Minggu, 15 Juli 2012

A cup of Coffee

C1
Indonesia patut berbangga diri sebagai negara yang menghasilkan kopi dengan rasa yang relatif luas karena letak geografis Indonesia, suhu, kandungan mineral tanahnya, iklimnya  yang menjadikan biji kopi made in Indonesia punya banyak rasa. Dan ternyata ketakjuban saya akan biji ajaib ini bertambah ketika membaca tulisan Sdr. Jeffrey Satria tentang rasa kopi yang ternyata juga ditentukan dari cara menggorengnya,

C5

* Gorengan paling ringan (cinnamon) Biji kopi dikeluarkan pada suhu dibawah 205 C. Warna coklat sangat muda, berasa asam dan body-nya tipis di mulut. Aromanya tidak terlalu muncul.

* Gorengan enteng (Light) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 205 C. warna lebih gelap dari cinnamon, dengan rasa asam cukup kuat, dan terasa cukup tebal di mulut.

* Gorengan sedang-berat (medium-high) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 225 C. Warna coklat agak tua. Rasa asam tetap kuat, namun lebih kaya. Masih terasa tebal dan penuh di mulut.

*Gorengan berat (full city) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 230 C. warna coklat tua dengan rasa asam yang sedikit berkurang. Rasa di mulut tetap tebal dan penuh.

*Gorengan lebih berat (espresso atau dark) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 235 C. Warna coklat kehitaman. Rasa asam berubah menjadi kaya atau bervariasi. Tetapi terasa tebal dan penuh di mulut.

*Gorengan paling berat (heavy) Biji kopi dikeluarkan pada suhu 245 C. Warna cenderung hitam dengan minyak di permukaan biji. Rasa cenderung pahit-manis dan terasa tebal dan berat di mulut mulai berkurang banyak.

Setelah menyimak ulasan Jeffrey Satria saya baru "ngeh" bahwa kopi yang sampai di hadapan saya pagi tadi adalah kopi yang sudah melalui proses yang begitu panjang, mulai dari biji tanaman Coffea Arabica yang warnanya masih hijau, lalu disangrai atau digoreng dan begitu seterusnya sampai mendapatkan tingkat rasa dan tekstur yang sangat enak di mulut, tidak asam namun ada sedikit pahit di sana. Ini yang membuat saya jatuh cinta pada biji ajaib ini. Selain bijinya sendiri sudah mengalami "ritual" yang cukup panjang, nantinya dalam penyajiannya pun akan ada "ritual" yang membuat kopi menjadi luas spektrum rasanya dan teksturnya.

Untuk urusan yang satu itu kita patut mencontoh masyarakat Italia yang memberikan apresiasi cukup tinggi dalam soal minum meminum kopi, sama seperti masyarakat Jepang dan Taiwan yang memberikan apresiasi tinggi untuk acara minum meminum teh. Sebetulnya di Indonesia gejala mengapresiasi minum kopi sudah mulai menjamur. Terbukti dengan banyaknya kafe yang menjual aneka macam jenis kopi dan bahkan ada kafe-kafe yang begitu eksklusif lantaran racikan kopinya hanya ada di kafe tersebut.

Namun dalam soal meminumnya rata-rata orang Indonesia langsung main teguk saja begitu berjumpa dengan kopi dalam berbagai "penampilannya". Padahal seharusnya kita menghirup dulu aroma kopi yang ada di hadapan kita. Hirup dalam-dalam dan rasakan kekayaan aromanya. Lalu seruputlah kopi secara perlahan sambil dirasakan. Syukur kalau lidah sudah terlatih merasakan pasti setidaknya tahu dari daerah mana kopi itu berasal. Untuk urusan yang satu ini saya belum ada apa-apanya hehehehe....

Belum lagi kebiasaan orang Indonesia kebanyakan (tentu tidak semua) yang hobby menambahkan gula dalam minuman kopinya. Misalnya pesan espresso se-sloki kecil, orang Indonesia akan menambahkan gula 2 sachet, ckckckckkck...kalau ingin kopi yang mild and sweet ya jangan pesan espresso 1 sloki karena itu biang yang akan diracik dengan berbagai macam variasi sehingga "keturunannya" banyak.

C4
Saya sendiri lebih menyukai kopi hitam yang tidak dimacem-macemin. Susahnya kalau sudah pergi keluar rata-rata kafe hanya menyajikan kopi yang sudah mengalami transformasi macam-macam. Bagi saya kopi hitam itu sederhana dalam rupa namun soal rasa ia orisinal. Begitulah penafsiran saya soal kopi hitam.

Baru-baru ini seorang rekan di gereja menghadiahi saya kopi Manggarai dari Flores. Saya senang bukan kepalang karena ini kopi rasanya jauh dari asam, tapi ia pahit dan teksturnya tebal di mulut. Tekstur tebal itu misalnya sirup, sedangkan tekstur tipis itu air, istilah ini seringkali dipakai untuk menggambarkan kopi yang sedang kita seruput. Dan seorang teman beberapa waktu lalu memberi saya kopi cap Kapal Tengker yang berasal dari Riau. Rupanya si kopi ini digiling kasar dan ketika diseduh warnanya cenderung coklat. Saya pernah mendengar kabar bahwa kalau kopi-kopi dari daerah Sumatera biasanya cenderung coklat warnanya, entah benar entah tidak. Alhasil butiran-butiran kasar itu tidak cepat "turun" ketika sudah dijerang air panas mendidih. Maka ritual-nya pun bertambah. Saya mesti menanti si kopi bercampur dengan air panas dan menunggu beberapa saat barulah ia saya saring, sehingga saya hanya mendapatkan air kopi tanpa ampas butiran kasar itu. Dengan ritual tambahan ini pun saya tidak mengeluh karena rasa kopinya mantap :)

Seorang teman pernah bercerita pada saya bahwa di suatu daerah (dia rupanya juga lupa nama daerahnya) ada "tradisi" unik soal kopi. Orang-orang di daerah tersebut justru menyeduh daun kopinya bukan kopinya. Saya mendengar cerita itu tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya daun kopi yang diseduh bak kita menyeduh daun teh. Konon katanya, hal ihwal tradisi minum daun kopi ini bermula ketika masa kolonialisasi di Indonesia. Para petani kopi tidak diijinkan menyeduh kopi dari biji kopinya, maka mereka pun mengambil daun kopinya dan menyeduhnya.

Di Indonesia ada Adi Taroepratjeka yang mendapatkan sertifikat Internasional untuk urusan kopi. Dia adalah salah satu dari 42 orang yang mendapatkan sertifikat tersebut, bolehlah kita bangga dengan orang yang benar-benar concern dengan dunia perkopian di Indonesia. Bagi saya ulasan dan aneka macam tulisan Adi T. di blog pribadinya sangat memperkaya wawasan soal kopi. Dengan wawasan yang dibagikan oleh Adi Taroepratjeka di blogsnya http://aditaroepratjeka.wordpress.com/ ini saya makin mencintai Indonesia yang menjadi surganya kopi enak :)

 

 

 

 

Wonosobo, juli 2012

Y. defrita R.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar