Sabtu, 10 Maret 2012

Transfigurasi Yesus

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Trans

2 Kor 4:3-6 dan Markus 9:2-9

            Menurut tradisi gerejawi, minggu ini kita merayakan peristiwa transfigurasi Yesus Kristus. Apa itu transfigurasi? Transfigurasi adalah perubahan rupa Yesus Kristus ketika Ia bertemu dengan Elia, Musa, juga suara Allah Bapa yang disaksikan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Peringatan peristiwa transfigurasi Yesus sendiri dilaksanakan atau dirayakan oleh beberapa denominasi gereja seperti Katolik, Anglikan, Ortodoks dan beberapa gereja Protestan. Di gereja-gereja Ortodoks, peringatan transfigurasu Yesus dilaksanakan setiap tanggal 19 Agustus. Sedangkan pada gereja-gereja Protestan peristiwa transfigurasi Yesus dilaksanakan pada minggu-minggu terakhir Epifani atau menjelang masa-masa pra Paskah sesuai kronologis Injil. Lalu apa maknanya bagi kita?

            Markus menceritakan secara cepat dan ringkas peristiwa transfigurasi yang dialami oleh Yesus. Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes menaiki gunung yang tinggi dan memberi mereka keistimewaan untuk menjadi saksi dari peristiwa transfigurasi Yesus. Seperti kata pepatah Tiongkok kuno bahwa sebuah gambar yang layak untuk ribuan kata, maka peristiwa transfigurasi Yesus memuat banyak makna tetapi setidaknya di dalam kesempatan kali ini hanya ada dua yang kita ulik yaitu:

·         Peristiwa transfigurasi adalah peristiwa penyingkapan bahwa Yesus adalah Allah. Dalam peristiwa itu penyataan kemuliaan Tuhan Yesus dihadiri oleh nabi Musa dan Elia. Musa adalah nabi yang membawa hukum Taurat, sedangkan Elia adalah nabi yang paling berpengaruh untuk membawa umat Israel kepada satu-satunya Allah yang Esa dengan melawan dewa-dewa Baal. Kini mereka secara khusus datang untuk menghormati dan mempermuliakan Tuhan Yesus. Kemuliaan Yesus Kristus bukan hanya terjadi dalam peristiwa kebangkitan dan kenaikanNya ke Surga tetapi juga dinyatakan ketika Ia masih hidup sebagai seorang manusia.

·         Peristiwa transfigurasi juga memiliki makna bagi Petrus, Yakobus dan Yohanes, mereka bukan hanya diberi kesempatan untuk menyaksikan tetapi juga menerima sebuah pendelegasian tugas untuk memberitakan kemuliaan Kristus kepada yang lain.

Kemudian Yesus yang mereka saksikan di atas gunung itupun usai dan mereka harus kembali turun gunung mengerjakan peran mereka yang baru sebagai saksi. Tapi saksi yang bagaimana?

Saksi itu ada saksi yang mengalami dan jujur menceritakan, saksi yang tidak mengalami tapi menceritakan dan saksi yang mengalami tapi tidak mau menceritakannya. Mereka ternyata memilih menjadi saksi yang mengalami kemuliaan Yesus dan menceritakannya lewat karya dan hidup mereka.

            Bukan hanya Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menjadi saksi kemuliaan Yesus, kita pun saat ini yang hidup di jaman pasca kebangkitan Yesus Kristus juga diberi kesempatan untuk meyaksikannya. Tetapi kalau kita bicara soal kemuliaan Allah seringkali pikiran kita mengarah kepada sesuatu yang spektakuler namun sejatinya kemuliaan Allah dapat kita saksikan dalam 3 hal ini:

·         Kemuliaan Allah nampak ketika Ia menjadi Rajadirajadalam peristiwa kebangkitan Yesus, Kenaikan Yesus ke surga dan juga transfigurasi dan masih banyak lagi.

·         Kemuliaan Allah nampak lewat alam semesta ciptaanNya

·         Dan Shekinah alias kehadiran Allah dalam hidup manusia yang mencapai puncaknya dalam kehadiran Yesus di dalam sejarah kehidupan manusia.

Menjadi saksi kemuliaan Kristus berarti harus mengalami kehadiran Allah di dalam hidup kita sehari-hari melalui peristiwa sederhana sekalipun seperti bangun di pagi hari, bernafas dan dapat melakukan segala aktivitas kita. Dan itulah yang kita sampaikan atau beritakan kepada orang lain seperti kata Paulus “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus”.

            Tetapi bagaimana bisa menjadi saksi yang mengalami kehadiran Allah dalam hidup ini?pertama kita harus mengalami perubahan, mengalami transigurasi yaitu dengan mendengarkan DIA (Markus 9:7) dan kemudian mengalami perubahan hati seperti kata Paulus (2 Kor 4:6) sehingga terang kemuliaan Allah itu bersinar dalam diri kita dan memancar keluar menyapa kita di sekitar kita. Tidak perlu berpikir yang muluk-muluk untuk dapat menjadi saksi dari kemuliaan Yesus. Suatu ketika di ruang makan kost-kostan saya,  terdengarlah percakapan antara si A dan si B. Si A berkata, “Eh, aku stuck nih sama TA ku. Rasanya gak bisa lagi. Aku nyerah.” Si B menimpali, “Oh gitu. Kalo aku sih bisa dan nggak stuck dan yang pasti gak bakalan nyerah.” Selesai menjawab seperti itu si B ngloyor kembali ke kamarnya membiarkan si A yang galau dengan TA-nya. Menyaksikan percakapan dua orang yang sesungguhnya sangat akrab ini bahkan layakanya saudara saya tertegun. Ketika si A mengeluhkan sulitnya TA yang ia kerjakan dan rasanya ingin menyerah saja, si B bukannya menanyakan mengapa si A merasa demikian, apa yang bisa ia lakukan untuk menolong si A agar bersemangat lagi, malahan ia mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kondisinya jauh lebih baik dari A. Statement si B bagi saya berbunyi, “terserah kamu mau stuck dengan TA mu yang penting aku enggak.” Terserah orang lain mau menderita, mau menyerah, mengalami kesulitan yang penting diri sendiri senang, bahagia, dan tidak mengalami kesulitan. Ini adalah “ilah jaman” yaitu hedonisme yang menjangkiti manusia. Padahal kalau kita mengingat akan peran kita sebagai saksi kemuliaan Yesus Kristus, maka yang dapat kita lakukan adalah menyediakan waktu dan diri untuk mendengarkan pergumulan orang lain, syukur kalau bisa menolong. Seandainya si B tadi tidak mengeluarkan statement semacam itu dan ia mau mendengarkan pergumulan si A, dan menolong si A untuk bersemangat, apa resiko yang ia tanggung? Ia berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Waktunya terpotong untuk mendengarkan pergumulan orang lain, tenaga dan pikirannya terpakai sebagian untuk menolong si A bersemangat kembali. Tetapi dengan menanggung resiko semacam itu, sejatinya si B sedang menghayati perannya sebagai saksi kemuliaan Yesus minimal untuk orang di sekitarnya. 

Ketika kita menghayati peran kita sebagai saksi kemuliaan Yesus di tempat kerja atau kuliah, barangkali kita akan dianggap aneh, sok suci, sok alim karena tidak mengikuti “trend yang lazim” seperti misalnya, menolak suap, menolak untuk berbuat curang ketika ujian atau mengerjakan tugas, menolak untuk merendahkan orang lain atau menyingkirkan orang lain, dan menolak untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Memang menjadi saksi bagi kemuliaan Yesus juga berarti menanggung resiko, seperti halnya Elia, Musa, Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Paulus. Kemuliaan Allah yang disaksiakan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes juga kita pembaca masa kini untuk tidak merespon hanya dengan keterpukauan saja tetapi kembali “turun gunung” dan masuk dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menghayati kehadiran Allah dalam hidup kita dan menyaksikannya kepada orang-orang sekitar kita. Amin.

 

 

Y. Defrita R.

dibawakan dalam kotbah pemuda GKI Maulana Yusuf, 19 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar