Selasa, 14 Februari 2012

MAKA HIDUP PUN DI’KW’KAN….

p { margin-bottom: 0.08in; }


[[posterous-content:pid___0]]

Akhir-akhir ini saya lagi demen mendengarkan lagu-lagunya Alm.Om Chrisye. Bukan karena fans berat tapi memang lagi pengen aja. Mungkin juga karena lagu-lagunya sederhana tanpa menjadi biasa-biasa aja. Puitis tanpa menjadi terlalu rumit dijangkau rasa dan nalar. Entah kebetulan apa enggak, ada dua lagu dalam track yang saya dengarkan menyinggung soal “PALSU, KEPALSUAN”. Sebenarnya bukan sesuatu yang “wah” tapi setelah saya berpikir lagi ditambah merenung di wc maka lagu ini bener-bener “kena”. Simak saja lagu “Anak Manusia”

Suatu hari ku dengar

Percakapan dua anak manusia

Mempertanyakan asal mula jadinya dunia

Yang satu berpendapat begitu lugu

Bercerita penuh fantasi

Dikatakan bahwa dunia tercipta di malam hari

Ku teringat kembali kenangan semasa kecil

Hingga kini ku dewasa tak hentinya ku bertanya

Mengapa dunia yang setua ini tak beranjak dewasa

Atau mungkin saja dunia tercipta di ujung kutuknya

Ooo..sampai kapankah semua ini

Sandiwara kehidpan manusia kan berakhir

Ku tak sanggup ‘tuk menahan lagi

Derita batinku yang sekian lama

Menyaksikan kepalsuan dunia.

Hmmm…syair dan melodi yang sederhanya tapi coba perhatikan kalimat-kalimatnya. Bermula dari pertanyaan sederhana dua bocah tentang asal mula dunia. Ini bukan pertanyaan konyol hanya karena ia ditanyakan oleh bocah. Tapi ini pertanyaan filsafati. Kata orang Jawa sangkan paraning dumadi bertanya tentang asal mula terjadinya segala sesuatu. Pertanyaan yang sebetulnya “berat” dijawab “ringan” dan penuh fantasi oleh bocah yang lain bahwa dunia diciptakan di malam hari. Entah apa maksudnya, apakah ia pernah dengar kisah semacam ini atau memang murni imajinasi seorang bocah semata. Tetapi percakapan bocah-bocah ini rupa-rupanya terbawa sampai seseorang dari dua bocah tadi sudah dewasa entah berapa usianya. Pertanyaan sederhana seorang bocah yang kemudian ketika ia dewasa bersinggungan dengan fakta dunia yang sarat “kepalsuan”. Ia pun tak dapat menahankan diri lagi berhadapan dengan kepalsuan dunia. Entah apa bentuk kepalsuannya hingga ia tak tahan lagi tapi satu hal ia masih memelihara “jiwa seorang bocah” dalam hatinya yang enggan berhadapan dengan kepalsuan. Barangkali ia ingin seperti masa-masa ketika ia masih bocah. Lalu simaklah lagu “Damai BersamaMu”

aku termenung di bawah mentari

di antara megahnya alam ini

menikmati indahnya kasihMu

ku rasakan damainya hatiku

sabdaMu bagai air yang mengalir

basahi panas terik di hatiku

menerangi semua jalanku

ku rasakan tentramnya hatiku

jangan biarkan damai ini pergi

jangan biarkan semuanya berlalu

hanya pada Mu Tuhan tempat ku berteduh

dari semua kepalsuan dunia

Bila ku jauh dari diriMu

Akan ku tempuh semua perjalanan

Agar selalu ada dekatMu

Biar ku rasakan lembutnya kasihMu.

Dalam lagu ini pun, katakanlah jika sosok “ia” yang saya sebutkan di atas tadi adalah orang yang sama maka ia mengakui bahwa dunia memang sarat kepalsuan dan tempat ia tidak berjumpa dengan kepalsuan adalah ketika ia bersama Tuhan. Dalam hidup keberagamaan kita saat ini justru banyak hal yang dipalsukan semata-mata demi keuntungan pihak-pihak tertentu. Ayat-ayat Sabda Tuhan pun ikut-ikutan diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud hati si penyaji. Sebetulnya fenomena ini sudah marak dalam hidup jemaat Korintus seperti yang disindir oleh Paulus di 2 Korintus 4:2. Kalau keberagamaan dan keberibadahan saat itu saja sudah sarat dengan “pemalsuan” maka Paulus menampilkan yang berbeda, dia tidak mau ikut-ikutan memalsukan segala sesuatu hanya untuk kepentingannya. Maka benarlah jika si “ia” yang merasakan keteduhan di hadapan Sang Khalik justru ketika ia menikmati ciptaan Sang Khalik. Ia merasa diri bebas dari KEPALSUAN ketika ia memandang alam semesta. Bahkan ia rela menempuh apapun juga hanya demi “berteduh barang sejenak” dari kepalsuan dunia yang sudah menggerogoti banyak hal. Mungkin saking banyaknya sampai kita tak dapat lagi membedakan mana yang palsu mana yang asli.

Sama seperti ketika saya disodori sebuah foto oleh teman saya. Foto ini membekukan seorang perempuan yang bagi saya sangat cantik kalau pembandingnya adalah saya. Tubuhnya sangat proposional. Kulitnya jelas terawat dibanding kulit saya. Rambutnya ditata dengan seksama, bukan asal beres seperti saya hehehe…dan dia memenangkan sebuah penghargaan kontes kecantikan. Sebetulnya tidak mengejutkan karena ia memang cantik adanya. Tapi yang bikin saya meringis adalah ketika teman saya cerita bahwa perempuan di dalam foto itu sebetulnya lelaki. Transgender istilah bekennya dan memang sudah dilakukan oleh banyak orang terlepas dari perdebatan etis dan teologisnya. Wealadalah saya ketipu ternyata. Sulit membedakan mana yang perempuan tulen dan mana yang sudah mengalami transgender, lebih-lebih kalau memiliki kemampuan olah vokal yang baik, makin lieur.

Lain hari teman saya heboh cari tas di Online shop. Sungguh untuk yang satu ini saya belum sreg mungkin saya tipe tradisional ya jadi masih lebih memilih belanja yang face to face baik sama penjualnya (biar bisa nawar hehehehe…) juga sama barangnya. Hanya sekali saya beli buku lewat online dan itupun karena yang jual temannya teman saya dan spesifikasi bukunya jelas. Balik ke temen saya tadi. Dia ingin mencari tas dengan merk yang terkenal, yang aslinya seharga 200 juta dan hanya bisa dibeli di Paris sana. Itupun buat masuk butiknya dibatasi orangnya, waktunya dan pembelanjaan barangnya. Temen saya bukan anak pejabat yang gampang narik duit. Maka jelas ia tak akan membeli tas seharga 200 juta itu tapi ia mencari KW-nya. Saya yang awam soal per”KW”an sungguh dibuat berdecak kagum dengan wawasan teman saya ini. Dia rela menjelaskan kepada saya persoalan KW tadi. Maka setelah ia presentasi soal KW itu apa, ia pun memutuskan beli yang KW 2. Saya yang pura-pura mengerti (upsss…maaf ya) cuman manggut-manggut aja dengan keputusannya. Setelah menanti seminggu datanglah tas KW 2 yang memang sulit dibedakan dari aslinya (mungkin karena saya awam ya). Mulai dari zippernya, logonya, coraknya, rantainya, semuanyalah. Dengan bangga dia menenteng tas itu mondar-mandir di kamar sambil nyerocos berterimakasih pada orang-orang di Republik Rakyat China sana yang jenius menciptakan ide cemerlang sehingga tas KW pun kini punya zipper yang sama dengan yang asli. Dalam hati saya berterimakasih dia menjelaskan panjang lebar dan tidak menjadi jengkel karena saya banyak bertanya. Beberapa bulan kemudian dia mengeluh soal zipper tas yang mulai ngadat dan sering ngajak berantem begitu istilahnya kalau ia tergesa-gesa ingin membuka atau menutup tas. Hmmm…KW mah tetep KW begitu komentar saya yang membuat dia semakin manyun dan merutuki tasnya.

Wah..wah..wah…tidak hanya soal ayat-ayat yang diolah sedemikian sehingga “pesan”nya dipalsukan, tidak hanya soal identitas diri, dan bukan cuman perkara tas yang dipalsukan, sikap pun demikian adanya. Memang hidup ini adalah sebuah sandiwara yang digelar di atas panggung yang maha besar, tetapi coba perhatikan seringkan kita bertemu dengan orang yang di depan kita begitu baik bahkan teramat baik, tetapi di belakang kita dapat menusuk kita dengan sangat menyakitkan. Pernahkan kita bertemu dengan orang yang di depan kita meminta-minta pertolongan kita tetapi di belakang kita malah dengan sengaja menjatuhkan kita, entah apapun maksudnya apakah pencitraan diri atau apapun itu. Memang hidup ini sandiwara, tetapi cobalah bermain dengan lebih “jujur dan murni”.

Maka wajar bertemu dengan kepalsuan demi kepalsuan yang lahir di dunia ini membuat si “ia” itu menjadi lelah. Mencoba bertahan tak ikut arus dan tetap menjadi murni, pengorbanan batin meyiksa siang dan malam. Hah, maka bersama Alm. Om Chrisye saya bertanya, “Mengapa dunia yang setua ini tak beranjak dewasa?” Mengapa kepalsuan menjadi semacam virtue? Apa ada yang salah ketika kita menampilkan “yang tidak palsu?”

Agama, ayat-ayat, sabda, sikap, barang, identitas diri, masalah, kepentingan, semua dapat dipalsukan. Entah kemajuan jaman atau kebobrokan mata hati muasalnya. Maka berdiri menikmati karyaNya menjadi suatu tempat berteduh. Berteduh barang sejenak sambil mengatur nafas yang memburu karena jengkel dan marah sebelum mengatur dan menapak langkah kembali berjumpa dengan kepalsuan demi kepalsuan yang terajut “indah” hingga tak kentara mana yang asli mana yang palsu. Semoga dalam perteduhan itupun kita menemukan “kemurnian dan kesegaran” untuk terus bertahan dan tidak menjadi serupa dengan yang palsu-palsu itu dan mainkanlah sandiwara ini dengan jujur dan murni sebagai aktor dan aktris yang sudah Ia pilih….

 

 

 

 

Bandung, 14 Februari 2012

Y. defrita R.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar