAS? Pilihan ada di tangan kita semua, ingat, peran serta satu orang sangat berarti untuk terjadinya sebuah perubahan….

 

 

 

 

 

Wonosobo, awal Agustus 2012

Y. Defrita Rufikasari