Rabu, 18 Juli 2012

Bangsa yang besar adalah bangsa yang suka membaca….

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Bacabuku1

            Di tengah serbuan aneka games dan media jejaring sosial sesungguhnya bangsa ini sedang terbuai dalam arusnya. Pemandangan orang-orang dewasa dan anak-anak yang sedang menekuni gadget-nya menjadi sesuatu yang lumrah dewasa ini. Dengan kemudahan dan kecanggihan serta daya beli yang bagus maka siapapun dapat menikmati teknologi informasi dan komunikasi dengan sangat mudah dan nyaman. Maka bangsa yang sedang tergagap-gagap menerima berbagai kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi ini di satu sisi masih dalam taraf “belajar suka membaca”. Mengapa? Budaya membaca bukanlah budaya bangsa kita, apalagi menulis. Walaupun tingkat buta huruf pelan-pelan dapat diberantas oleh pemerintah namun bisa membaca dengan suka membaca adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bisa membaca belum tentu suka membaca. Itulah mengapa saya bilang bangsa kita ini masih belajar untuk suka membaca.

            Kalau mau jujur dalam satu bulan ada berapa banyak buku yang Anda baca sampai tandas? Dua buku? Tiga buku? Atau tidak ada sama sekali? Kampanye untuk menumbuhkan minat membaca seakan-akan terseok-seok melawan gempuran pola pikir yang entah dari mana datangnya yang berhasil menyulap orang-orang untuk berbondong-bondong hanyut dalam arus games  dan media jejaring sosial. Seolah-olah lebih keren kalau ketahuan nge-games atau nge-tweet ketimbang sedang memegang buku dan asyik membacanya sampai habis. Dan sadar atau tidak kebiasaan nge-games dan asyik di dunia jejaring sosial mempengaruhi kemampuan membaca kita. Kita jadi ingin cepat menyelesaikan paragraf-paragraf yang kita baca dengan membacanya ke sebelah kanan sebaris lalu turun ke bawah dengan cepat seolah-olah dnegan begitu kita “sudah membaca”. Kebiasaan ini muncul karena pengaruh pesan-pesan singkat apapun itu entah untuk games maupun yang ada di media jejaring sosial yang cenderung singkat dan padat. Dan kebiasaan itu pula yang sadar atau tidak kita praktekkan dalam membaca buku atau artikel. Kita jadi mudah mengeluh lelah, bosan bahkan sampai pada akhirnya malas membaca tulisan-tulisan yang kita sebut tulisan panjang. Dan lebih memilih buku-buku yang ada gambarnya dengan demikian tanpa membaca secara detail hanya menyaksikan gambar-gambarnya kita sudah “ngeh” dengan isinya. How poor it is?!

Seruan untuk suka membaca juga sudah difasilitasi oleh pemerintah-pemerintah daerah dengan revitalisasi perpustakaan daerah seperti di Wonosobo, maupun perpustakaan keliling yang menjangkau pelosok-pelosok terpencil dari negara ini. Di satu sisi upaya para “pahlawan” yang mengkampanyekan “suka membaca” memang belum bisa dilihat hasilnya sekarang. Seumpama menanam benih, maka upaya yang mereka lakukan mungkin baru bisa dirasakan bertahun-tahun kemudian. Dan bagi saya ini bukan melulu perjuangan milik para pahlwan itu, tetapi setiap kita punya tanggung jawab untuk memulai kebiasaan suka membaca sejak kecil. Karena dari suka membaca kita punya banyak pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam point inilah semestinya gadget  yang kita punya menjadi media untuk meningkatkan minat baca. Bukankah men-download buku sudah semakin mudah seperti menjentikkan jari tangan?

            Keluhan harga buku yang mahal seringkali menjadi alibi bagi sebagian orang untuk tidak membeli buku belum lagi keluhan buku-buku jadul yang teronggok di perpustakaan menjadi alasan untuk tidak meminjamnya. Memang harga buku yang mahal seringkali menjadi penghalang bagi kita untuk tetap membeli buku tersebut. Namun dengan hadirnya toko-toko buku yang konsisten menjual buku murah dengan potongan 10% bahkan lebih macam TOGA MAS dan sejenisnya menjadikan alasan ini kadangkala tidak relevan. MAsakan iya kita mampu membeli sepotong baju seharga 150 ribu rupiah tapi membeli buku yang dapat menjadi investasi kita tidak mampu? Tidak mampu dan tidak mau kadangkala menjadi sepupu. Saya sendiri juga bukan orang yang berkelebihan dalam hal budget. Namun saya punya trik yang saya pakai sejak jaman SMA dan masih sampai sekarang. Kalau saya menginginkan sebuah buku, saya akan tanya pada si petugas di toko buku tersebut kira-kira bulan depan itu buku masih nampang atau tidak? Setelah tahu kalau bulan depan itu buku masih nampang saya akan nabung buat beli buku. Bahkan waktu kuliah saya rela deh makan murah meriah asal lemari buku saya ter-up date. Dan memang pada akhirnya ketika kuliah sudah usai dan harus pulang kandang, saya memboyong 4 kardus besar berisi buku-buku saya. Suatu ketika kakak lelaki saya takjub melihat buku-buku yang berderet di rak buku saya. Iseng-iseng dia bertanya dari mana saya dapat uang untuk beli buku sebanyak itu? Saya bilang bahwa itu murni uang saya sendiri dari hasil menabung, makan murah meriah, tidak sering beli baju-artinya tidak mengikuti trend fashion mode saat itu. Dan bagi saya cara ini paling jitu untuk tetap membeli buku tanpa merasa sayang karena harganya mahal. Dan kalau soal buku jadul, di satu sisi memang ada semacam keharusan untuk selalu “up to date” termasuk dalam hal membaca. Namun bagi saya tidak ada salahnya loh membaca buku-buku yang sudah “jadul”, karena bisa jadi pada masa buku itu diterbitkan kita belum lahir. Melongok kehidupan masa lalu bukanlah hal yang tabu, barangkali ada hikmah-hikmah yang bisa kita pungut dari bacaan-bacaan yang kita kategorikan “jadul”.  Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak suka membaca!!

            Membaca tidak asal membaca, begitulah yang saya yakini sampai saat ini. Ibaratnya orang makan kan yang dipikirkan asupan nutrisinya, jangan sampai saban hari kita cuman makan junk food saja karena alasan efesien dan efektif. Begitu juga soal membaca, kita perlu memberikan nutrisi yang baik bagi otak dan jiwa kita bukan sekedar bacaan ringan melulu.. Dewasa ini banyak sekali bacaan-bacaan yang berbobot yang dihasilkan anak bangsa seperti tulisan-tulisan Sindhunata yang bernafaskan sastra yang sangat luhur, tulisan-tulisan Dewi “dee” Lestari yang cerkas,  tulisan-tulisan Ayu Utami yang berani dan cerdas lalu tulisan-tulisan Remysilado, Pramoedya Ananta Toer, Mangunwijaya, dan masih banyak lagi tulisan-tulisan anak bangsa dari yang termuktahir sampai yang “jadul” yang dapat memperkaya jiwa dan menyehatkan otak kita. KAlau soal bacaan untuk anak-anak memang tidak banyak penerbit yang menyajikan kumpulan dongeng aseli Indonesia namun tidak banyak bukan berarti tidak ada. Anak-anak perlu dan wajib diperkenalkan dengan dongeng khas negeri sendiri entah itu mau diberi julukan mitos atau legenda namun cerita-ceirta itu harus mampu melahirkan moral yang baik bagi anak-anak kita. Dan cerita-cerita untuk anak-anak dari luar negeri pun perlu diperkenalkan pada anak-anak kita semata-mata agar anak-anak mengenali nilai-nilai luhur yang ada di luar negaranya. Dengan demikian anak-anak kita tidak kerdil pemikiran dan jiwanya dan ia akan mampu tumbuh sebagai anak yang punya toleransi yang baik terhadap perbedaan dan persamaan yang ia jumpai. Maka, kebiasaan suka membaca adalah sebuah proses panjang menanam benih kecintaan pada bacaan yang entah kapan akan kita tuai hasilnya. Tetap semangat membaca dan menyebarkan virus suka membaca, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang suka membaca!

 

 

 

 

 

Bacabuku2

 

Wonosobo, 18 Juli 2012

Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar