Sabtu, 10 Maret 2012

PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4



Yesaya 40:21-31; Maz 147:1-11, 20c; I Kor 9:16-23; Mrk 1:29-39

Anggota jemaat memahami kasih Allah

yang telah mengubah hidup setiap orang yang berjumpa dengan-Nya

 

                Pada suatu ketika dalam sebuah rapat yang diadakan oleh para setan dibahaslah sebuah persoalan mengenai bagaimana caranya menjadikan para manusia sebagai sekutu mereka. Setan A berkata, “Bapak dan Ibu setan sekalian yang saya hormati, perkenankan saya menyampaikan sebuah fakta yang menyedihkan. Bahwa ternyata selama ini usaha kita menggodai manusia untuk tidak pergi ke gereja,terbukti kurang mempan dan makin lama kita menuju kegagalan, bagaimana pendapat Anda sekalian?” Setan B berkata, “Hmm biarkan saja mereka ke gereja tetapi curi waktu mereka sehingga mereka tidak punya waktu mengembangkan hubungan dengan Allah.” Setan A menimpali, “Tapi gimana caranya?” Pimpinan para setan itu pun angkat bicara,”Inilah yang harus kalian lakukan: buatlah mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menjaga hubungan dengan Allah. Buat mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak esensial sama sekali, buat mereka sibuk dengan pikiran-pikiran mereka sendiri. Goda mereka untuk menghabiskan uang mereka. Goda mereka untuk bekerja terus-menerus sehari 10 jam. Buat mereka sibuk, sangat sibuk sehingga hidup mereka kosong. Buat mereka tidak mampu mendengar suara Allah yang mencoba bicara pada mereka bahkan ketika mereka berdoa. Buat mereka terus-menerus memikirkan urusan mereka bahkan ketika mereka beribadah atau melayani. Dan buat mereka yang hidupnya kosong itu untuk mengorbankan waktu, kesehatan dan keharmonisan relasi karena mereka terus menerus sibuk berjuang dengan kekuatan sendiri.” Serempak para setan itu menyepakati kata-kata pimpinan setan dan mulai mengerjakannya. Dan banyak orang Kristen yang pada akhirnya memiliki sedikit waktu untuk menghayati dan menumbuhkan hubungan mereka dengan Allah. Sehingga banyak dari mereka yang  hidupnya “datar-datar” saja, tidak merasakan perubahan apapun, tidak nampak kasih Allah dinyatakan bagi sesamannya.

                Kisah di atas barangkali hanya fiktif belaka, tetapi kalau kita mencermati kehidupan kekristenan kita saat ini, maka kisah di atas tidaklah terlalu “lebay” karena masih banyak orang yang belum benar-benar menghayati apa yang selama ini dipercayai, diyakini, diimani. Berita sukacita yang diterima di dalam kebaktian ataupun persekutuan ditinggal begitu saja di dalam gedung dan tidak dibawa pulang. Persis seperti tulisan besar di semua buku-buku pujian yang ada di gereja, “MILIK GEREJA TIDAK UNTUK DIBAWA PULANG”. Seolah-olah Firman Allah yang menyapa dan menjumpai umat percaya hanya untuk di gereja saja, tidak berdampak apa-apa di dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada perubahan apa-apa di dalam hidup keberimanan kita, kata anak muda masa kini “lempeng”. Padahal sejatinya perjumpaan dengan Allah itu harus menampakkan sebuah perubahan. Perubahan di sini tidak selalu dipahami atau ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Tetapi yang berubah adalah cara kita memandang suatu peristiwa/seseorang/sesuatu dan cara kita merespon peristiwa/seseorang/sesuatu yang seharusnya berubah.

Tetapi hal semacam ini tidak selalu nampak dalam kehidupan bangsa Israel. Yesaya 40:21-31 yang mengisahkan bangsa Israel yang baru 40 tahun berada di dalam pembuangan sibuk mengeluhkan Allah yang seolah-olah tidak lagi peduli pada nasib mereka dan tidak bersegera menolong mereka. Bangsa Israel pun mulai kehilangan harapan untuk dapat kembali ke tanah airnya.Kepercayaan mereka kepada Allah makin meredup. Sekalipun dalam sepanjang sejarahnya, bangsa Israel mencatat banyak pengalaman bersama dengan Allah, ditolong oleh Allah tetapi tokh nyatanya ketika kesulitan demi kesulitan di dalam pembuangan kian mendesak, mereka kehilangan kepercayaan kepada Allah yang dulu membawa mereka keluar dari Mesir dan menyeberangi laut merah. Pengalaman berjumpa dengan Allah tidak membuat cara mereka memandang dan menyikapi suatu peristiwa berubah. Pembuangan yang dirasa kian menyengsarakan tidak lagi dipandang sebagai cara Allah mendidik mereka. Pembuangan yang dirasa kian menyakitkan tidak lagi disikapi dengan rasa syukur karena Allah yang menguasai semesta ini masih memberikan mereka hidup. Melalui nabi-Nya Allah menyatakan diri-Nya sebagai pencipta dan pengatur semesta raya, maka tak perlu ada yang dikuatirkan oleh bangsa Israel. Dan melalui nabi-Nya, Allah menyatakan pertolonganNya dan Dia memberikan kekuatan kepada setiap orang untuk sabar menantikan pertolongan Allah, untuk tetap kuat menjalani hidup sehari-hari dalam pembuangan.

Sejatinya seluruh bagian Alkitab mengisahkan Allah yang berkenan menjumpai manusia terlebih dahulu karena Ia mencintai ciptaan-Nya. Maka pertolongan dan kelepasan adalah murni prakarsa Allah yang sudah bersedia menjumpai manusia. Allah yang berkenan menjumpai bangsa Israel melalui nabi-Nya dalam pembuangan adalah Allah yang melalui Yesus Kristus menjumpai ibu mertua Petrus, orang-orang di Kapernaum dan di Galilea. Penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus Kristus kepada ibu mertua Petrus tidak hanya menyembuhkannya tetapi memampukan ibu mertua Petrus melayani tamu-tamu di rumahnya. Kesembuhan itu juga membawa kesembuhan bagi orang-orang lain di sekitar kediaman ibu mertua Petrus yang tahu bahwa ibu mertua Petrus disembuhkan oleh Yesus. Kesembuhan yang mereka alami bukan hanya kesembuhan secara fisik, sembuh dari sakit tetapi juga kesembuhan jiwa, bebas dari kerasukan setan. Allah melalui Yesus Kristus yang berkenan menjumpai manusia itu membawa perubahan dalam hidup orang-orang yang Ia sembuhkan baik di Kapernaum maupun Galilea. Mereka tidak hanya pulih secara fisik tetapi terlebih lagi mereka menjumpai Injil yang menyatakan bahwa Allah begitu dekat dengan mereka, Allah datang memberikan harapan bagi setiap orang, Allah mengampuni, Allah menolong mereka dan memberikan kekuatan kepada mereka. Ada perubahan di dalam diri orang yang mengalami perjumpaan dengan Allah.

Pada saat ini pun Allah tidak pernah jemu-jemunya menjumpai setiap kita lewat berbagai macam hal dan cara. Tetapi kesibukan yang menguras energi dan waktu, kekuatiran yang menguasai pikiran dan meredupkan harapan, serta rencana demi rencana yang melahirkan ambisi bercokol dalam hati, membuat sebagian orang tidak lagi mampu merasakan perjumpaan dengan Allah lewat hidup sesehari dan tidak ada perubahan yang dirasakan, lempeng-lempeng aja. Dan akibatnya hidup sesehari yang dijalani terasa kosong, dan juga kelelahan karena mengatasi masalah dan pergumulan dengan kekuatan sendiri yang seringkali justru membabi buta. Lalu pertanyaannya adalah :Bagaimana mungkin perubahan hidup bisa dicapai jika uluran tangan Allah dibiarkan menggantung bebas tidak disambut? Bagaimana mungkin cara kita memandang hidup yang sarat pergumulan ini diubahkan ketika uluran tangan Allah kita abaikan? Bagaimana mungkin orang-orang di sekitar kita merasakan kasih Allah lewat hidup kita jika uluran tangan Allah yang penuh cinta itu tidak kita raih?

Kalau kita mau sejenak menyediakan waktu dan menyambut uluran tangan Allah, membiarkan Allah menjumpai kita, kita akan merasakan cinta-Nya yang teramat besar bagi kita. Dan perlahan-lahan cinta Allah yang begitu besar itu akan menolong kita untuk melihat dan merespon berbagai macam hal dengan kacamata yang berbeda. Sekalipun hidup yang kita jalani tidak sesuai dengan harapan, kita tidak akan mudah mengeluh karena kita tetap mampu merasakan penyertaan Allah dalam hidupnya. Ada seorang jemaat di tempat saya dulu praktek melayani yang didera oleh suatu penyakit yang konon katanya tidak dapat disembuhkan lagi entah karena sudah stadium akhir atau karena jenisnya langka. Hari demi hari kesehatannya kian memburuk namun keceriaannya tidak pernah meredup. Dalam sebuah pelawatan iseng-iseng saya bertanya, “Bu, apa sich yang membuat ibu tetap ceria?” Masih dengan nada antusias walaupun suaranya lemah ibu ini berkisah pada saya bahwa sekalipun sakit yang ia alami tak dapat lagi disembuhkan, justru melalui sakitnya ia makin mampu merasakan bahwa Allah dekat dengannya. Sekalipun pada awalnya protes, namun kemudian ia mampu menghayati kehadiran Allah lewat orang-orang sekitarnya yang terus mendukungnya. Persitiwa tadi membuat saya belajar melihat bahwa perubahan yang dialami ibu tadi mungkin bukan berbentuk kesembuhan fisik seperti yang dialami ibu mertua Petrus tetapi perubahan cara ia memandang sakitnya.

Sekalipun kita berurusan dengan orang-orang yang memiliki karakter yang sulit (orang Jawa Timur bilang mbencekno) dan mungkin mempersulit kita akan tetap berupaya mengasihi mereka. Berusaha membangun sikap yang terbuka, fleksibel dan menyingkirkan prasangka-prasangka negatif dalam berhubungan dengan sesama (I Kor 9:21). Sekalipun pelayanan atau pekerjaan kian hari dirasa kian berat, kita akan tetap telaten dan sabar melakoninya tanpa pernah memikirkan apa yang menjadi hak-hak kita, apa fasilitas atau kemudahan apa yang kita dapatkan. Sebaliknya, seperti Paulus dalam wejangannya kepada jemaat di Korintus, kita justru akan melakoninya demi kemuliaan nama Allah.

Dan itu semua terwujud kalau setiap kita tidak memandang perjumpaan dengan Allah sebagai “MILIK GEREJA TIDAK UNTUK DIBAWA PULANG.” Amin

 

 

Y. defrita R.

dibawakan dalam kotbah tanggal 5 Februari 2012 di GKI Maulana Yusuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar