Sabtu, 11 Juni 2016

SUATU SORE DDI KEDAI KOPI



Senja pertama di bulan kedua tahun itu, hujan masih rintik. 
Basah membekas di ujung daun dan dahan juga jalanan.
 Langit kelabu menjadi latar sepanjang perjalanan.
 Di depan kedai kopi, kursi dan meja besi bercat pudar sederhana tergeletak seadanya.
 Di luar basah dan lembab udara masih terasa.
 Sementara di dalam hangat kopi memenuhi udara. 
Di luar semua nampak muram karena hujan yang turun tergesa dengan derasnya. 
Sementara di dalam obrolan susul menyusul seperti kebulan asap kopi dari cangkir-cangkir kopi. 
Semua orang berebut tempat, hinga semua nyaris terisi padat mungkin biar semakin hangat. 
Kumpulan orang-orang ini seperti biji kopi yang berdesakkan siap digiling.
 Tapi itu semua tak mengurangi kesenangan kita mengunjungi kedai mungil ini.
 Begitulah sore itu di sebuah kedai kopi kecil di ujung jalan. 
Hanya ada dua kursi yang tersisa di ujung sisi kanan, katamu mengembalikan aku ke bumi. 
Sejenak aku terbawa kebul kopi dan aroma yang membius ini.
 Kursi dan meja tinggi memang tak selalu ideal katamu.
 Tak apa, senyumku. 
Dua cangkir kopi hitam beda metode sudah terhidang setelah menunggu hingga sedikit petang. Dentang dan denting cangkir beradu tawa dan kata. Mondar mandir orang datang dan pergi. Tetapi aku tahu tempat ini tak pernah benar-benar sepi hingga nanti mesin berhenti menggiling kopi, maka ia menjelma sunyi. 
Kaki kita menekuk beradu lutut di ruang sempit mengalun lagu. 
Katamu tak apa asal tak adu mulut saja. Lebih baik adu lutut.
Kataku,”Sebentar, tolong berhentilah bercerita sebentar saja, mari kita dengarkan lagu ini.” 
Maaf jika harus ku hentikan ceritamu, tapi kau tahu,
 kita masih punya waktu hingga esok menjelang untuk semua cerita yang mungkin tercipta. Menanggung bingung mendengarkan lagu, jawabmu, “Tak bisa ku tolak, matahari memaksa ku menciptakan bunga-bunga.” 
Petikan larik akhir puisi “Ku Hentikan Hujan” menutup keheningan kita menikmati lagu teduh itu.
 Yang tersisa hanya ampas kopi di cangkir masing-masing.
 Dan pendar cahaya kedai kopi yang kian mengecil di belokan jalan seiring dengan cerita yang
 semakin semarak di dalam sini.


yohana dee
#bukansoalkopi
#sapardidjokodamono1980

PENDAKIAN


"Pendakian gunung adalah representasi dari pendakian hidup. Bahwa puncak sebenarnya bukan tujuan.  Itu hanya tanda saja bahwa kita harus bergerak mencapai titik yang lebih tinggi dari yang telah diraih. Di dalam pendakian, kita akan menemukan teman-teman yang mempunyai visi ketinggian yang sama. Napas kita dan napas mereka sama. Ruh kita dan ruh mereka terikat kuat untuk saling menolong, saling mengangkat, dan saling memberi semangat untuk melanjutkan perjuangan. Inilah yang disebut sebagai persabahatan.
 
Semakin berat  perjalanan maka ikatan ketulusan menjadi semakin kuat. Karena, pada ketinggian tertentu, suasana akan sangat hening. Di sinilah kita paham bahwa kesulitan akan mendatangkan sahabat sejati. Sahabat yang datang saat hening jauh lebih sedikit dibandingkan teman-teman di kaki gunung yang riuh rendah." (Denny Siregar, hlm. 160-161).
 
 Sore ini aku membuka secara acak dan membaui buku yang baru tiba siang tadi di kantor. Salah satu kebiasaan ku memang membaui aroma buku. Baunya enak! Dan aku menemukan tulisan itu. Seketika aku mengingatmu dan teman-temanmu di GKI Taman Yasmin. Pendakian kalian belum selesai. Pendakian kalian tak juga semakin mudah. 
 
Dua kali pengalamanku naik dua gunung berbeda di Pulau Jawa, tak ada kisahnya ke puncak makin mudah. Bukan hanya hipotermia yang mengancam, kebutaan dan frostbite juga bisa mematikan di gunung-gunung berselimut salju. Dan situ barangkali aku belajar mengerti arti "bersisian" dengan maut.
 
Maka jika pendakian ini makin sulit. Napas kalian tersengal-sengal . Dan yang terdengar hanya suara napa satu-satu, serta angin yang menderu-deru selebihnya senyap yang tak kunjung lenyap. Di tambah kabut yang pekat. Bertahanlah kalian di atas sana ya. Setapak saja jika tak sanggup. Saling mengenggak dalam doa....
 
Mungkin bukan hari ini kalian mencapai puncaknya, tapi suatu hari mulai dari sekarang, aku percaya kalian sampai juga di atas sana dengan Merah Putih berkibar indah, aku selalu percaya itu...
 
 
-sepotong surat untukmu-
Bandung, 8 Juni 2016

WIKEN ALA BUNG HATTA

  Saya harus mengakui bahwa saya tak tahan digoda oleh buku “Untuk Negeriku-Sebuah Otobiografi Mohammad Hatta” Jilid 1 (ada 3 Jilid) hasil dipinjami. Maka di tengah tugas yang meriah dan melimpah, saya “curi-curi” membaca. Awalnya hanya beberapa lembar tetapi lama-lama sudah setengah lebih dari jilid 1 sudah saya lalap karena kalap. Dan saya terpikat pada tulisan ini justru ketika saya sudah jauh “melangkah” ke lembaran-lembaran yang lain:    
  
“Kami mulai berangkat dari Gedung STOVIA dengan berjalan kaki, lebih dulu ke Pasar Baru di lingkungan orang menjual nasi goreng dan sate ayam serta minum kopi. Setelah selesai kami pergi menonton di bioskop Pasar Baru. Setelah selesai pertunjukkan bioskop kira-kira pukul 21.00 atau 21.30 kamu berjalan-jalan, dengan berjalan kaki “mengedari” kota Weltverden sampai pukul 23.00. Pada akhir jalan-jalan itu, kami berhenti pada suatu warung kopi di Senen yang sering didatangi oleh “klepek”, murid-murid sekolah STOVIA. Setelah mengantarkan Bahder Djohan pulang ke STOVIA, aku kembali pulang naik sepeda. Demikianlah pergaulan kami berdua selama aku bersekolah di Betawi dua tahun lamanya.” (Bukittinggi-Rotterdam lewat Betawi, hlm.96)    
 
 Mungkin tak ada yang spesal dengan menu wiken Bung Hatta dan kawannya itu. Bahkan bisa jadi bikin bosan karena begitu terus selama dua tahun. Tetapi ada yang membedakan. Bung Hatta dan Bahder Djohan sudah menyepakati selama mereka ada di Betawi untuk sekolah, sepekan sekali setiap Sabtu mereka wajib jumpa. Quality time itu tak jatuh dari langit, Kawan atau seperti menang undian. Quality time itu butuh usaha yang disengaja. Disengaja...coba kau resapi dulu ya apa artinya.     

 Syukur kepada Allah, quality time mereka belum terinfeksi gawai dan media sosial sehingga tak ada ceritanya Bung Hatta dan Bahder Djohan motrek nasi goreng bersanding sate ayam dan kopi lalu kemudian ngobrol lagi. Atau check in lokasi tempat ngopi ketika ngopi di warung kopi di Senen. Atauuu sementara Hatta sibuk mengurai kegelisahannya, Bahder Djohan sibuk membalas komentar di facebook atau “berselancar” dari “dinding ke dinding”.     

 Lantas apa sih yang mereka obrolin? Selama “mengedari” kota malam-malam itu mereka banyak bertukar pikiran tentang berbagai hal yang mengenai tanah air, peradaban dan juga kultur. Wiken kok serius amat? Mereka adalah orang-orang yang gelisah pada jamannya. Maka kegelisahan mereka tentang tanah air, pergerakkan kaum muda, tentang peradaban dan perbedaan kultur Barat dan Timur pada tahun 1920-an menjadi sesuatu yang harus mereka bicarakan. Bukan dalam situasi formal tetapi sangat kasual sambil makan nasi goreng dan sate ayam tak lupa nyruput kopi.     

 Quality time mereka itu sesuatu yang diusahakan secara sengaja dan konten obrolannya sungguh inspiratif membuat hati berdesir. Quality time tak melulu harus berbanding lurus dengan laku konsumtif. Justru quality time-nya Bung Hatta dan Bahder Djohan menampilkan sebuah potret quality time yang bersifat rekreatif dan reflektif.     
 Kalau Bung Hatta seperti itu wikennya, bagaimana dengan mu? Wiken ini mau ngapain?     
  Bandung, 11 Juni 2016

Minggu, 24 April 2016

LIGHT UP MY LIFE

  Saat kita dipaksa keluar dari apa yang sudah membuat kita nyaman, apa yang akan kita lakukan? Hal ini yang terjadi pada Mowgli, anak kecil yang tinggal di hutan dan dibesarkan oleh sekelompo serigala. Mowgli yang berkawan dengan seekor panther bernama Bagheera sengaja diberikan ke kawanan serigala dan diasuh oleh ibu serigala bernama Rakhsa. Tetapi karena seekor harimau bernama Shere Khan yang mati-matian mau membunuh Mowgli, karena dendam terhadap ayah Mowgli, maka Mowgli harus keluar dari kawanan serigala.   Mowgli mengalah demi kebaikan bersaama. Ia pergi menjauh dan dalam perjalanannya, ia bertemu banyak teman dan petualangan baru, termasuk menemukan dirinya sendiri. Ia memang dibesarkan oleh seekor serigala tetapi ia manusia. Maka ia harus hidup dengan cara manusia. Manusia yang mengusahakan kehidupan harmonis di hutan. Inilah yang Mowgli pelajari dari kawan barunya beruang madu bernama Baalu.   Keluar dari “zona nyaman” memang kadang-kadang atau seringkali membuat kita frustasi. Keluar dari “zona nyaman” juga berarti membuka diri terhadap pengetahuan yang baru, pengalaman yang baru, teman-teman baru dan petualangan baru. Seperti yang Mowgli alami. Keluar dari “zona nyaman” kawanan serigala, ia justru memperluas kapasitas hati dan kemampuannya. Mowgli yang keluar dari “zona nyaman” juga menyalakan “cahaya” pencerahan bagi Baalu yang melawan ketakutannya pada ketinggian, mencelikkan mata Bagheera bahwa Mowgli bisa bertahan di hutan dengan caranya sebagai seorang manusia bukan serigala. Lihatlah, betapa satu langkah yang diambil oleh seseorang untuk keluar dari “zona nyaman”nya membawa dampak bagi sekitar.   Beberapa hari yang lalu di lini masa seorang kawan di Taiwan, ada foto-foto tentang pohon-pohon besar yang dipindahkan (bukan ditebang). Saya memang tak bertanya detail mengapa dan hendak ditanam dimanakah pohon-pohon itu. Tetapi sembari menikmati kopi saya pagi itu, pencerahan itu datang. Seolah-olah pohon-pohon besar yang saya amati itu bicara, “Selama kamu masih hidup, bergeraklah.” Bukankah itu pula yang ditunjukkan oleh para pelopor bangsa ini? Mereka adalah orang-orang yang keluar dari “zona”nyaman” dan bergerak. Seperti yang juga dilakukan oleh Kartini. Acap ia diperbandingkan dengan para pejuang perempuan lainnya. Tetapi mengapa ia tetap diagungkan dan bahkan mungkin Ibu Ngasirah tak menduga jika ratusan tahun kemudian foto putrinya terpampang di mesin pencari google. Sebab ia keluar dari “zona nyaman” dengan menyalakan pelita.   Ia membawa pelita lewat surat-suratnya yang kemudian termashur itu. Surat-surat yang mencerimkan rasa gelisah dan protes seorang perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokat Jawa di akhir abad ke-19. “Zona nyaman” yang didobrak oleh Kartini adalah kerangkeng kolonialisme yang timpang dan menekan. Observasi dan komentar-komentarnya dalam surat-surat itu membawa terang bagi mata dunia Barat waktu itu tentang apa yang terjadi di Indonesia. Walaupun cita-cita pribadinya tak sampai dan ia harus “jinak” pula pada tata tertib pada waktu itu, umurnya tak panjang, tapi pelita itu sudah dinyalakan. Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena upayanya (yang mungkin dinilai gagal) untuk menyalakan pelita. Sehingga sampai kini masih banyak orang mempertanyakan “zona nyaman” dan bahkan keluar dari “zona nyaman” yang kadangkala sudah terlampau banal sehingga mematikan daya kritis yang penting cari aman.   Pendidikan dalam akar yang paling mendasarnya adalah “membawa keluar” seseorang dari kegelapan pikir menuju akal budi dan laku yang terang. Upaya membawa keluar adalah upaya keluar dari “zona nyaman”. Persoalannya adalah apakah pendidikan sudah benar-benar mendorong setiap orang untuk punya keberanian keluar dari “zona nyaman”nya ketika di kelas-kelas yang terjadi adalah bukan mengajak siswa-siswi berpikir kritis tetapi sekedar transfer ilmu semata? Setting yang paling sering saya jumpai di kelas-kelas adalah “haram” hukumnya mendebat pernyataan guru dan buku cetak. Dan itu pula yang pernah saya alami dulu. Berkali-kali saya harus belajar dari selasar hanya karena saya berdebat dengan guru sejarah saya tentang peristiwa tahun 1965. Bagi dia siswi SMP cukup tahu apa yang tersaji di buku cetak. Pendidikan dalam jiwanya adalah menyalakan kegelisahan setiap orang untuk bertanya, mencari, mengobservasi, dan berdiskusi lalu berbuat sesuatu.   Setting demikian juga nampak bukan hanya di ruang-ruang kelas, tetapi di rumah juga. Berapa banyak keluarga yang menyediakan waktu berdiskusi dan bercengkrama? Menerbitkan rasa ingin tahu anak? Memfasilitasi anak-anak untuk terus berpikiran kritis? Bagaimana dengan di gereja? Berapa banyak orang yang merasa malu bertanya, malu berdiskusi ketika pendeta atau pemimpin membuka kesempatan? Pendidikan pada akarnya adalah menyalakan keberanian setiap orang untuk berani bertanya, berani mengagumi, berani menyampaikan isi pikiran dan hati. Itu semua adalah tindakan keluar dari “zona nyaman”. Orang yang tak mau keluar dari “zona nyaman” nya akan seperti Shere Khan yang mati-matian menolak kemungkinan bahwa manusia seperti Mowgli tak akan melukai hutan-rumahnya. Orang yang tak mau keluar dari “zona nyaman” akan terus-menerus hidup dalam kungkungan kegelapan pikir. Sehingga alih-alih mengobservasi dengan obyektif, ia akan bersikukuh pada kebenarannya sendiri dan “nyinyir” pada apapun yang dilakukan oleh orang lain.      Untuk membentuk generasi yang berani keluar dari “zona nyaman”, saya dan Anda punya Pekerjaan Rumah yang besar dan sayangnya tak bisa hanya dikerjakan oleh sekolah atau guru semata. Tetapi semua elemen masyarakat punya peranan penting untuk membentuk generasi yang berani keluar dari “zona nyaman” dan bukan sekedar menyalakan pelita bagi dirinya sendiri, sebab seseorang yang menyalakan pelita bagi dirinya sendiri tak akan bisa menyembunyikannya dari orang lain.   Maka agak miris ketika hari Kartini dirayakan dengan berpakaian adat seperti kebaya, sebab menyalakan pelita adalah upaya membawa orang lain keluar dari zona nyaman kegelapannya menuju terang pengertian. Dan agak miris ketika hari Pendidikan Nasional hanya dirayakan dengan seremonial formalitas belaka. Sebab hakikat pendidikan adalah laku keseharian yang menjadikan diri sendiri sebagai pelaku pendidikan yang mendorong setiap orang untuk berani keluar dari zona nyamannya. Sebab hakikat pendidikan adalah laku keseharian yang menjadikan diri sendiri pembawa pelita yang menerangi sekitar. Selamat keluar dari “zona nyaman”, selamat menyalakan pelita! Yohana Defrita R.,S.Si-Teol.      

Jumat, 25 Maret 2016

Tulisan yang dikeluarkan otak saya dari laci...

Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menjelaskan kepada saya cara kerja otak menyimpan data. Dan pagi ini saya dibuat takjub oleh otak saya sendiri. Ceritanya pagi tadi saya mengirimkan pesan singkat dan sebuah lukisan yang saya buat semalam. Lalu teman ini membalas dengan lugas. Sungguh tak biasa. Sebentar, ini bukan sopan atau tak sopan. Tapi lebih kepada biasa atau tak biasa. Dan ini tak biasa. Tentu ada yang tersentak dalam hati, tapi saya paham situasi dia bagaimana. 

Lalu otak saya ini membuat kejutan. Dikeluarkannya dari laci laci yang banyak itu ingatan tentang apa yang saya baca beberapa hari lalu. Tentang mengasihi dengan bebas, penuh dan tanpa ragu. Tulisan itu memang sempat saya salin makanya tak heran otak saya paham betul itu tulisan di simpan di laci yang mana. Maklum isi pikiran saya ruwet maka jika otak saya salah simpan, jangan salahkan dia, salahkan keruwetan data dan arus informasi di dalam ruangan otak saya.

Apa yang dilakukan otak saya menolong saya untuk tidak reaktif pagi itu. Saya bisa saja langsung kecewa dan bermuram durja sepanjang hari hanya karena balasan tak sesuai harapan. Oke, sepertinya ada yang harus saya koreksi. Iya, ekspestasi saya yang tak bertemu dengan kenyataan sehingga saya kecewa. Tapi kekecewaan adalah mekanisme alamiah dari diri ini ketika menghadapi sesuatu yang tak sesuai angan-angan. Namun kekecewaan menjadi penyakit ketika ia bercokol terlalu lama.

Tulisan yang disodorkan otak saya dari laci entah nomer berapa itu menolong saya tetap waras dan mencerna dengan sudut pandang yang baru. Tulisan itu bicara soal apa sih? tulisan itu bicara soal mengasihi dengan bebas, penuh dan tanpa ragu. Dan implikasinya adalah tndakan mengasihi itu selalu berkelindan dengan komitmen. Tapi komitmen seringkali disalah artikan menjadi "menguasai", "membatasi", bahkan "mengontrol". Padahal tidak begitu. Komitmen dalam mengasihi orang lain berarti kita mengasihi orang lain dengan seluruh keberadaan diri kita. 

Kita berkomitmen mengasihi orang lain karena Tuhan Yesus sudah lebih dulu mengasihi dengan utuh, penuh, dan tanpa ragu kepada kita. Satu tindakan cinta-Nya adalah ketika Ia menyerahkan diri-Nya disalib. Kurang berkomitmen apa coba??

Orang yang mengasihi dengan utuh, penuh, tanpa ragu akan bebas dan ringan, artinya sekalipun orang yang kepadanya kita menaruh kasih, tak membalas kasih kita...pendek cerita seperti yang saya alami, maka tak akan ada rasa sakit yang berkepanjangan. Sebab kasih yang utuh, penuh, tanpa ragu membuat orang jauh dari pikiran penuh perhitungan tentang resiko dan aneka konsekuensi yang akan dialami jika orang lain tak mengasihi seperti yang kita harapkan.

apakah saya masuk kategori berhasil?? tentu tidak bisa dibilang begitu sepenuhnya. Saya masih jatuh bangun. Tapi setiap kali godaan untuk protes,"Idiiihh kok gitu sih? udah dibaikin juga...udah disapa jugakkkk kok balasannya gitu amat!!!"...maka saya ingat bahwa sebagai orang yang sudah dikasihi dengan utuh penuh dan tanpa ragu oleh Yesus saya harus belajar mengasihi dengan bebas dan tanpa ragu sehingga langkah kaki saya ringan.

Jika ada orang yang tak mengasihi saya, atau membalas perlakuan baik saya dengan sesuatu yang menyakitkan, yang perlu saya lakukan hanyalah tetap mengasihinya....

Penggalan liturgi



Yesus wafat
Ia tergantung di salib
hidup mengalir deras dari diri-Nya
segalanya makin menjadi samar
hidup meredup
sunyi, suram dan gelap
segala hilang.
hidup-Nya hilang
murid-Nya lari
kerja-Nya percuma
Diri-Nya tak berarti
Nol besar
Beristirahatlah
engkau yang ternista
hidup-Mu  begitu terganggu
biarlah mati-Mu tenang
Tuhan, mati-Mu bukan mati biasa
mati-Mu didahului sengsara
mati-Mu dikarenakan cinta
biarlah mati-Mu menyuburkan hidup kami
membua kami berani menempuh hidup
hidup untuk-Mu
hidup dengan-Mu
hidup karena-Mu
hidup lantas tak sepi lagi
diri kami begitu berharga
sehingga Engkau mau mati untuk kami
Apa pun yang menimpa kami
apa pun kesalahan, kejelakan, dan kekurangan kami
kamu berharga, Tuhan
Engkau telah mati bagi kami
terima kasih, Tuhan


Cinta-Mu

Cinta-Mu perkasa bagai angin
menghembuskan kuat kesalahan dan ketakutan ku.
dan mendorong ku terbang tegar
menyongsong esok...

Cinta-Mu padat laksana bumi
membuat kaki ku berjejak mantap
menjadi tempat ku selalu pulang
menjadi sandaran ku ketika terhempas oleh rupa-rupa persoalan

Cinta-Mu adalah api yang berkobar
menghangatkan hati ku yang beku pilu
menerangi langkah kaki ku yang ragu
menyalakan harapan dalam hati ku

Cinta-Mu tak akan berkurang
berkilau bak bintang cemerilang
menjadi penunjuk jalanku ketika gelap sekeliling dan deru ombak mengepung...

Cinta-Mu mengubah pandangan ku
terhadap diri ku sendiri...
terhadap orang lain...
dan terhadap diri-Mu

apiku, cinta Tuhan-ku

YESUS MENULIS DI ATAS TANAH

Yesus menulis di atas tanah. Ketika tatapan-tatapn kejam menghunjam sosok perempuan yang ringkih. Sorot mata luka tak bisa diabaikan. Lelah mendengarkan aneka dakwaan dan cacian yang kadangkala lebih tajam dari belati yang kau asah setiap hari. Yesus menulis di atas tanah dan tak seorang pun pernah tahu. Sampai kini orang hanya bisa menduga. Dulu pun orang-orang yang mengelilinginya juga tak tahu. Tapi sebenarnya tak masalah apa pun yang Ia tuliskan di atas tanah.

Sebab ketika Ia jongkok dan sibuk menulis di atas tanah, Ia yang sedang Allah sedang berjongkok sama rendahnya dengan dia yang dipandang berdosa. Hukuman rajam tanpa belas kasih atas nama moral sudah menunggunya. Dan Ia masih asyik menulis di atas tanah untuk menunjukkan pada mata-mata tajam membara bahwa kesalahan-kesalahan mu, dan aku, ditulis di atas tanah. Ya, di atas tanah yang akan lenyap dihembus oleh belas kasih Allah.

Walaupun kita sendiri seringkali menuliskan kesalahan-kesalahan diri sendiri dan orang lain di atas batu. Sungguh aneh, padahal Allah yang sedang jongkok itu menuliskannya di atas tanah, sebab Ia tahu itu semua tidak kekal. Kesalahan-kesalahan kita itu tak kekal seperti debu yang mudah diterbangkan angin. Dia saja tak sibuk menghakimi diri sendiri dan orang lain. Ia justru sibuk menunjukkan bahwa Cinta-Nya selalu lebih besar daripada kesalahan-kesalahan dan bahkan ketakutan-ketakutan kita.

Begitulah cara Allah mencintai kita...

Bandung, 13 Maret 2016

MEMBASUH KAKI, MEMBASUH...

Tindakan membasuh kaki sudah lazim dipraktikkan di gereja-gereja. Praktik pembasuhan kaki tentu berpijak pada kisah Injil yang bercerita tentang Dia yang adalah Guru dan Tuhan bersimpuh dan membasuh kaki para murid-Nya. Maka di gereja-gereja pemandangan yang umum ketika Kamis Putih adalah pendeta atau pastor membasuh kaki umat dan umat saling membasuh kaki. Tindakan ini sudah amat lazim dimaknai sebagai panggilan untuk meneladani Yesus yang melayani sesama bahkan yang termarginalkan.

Tetapi homili pastor di Katedral Santo Petrus Bandung memberikan perspektif berbeda tentang pembasuhan kaki. Pembasuhan kaki bukan sekedar panggilan untuk melayani sesama. Tetapi panggilan untuk membasuh kesalahan diri sendiri, kesalahan orang lain. Pembasuhan kaki juga panggilan untuk berkomitmen memberikan diri pada sesama. Panggilan untuk membagikan cinta kepada siapa saja.

Maka undangan pastor tadi adalah agar setiap anggota keluarga saling membasuh kaki sebagai tanda komitmen untuk mengampuni dan membasuh kesalahan anggota keluarga yang lain. Dan memulai hidup yang dialiri oleh Cinta-Nya.

Sebab panggilan untuk mengasihi adalah panggilan untuk berkomitmen. Jangan takut berkomitmen!



Kamis Putih, 24 Maret 2016

PINTU BERGEMBOK

Di tempat saya tinggal ada 12 pintu selain pintu depan. Dari 12 pintu itu, hanya pintu tempat tinggal saya yang memiliki gembok dengan password. Tempat tinggal 12 orang yang lain tidak .Bukan karena lokasi tempat tinggal saya yang benar-benar sangat dekat dengan pintu depan yang menjadi batas dengan dunia luar tetapi sebetulnya gembok berpassword ini cerminan fakta sosiologis yang tak sederhana dari dunia sekitar kita. Pintu-pintu yang tertutup (bahkan bergembok lengkap dengan cctv) sebagai tanda yang menggambarkan dengan tepat situasi dari dunia zaman sekarang. Suatu realitas eksistensial yang mencerminkan gaya hidup dan atau jangan-jangan cara kita dalam berhubungan dengan orang lain.

Pintu tempat tinggal saya yang tertutup dan bergembok dengan password kombinasi angka, tempat semua yang berhubungan erat dengan diri saya, dengan impian, harapan, dan penderitaan serta kegembiraa saya, semua itu juga lalu tertutup bagi orang lain. Gambaran ini tak hanya berkenaan secara fisik rumah semata tetapi sesungguhnya juga menyangkut bidang-bidang yang terdalam dalam hidup saya, hati saya. Semakin sedikit saja orang yang bisa melewati pintu ini. Dan sistem keamanan yang menjaga pintu-pintu ini menunjukkan derajat ketidakamanan hidup yang semakin bertambah dan semakin kurang peka terhadap resiko kehidupan dan cinta orang lain.

Padahal gambaran pintu yang terbuka selalu menjadi simbol keceriaan, persahabatan, sukacita, kebebasan , dan kepercayaan diri. Ah, betapa saya membutuhkan semua itu! dan perlu mendapatkannya kembali. Kabar baiknya, adalah Allah yang selalu mengambil prakarsa dan tidak ingin ada yang diabaikan, maka Ia mengetuk pintu hati kita (Wahyu 3:20).

Melewati pintu merupakan awal suatu perjalanan yang berlangsung seumur hidup. Sementara melangkah maju, kita menemukan begitu banyak pintu lain yang terbuka bagi kita. Banyak dari antara pintu-pintu itu adalah pintu yang salah, pintuk yang menarik tapi tipuan lancung yang membuat hati bisa hancur (atau sudah), yang menjanjikan kesenangan hampa, narsis dan fana. Pintu yang membawa kita ke jalan pintas di mana apa pun pilihan yang kita ikuti cepat atau lambat akan menyebabkan rasa cemas dan bingung.

Yesus adalah pintu, Dia membuka jalan bagi kita menuju Allah dan sebagai Gembala yang baik. Yesus adalah pintu dan Ia mengetuk pintu  hati kita, agar kita mempersilakan Dia menyeberangi ambang pintu kehidupan kita yang lengkap dengan gembok berpassword itu. "Jangan takut...bukalah pintu bagi Kristus," demikian Santo Yohanes Paulus II berpesan.

Membuka pintu hati seperti yang dilakukan murid-murid Emaus, berarti memohon agar Tuhan tetap berjalan bersama kita, duduk dan berbincang. Bahkan mungkin ikut membantu membereskan hal-hal spesifik yang berantakan di balik pintu bergembok tadi. Merenungkan hal ini di masa Pekan Suci, membuat saya berpikir, "Apa sih Tuhan yang ada di pikiran-Mu? kok mau-maunya sih mengetuk pintu emas Yerusalem? kok masih mau-maunya masuk melewati pintu yang justru akan membuat-Mu menangis dan terluka karena penolakan?"

Yesus bukan tak tahu jika Ia melewati ambang pintu itu, Ia akan mengalami penolakan. Dan penolakan itu, percayalah selalu menyayat hati, pahit teramat pahit. Maka ketika Ia mengetuk pintu emas Yerusalem dan memasukinya, Ia hendak mengatakan bahwa Ia solider terhadap orang-orang di balik pintu itu. Ia solider terhadap orang-orang yang ditolak. Ia solider terhadap orang-orang yang menangis. Ia solider terhadap orang-orang yang dituduh bersalah padahal tidak. Ia tahu penolakan dan kecaman bahkan penderitaan di balik pintu itu menyakitkan rasa dan bagi Dia menangis adalah salah satu cara agar tetap tegar.

Pintu-pintu yang ada di hadapan kita bisa jadi membawa kita pada air mata dan penolakan, tapi merenungkan ini membuat saya berpikir bahwa tak sekalipun Ia lebih rendah ketika sejuta mata memandang Dia hina. Dengan sistem hukuman ternista di dunia sekalipun tak mengurangi cinta-Nya. Tak mengurangi harga diri-Nya. Pintu-pintu kita mungkin masih tergembok, jangan takut, bukalah... Pintu-pintu yang harus kita hadapi mungkin menghantar kita pada kepedihan, bukalah...dan teruslah berjalan bersama-Nya.



Bandung, 21 Maret 2016

PATIBULUM KELEMAHAN, PATIBULUM HARAPAN

Sore ini aku kembali membaca tulisan Trias Kuncahyono tentang tragedi berdarah di Yerusalem. Agak tak tepat memang momentnya karena ketika aku membaca ini baru memasuki pekan suci. Yesus baru masuk ke Yerusalem dan disambut tempik sorai bak Raja Diraja. Tapi aku sudah membaca sampai adegan penyaliban. Walaupun sebetulnya aku sudah mencermati dari sejarah dan situasi politik keagamaannya sebelum tiba di adegan berdarah-darah ini.

Tapi bacaan ini perlu aku baca sekali lagi untuk meredakan sakit kepalaku dua hari ini. Aneh ya, tapi begitulah, bacaan berbobot khasiatnya jauh lebih efektif daripada aspirin dan kawan-kawannya.

Mataku tertumbuk pada perenungan terhadap lukisan karya Sieger Koeder yang melukis dua lelaki yang satu Yesus dan yang satu lagi Simon. Iya, Simon , seorang lelaki dari Kirene, sebuah kota di Afrika Utara yang waktu itu menjadi pusat pemukiman orang Yahudi. Agaknya Simon datang ke Yerusalem untuk merayakan Paskah di Bait Allah.

Simon dan Yesus, kedua lelaki itu memanggul sebatang palang kayu kasar dan berat. Dengan tangan kirinya, Yesus memegang patibulum itu, sementara tangan kanannya merangkul pinggang Simon. Sebaliknya, dengan tangan kanannya, Simon memegang patibulum dan tangan kirinya memegang pinggang Yesus.

Simon dan Yesus tak saling kenal. Simon mau menolong Yesus bukan karena kerelaan tetapi paksaan sang Exacator Moris. Namun setelah ia mau memanggul patibulum itu hilanglah penghalang yang memisahkan dia dari Yesus.

Keduanya menjadi semakin dekat, saling memeluk erat, tak nampak mereka menyerah dalam menanggung beban penderitaan. Pipi mereka berhimpitan. Sedemikan eratnya sampai wajah mereka tak dapat lagi dibedakan.

Penderitaan membuat mereka berdua menjadi saudara kembar. Sesungguhnya Simon adalah orang yang memberikan pertolongan dan Yesus adalah orang yang membutuhkan pertolongan. Namun, lukisan Sieger Koeder memberi kesan bahwa tak tampak lagi siapa yang memberi dan siapa yang diberi.

Keduanya saling menerima dan memberi. Simon memberikan kekuatannya dan menerima bahwa penderitaan itu mempersatukan bahkan menghilangkan keasingan. Yesus memberikan ketidakberdayaan-Nya dan menerima bahwa pertolongan dalam penderitaan itu menguatkan.

Dalam penderitaan itu tak ada yang diuntungkan atau menguntungkan. Semuanya kalah. Tapi justru karena itu semuanya sama-sama berharap akan pembebasan dan kebahagiaan. Maka dalam penderitaan, Tuhan pun bukan berlaku sebagai yang mencari dan manusia sebagai yang menunggu. Dalam penderitaan, Tuhan dan manusia sama-sama berjalan dan saling menuju untuk bertemu. Pertemuan inilah yang membuat manusia berani menghadapi penderitaan. Di sanalah manusia menemukan peneguhan sejati bahwa penderitaan bukanlah akhir dan kematian tetapi jalan menuju kebahagiaan dan kehidupan.

Perjumpaan Yesus dengan Simon mengajarkan aku bahwa dalam penderitaanlah manusia dapat saling berbagi. Berbagi kelemahan, ketakutan sekaligus berbagi harapan.



Bandung, 20 Maret 2016

Minggu, 13 Maret 2016

Matahari dan Nenek itu Bintangku!

Otak kita dianugerahi kemampuan yang luar biasa untuk menyimpan adegan-adegan tertentu dalam pita seluloid. Yang sewaktu-waktu bisa kita tengok lagi. Tetapi nanti ketika kita mati, saat adegan-adegan telah terekam dalam pita seluloid dan dekor telah dilepas dan dibakar, kita adalah arwah dalam ingatan keturunan kita.

Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, dan televise tak sanggup menyihirku barang sekejap, maka Nenek adalah ia yang setia bercerita setiap malam. Selalu ada saja cerita yang ia perdengarkan di telingaku. Dan cerita-ceritanya mengisi mata bundarku yang mengerjap-ngerjap ketika cerita itu tak lagi terkejar oleh kemampuan otakku. Cerita-ceritanya mulai dari wayang, sampai yang aku yakin, itu ia ciptakan sendiri. Tapi bagiku tak ada beda, semua sama menyenangkannya. Semua sama mendebarkannya di hati ku yang kecil.

Ia tak selalu bercerita tentang yang indah-indah, ia juga bercerita tentang mahluk-mahluk yang belum bisa mencapai kesempurnaan. Mahluk-mahluk yang kata Nenek karena perilakunya maka ia tak bisa sempurna, utuh seperti manusia atau para dewata. Sekarang ketika aku sudah dewasa, aku sering bertanya-tanya ketika berjumpa dengan sesame manusia yang yang tingkah lakunya belum "utuh", belum "sempurna". Lalu mahluk apakah gerangan ini? hahahaha :D Nenek memang sudah beragama Kristen, tetapi agama impor itu tak sanggup menggeser keyakinannya akan keseimbangan semesta dalam "jagad alit" dan "jagad gede". Sesuatu yang seketika bisa didakwah bidah.

Maka dari sekian banyak cerita yang terekam dalam pita seluloid ku, ada satu cerita yang terekam dalam pita seluloid ku, ada satu cerita yang aku ingat. Mungkin karena tanggal 9 Maret yang lalu bertepatan dengan Gerhana Matahari Total. Entahlah, tapi sore ini sambal memandang rintik hujan dari jendela kamar, tiba-tiba aku ingat sosoknya. Nenek yang dating dengan banyak cerita yang membawaku menyeberangi, menerobos, bahkan terbang ke negeri-negeri yang jauh di luar batas berpikir mu.

Nenek pernah bercerita tentang seorang buto yang menelan matahari karena ingin menguasai semesta. Namun karena keserakahannya justru membuatnya tak benar-benar bisa menelan bulat-bulat matahari. Sebab terlampau panas di mulut si buto serakah itu. Ya, Nenek sedang bercerita tentang gerhana matahari total.Cerita yang dulu aku percaya keabsahannya.

Bertahun-tahun kemudian ketika ilmu pengetahuan menginvansi otakku dan nyaris memadamkan imajinasiku, aku tahu cerita itu hanya karangannya demi menjawab keingintahuan ku soal matahari yang tetiba gelap dan siang menjadi seperti malam. Tak ia gunakan itu istilah-istilah ilmiah. Tak repot-repot ia paksa cucunya yang bawel ini menggunakan kaca mata. Ia sediakan baskom berisi air dan ia tahbiskan cucu bungsunya ini menjadi saksi pertarungan buta serakah dan matahari.

Aih, aih bangga bukan buatan hati yang masih kecil dan lugu ini. Seolah-olah saat itu aku adalah satu-satunya saksi peristiwa maha genting tentang kebenaran yang pasti menang melawan kejahatan. Lalu setelahya, Nenek menatap ke mata bulat cucunya ini dan menjelaskan bahwa sehebat apapu kejahatan berkuasa, pasti akan kalah juga dengan sinar kebenaran. Ia berpesan agar cucunya yang bermata bulat  ini menjadi matahari yang tak takut menunjukkan sinarnya!

Sejak itu ku rasa aku jatuh cinta pada Matahari. Seolah aku sudah akrab dan ditakdirkan bersama sejak lama. Mungkin karena sebelum aku mengenal huruf, Nenek sudah mengenalkan aku pada Matahari. Maka sekarang setiap pagi Matahari muncul entah sedang berselendang kabut tipis atau telanjang bulat, aku selalu terpesona! Aku selalu terpikat!

Dan ketika setiap pagi berangkat kerja aku berjalan melewati deretan pohon besar yang tua, sinar Matahari menemani langkahku. Diam-diam aku merasa hangat. Seolah Nenek sedang mendekapku.

Bagimu, mungkin matahari hanyalah satu dari berates miliar bintang di galaksi ini, dan ia bahkan bukan yang terbesar. Tapi bagiku, ia adalah Bintangku!



Bandung, ditulis tgl 8 Maret 2016
hujan sore ini lebat sekali


Minggu, 28 Februari 2016

Bliss of Bandung

Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan lagu Mocca tentang kota Parisj Van Java, begini syairnya:
There's a little city covered with hills and pleasant weather
come on baby i'll show you around
in my little town every corner tells you different stories
there's so many treasures to be found
welcome to flower city
my lovely city
roses blooming pretty
people say that home is where the heart is
it's a place with so much history 
friendly Bandung city
holds the past of ancient glories
and a thrilling future mystery 
welcome to flower city
my lovely city, my friendly city, my beloved city
even though it gets so over crowded
when i'm sitting in my car that stuck for hours
but i love it anyway
welcome to flower city...

Dari syairnya sambil menutup mata, Bandung memang memesona dalam segala sisinya. Tetapi di bait ke dua? Mocca sedikit menguak sisi lain Bandung yang rajin macet terlebih di akhir pekan. Walaupun ia menikmati kemacetan itu dari dalam mobilnya, bagaimana jika ia merasakan macet di angkutan umum? hahahaha :D mungkin bakal ada bait ke-3!

Di dalam kendaraan umum saya menikmati parade busana dan parade ekspresi ketika si Flower city mulai macet. Ada yang  berdandan habis-habisan lengkap dengan bulu mata anti badai, sayangnya tak anti macet. Ada yang senyam-senyum menatap layar gawainya, barangkali dia sedang mengalihkan fokus dari kemacetan ke sesuatu yang menyenangkan di dunia maya sana. Ada yang menutup kuping mendengarkan musik. Ada yang cemas bolak balik menatap jam. Ada yang kipas-kipas kuatir kalau make up luntur karena sauna ala angkutan umum.  Ada yang melamun. Ada yang sibuk mengunyah, sayangnya kecepatan mengunyah berbanding terbalik dengan kecepatan angkutan umum bergerak.

Melihat mereka saya bertanya-tanya apakah mereka BAHAGIA tinggal di Bandung yang rajin macet? Jalanan di Bandung menjadi catwalk bagi warganya yang melek fashion dan merasa harus terupdate secara kontinyu. Melihat mereka saya bertanya, "Apakah kalian BAHAGIA tinggal di Bandung? Sebahagia tampilan kalian yang semarak?"

Teringat pertanyaan seorang kawan, "Dee, are you happy in Bandung?" Pertanyaan yang sulit dijawab atau mungkin saya mesti mengikuti Eric Weiner yang melakukan riset tentang kebahagiaan hahahaha. Sebab sebagian tentu sepakat bahwa kebahagiaan itu sulit diukur dan sulit didefinisikan atau memang tak bisa diukur dan didefinisikan ya? Atau jangan-jangan kurangnya komitmen alias satu kaki masih di luar pintu, kurang berani mengatakan bahwa "ya ni rumah saya", "ya saya bahagia tinggal di sini saat ini.". entahlah....

Well kalau mau mencari-cari hal yang bikin tidak bahagaia selama tinggal di Bandung, ah barangkali ada saja daftarnya selain macet. Tetapi pada akhirnya saya sadar, bahwa KEBAHAGIAAN itu bukan soal unsur-unsurnya tetapi bagaimana unsur-unsur itu ditata dalam proporsi tertentu. Ya seperti yang dilakukan pak walkot Bandung sekarang. Dan ya itulah Bandung...my flower city, my friendly city.

Di balik kemacetannya, dan sikap sebagian orang yang belum bisa menjaga kebersihan fasilitas umum, Bandung itu rumah bagi sebagian besar orang. Terlepas dari apapun alasan mereka untuk tinggal di sini.

Dan...ketidaksempurnaan Bandung menantang saya untuk menciptakan ruang bagi ketidaksempurnaan dalam hidup saya. Berdamai dengan segala kontradiksinya, realitanya dan menikmatinya. Bandung dengan segala kontradiksinya itu dan gerak-geriknya yang masih menggoda dan masih terus bersolek diri. Ya, di suatu tempat, di jagat raya ini, seseorang telah diberi sejumput waktu....sayalah orang itu...kitalah orang itu. Ini adalah waktu untuk berbahagia di kota dimanapun kita berada :D

Yohana defrita rufikasari
Bandung, 2016

I Learn...

With you A, I learn that intimacy is not who you let to hug you but
who you call at 1.20 am just to tell how you miss someone badly...and you did it last night.
even without word "miss".
I learn that intimacy is the person that always in the back of your mind,
no matter how distracted and busy you are
by sending you every little things that reminds you about that person...or just by saying, "I'm following you, go ahead, tell me more." Though I know you were busy at that moment :D
and A, you did it, everytime...just to teach me to trust and walk again...
thank you :D

Tangan Mungil

Ketika tangan mungil itu memelukmu erat dan rapat sampai tak ada tempat
kau tahu hatimu hidup dan berdegup
ketika mata kecil itu menatapmu berbinar
seakan kau malaikat yang baru ia jumpai hari ini
sekacau apapun penampilanmu
kau tahu hatimu diajaknya menari
ketika mulut kecil itu tersenyum melihatmu
menyapamu dengan bahasa tanpa aksara itu
kau tahu hatimu menemukan jalan pulang
Tangan, mata dan mulut kecil itu
membuatmu memahami arti cinta yang paling sederhana
yang bisa dipahami hati manusia
menerima tanpa beban
memeluk dengan riang
menggandeng perbedaan
mencintai segala ciptaan
betapa indahnya hati yang kecil ini :)

Yohana defrita rufikasari
Bandung, februari 2016
*sedang dipeluk Benneth (4 years old)

Bahasa Tanpa Aksara

Ada bahasa tanpa aksara,
yang dengannya kamu tak merasa hampa.
Ada bahasa tanpa bunyi,
yang kamu pahami tanpa merasa sunyi.
Bahasa yang hanya bisa dipahami hati...
Maka ketika duduk bersamamu dalam diam
sesungguhnya ada banyak yang sedang kita bicarakan
yang membuat hati menjadi penuh tanpa merasa jenuh
Menjadi teduh walaupun di luar sana kendaraan dan suara berpacu gaduh
Terima kasih  A sudah membawaku pada level percakapan yang lain!

Yohana Defrita Rufikasari
Bandung, 2016

DAN TENTANG KETIDAKSUKAAN...

Ketidaksukaan seseorang pada orang lain memang bisa membuat orang berbuat apa saja. Mencari-cari kesalahan orang lain, menciptakan suasana "tertekan" untuk orang yang tidak disukai, membuat rumor yang disebar secepat angin berhembus, menjegal dari yang terang-terangan sampai di belakang punggung.

Tapi,
memadamkan cahaya orang lain, tidak akan pernah membuat kita lebih terang daripada orang lain. Justru akan membuat gelap semakin nyata. Dan membuat pandangan mata terbatas lalu gulita.

Lilin yang memberikan sinarnya, tak pernah merasa tersaingi ketika ia berbagi cahaya terang dengan lilin yang lain. Maka daripada sibuk menguras energy dan emosi memadamkan cahaya orang lain, cobalah berbagi cahayamu dengan yang lain agar lebih terang sekitarmu, lebih terang dirimu memandang dunia :)

Yohana Defrita Rufikasari
Bandung, 27 Februari 2016
10.32 am

HIJRAH-surat untukmu yang tak lelah berjuang agar "pintu" itu dibuka :)


Hai,
mungkin saat kau membaca surat  ini, kau sudah tiba di stasiun itu malam hari. Tapi tentu sebelum kau pulang mengayuh sepedamu :) Bacalah selagi sempat...

Kemarin kau membagi sebuah tautan berita tentan "pintu" yang masih tertutup dan Walikota mu yang berlagak dagelan. Selain menerbitkan gelak tawa demi membaca kebodohan yang terang benderang, aku tahu, perjalananmu dan teman-temanmu masih jauh. Mungkin ini memang sebuah jalan panjang atau istilah Pak Tjokroaminoto, "hijrah" untuk membangun sebuah "rumah" yang menjadi tempat berteduh anak-anak dari berbagai macam latar belakang dan kondisi bahkan orientasi seksual.

Membangun Indonesia menjadi "rumah" tanpa kekerasan dimana semua warna diterima dan diberi tempat bahkan didengarkan, mimpi yang gila barangkali. Tetapi, aku percaya kekuatan mimpi, sebab mimpi-mimpi itu diletakkan di tangan-Nya dan Dia memeluk mimpi-mimpi kita :)

Oya, aku teringat sebuah film besutan Garin Nugroho tahun 2015 tentang Pak Tjokroaminoto seorang guru bangsa. Apa? Film sejarah? Iya, walaupun mungkin banyak yang menyangsikan keabsahannya tetapi sejarah memang bisa punya banyak versi dan konon katanya tergantung pada siapa yang memimpin. Dari jaman Raja Daud juga gini kok.

Tetapi aku kira, Garin Nugroho tak hendak mengambil alih tugas guru sejarah walaupun ia menggunakan data sejarah. Maka menyaksikan film berdurasi nyari 3 jam ini aku menyaksikan sebuah "hijrah" dan "rumah", ya another "aha" moment.

Hijrah yang dilakukan oleh Tjokroaminoto bukan sekedar hijrah "besar" demi nasib Tanah yang ia cintai sampai sumsum. Walaupun awalnya sih memang begitu. Namun pada akhirnya dia menyadari bahwa batinnya pun sedang melakukan hijrah.

Berkali-kali ia bertanya pada Agus Salim sudah sampai di mana hijrah besarnya. Jawaban Agus Salim membuat aku tercekat, katanya, "Mungkin hijrah kita sampai di Arafah, sepi dan kita butuh bimbingan Allah." Teduh sekali jawaban lelaki ini.

Sekilas lalu memang bisa jadi kita bertanya-tanya, "Apa sih hasil dari hijrah yang dilakukan Tjokroaminoto? Film ini tak menjawab lugas. Tetapi film ini membawa perenungan setidaknya buat aku.

Ada hijrah besar yang kita lakukan demi sesama. Namun dalam hijrah besar itu sesungguhnya kita juga sedang melakukan hijrah kecil. Perjalanan batin sendiri. Mungkin tak dapat terlihat hijrah ini sampai di mana, mau kemana, akan seperti apa nanti.

Dalam hijrah itu terkadang aku dan kamu diijinkan merasa sepi dan tak seorangpun memahami. Sebab dalam kesunyian hijrah, sejatinya kita sedang menajamkan telinga dan mendengar desir suara-Nya.

Kau tahu? Tjokroaminoto memutuskan bahwa hijrahnya kali ini adalah pulang ke rumah. Pulang kepada anak-anak dan istrinya. Rumah yang dibangun dengan idealism "rumah bersama, rumah sesama" dimana kekerasan tak boleh masuk ke dalamnya. Sekacau apapun kau di luar sana, jangan bawa kekerasan ke dalam rumah. Sebab ia tempatmu berpulang. Sebesar apapun gagasanmu, jangan hancurkan rumah sesamamu.

Rumah bukan semata tempat kita tinggal tetapi Negara ini adalah rumah. Pertanyaanku pada diri sendiri, "Apakah Negara sudah menjadi rumah bagi anak-anaknya? Rumah tanpa kekerasan? Apakah Indonesia dapat menjadi rumah bagi semua dan sesama? Tempat anak-anak bangsa pulang dan berlindung?

Di dalam penjara, Tjokroaminoto menuliskan pergulatan batinnya dan upayanya berdamai dengan jalan hidupnya, sebab bisa jadi hijrahnya hanyalah dari penjara ke penjara demi merenungkan makna perjuangan bagi kebebasan sesama dan, "Apakah aku masih di Kiblat-Mu, ya Allah?"

Perjalanan Tjokroaminoto mewujudkan impiannya memang tak mudah. Begitu pula impian untuk Indonesia rumah bagi semua dan sesama. Hijrah yang dilakukan Tjokroaminoto sering membawanya melewati gurun sunyi. Barangkali hijrahmu untuk membuka pintu itu membawamu pada sepi.

Tetapi jangan remehkan impian. Hijrah itu dimulai sekarang. Sesepi apapun hijrahmu agar pintu itu terbuka, bertanyalah, "Tuhan apakah kami masih di Kiblat-Mu? Tuhan, apakah kami masih bersama-Mu?"

Aku sudahi surat ini, kayuhlah sepedamu :)

untukmu yang mungkin masih di Arafah dalam sunyi dan doa perjuangan untuk "pintu" yang terbuka :)

BROKEN ROAD

Kalau jalinan kisah hidup manusia diibaratkan seperti rajutan yang suka dibikin oleh partner in crime saya, maka jalinan benang-benang halus warna-warni itu sudah mempertautkan saya dengan perempuan-perempuan hebat. Jalinan benang-benang ini berupa kata, tawa, air mata, doa dan juga cinta.

Obrolan bersama mereka ini acapkali membuat saya bercermin diri. Di satu atau dua titik, saya dan kalian pernah salah jalan. Pernah begitu gegabah terdorong ego yang buncah menggambil langkah dengan pongah. Menolak mendengarkan suara diri sendiri, terus melangkah walau perih. Di satu atau dua titik kita pernah sama-sama menjadi gagu dan terduduk sayu berteduh. Menggenggam kompas yang sudah rusak. Tanpa menyadari bahwa seluruh semesta sedang menyampaikan pesan-Nya. Mungkin karena saya dan kalian terlalu gaduh...

Iya, kita pernah sama-sama seperti itu. Tetapi kita bukanlah "salah kedaden", kita bukan "produk gagal" dan jalan-jalan yang pernah kita ambil dan kita (orang lain juga) kutuki karena dianggap salah, orang-orang yang hilir mudik dan menyisakan luka kita anggap kesalahan, rupanya tidak begitu, setidaknya bagi Dia.

Seorang sahabat sekaligus adik berkelakar, "Jangan takut salah jalan Kak!" Ya Tepat! Jangan takut melangkah, jangan takut salah jalan. Jalan-jalan yang kita beri label "broken road" entah karena pengalaman buruk di "jalan" itu, bukanlah broken road sebab Dia punya banyak cara untuk membawa kita pulang ke diri sendiri, ke pelukan-Nya.

Bahkan, orang-orang yang pernah berkontribusi membuat hati kita remuk dan sakit, mereka adalah berkah. Berkah sebab kehadiran mereka seperti bintang utara yang membuat kita menengadah kepada-Nya. Tak hanya sibuk merutuki badai yang mengamuk hebat di dalam hati, tetapi mencari Dia Sang Penuntun Abadi! Bukankah para pelaut handal akrab betul dengan sosok bintang utara yang membawa mereka pulang, ke luar dari badai mengerikan.

Pengalaman-pengalaman hidup yang bikin kita jungkir balik bak atraksi tong setan di pasar malam, adalah kepingan-kepingan puzzle dari rencana besar-Nya. Yang mungkin belum bias kita cerna sekarang. Perjuangan-perjuangan yang makin lama makin jauh panggang dari api, bisa jadi melemahkan hati bahkan menyiutkan nyali. "Broken road" bisa berupa apa saja dan siapa saja.

Sekalipun belum kelihatan hasilnya, terus melangkah, sekecil apapun langkah yang kita buat, bahkan mungkin jinjit, atau ngesot, terus maju. Sambil menajamkan hati untuk membaca petunjuk dan mendengar suara-Nya.

Maka kalau sekarang sebagian memilih berteduh dulu, tak mengapa, sebab kadangkala kita perlu mekihat jalan yang "broken road" itu dengan hati yang teduh. Kabar baiknya, Dia paham kok bahwa kita butuh waktu untuk memulai langkah yang baru.



Yohana Defrita Rufikasari
Bandung, Februari 2016

GNOTHI SEAUTON

Dua puluh lima abad yang lalu, Socrates mengatakan, "Gnothi seauton" yang artinya, "Kenali dirimu." Sebuah kata yang sederhana tetapi maknanya dalam. Dan akhir-akhir ini kakta-kata tersebyt menjadi alarm bagi saya. Ya, saya, dan mungkin juga Anda terlalu berorientasi ke luar.

Saya dan Anda mungkin lupa menengok ke dalam, kita belum menyadari suara di dalam diri sendiri yang selama ini diabaikan? Sengaja dibungkam? Bisa jadi. Sabtu lalu seseorang mengingatkan saya tentang hal ini. Saatnya saya mendengarkan suara yang selama ini bungkam...suara hati saya sendiri.

Hmmm mengenali diri saya sendiri membutuhkan waktu lebih dari 28 tahun. Sebab sampai saat ini pun saya masih belajar mendengarkan diri saya sendiri. Mendengarkan adalah bagian adari mengenali diri sendiri. Mengenali diri sendiri memang tak mudah walaupun ada begitu banyak alat yang dapat menolong kita untuk itu. Tetapi walaupun tak mudah, mengenali diri sendiri adalah kunci penting untuk membuka pintu untuk melangkah dalam hidup ini.

Dengan bertanya pada hati kita sendiri, Dengan mendengarkan suara diri sendiri. Dengan menatap "wajah" kita sendiri ketika hanya ada diri sendiri. Dengan menceritakan hal-hal yang tak pernah kita ungkapkan pada orang lain. Kata Paulo Coelho dalam buku The Alchemist, ia menulis, "Di mana hatimu berada, di sanalah hartamu terletak."

Well, perjalanan menuju ke dalam hati sendiri mungkin perjalanan yang tak nyaman, bisa membuat kita terluka kembali. Bisa membuat kita jatuh lagi. Bisa membuat  kita rapuh lagi. Tetapi kadang-kadang kita perlu kembali ke diri sendiri. Untuk mendengarkan, untuk bercerita, untuk menatap, untuk menengok apa misi hidup kita dan mendekap diri kita sendiri.

Sebab di luar sana ada begitu banyak suara dan banyak pasang mata yang memandang kita dengan frame dan microphonenya masing-masing. Ini di luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan adalah "pulang" ke hati kita.

"Gnothi seauton" adalah seruan untuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri, ke dalam hati sendiri, Saya menuliskan ini bukan berarti saya sudah melewati fase "perjalanan ke dalam diri sendiri". Saya menuliskan ini karena saya ingin menjadi teman seperjalanan bagi mereka yang sama-sama sedang melakukan "hijrah" ke rumah hati.

Perjalanan masih panjang, nikmati apa yang tersaji, dan jangan kehilangan diri sendiri.

Yohana Defrita R.
Bandung, Februari 2016

Minggu, 14 Februari 2016

YANG MENGGERAKKAN KEHIDUPAN

Kalau saja benda-benda bisa bicara, tentu mereka mengurai cerita. Cerita tentang masa kanak-kanak kita barangkali, atau jatuh cinta pertama kali yang membuat pipi merona. Benda-benda ini diam, tetapi menyimpan kisah, bahkan gambar ketika kita sentuh. Membawa kita kembali ke masa tertentu.

Benda-benda ini kadangkala sudah lenyap tak berbekas, kadangkala sudah lenyap tak berbekas, hancur karena tak sengaja, atau sudah berpindah tangan. Ya seperti guling yang menemani saya dari bayi. Dua guling kecil yang berpisah jalan dengan saya ketika papa meninggal. Guling itu ikut pergi bersamanya. Tetapi sekalipun barangnya tak ada, dan tak bisa saya sentuh, namun guling itu pernah ada dalam beberapa episode hidup saya. Dan pernah digantikan oleh guling serupa yang setia menemani sampai bertahun kemudian.

Ah, tentu kalau diingat ada begitu banyak benda-benda kecil termasuk makanan yang menemani masa kanak-kanak kita bahkan mungkin sampai sekarang. Betapa sesungguhnya yang kecil-kecil ini yang menggerakkan kehidupan kita? memberi warna, merangkai cerita...

Tapi kalau dipikir-pikir bukan hanya benda mati itu saja yang menggerakkan hidup ini, orang-orang juga. Orang-orang sederhana yang hanya berjumpa dalam sapa di pinggir jalan yang sama, orang-orang bersahaja yang tuturnya tulus apa adanya. Orang-orang yang gigih menari bersama hidup walaupun getir menjadi nada pengiringnya, orang-orang yang menolak untuk patah tetapi berayun seirama hidup. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang menggerakkan hidup ini. Walaupun kadang mereka tak bernama. Walaupun kadang mereka "terselip" di rimba raya urusan ini itu, meskipun kadang mereka "tersisih", atau bahkan sudah tak bersama.

Benda-benda kecil, orang-orang yang melintasi (yang sedang dan sudah) hidup kita...yang menggerakkan alur cerita kita. Yang membawa kita melangkah di jalan yang sekarang...




Bandung, Februari 2016
rindu Papa
Yodeeruf

HIDUP BUKAN PERLOMBAAN

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat yang berpacu dengan derunya "ibuk" kota menyempatkan menyapa saya. Dua jam tak terasa kami bicara tentang hal-hal yang memndalam dalam hidup kami. Langkah-langkah kami yang sekarang dan langkag-langkah kami selanjutnya menjadi warna obrolan dua jam itu. 

Lalu, selalu ada jeda sekedar untuk menikmati gurihnya obrolan ini. Kemudian dia berkata kepada saya (atau kepada dirinya sendiri?), "Dee (ini panggilan kawan-kawan saya semenjak saya kuliah), relasi itu butuh dirawat." Aha! Saya setuju kawan! Relasi itu bukan benih yang kau lempar ke tanah dan berharap besok tumbuh sesuatu dari benih itu. Relasi itu ibarat benih yang mungkin tak kau tahu apa rupanya nanti ketika ia tumbuh. Relasi itu butuh dirawat dan dijaga walaupun bukan berarti selalu bersama sepanjang waktu.

 Tetapi, relasi juga berhadapan dengan sebuah tantangan, salah satunya adalah SIBUK!. Ya, kata "sibuk" sudah menjadi makanan sehari-hari bagi sahabat yang tinggal di kota besar. "Tidak punya waktu" adalah alasan paling favorit. Seorang penulis Chin-Ning Chu mengatakan, "Kata Cina bagi SIBUK terdiri dari dua bagian. Satu bagian melambangkan hati manusia dan bagian lain melambangkan kematian. Dari dua lambang di atas, arti yang dikembangkan adalah jika seseorang super sibuk, hatinya mati."

Seseorang yang SIBUK tak hanya tidak memperhatikan relasi, tetapi tubuh dan intuisinya berhenti ia perhatikan. Dirinya tak lagi mendengar jeritan hatinya karena terlalu banyak suara di kepalanya. 

Hmmm....hidup itu tak pernah menuntut. Kita yang menuntut diri sendiri untuk menjadi dan memperoleh sesuatu, bahkan dalam pencapaian impian tersebut seseorang rela mengorbankan kedamaian pikirannya. Ironis memang, padahal kita semua sadar bahwa semua impian berujung pada satu hal...kedamaian pikiran.

Hidup ini bukan perlombaan yang diisi dengan kesibukan dan diwarnai ketergesaan. Hidup yang berburu waktu itu akan membuat kita kehilangan kesempatan menikmati pemandangan dan perjumpaan di perjalanan. Winston Churchill berkata, "Kita hidup dari apa yang kita dapatkan, dan kita bahagia dari apa yang kita berikan."

Hidup ini bukanlah sebuah perlombaan mengumpulkan sebanyak-banyaknya tetapi atas apa yang dapat kita berikan sebelum meninggalkannya.


Bandung, 6 Februari 2016
08.18 AM
Yodeeruf

FISIKA DAN CINTA

"You can't just give up on someone because the situation's not ideal. 
Great relationship aren't great because they have no problems.
They are great because both people care enough about the other person to find a way to make it work."
 
 
 Begitulah ujaran yang saya baca di time line seorang kawan. Terhenyak juga membacanya ketika teringat harapan dari tiap pasangan bahwa hubungan mereka akan lancar jaya. Well, lancar jaya tak membuat seorang nahkoda mahir mengemudikan kapal dan membaca tanda-tanda alam. Tantangan dan badai justru menjadikan nahkoda lihai mengemudikan kapal.
 
Setahun yang lalu tepatnya tanggal 21 Februari 2015, saya sengaja menghabiskan akhir pekan sendirian. Tak ingin pergi kemanapun dengan siapapun. Ya, semacam "me time".Maka weekend saya diisi dengan menyaksikan film "The Theory of Everything". Film yang mengulik kehidupan personal begawan Fisika, Stephen Hawking. Menarik, sebab acapkali orang beranggapan memiliki relasi dengan orang-orang eksak itu garing. Ah, masak sih! Tak sepenuhnya benar, tak sepenuhnya salah. Tergantung bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan pasangan yang orang eksak itu.
 
PADA MULANYA ADALAH CINTA....
 
jujur saja menonton film ini membuat saya menangis di beberapa adegan. Apa yang membuat saya terharu? Cinta! Jane, kekasih hati Stephen Hawking itu tahu bahwa kekasihnya sakit. Jika ia tetap memutuskan menghabiskan hidup ini dengan Hawking, ia akan tahu repotnya berumah tangga dengan partner yang lumpuh. Tapi satu saja keyakinan yang Jane pegang, "I love him, he love me too." Sederhana? ya, itu saja modal Jane untuk mengarungi hidup bersama Begawan Fisika yang lumpuh itu. Dan itu saja modal Jane untuk memerangi penyakit Hawking.
 
Babak baru kehidupan mereka dimulai, kini "modal" itu diuji. Apakah cukup atau justru semakin berkurang? Jane melahirkan seorang bayi laki-laki, kondisi Hawking semakin buruk tetapi tidak dengan otaknya. Kemudian Jane melahirkan lagi seorang bayi perempuan, dan kondisi Hawking semakin parah. Praktis ia kini hanya di kursi roda.
 
Dalam segalanya, Jane menunjukkan pengabdian cinta yang luar biasa kepada Hawking. Ia tahu Hawking tak akan bisa bermain-main dengan anak lelakinya, atau menuntun anak perempuannya jalan-jalan, bahkan tak bisa membelai Jane. Kelumpuhan Hawking semakin parah hingga Hawking tak dapat bersuara.
 
JEDA....
 
Ada satu titik dalam kehidupan Jane ketika ia sadar "modal" yang ia bawa dan menjadi motornya selama ini sudah habis. Ia terus memberi, ia terus mengabdi, tetapi ia rindu diisi. Apakah Hawking egois? Memperbudak Jane, alih-alih membayar perawat? Sama sekali tidak. Hawking tahu Janes susah payah merawat dirinya dan anak-anak plus mengejar impiannya meraih gelar Ph.D di bidang puisi Spanyol era Medieval. Bukan hal mudah bagi perempuan seperti Jane ataupun Hawking berada dalam situasi seperti ini. Jane menjerit dalam hatinya ketika ia sadar kondisi semakin sulit, dan keluarga muda mereka bukan keluarga "normal".
 
Bisa dipahami jika dalam kondisi seperti itu, Jane merasa lelah. Tetapi apakah artinya ia berhenti mencintai Hawking? Menyerah? Tidak! Tetapi cinta butuh jeda. Jane butuh aktivitas lain selain berkutat di rumah dan kampus. Jeda yang ia pilih adalah kembali bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja. Ya, Jane seorang perempuan Kristen yang taat sedangkan Hawking tidak. Jeda ini membuat kisah menjadi berbeda. Jane dan Hawking tak akan pernah sama lagi. Entahlah apakah bintang mereka kian benderang atau justru meredup dan berakhir?
 
APA ITU CINTA?
 
Awalnya saya menganggap sosok seperti Jane adalah istri yang ideal yang mengabdi pada suami walaupun suami sakit keras. Tetapi kemudian saya teringat akan banyak perempuan di sekitar kehidupan saya yang seperti Jane. Menunjukkan ketangguhannya. Tak perlu jauh-jauh, ibu, mama, bunda, biyung, simbok kita, mereka adalah potret perempuan yang tangguh memberi diri bagi keluarga. Tanpa kita sadari, jangan-jangan mereka butuh jeda...
Cinta yang mereka tunjukkan itu membuat kita sadar  bahwa cinta adalah kumpulan energi, keyakinan, dan doa tiada henti bagi suami dan anak-anak. Itulah yang sudah Jane dan perempuan-perempuan tangguh lakukan.
 
Tetapi kisah kita tak pernah linear. Maka kehadiran Jonathan di dalam keseharian Jane membuat Jane berada di persimpangan. Di bagian ini saya sempat "protes", di manakah kesetiaan Jane, janji sehidup sematinya? Namun kemudian saya mencoba melihat dari sudut pandang Jane. Iya, Jonathan sehat, pelatih paduan suara, memang ia bukan Begawan Fisika, ia pandai bermain piano, tampan, memenuhi kriteria sebagai bapak yang baik yang meluangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak. Apa kurangnya? Apa salahnya? Seakan akan riak ini kurang meriah, hadirlah perawat perempuan yang menemani Hawking. Pendek cerita, Hawking pun jatuh cinta padanya. Entah apakah karena Jane sudah semakin sibuk dan menjauh dari Hawking karena ia serius menekuni disertasinya. Atau, ia sudah tahu bahwa "modal" itu sudah habis. Dan tak ada yang tersisa di antara ia dan Hawking.
 
Hawking pun akhirnya pergi ke Amerika bersama perawatnya karena Jane semakin sibuk dengan disertasinya. Jane di rumah dan ditemani oleh Jonathan. Sungguh, sampai di sini saya masih belum bisa mencerna cinta macam apakah yang terjadi di antara mereka? ataukah memang cinta ini tak butuh didefinisikan? Tak butuh dinamai?
 
Di akhir kisah, dituliskan bahwa Jane menikah dengan Jonathan, dan tetap berkawan baik dengan Hawking. Mereka memiliki tiga cucu dan Hawking masih terus berkarya di bidang Fisika.
 
Di bagian akhir film, mungkin sebagian mencaci Jane. Menganggapnya perempuan yang melanggar prinsipinya. Tetapi saya melihat sosok Jane sebagai perempuan normal yang bisa merasa jenuh, depresi, dan mengeluh. Justru saya belajar dari Jane dan Hawking.
 
Saya belajar bahwa "modal" cinta di awal saja tak cukup untuk mengarungi biduk rumah tangga berdua. Modal "i love him and he love me too" tanpa dirawat dengan perhatian, penghargaan akan habis "ditarik" terus sampai "0'. Jane lelah karena "hanya" dianggap sebagai perawat oleh Hawking (atau itu hanya perasaan Jane karena ketidakmampuan Hawking merespon dan menghujani Jane dengan perhatian layaknya suami?) Sementara Hawking tahu ia hanya menjadi beban buat Jane. Jane layak hidup lebih baik, lebih "normal" daripada bersamanya.
 
Dan, bagi saya itu cinta. Memang bukan dalam bentuk awalnya yang membawa mereka ke dalam pernikahan. Cinta yang mereka miliki di awal sudah padam seperti bintang yang mati dan meledak untuk digantikan dengan binar terang cinta yang lain seperti bintang yang baru lahir....
 
 
Bandung, usai Misa 
14 Februari 2016
Yodeeruf