Kamis, 03 Oktober 2013

Perjumpaan di Filipina....


Bila hendak ada damai di dunia,
bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai
Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa,
kota-kota hendaknya tidak saling berperang
Bila hendak ada damai di kota-kota,
para tetangga harus saling memahami
Bila hendak ada damai di antara para tetangga,
mesti ada keharmonisan di rumah tangga
Bila hendak ada damai di rumah tangga,
kita masing-masing mesti menemukan hati kita
-Lao Tsu, abad ke-6 S.M-
           
            Dalam perjalanan hidup ini, ada banyak kejutan-kejutan kecil yang disiapkan Tuhan untuk saya. Termasuk kejutan saya menghadiri Asia-Pacific Student and Youth Gathering (ASYG) yang diadakan di Bukal Ng Tipan, Taytay Rizal, Filipina dari 30 Agustus-5 September 2013. Kejutan yang menghantarkan saya mengalami perjumpaan dengan sesama yang memperkaya batin. Sebenarnya, ini adalah kali pertama Indonesia melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengikuti forum ASYG. ASYG sendiri adalah forum pertemuan yang diprakarsai oleh Ecumenical Asia Pacific Students and Youth Network (EASY NET) yang beranggotakan:
·         International Young Christian Students (IYCS)
·         International Movement of Catholic Students (IMCS)
·         Christian Conference of Asia (CCA)
·         World Student Christian Federation Asia-Pacific (WSCF-AP)
·         Young Mens’ Christian Assosiation Asia-Pacific (YMCA-AP)
·         World Young Women’s Christian Association (World YMCA)
·         Asia Pacific Allianceof YMCAs (APAY)
·         International Young Christian Workers (IYCW)
Dan kini Christian Churches in Indonesia (CCI) atau PGI menjadi salah satu anggota EASY NET bersamaan dengan Hong Kong Christian Council dan Hong Kong Christian Students. Sebuah “kemajuan” yang sangat baik mengingat harus diakui dengan jujur kurangnya partisipasi dari pemuda-pemudi Kristen Indonesia dalam forum-forum Internasional seperti itu. Sebagai anggota termuda dan kali pertama bergabung dalam EASY NET, PGI mengirimkan kurang lebih 35 utusan termasuk di dalamnya Sekretaris Eksekutif Depera PGI, Frangky Tampubolon yang ikut mendampingi para delegasi dari Indonesia.
            Dari 35 delegasi Indonesia, GKI SW Jateng mengirimkan 6 orang yaitu Pdt. Samuel Adi Perdana, Pdt. Debora Vivi, Pdt. Bonnie Andreas, Pdt. Surya Samudera Giamsyah, Haleluya Timbo Hutabarat dan saya. Sebelum berangkat ke Manila, tim dari GKI SW Jateng sudah “rapat harian” mempersiapkan segala hal yang mungkin diperlukan selama mengikuti ASYG. Dan syukur, segala macam persiapan itu sangat menolong 6 orang delegasi dari GKI SW Jateng untuk berpartisipasi secara aktif di setiap kegiatan ASYG.
            Asia-Pacific Student and Youth Gathering kali ini mengambil tema “JUSTICE AND PEACE NOW!”. Pertemuan ini dalam rangka menyongsong sidang WCC di Busan, Korea Selatan Oktober 2013 yang memiliki tema: GOD OF LIFE: LEAD US TO JUSTICE AND PEACE. Melalui ASYG ini dihasilkan berbagai macam rekomendasi dari pemuda-pemudi se Asia-Pacifik yang akan disampaikan dalam sidang WCC nanti. Dalam rangka mendukung tema JUSTICE and PEACE NOW! Maka dalam ASYG ada yang namanya EXPOSURE. Exposure dibagi ke dalam beberapa kelompok dan lokasi yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Unik dalam pengertian kasusnya, unik dalam penanganannya dan unik dalam pemaknaannya. Enam delegasi dari GKI SW Jateng pun memisahkan diri ke dalam kelompok-kelompok exposure yang sesuai dengan minatnya. Saya dan Pdt. Bonnie Andreas memilih exposure ke indigenous people di Barangay Laiban, Tanay Rizal, Filipina. Dalam exposure tersebut saya mendatangi dua desa (sitio-tagalog) yaitu Sitio Manggahan dan Sitio Magata.
