Kamis, 03 Oktober 2013

Kelekatan



Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!"
Lalu kata orang itu kepada-Nya: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Markus 10:17-22

            Acapkali masyarakat dan budaya mengajari kita untuk percaya bahwa kita tidak akan bahagia tanpa orang-orang tertentu dan benda-benda tertentu, jabatan dan posisi tertentu. Sebagian besar orang membangun hidupnya berdasarkan keyakinan ini tanpa mempertanyakan lagi yaitu bahwa tanpa uang, tanpa kekuasaan, tanpa jabatan tertentu, tanpa kesuksesan, tanpa reputasi bagus, tanpa cinta orang tidak bisa bahagia. Hal ini pada akhirnya menciptakan ketergantungan emosional yang parah. Dalam dunia pastoral dikenal istilah psychological attachement terhadap sesuatu atau seseorang yang kita tanam dari waktu ke waktu yanga diam-diam menimbulkan grief ketika terhadi detachement.
            Kelekatan semacam ini bukan hanya melahirkan kedukaan ketika terjadi detachement namun bahkan sebelum detachement itu terjadi, kelekatan ini menimbulkan beban. Kita akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan semua obyek yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan. Ironinya adalah: orang berjuang mati-matian untuk memperoleh dan mempertahankan kebahagiaan yang sudah menjadi beban bagi kita. Dan tidak mungkin orang bisa menciptakan resep untuk mempertahankan uang, pasangan, keluarga, jabatan, kesuksesan, popularitas tanpa perjuangan rasa cemas, takut, gelisah dan akhirnya tidak menikmati hidup.
Padahal kelekatan itu bukan kenyataan. Kelekatan adalah keyakinan dalam kepala kita yang kita program sendiri.Keyakinan bahwa hanya dengannya kita akan bahagia. Apabila keyakinan ini tidak ada, maka kelekatan juga tidak akan ada. Namun bagaimanapun juga banyak manusia yang sudah terlanjur meyakini bahwa tanpa uang, tanpa popularitas, tanpa jabatan, tanpa reputasi tidak akan bahagia.
Kisah yang ditulis dalam Markus 10:17-22 menggambarkan seorang pemuda yang kaya raya dan mematuhi segala hukum agama namun ia tidak dapat menikmati hidupnya. Ia tidak dapat merasakan damai sejahtera. Mengapa? Sebab ia melekat pada harta kekayaannya. Kelekatannya bisa menyebabkan kegelisahan, ketakutan, dan bahkan kekuatiran bahwa semua itu akan lenyap dari tangannya. Persis seperti orang yang memasukan makanan ke mulutnya namun tangan yang lain sibuk melindungi makanan di piring agar tak direbut orang.
Bisa dibayangkan betapa mirisnya kehidupan pemuda kita ini. Hidup dengan harta melimpah namun beban dan kecemasan senantiasa menghantui. Kondisinya ini dapat dikatakan sebagai kondisi “un-peace” dia kehilangan “inner peace”. Sekalipun ia sudah menaati semua hukum Tuhan, namun dia hanya menjadi orang yang “peace-keeping” bukan “peace-making”. Dia hanya menaati hukum Tuhan dalam relasi antara dirinya dan Tuhan. Bukan menaati hukum Tuhan dalam aksi konkrit yang mensyaratkan sebuah relasi dalam komunitas.
Kondisi yang dialami pemuda kita ini juga masih nampak dan bahkan mungkin makin menjadi-jadi sekarang ini. Harus diakui dengan jujur kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang materialistis dan konsumerisme menjadi sesuatu yang lumrah. Coba saja perhatikan ketika suatu produk smartphone meluncurkan produk terbarunya, kita akan segera melihat antrian mengular dari orang-orang yang ingin menjadi orang pertama yang membeli barang tersebut. Bahkan ada yang rela mengantri dari malam agar ketika mall buka, dia menjadi orang pertama yang ada di antrian. Lihatlah satu orang bisa memiliki 2 sampai 5 handphone sekaligus. Jika tertinggal salah satunya mampu membuat kita frustasi bak nyaris mati. Namun sadarkah kita, semakin kita menjelma masyarakat materialistis, semakin banyak produk barang dan jasa menggelontor hidup kita, semakin banyak sampah yang dihasilkan dan bersama-sama kita menghancurkan dunia dalam sebuah parade konsumerise besar-besaran.
Belum lagi jika kita melongok isi lemari kita masing-masing, akan ada banyak pakaian, aksesories, sepatu, dan tas yang tergantung di sana. Padahal kalau mau jujur acapkali tidak semua benda-benda itu kita gunakan. Bahkan seringkali kita sudah lupa kalau pernah membeli baju atau sepatu namun belum pernah dipakai karena sudah terlalu banyak. Dan ngeri ketika menyaksikan bagaimana jurang antara masyarakat yang kaya dan yang miskin kian hari kian lebar. Si A sudah berkeliling Eropa, sudah menggunakan gadget Apple, sedangkan di belahan bumi yang lain, si B hanya butuh makan. Si C memiliki properti di mana-mana, sementara di negara lain si D tiap malam tidur di emperan toko.  Si E hidup dengan kemudahan teknologi komunikasi yang memampukan ia menanyakan kabar temannya di benua lain. Namun si F meninggal di apartemennya selama 29 tahun tanpa ada yang mengetahuinya. Inilah wajah masyarakat kita.
Bukan berarti saya hendak mengajak Anda hidup ala jaman batu tanpa apapun. Namun menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita menjalani hidup, ada yang tidak beres dalam sistem masyarakat kita. Karena kalau benar-benar kita renungkan, kebutuhan mendasar kita tidaklah sebanyak dan semeriah yang ditawarkan oleh produsen. Betapa sesunguhnya manusia mampu menciptakan barang-barang dan jasa yang mutakhir namun lupa meng-up-grade hatinya.
Memiliki uang, reputasi bagus, jabatan, kesuksesan, cinta dan lain sebagainya memang baik, namun menjadi bencana ketika kita menganggap itu adalah sumber kebahagiaan kita. Bukan, mereka bukan sumber kebahagiaan kita. Tanpa mereka pun kita bisa bahagia. Bahagia itu adalah cara kita memandang segala sesuatu. Dan yang lebih mendasar lagi adalah, merubah fokus kehidupan kita. Fokus kehidupan kita adalah Allah yang murah hati. Allah yang selalu memberikan apa yang paling kita perlukan dalam kehidupan kita. Dengan pemahaman ini kita tidak akan lagi diperbudak oleh uang, gadget, kekuasaan, popularitas, posisi, kesuksesan dan lain-lain. Sebab tolok ukur kita bukan pada “apa yang kita terima” tetapi “siapa yang memberi” yaitu Allah yang murah hati. Maka jika Si Pemberi memutuskan untuk mengambil kembali pemberian-Nya dari kita, kita tidak akan lagi merasa berduka, frustasi, takut, sebab kita tahu Allah yang murah hati akan memberikan sesuatu yang lain yang lebih kita butuhkan.
Dengan konsep demikian, maka urusan berbagi dengan sesama bukanlah persoalan yang menakutkan dan sulit. Sebab setiap orang tidak lagi terikat tidak lagi lekat terhadap harta bendanya. Dan semakin ringan langkah kaki dan hati dalam berbagi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar