Sabtu, 10 Maret 2012

STUMBLING BLOCKS OR STEPPING STONE?

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Stumbling_or_stepping

Lukas 17:1-4

 

                Istilah stumbling blocks atau batu sandungan sudah sangat sering kita dengarkan dalam pembicaraan sehari-hari. Mulai dengan memberi judul masalah-masalah kita dengan batu sandungan sampai orang lain yang membuat kita celaka mendapat julukan batu sandungan. Konotasi batu sandungan selalu negatif di telinga kita entah ketika ia dilekatkan pada masalah atau pada perilaku orang lain. Di dalam pertemuan Dewasa Junior kali ini kita akan membicarakan soal stumbling blocks alias batu sandungan dalam konteks perilaku orang lain yang menjadi batu sandungan bagi kita dan apa yang seharusnya kita lakukan.

                Istilah batu sandungan pertama kali muncul di Imamat 19:14 yang berbunyi  janganlah kau kutuki orang tuli dan di depan orang buta janganlah kau taruh batu sandungan, tetapi engkau harus takut akan Allahmu; Akulah Tuhan. Ayat ini tidak mudah untuk dimengerti. Mengapa Taurat mengemukakan topik masalah ini dalam peraturannnya? Apakah memang benar pada waktu itu ada kebiasaan orang untuk meletakkan batu di depan orang buta, sehingga mereka tersandung jatuh? Talmud memberi penjelasan bahwa peraturan di Im. 19:14 tersebut pada prinsipnya bukan arti secara lahiriah saja. Tetapi pengertian orang buta dalam konteks ini dimaksudkan secara metaforis sebagai orang-orang yang tidak tidak berpendidikan, lugu, bodoh, buta secara moral dan mudah menaruh percaya kepada orang lain. Dalam hikayat Minchas Chinuch[1] melaporkan keadaan di mana pada zaman itu peraturan yang berlaku tidak cukup untuk melindungi orang-orang yang buta yaitu orang-orang yang rentan dari tindakan dengki dan jahat dari sesamanya. Karena itu diperlukan hukum khusus untuk melindungi orang-orang yang tersebut.[2] Jadi pengertian lifnei iver lo sitten michshol dalam bahasa Ibrani secara harafiah berarti melarang seseorang untuk menaruh batu sandungan, yaitu dengan memberikan nasihat yang menyesatkan kepada sesamanya untuk melakukan suatu kesalahan atau dosa.

Di Luk. 17:2, perihal lifnei iver lo sitten michshol atau skandalon dinyatakan oleh Tuhan Yesus dengan suatu peringatan keras berupa ucapan celakalah dalam bentuk gambaran figuratif yaitu: adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini (Luk. 17:2).[3] Peringatan keras yang tidak lazim keluar dari mulut Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa tanggungjawab kepada sesama yang lemah, rentan dari berbagai bujukan dan tidak berdaya merupakan tanggungjawab etis yang tidak dapat ditawar-tawar.

Selain kita dipanggil untuk memberi fokus perhatian kepada sesama agar mereka dilindungi dari berbagai kemungkinan batu sandungan. Di Luk. 17:3-4 juga terdapat panggilan agar kita senantiasa mampu menunjukkan kemurahan dan pengampunan. Tuhan Yesus berkata: Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Ungkapan jagalah dirimu (prosechete) memiliki arti:

a. Mengarahkan pikiran pada sesuatu dan memberikan perhatian

b. Menjaga agar tetap pada arah yang tepat

c. Waspada dan berjaga-jaga

Dengan demikian makna skandalon (batu sandungan) ditempatkan dalam pengertian sejauh mana tindakan kita didasari oleh kemampuan untuk mawas diri dengan mampu bersikap waspada dan mengendalikan diri. Manakala kita mampu bermawas diri, maka kita dimampukan pula untuk memberi teguran dan nasihat kepada saudara yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini para murid diingatkan agar mereka selaku pelayan-pelayan Kristus senantiasa berhati-hati dalam berkata-kata dan bertindak, agar tidak melemahkan iman, harapan dan kasih orang-orang di sekitar mereka.  Namun pada sisi lain, mereka dipanggil untuk berani menyampaikan teguran secara langsung dan tidak membiarkan kesalahannya terus berlanjut.

Sikap mawas diri juga tidak boleh menjadi sikap yang kaku dan tanpa belas kasihan. Sebaliknya sikap mawas diri harus dinyatakan dalam bentuk kemampuan untuk mengampuni orang yang mau menyesal terhadap kesalahannya. Walaupun kita telah ditebus oleh Kristus menjadi warga negara Kerajaan Sorga, tetapi kita tetaplah seorang insan manusia yang rentan terhadap berbagai kesalahan dan kelemahan. Ungkapan humanum est errare (to ere is human) yang berarti: kesalahan adalah watak manusia harus senantiasa mengingatkan kita untuk mau bermurah hati dengan mengampuni orang yang bersalah dan menyakiti hati kita. Bilamana berbicara tentang humanum est errare seharusnya jari telunjuk kita tersebut kita arahkan lebih dahulu kepada diri kita sendiri, bahwa kesalahan itu merupakan tabiat diri kita. Jika demikian, apakah kita selaku anak-anak Allah juga bersedia untuk mengevaluasi dan mengukur diri sendiri atas berbagai kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang telah kita lakukan selama ini?

Seorang musafir sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah kuil. Tinggal sekitar 200 meter lagi, ketikadi dijumpainnya sebuah pohon asam yang begitu rindang. "akhirnya aku sampai juga. Ah alangkah nyamannya jika aku beristirahat di bawah pohon ini", pikir musafir. Kemudian dia pergi menepi, dan duduk di bawah pohon itu. Diambilnya bekal makanan dan minuman, lalu bersantaplah ia. "Hari yang panas ya". tiba-tiba saja terdengar suara menyeletuk. Musafir pun menoleh, mencari siapa yang tadi berbicara. "Siapa yang berbicara?" tanya musafir. "mari duduk di sini, bergabung dengan saya. Saya punya sekantung minuman dan sedikit makanan yang bisa dibagikan". Undang musafir. "saya ada di sini, disamping Anda". Jawab suara itu, yang ternyata sebongkah batu yang berada di samping musafir. "Dari bentukmu yang teratur, bukankah kamu batu jalanan? kenapa kamu ada di sini, bukankah seharusnya kamu berada di jalan bersama dengan yang lain?" tanya musafir heran.

"Ya, aku dulu juga berdiri di sana, menjadi batu jalanan. Tapi coba kau lihat! bukankah tubuhku sedikit lebih besar dibandingkan dengan teman-temanku? ini membuat aku lebih menyembul, menonjol dari yang lain". Jawab batu jalanan.

"Lalu apa masalahnya?" Tanya musafir.

"Begini, banyak orang-orang yang pergi ke kuil tersandung karena terantuk tubuhku yang menyembul ini. Itu membuatku sedih dan merasa bersalah. Jika aku tetap di sana, maka aku hanya akan terus menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang mau datang ke kuil. Aku tidak mau menjadi batu sandungan. Makanya aku kemudian aku meminta seseorang untuk membawaku menepi di tempat ini, dan menggantikanku dengan batu yang lebih sesuai". jawab batu jalananan, mencoba menjelaskan masalahnya kepada musafir. "Oh, jadi begitu persoalannya. Kamu memang batu yang baik. Tidak banyak yang bisa menyadari jika dirinya menjadi batu sandungan seperti kamu. Memang sudah seharusnya selama kita hidup di dunia ini, kita harus berusaha agar tidak menjadi batu sandungan bagi yang lain. Alangkah benar keputusanmu ini." Sambut musafir.

"Lalu kenapa kamu tampak tidak bahagia? bukankah kamu sudah tidak lagi menjadi batu sandungan? Sambung musafir. "Ya, mulannya aku sangat bahagia, karena aku tidak lagi membuat orang tersandung. Tapi entahlah, mungkin karena aku sudah terlalu lama di sini, aku jadi kesepian. Atau mungkin karena sekarang tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan selain diam di sini. lalu apa gunanya aku?" Keluh batu jalanan. "Yah ... mungkin juga seperti itu. Hei ... coba lihat! tembok yang di sana itu, kelihatannya sengaja di jebol. benarkah?" Tanya musafir. "Oh, itu. Tembok itu memang sengaja di jebol, supaya bisa menjadi jalan pintas bagi warga desa yang ingin pergi ke kuil. Sekarang tembok jebol itu menjadi semacam pintu, warga desa biasa menyebutnya pintu gapit." Terang batu jalanan. "Ide yang cemerlang, penduduk desa bisa lebih cepat sampai ke kuil melalui pintu gapit itu. Tapi aku lihat pintu gapit itu masih terlalu tinggi untuk dilalui anak kecil, atau nenek-nenek. Bukankah mereka masih harus melompat?" tanya musafir.

"Memang, itu karena tanah yang ada di sebelah luar lebih tinggi dari yang ada di sebelah sini. makanya tidak bisa di jebol lebih ke bawah. Tapi biasanya yang lain akan membantu, mengangkat tubuh mereka agar bisa melewati pintu itu dengan mudah." Sambung batu jalanan. "Hem... aku jadi punya ide untukmu. Kenapa kamu tidak berdiri saja di dekat pintu gapit itu. Bukankah di sana kamu bisa jadi batu pijakan supaya anak-anak dan orang tua bisa melewati pintu tanpa harus diangkat atau melompat?" terang musafir. "Ah benar juga katamu. kenapa tidak pernah terpikir olehku. Bukankah di sana aku bisa menjadi batu pijakan. Aku bisa berguna kembali. Terimakasih tuan kamu mengembalikan semangat hidupku." Pekik batu jalanan dengan girang. Musafir kemudian membantu, mengangkat batu jalanan dan meletakkannya didekat pintu gapit. "Sekarang setiap orang bisa melewati pintu ini dengan mudah. baiklah teman aku akan meninggalkanmu di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan. baik-baiklah menjalankan peranmu, menjadi batu pijakan di sini." Pamit musafir. Musafir pun pergi meninggalkan batu jalanan yang tampak begitu bahagia.

Ah ... memang baik jika kita tidak menjadi batu sandungan, tapi alangkah lebih berbahagiannya jika bisa menjadi batu pijakan bagi yang lainnya.

 

 

 

 Y. defrita R.

Dibawakan pada Persekutuan Dewasa Junior GKI Maulana Yusuf tanggal 7 Maret 2012

 



[1] Minchas chinuch adalah sebuah komentar hukum melalui perspektif Talmud dan dipelajari dalam lembaga pendidikan Yahudi atau Yeshiva dan dipergunakan sampai saat ini

[2] www. jlaw.com/Articles/placingstumbling.html taken at 01.26 AM/ 6 maret 2012

[3] Batu kilangan adalah batu yang biasa digunakan untuk menggiling gandum. Kilangan itu terdiri dari dua bungkal batu bulat yang masing-masing bergaris tengah 45 cm. Batu yang di atasnya yang berputar karena ada lubang di tengah-tengahnya sehingga bisa dilekatkan pada sumbu yang ada di batu yang bawah. Sepotong kayu muncul dari lubang dekat tepi batu yang di atas itu, dan itu yang jadi pegangan. Butir gandum dimasukkan ke dalam melalui lubang sumbu pada batu yang di atas dan tergiling tatkala batu itu diputar sehingga tepungnya keluar di antara kedua batu itu ke tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar