Kamis, 01 Maret 2012

Pindah Rumah

Kardus besar dan kecil sudah kita susun. Pertolongan dari anak-anak kita dan para keponakan sungguh meringankan pekerjaan menata dan memasukkan barang-barang ini di kardus.Semua tertata rapi bak lego mainan anak-anak. Dan ku lihat kau tertidur pulas di depan televisi yang masih sibuk bicara soal pengakuan bohong seorang mantan ratu kecantikan. Ah, kau memang tidak berubah. Setiap selesai makan siang, menyalakan rokok, nonton tv dan tiba-tiba saja kau sudah lelap di sana.

Pagi ini sekali lagi kau hitung-hitung jumlah kardus yang tersusun rapi di dekat pintu keluar. Lalu kau hilir mudik ke kamar. Entah apa yang kau cari. Kita sarapan bersama dan kau antusias menceritakan kebahagiaan pindah ke rumah yang baru setelah sekian lama terjebak di rumah besar yang kosong melompong sejak kepergian anak-anak kita. Tidak ada lagi tawa mereka, atau suara teriakan mereka. Mereka sedang membangun kehidupannya sendiri. Hanya sesekali mereka mampir, seperti ketika menolong kita membereskan barnag-barang yang akan dibawa ke rumah baru.

Malam kian merambat sewaktu kau mondar-mandir di dalam rumah. Aku bertanya apa yang kau cari kau hanya bergumam. Ku tanyakan sekali lagi. Kau bilang hanya ingin mengenang setiap sudut rumah yang dibangun dari kerja keras sejak muda belia. Kebahagiaanmu sebagai pemuda luruh demi membangun rumah yang mengayomi keluargamu kelak. Di setiap dinding rumah ini ada perjuanganmu. Di setiap lantainya ada jejak pengorbananmu. Dan di setiap sudutnya ada cerita tentang seorang lelaki yang penuh kasih bagi keluarganya.

Sudah dua jam kau keliling rumah dan aku menunggu di kamar. Akhirnya kau masuk dan berkata bahwa rumah ini sangat berarti bagimu dan berat berpisah dengannya. Ah...kau mulai ragu ingin pindah atau tidak, begitu pikirku. Tak seperti biasa kau langsung tidur tanpa menantikan tanggapanku atas pernyataanmu tadi.

Pagi ini aku tinggalkan kau yang masih tidur dengan sarapan di meja makan. Aku harus pergi menemui temanku tak jauh dari sini. Dia membutuhkan bantuanku untuk memisahkan anakan tanamannya. Aku cukup tinggalkan pesan singkat untukmu karena siang nanti kita akan makan siang di luar kan?

Telefon temanku berdering. Lama tak ada suara. Tiba-tiba ia keluar tergopoh-gopoh dan berkata kalau kau sudah tidak di rumah. Kau di rumah sakit. Kita tidak jadi makan siang bersama ya?

Kondisimu cukup parah bagiku. Selang-selang bergelantungan seolah-olah kalau salah satunya lepas nyawamu tak terselamatkan. Aku terus menemanimu. Tapi kau memejamkan matamu.

Sudah 4 hari kondisimu tidak membaik. Dan 4 hari pula kerjaku hanya menangis. Anak-anak kita datang. Mereka tak dapat berbuat apa-apa. Kekayaan dan posisi mereka tidak sanggup membuatmu membuka mata. Tapi aku masih menantikan keajaiban.

Malam ke 4 ini aku putuskan pulang dan beristirahat sebentar. Aku janji besok pagi aku aka bersamamu.

Karl, rumah ini memang terlalu besar. Sepi. Kosong. Dan kau tahu, kesepian itu makin terasa saat aku hanya sendirian di ranjang ini. Terlalu besar untuk seorang diri saja. Karl, aku sungguh tak dapat memejamkan mata. Rumah ini kosong melompong dan aku sendiri saja.

Pagi ini aku bergegas melarikan mobilku ke rumah sakit setelah mendengar telefon yang mengabarkan beritamu. Sudah lama aku tidak mengendari mobil sendiri. Selama ini selalu kau. Mau jauh dekat selalu kau yang mengemudikan. Tapi pagi ini Karl, aku mengemudikannya sendiri. terasa janggal di hati. entahlah..

Di rumah sakit aku hanya bisa menangis melihatmu sudah pergi dengan tenang. Seperti tidur. Karl, untuk kedua kalinya selama 50 tahun pernikahan kita kau berbohong padaku. Kau menggagalkan rencana makan siang di luar dan kau menggagalkan rencana menempati rumah baru bersama-sama. Karl....

Proses pemakaman sudah selesai dan kini aku harus meninggalkan rumah ini. Pemilik baru sudah datang. Karl, kau tahu betapa beratnya kakiku harus meninggalkan semua ini seorang diri tanpa dirimu. Dalam kurun waktui berdekatan aku harus mengalami perpisahan dengamu dan dengan rumah ini. berat Karl...berat.

 

Rumah mungil ini pilihanmu. Kau bilang cocok untuk lansia macam kita. Tidak banyak ruangan untuk dibersihkan. Tapi bagiku rumah ini tetap kosong menganga tanpa dirimu. Tidak ada tawamu. Tidak ada sosokmu di depan TV. Tidak ada dirimu.

 

PAgi ini aku menata sarapan untukku sendiri. Ku ambil mug dan ku lihat mug mu bertengger di sana...

sekonyong-konyong aku merasa aku tidak sendirian...

 

 

 

 

Y. defrita R.

Bandung 01 Maret 2012

Home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar