Rabu, 30 Maret 2011

“Tetap Percaya Walau Tidak Melihat” Yohanes 20:19-31

Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Kanada. Pada tanggal 2 Juli 1977 kapal itu tenggelam di Samudera Pasifik. Hanya satu sekoci yang berhasil diturunkan dan membawa penumpang seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang-utan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg dan seorang anak lelaki India berusia 16 tahun bernama Piscine Molitor Patel atau Pi Patel. Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang ambing di Samudera Pasifik yang biru dan ganas. Pada tanggal 19 Februari 1978, Pi Patel dirawat di Rumah Sakit Benito Juarez di Tomatlan, Mexico. Ketika dia dirawat di sana, dia didatangi oleh Mr. Okamoto dan Mr. Chiba dari Departemen Maritim Kementrian Transportasi Jepang yang diberitahu bahwa ada seorang korban yang selamat dari kapal Jepang Tsimtsum yang tenggelam tanpa jejak. Mereka berdua mulai mewawancari Pi Patel, namun di tengah-tengah wawancara itu mereka berdua sangat meragukan cerita Pi Patel yang bertahan hidup lebih dari 7 bulan di Samudera Pasifik. Pi Patel dapat merasakn ketidakpercayaan mereka, dia mengatakan:”Cinta sulit dipercaya, tanyakan pada siapa saja yang sedang jatuh cinta. Kehidupan ini juga sulit dipercaya, tanyakan pada ilmuwan manapun. Tuhan juga sulit dipercaya, tanyakan pada siapapun yang mempercayainya. Kenapa Anda tidak bisa menerima hal-hal yang sulit dipercaya?” Mr.Chiba berkata, “Kami cuma mencoba menggunakan akal sehat.” Jawaban telak diperoleh mereka dari Pi Patel, “Saya juga demikian. Saya menggunakan akal sehat dalam setiap kesempatan. Akal sehat sangat bermanfaat. Akal sehat adalah perangkat terbaik kita.Tetapi kalau menggunakan akal sehat secara berlebihan maka bisa-bisa keajaiban Alam semesta ini ikut terbuang bersama air mandi Anda”. Dengan kata lain Pi Patel mau bilang bahwa di dunia ini ada hal-hal yang menuntut kita untuk percaya begitu saja tanpa pembuktian.

Ilmu pengetahuan mengutamakan pembuktian-pembuktian agar suatu dalil dinyatakan benar. Ilmu pengetahuan mengutamakan kemampuan nalar yang logis realistis. Ilmu pengetahuan mengutamakan rangkaian yang sistematis dan dapat dibuktikan keabsahannya. Pendeknya, ilmu pengetahuan menuntut manusia untuk menggali sekaligus membuktikan segala macam peristiwa yang terjadi di dunia. Sementara agama mendasarkan kebenarannya pada keyakinan atau kepercayaan tanpa membutuhkan atau menuntut adanya pembuktian akan segala hal yang terjadi. Keyakinan akan adanya Tuhan, sorga dan neraka juga didasarkan pada kepercayaan bukan didasarkan pada penjelasan ilmiah. Orang-orang yang mendasarkan diri pada penjelasan dan pembuktian ilmiah tak akan menerima kebenaran yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan. Teilhard de Chardin (seorang ahli geologi, paleontologi, dan Imam Yesuit) menangkap ketegangan dan jurang antara agama dan ilmu pengetahuan. Yang satu berpijak pada keyakinan dan yang lain berpijak pada pembuktian ilmiah.

Sama halnya dengan peristiwa kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkitan Tuhan Yesus adalah dasar iman setiap orang Kristen. Dan bagi ilmu pengetahuan kebangkitan orang mati adalah suatu peristiwa yang tidak ilmiah. Peristiwa tersebut tak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah. Walaupun ilmu pengetahuan berhasil menemukan jenis kematian yang lain yaitu “mati suri”. Dan memang kita sering atau setidaknya pernah mendengar tentang orang-orang yang mengalami mati suri namun hidup kembali seperti sedia kala. Tetapi tidak ada penjelasan ilmiah atau metode tertentu yang sanggup membuka tabir peristiwa orang mati yang bangkit lagi! Dari sini kita dapat melihat ada jurang yang cukup jauh antara iman dan ilmu pengetahuan.

Upaya ilmiah untuk membuktikan kebangkitan Tuhan Yesus telah dilakukan orang tanpa banyak hasil. Penulis Injil Matius, Markus, Lukas, Paulus juga berupaya untuk memberi dasar ilmiah tentang kebangkitan Tuhan Yesus (Mat. 27:53; Kis. 13:31; 1 Kor. 15:6). Pada waktu itu upaya mereka membuahkan hasil bahkan ketika mereka memberikan kesaksian akan kebangkitan Tuhan Yesus pada orang-orang yang menuntut bukti atau penjelasan. Mereka masih memiliki saksi-saksi hidup yang mampu memberikan kesaksian nyata akan kebangkitan Tuhan Yesus dan sekarang orang-orang yang menjadi saksi hidup itu sudah tiada.

Seperti halnya penulis Injil yang lain maka Yohanes juga berbicara tentang peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus. Agaknya Yohanes juga berupaya meyakinkan orang-orang tentang kebangkitan Kristus. Yohanes mau mengatakan bahwa wajar saja jika ada banyak orang yang tidak dapat percaya pada kisah tentang kebangkitan orang mati. Orang-orang itu nampaknya diwakili oleh sosok Tomas, salah seorang murid Yesus. Tomas dikisahkan tidak mempercayai bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit jika dia tidak melihatnya secara langsung dan mencucukkan jari tangannya pada lubang di tangan Tuhan Yesus. Yohanes menampakkan betapa Tuhan Yesus memahami Tomas. Tuhan Yesus tidak mempersalahkan Tomas akan pola pikirnya tersebut. Tuhan Yesus hanya diceritakan mempersilahkan Tomas untuk mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan Tuhan Yesus. Yohanes tidak menceritakan lebih lanjut apakah Tomas benar-benar mencucukkan jarinya pada lubang di tangan Tuhan Yesus atau tidak. Namun Yohanes menceritakan bahwa Tomas percaya (pisteuo = to have faith is to think in the heart). Kesimpulan tentang kebenarang peristiwa kebangkitan itu ditempatkan Yohanes pada pihak Tuhan Yesus ketika Ia mengatakan ,”Karena engkau telah melihat Aku engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” Melalui pernyataan ini kita sampai pada pertanyaan pokok, Apakah iman itu?

Apakah kita beriman ketika sesuatu itu dapat dibuktikan?dapat dijelaskan secara ilmiah…dapat diterima dengan pikiran logis realistis. Apakah iman itu? Bukankah tiap minggu kita mengakui iman percaya kita…bukan sekedar mengucapkan saja tentunya namun ketika kita mempercayainya, maka itulah pengakuan iman kita. Menurut Stanley Jones, Iman itu the adventure of the spirit. Iman adalah suatu petualangan roh. Iman adalah respon yang berasal dari relung hati kita yang terdalam akan sesuatu yang kita yakini sebagai yang paling berharga dan yang paling menentukan dalam hidup ini yaitu Tuhan. Iman adalah sebuah petualangan. Karena ia adalah sebuah petualangan maka dibutuhkan keberanian untuk memasuki pengalaman itu. Dan Tomas berani untuk memulai pengalaman itu. Iman tidak dimulai dari pengetahuan tetapi dimulai dari keberanian untuk percaya dan memulai perjalanan…lalu bertumbuh sepanjang perjalanan.

Jangan menanti mengerti atau memahami semuanya baru percaya…jangan tunggu sampai mengerti seluk beluk tentang Tuhan Yesus baru percaya…baru ikut Tuhan Yesus. Saya tidak tahu banyak soal bagaimana bekerjanya organ-organ pencernaan di tubuh saya, bagaimana makanan bisa diserap oleh seluruh komponen yang ada di dalam tubuh saya dan diubah menjadi energi. Tetapi saya tidak mau menahan lapar hanya karena saya belum tahu bagaimana makanan itu nantinya dicerna. Begitu juga dengan iman dimulai dari percaya dan pengertian akan tumbuh seiring dalam perjalanan.

“… berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.”… Melalui pernyataan ini Yohanes mengundang kita untuk berani percaya dan menerima Tuhan Yesus serta kebangkitan-Nya. Walaupun kebangkitan itu tak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah manapun namun kita dapat melihat pengaruhnya pada murid-murid Tuhan Yesus, jemaat mula-mula, gereja dalam segala jaman…dan kini di sini! Kebangkitan Kristus telah mempengaruhi kehidupan mereka dan kita yang percaya walaupun tak melihat secara langsung.

Pernyataan tersebut juga mengundang kita untuk bertanya pada diri kita masing-masing, apakah ada dampak kebangkitan Kristus bagi hidup kita? Adakah kita mengalami kehadiran Kristus yang bangkit itu? Sehingga kita mampu memasrahkan…menyerahkan secara penuh hidup kita pada Dia yang bangkit.. Sehingga Anda dan saya berani menghadapi setiap permasalahan dan tantangan hidup. Ketika tubuh kita didera sakit selama puluhan tahun…adakah kita masih bisa percaya bahwa selama puluhan tahun pula Kristus menemani kita yang sakit? Ketika sudah berbulan-bulan menanti pekerjaan…adakah kita mau tetap mempercayakan hidup kita pada Allah? bukankah memang banyak orang yang baru mau percaya ketika sakitnya sembuh…mau percaya ketika sudah dapat pekerjaan…mau percaya ketika sudah kaya raya…mau percaya ketika sudah dipenuhi segala keinginan hatinya..dan itu berarti masih banyak orang yang mau percaya ketika sudah ada bukti di depan mata! Jika demikian, maka iman kita hanya dinilai dari apa yang terlihat…bukti-bukti... itu artinya jika segala yang kita pinta tak terwujud…maka iman kita pun raib! Iman diawali dengan percaya dulu baru mengerti…dan mengalami. Iman tidak tergantung pada terwujud atau tidaknya doa dan pinta kita…tetapi iman menuntut kita untuk percaya akan Penyelenggaraan Allah (Providentia Dei) di dalam setiap tarikan nafas kita…Mengerti atau memahami bahwa Allah hadir bagi kita…dan mengalami kehadiran-Nya! Ketika Anda dan saya percaya akan Kristus…maka seyogianya kita juga mengalami kehadiran-Nya secara nyata dalam hidup kita…bukan hanya sekedar tahu dan menuntut bukti.

Mari kita belajar untuk percaya…dan mempercayakan hidup ini hanya pada Allah saja sehingga kita pun mampu mengalami kehadiran-Nya dalam hidup kita! Amin.



Yohana Defrita Rufikasari

Surabaya, 25 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar