Senin, 28 November 2011

KEBIJAKSANAAN POHON SANAKELING


 

Di daerah Gunung Kidul Yogyakarta kita akan menemukan deretan pohon sanakeling. Mungkin tak ada beda dengan deretan pohon di tempat lain yang kita jumpai. Tetapi ketika kita berkunjung ke daerah Gunung Kidul pada waktu musim kemarau, maka kita akan menyaksikan sebatang pohon berwarna hitam bak pohon mati dengan ranting-ranting gundul yang mencuat tajam. Itulah pohon sanakeling yang “berjuang” hidup di tengah musim kemarau.

Melihat pohon sanakeling dan mengamati apa yang terjadi dalam perjalanan hidup saya, rasa-rasanya tak masalah jika saat ini saya menamai proses saya sebagai “prosese sanakeling di musim kemarau”. Kedukaan tak ubahnya musim kemarau yang harus dilewati dalam hidup ini. Betapa tidak, tanggal 18 November 2011 jam 20.30 hati saya remuk mendengar tunangan saya Abdismar Cordius Zandroto kecelakaan di Kec.Kutowinangun, Kebumen. Saya sedang di Bandung untuk menjalani masa Pendidikan Persiapan Kependetaan I. Ingin rasanya saya punya sayap dan terbang ke Kebumen mendampingi dia. Tepat jam 04.30 pada tanggal 19 November 2011 orang yang saya cintai menghembuskan nafasnya dan kembali kepada Bapa Tercinta. Saat itu untuk beberapa detik serasa waktu berhenti. Di satu sisi saya lega karena orang yang saya cintai tidak lagi tersiksa kesakitan, tapi di satu sisi saya merasakan bahwa yang namanya kehilangan itu menyakitkan. Sekalipun sepanjang malam saya bergumul dengan itu, saya tetap realistis melihat bahwa yang namanya kehilangan itu menimbulkan luka yang menganga di dalam hati saya. Pedih dan perih.

Di saat paling rapuh itu saya teringat akan Ayub yang mengalami “kehilangan bertumpuk” mulai dari sanak keluarga sampai harta benda. Sungguh kehilangan yang tidak pernah dibayangkan apalagi diinginkan oleh semua orang. Tetapi dalam keadaan seperti itu ia berkata “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil terpujilah Tuhan!”. Selesai sampai di situ? Tidak. Apakah itu artinya ia menerima keadaannya? Tidak juga. Ia bergumul sampai di akhir Kitab Ayub, ia berkata bahwa ia mengenal siapa Allah lewat proses kehilangan bertumpuk yang ia alami dan Allah memberkati ia. Mengingat hal itu hati saya dikuatkan untuk melangkah ke Jogjakarta sampai menghantarkan jenazah kekasih hati saya ke Nias. Kedukaan itu masih ada tetapi ia sedang berproses.

Hati siapa yang tidak remuk ketika orang yang dicintainya pergi tidak untuk kembali? Hati siapapun pasti remuk. Ibaratnya kapal kehidupan saya dihantam badai dan porak poranda. Tidak ada pemberitahuan. Tidak ada persiapan. Tapi itulah yang membuat saya paham bahwa pada dasarnya hidup manusia ini rapuh. Kehilangan karena kecelakaan sama menyakitkannya dengan kehilangan orang yang sudah dirawat sekian waktu. Karena pada dasarnya kita tidak pernah diajari untuk siap bertemu dengan sang duka yang datang tanpa kabar.

Dan saya pun menyadari bahwa memang selama ini orang lebih banyak belajar tentang cinta tetapi tidak tentang kedukaan. Paling sering kita dengar adalah nasehat seperti “Ya sudah, diterima ya, ini rencana Tuhan”; “yang sabar ya, serahkan semua pada Tuhan”;” semua sudah ada yang ngatur kok”. Padahal cinta dan kedukaan adalah dua sisi sebuah mata uang. Keduanya tidak hanya saling meniadakan tetapi juga saling meng-ada-kan. Keduanya adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Maka nasehat-nasehat penghiburan di atas justru terdengar klise sekalipun mungkin tulus lahirnya. Jarang sekali ada orang yang akan berkata “saya akan menemanimu dalam kedukaan ini”.  Menemani dalam tidak menghakimi, tidak membatasi yang berduka untuk berekspresi dan menjadi fasilitator untuk pertumbuhan yang berduka.

Menyimak pohoh sanakeling yang merontokkan daunnya, dan membuat batang pohonnya bak pohon mati demi bertahan digempur kemarau, saya belajar sesuatu. Saat ini saya sedang mengalami musim kemarau. Entah kapan selesainya tetapi energy habis terkuras baik secara fisik (karena saat ini saya mengalami pola tidur dan pola makan yang terganggu) dan juga emosional karena berbagi beban dengan keluarga yang berduka. Tetapi saya melihat semua ini sebagai sesuatu yang alamiah dialami oleh mereka yang berduka. Tuturan Pak Totok S. Wiryasaputra sungguh mengajak saya memasuki musim kemarau saya dengan lebih realistis. Gangguan tidur dan makan serta kelelahan emosi adalah fase yang wajar dialami, namun pun demikian tetap harus ada “will” untuk tidak terus menerus dikuasai oleh gangguan fisik dan emosional.

Energy yang habis terkuras itu barangkali cara untuk menyesuaikan diri ditengah musim kemarau yang menyengat. Kapan berakhir? Ah, ini dia pertanyaan yang sering dilontarkan orang. Barangkali karena sekarang era mie instan, maka semua otak orang jadi instan pemikirannya. Tidak ada shortcut untuk keluar dari musim kemarau ini. Saya harus mengalami semua kedukaan ini dengan wajar, dengan bebas. Artinya saya tidak menghambat diri saya untuk menangis ketika memandangi fotonya, membaca sms terakhirnya, memakan makanan kesukaannya, dan seterusnya. Saya ingin mengalami proses kemarau saya dengan leluasa, dengan alamiah. Ibarat luka yang bernanah dan pedih, saya membiarkan diri saya mengorek luka saya sampai bersih dari nanah dan berjuang untuk pemulihan luka saya.

Dan memang selalu ada yang bias disyukuri dalam musim kemarau ini. Saya memiliki keluarga baik di Wonosobo maupun di Nias yang memberikan dukungan bagi saya. Saya memiliki Phia, Lia, Wahyu, dan Ayub yang menjadi teman dalam musim kemarau saya dengan short message service mereka yang selalu menguatkan. Saya memiliki orang-orang yang peduli akan saya dan musim kemarau ini. Mereka adalah “tangan-tangan” yang diulurkan Tuhan untuk menopang saya. Dalam musim kemarau ini pula saya juga diperhadapkan dengan dinamika pelayanan dalam masa Pendidikan Persiapan Kependetaan I di GKI Maulana Yusuf Bandung. Betapa aktifitas dan orang-orang yang penuh cinta yang sudah Tuhan sediakan buat saya menjadi sarana bagi saya untuk pulih sehingga saya mampu mengenang Abdismar Cordius Zandroto dengan senyuman.

Proses saya belum selesai, tetapi cinta mereka, cinta Tuhan dan juga kenangan cinta Abdismar C. Zandroto menjadi kekuatan bagi saya untuk menjadi pohon sanakeling yang berjuang, beradaptasi bahkan sampai menggugurkan daun-daunnya di musim kemarau untuk menantikan musim hujan dimana ia akan tumbuh lebat, akarnya akan menancap makin dalam ke bumi, dan pohonnya menjulang ke langit.

 

 

 

 

 

Wonosobo, 27 November 2011

Y. Defrita Rufikasari

Jumat, 04 November 2011

“Berani Menyampaikan Kebenaran, Bijak Menegur Teman” Yehez 33:7-11; Maz 119:33-40; Rom 13:8-14; Matius 18:15-20

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Apa yang umumnya dilakukan oleh jemaat ketika ada salah seorang anggotanya melakukan sebuah kesalahan atau katakanlah tindakan yang tidak patut? Alih2 menegur, biasanya mereka akan sibuk menggosipkan (salah seorang anggota jemaat tersebut langsung menjadi headline news di gereja), mengucilkan, dan bersikap tidak simpati terhadap orang tersebut. Urusan tegur menegur memang tidak semudah yang kita pikirkan. Padahal membicarakan tanpa menolong/menegur adalah salah satu bentuk sikap yang menganggap diri sendiri paling benar. Di dalam beberapa kebudayaan, misalnya saja budaya Jawa yang saya amati ketika studi di Yogyakarta, biasanya bagi orang Jawa pekeweuh untuk menegur seseorang yang salah. Konon kata seorang bapak tua yang biasa mangkal di pucuk gang kost-kostan saya, kebungkaman atau pembiaran itu semata-mata demi melanggengkan sebuah tatanan yang harmonis.Sehingga bagi kebanyakan orang Jawa, urusan menegur orang ini sulitnya minta ampun.

Perkara nanti kesalahan orang itu dibicarakan di balik punggungnya, jelas kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa inilah dampak dari budaya bungkam atau pembiaran demi keharmonisan. Menggosipkan seseorang yang salah, hanyalah sebuah implikasi dari keengganan menegur. Padahal menegur itu tidaklah sama dengan melabrak. Kita menegur seseorang dengan maksud menyampaikan kebenaran, menolong orang tersebut mengetahui kesalahannya. Tetapi kadangkala menegur dapat berubah menjadi melabrak ketika kita tidak memperhatikan kata-kata, gesture, dan situasi serta kondisi yang tepat untuk menegur. Misalnya menegurnya ketika ada banyak orang.

Dalam Urusan Tegur Menegur Itu, Setidaknya Saya Melihat Tiga Hal:

Pertama, orang dapat menegur orang lain dengan bijaksana ketika hidupnya dipimpin oleh Firman Tuhan.

Barangkali ini juga yang dialami oleh nabi Yehezkiel yang dipilih oleh Allah sebagai “the watchman” alias “penjaga”. Istilah ini muncul dari sebuah profesi penjaga yang ditempatkan di menara2 tembok kota. Tugas mereka adalah memperhatikan dengan seksama apakah ada tanda2 serangan dari musuh. Jika ada mereka wajib melapor ke pimpinan kota. Kalau tidak, dan sampai akhirnya banyak korban berjatuhan, maka si penjaga inilah yang harus bertanggung jawab penuh. Kurang lebih demikianlah konteks Yehezkiel yang dipanggil Tuhan sebagai penjaga Israel. Dia harus menyampaikan kebenaran dari Tuhan kepada bangsa Israel yang sedang berada dalam pembuangan di Babel. Kalau tidak, dia harus bertanggung jawab atas keputusannya untuk bungkam. Nah, apakah mudah? Tidak. Bayangkan saja, dia seorang diri, menegur bangsa Israel yang jumlahnya ratusan ribu yang sedang dalam pembuangan. Belum tentu semua orang mau mendengarkan dia. Salah2 dia dimusuhi oleh yang lain. Sebab pada umumnya masyarakat punya pandangan, yang banyak jumlahnya itu musti benar, yang sedikit apalagi satu itu musti salah. Sekalipun berat, Yehezkiel dituntut untuk terus menerus melatih kepekaannya untuk mendengarkan Tuhan, sehingga inilah yang akan menjadikan teguran2nya itu bijaksana. Dia menegur umat Israel yang mulai menyimpang hidupnya, dan mengingatkan mereka untuk kembali kepada jalan Tuhan.

Sama seperti Yehezkiel, kita juga memiliki panggilan yang serupa yaitu menjadi “the watchman”, orang2 yang bersedia menegur sesamanya yang salah, yang memiliki kelemahan supaya dapat berkembang menjadi pribadi2 yang lebih baik. Tetapi kita tidak mungkin dapat menegur dengan bijaksana ketika kita tidak memiliki kerinduan seperti pemazmur dalam Mazmur 119:33-40. Kerinduan seseorang akan Firman Tuhan yang diungkapkan dengan sangat indah, perhatikan:

·         Ajarilah aku arti ketetapan2 Mu.

·         Buat aku mengerti.

·         Supaya aku taat.

·         Aku mau melakukannya dengan sepenuh hati.

·         Aku mau hidup sesuai dengan perintah2Mu.

·         Beri aku hasrat untuk menaatinya.

·         Aku mau hidup sesuai dengan kehendakMu.

·         Aku rindu pada titah2Mu.

Kerinduan seseorang yang tahu betul bahwa hanya dengan hidup seturut Firman Tuhan, kita dimampukan untuk menegur dengan bijaksana. Sebab Firman Tuhan itulah yang menjadi kompas kita dalam mengarungi kehidupan ini.

Kedua, Orang dikatakan menegur dengan bijaksana ketika ia tahu bagaimana cara menegur.

Injil Matius 18:15-20 yang  menjadi bacaan kita memaparkan bagaiman seharusnya rangkaian menegur itu dilakukan. Menarik. Mula2 hanya empat mata, yang ditegur dan yang menegur. Lalu ada waktu yang diberikan kepada yang ditegur untuk mempertimbangkan teguran yang ia terima. Kalau sikap hidupnya berubah, it’s ok. Tapi kalau tidak, maka ditambah satu atau dua orang lagi paling banyak, sehingga ada 3 orang yang menegur. Sekali lagi diberikan waktu untuh berubah. Jika masih tidak berubah, maka hal itu disampaikan ke jemaat, dan tetap tidak berubah, maka ia menerima sebutan “orang yang tidak mengenal Allah” (pemungut pajak dikatakan sebagai orang yang tidak mengenal Allah sebab mereka menarik pajak sangat tinggi tanpa memperhatikan nasib rakyat). Lihatlah, tidak serta merta seseorang itu dikatakan “salah”, “jahat”, “tidak mengenal Allah”, “bebal”, dst. Dan simaklah, betapa rangkaian proses itu baik untuk mereka yang ditegur. Tidak ada maksud untuk mempermalukannya, bahkan diberi waktu untuk berubah. Tetapi memang dalam perkembangannya, seringkali tidak demikian. Habis ditegur empat mata, maka bocorlah itu ke sekeliling.

Ketiga, orang yang menegur itu haruslah tahu dasar dari tindakannya.

Untuk itu kita dibantu oleh Roma 13:8-14. Dasar dari kita menegur orang lain adalah KASIH. Sebab orang yang mengasihi orang lain tidak akan berbuat jahat kepada orang itu,begitulah diwartakan oleh ayat 10. Dan membiarkan, bungkam, membicarakan kesalahan2 orang itu seolah2 kita peduli padahal sebenarnya kita sedang berperan sebagai hakim dan eksekutor sekaligus yang memberikan label2 tertentu, adalah tergolong dalam perbuatan jahat yang jelas tidak mengasihi sesamanya yang berbuat salah dan perlu ditegur itu. Pendek kata, orang yang peduli dan mengasihi sesamanya yang berbuat salah, ia akan berhenti membicarakan orang itu, dan meminta hikmat dari Allah sehingga nanti ketika ia menegur orang itu, ia menegur dengan bijaksana, dan kemudian menegur orang yang bersangkutan dengan empat mata, kata2 yang tepat (tidak menyakiti), dan situasi yang tepat. Dengan kasih terhadap sesama sebagai dasar dari tindakan menegur maka jauhlah sikap merasa diri paling benar, suci dan bermoral.

TERUSLAH BERSEMANGAT UNTUK TUHAN! Ibrani 6:11 dan Roma 12:11

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

Ketika tsunami menyapu Jepang beberapa waktu yang lalu, awak media berbondong-bondong datang ke sana dan berharap mereka akan menangkap momen-momen histeria dari warga Jepang. Mereka berharap akan menyaksikan kepanikan, teriakan, tangisan, dan keputus-asaan warga Jepang yang tentu saja akan menaikkan ratting dan oplah media mereka. Tetapi apa yang terjadi? Mereka menyaksikan bagaimana warga Jepang dengan tertib mengantri untuk mendapatkan makanan. Dengan tenang mereka mengevakuasi warga lain ke tempat yang lebih aman. Mereka menyaksikan bagaimana warga Jepang saling bahu-membahu menolong sesama mereka. Sehingga hampir-hampir tak ada badan internasional yang turun tangan mengurusi kesehatan dari para korban tsunami tersebut, sebab semua ditangani oleh mereka sendiri. Mereka tidak panik, tidak putus asa dan tetap tenang menjalani hari demi hari sekalipun bahaya kebocoran radioaktif itu membayang. Apa rahasianya?

Warga Jepang memiliki filosofi Buzaido yang dulunya dipelajari hanya oleh para samurai dan kemudian diperluas sehingga warga awam yang bukan keturunan samurai pun mempelajarinya. Hebatnya lagi itu semua sudah ditanamkan dalam kurikulum pendidikan mereka. Di dalam buzaido, orang diajari untuk menerima kelemahannya dan menekan kelemahannya. Orang diajari untuk mengatasi kelemahannya. Di dalam buzaido ada filosofi ganbaru yang berarti semangat yang mengajari orang untuk tidak mudah putus asa, untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan seperti para samurai dulu. Dan kalau masih ingat Piala Dunia yang diselenggarakan di Korea Selatan, dimana Timnas Jepang berlaga disana, kita akan mendengarkan teriakan “Ganbaru Nippon! Ganbaru Nippon!” yang berarti “Nippon, semangatlah! Nippon semangatlah!”. Pekik “Ganbaru Nippon” itu tak hanya dikumandangkan dalam laga gengsi Piala Dunia namun juga ketika Jepang disapu tsunami. Sambil bergotong royong para warga meneriakan “Ganbaru Nippon” yang membakar semangat mereka sekalipun rumah dan harta tinggal cerita. Kalau di Indonesia beda lagi. Ketika bencana datang melanda, kita akan disuguhi nyanyian Ebbiet G. Ade, nyanyian sendu nan menyayat hati, juga aneka macam kalimat yang justru semakin memilukan hati. Tetapi di Jepang tidak ada lagu mellow nan menyayat hati, tidak ada kalimat2 yang memilukan hati, yang ada adalah spanduk2 besar bertuliskan “Ganbaru Nippon”.Sambil terus bekerja mereka meneriakan semangat yang menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hal yang sama juga dikumandangkan oleh penulis Ibrani. Kalau kita hanya membaca satu ayat ini saja, kita tidak akan menemukan maknanya secara utuh. Maka kita perlu membaca pasal 6 secara menyeluruh sehingga kita paham makna dari ayat 11 itu apa. Di dalam pasal 6 khususnya mulai ayat 9-20, penulis Ibrani berbicara tentang harapan, pengharapan. Dan Abraham sekali lagi dipakai sebagai contoh bagaimana orang yang berharap akan janji Tuhan itu dengan sabar dengan kesungguhan hati menanti janji Tuhan. Lha kata yang diterjemahkan oleh TB-LAI sebagai “Kesungguhan” itulah yang di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK-LAI) diterjemahkan sebagai “Semangat” dari kata asli spoude yang berarti rajin.

Apa hubungan antara semangat dan harapan? Rupa-rupanya penulis Ibrani ini mau mengatakan bahwa orang yang menunjukkan semangat dalam menjalani hidup ini adalah orang yang memiliki pengharapan kepada Tuhan.  Sekalipun apa yang mereka harap-harapkan itu tak kunjung tiba, tapi mereka tetap bersemangat, tetap memiliki kesungguhan hati, dan buahnya adalah kesabaran. Jadi, dengan kata lain, orang-orang yang memiliki semangat adalah mereka yang memiliki harapan dan sabar menjalani semuanya. Oleh sebab itu, pasal 6 dikunci dengan ayat 19 “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita”. Persis seperti yang dilakukan oleh warga Jepang ketika tsunami menghancurkan hidup mereka. Mereka mengerjakan apa yang mereka mampu dengan semangat, sebab mereka memiliki harapan bahwa hidup mereka akan jadi baik suatu saat nanti, dan itu menjadikan mereka orang-orang yang sabar menanggung derita hidup.

Lain Ibrani, lain pula Roma. Roma 12:11 ini berada dalam pembagian menurut TB-LAI yang berjudul “Nasihat untuk hidup dalam kasih” yang dimulai dari ayat 9-21. Mulai dari pasal 12-15 dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus lebih banyak bicara soal etika hidup orang Kristen. Nah, ayat kita ini berada dalam bagian tersebut, maka kita akan memahaminya juga dalam konteks itu.

TB-LAI mengatakan, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” Sedangkan BIMK menerjemahkan demikian, “Bekerjalah dengan rajin, jangan malas. Bekerjalah untuk Tuhan dengan semangat dari Roh Allah.” Dengan demikian BIMK  melihat bahwa semangat itu sama dengan roh yang menyala-nyala dan sumbernya adalah Roh Allah sendiri (Fervor:semangat—zeontes). Lalu bersemangat dalam hal apa?

Konteks ayat kita ini adalah soal bagaimana hidup yang dilandasi kasih terhadap sesama. Dengan demikian, bersemangat di sini diletakkan dalam kaitannya dengan semangat bahu-membahu menolong sesama dan itu didasarkan pada pemahaman bahwa semua dilakukan untuk Tuhan. Jadi, semangat itu bukan hanya soal kita bersemangat dalam menjalani hidup pribadi kita, tetapi semangat untuk juga memperhatikan dan menolong orang lain sekalipun hidup sarat penderitaan.

Sama seperti yang kita saksikan dalam hidup warga Jepang, lepas tsunami. Mereka bahu membahu tiada lelah menolong sesama, sekalipun kondisi mereka sendiri tidak baik2 amat. Bahkan ada 60 orang Jepang yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk memasuki area yang tingkat radioaktifnya begitu tinggi. Ketika ditanya mengapa mereka mau melakukan sesuatu yang mengancam keselamatan mereka? Jawabannya sungguh mengharukan hati. Salah satu dari ke-60 orang itu berkata bahwa inilah nilai hidupnya sebagai manusia!

Dia tahu nilai dan perannya sebagai sesama manusia, sehingga dia mau melakukan sesuatu yang bisa membuat nyawanya melayang kapan saja. Inilah hidup yang didasari kasih kepada sesama dan membuat orang memiliki semangat untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Tanpa perlu mensyaratkan hidupnya harus bebas penderitaan baru bisa semangat menolong orang lain.

            Jadi ketika kita bicara soal semangat, kita tidak hanya teriak-teriak “Semangat! Semangat!” tetapi semangat adalah nilai hidup yang mesti dihidupi. Sebab dengan semangat, kita sabar menjalani hidup ini. Dengan semangat, kita memiliki harapan. Dengan semangat, kita terdorong untuk berbuat sesuatu bagi orang lain sekalipun hidup kita sendiri sarat penderitaan. Dengan semangat pula, kita akan terus menapaki jalan hidup ini. Amin.