Kata Laiban memiliki akar kata “Laib” yang berarti “Baga” atau arang. Selama abad ke 16, masyarakat yang tinggal di Laiban menggunakan arang untuk mengeringkan kulit kayu atau daun yang nantinya akan mereka gunakan sebagai pakaian. Dari kebiasaan inilah maka munculah nama Laiban. Pada tahun 2012 populasi di Laiban kurang lebih 4500 orang (2700 perempuan dan 1800 laki-laki). Mata pencaharian mereka adalah bertani, memancing dan berdagang. Setidaknya ada 10 keluarga yang memiliki kendaraan umum yang membawa mereka dari barangay ke kota, sitios ke kota dan sebaliknya. Produk-produk pertanian yang sebagian mereka jual adalah jagung, kelapa, pisang, alpukat, kacang, jahe, dan ubi serta masih banyak yang lainnya.
Saya dan kelompok menempuh jarak 33 kilometer untuk mencapai Barangay Laiban, Sitio Manggahan. Sesampainya di Sitio Manggahan, saya dan teman-teman berkenalan dengan kepala suku di sana dan mulai mengunjungi kebun kacang panjang, serta mendaki “tembok batu” untuk mencapai kebun labu. Mengapa saya bilang tembok batu? Kontur dari bukit ini nyaris tegak lurus seperti batu, dibutuhkan kerjasama yang baik dan kondisi tubuh yang baik mengingat panasnya luar biasa. Dan karena panasnya luar biasa itulah saya tidak bisa menikmati perjalanan ini. Saya terus bertanya-tanya “mau apa sih di kebun labu? Sesampainya di puncak saya menyaksikan hamparan kebun labu dan hutan di punggung Siera Madre. Di situlah saya melihat area yang sangat luas dan sangat indah ini akan diratakan dengan tanah demi pembangunan dam yang akan menyuplai air dan listrik ke Manila. Padahal penduduk di Sitio Manggahan dan Magata tidak mendapatkan aliran listrik dari pemerintah.
Tidak sia-sia pendakian “tembok batu” di siang yang terik itu. Sebab di situlah spot terbaik untuk melihat bagaimana sekelompok orang dikuasai ketamakan dan rela menghancurkan alam serta penduduk Barangay Laiban demi sebuah pembangunan yang nyatanya hanya mensejahterakan sekelompok orang.  Pemandangan yang miris mengingat keramahan dan kesederhanaan penduduk di Sitio Manggahan dan Sitio Magata, serta keindahan alam yang tidak ada bandingnya. Gunung Siera Madre yang melindungi dan menghidupi mereka, sungai yang jernih dan tanah yang subur. Akankah ini semua akan menjadi kenangan?
Penduduk di Sitio Magata dan Sitio Manggahan sudah berupaya sedemikian rupa agar pembangunan dam dibatalkan. Dalam perbincangan bersama dengan beberapa keluarga di dua sitios tersebut, mereka menceritakan bahwa pemerintah Filipina akan menunda pembangunan dam sampai kurang lebih 2 tahun mendatang. Beberapa menyikapinya dengan tidak mau bercocok tanam apapun karena bagi mereka janji 2 tahun lagi itu tidak bisa dipegang karena mereka berurusan dengan pemerintah. Sedangkan beberapa tetap berusaha bercocok tanam sampai waktunya tiba mereka tidak dapat lagi tinggal di sana.

Dalam perjalanan ke Sitio Manggahan saya berjumpa dengan dua orang anak laki-laki bertubuh kurus mengangkut sekarung arang yang lebih besar dari tubuhnya. Badan mereka hitam oleh arang, langkah sempoyongan menahan beban karung dan kondisi jalan yang tidak rata. Rupanya banyak sekali anak-anak di Sitio Manggahan yang tidak bersekolah dan bekerja sebagai kuli arang demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Beberapa anak yang lebih kecil hanya bermain ke sana ke mari. Kemiskinan dan penderitaan tidak menghapuskan keceriaan senyum dan suara tawa mereka. Namun saya meyakini bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, mereka sangat ingin sekolah. Pergi ke sekolah pagi-pagi bukan pergi mengangkut karung arang seharian. Sebenarnya ada sekolah di Sitio Magata yang dapat ditempuh dengan jalan kaki dan menyeberangi sungai dari Sitio Manggahan. Namun beban perekonomian menuntut anak-anak ini memilih bekerja demi membeli beras bagi keluarga.


Dari exposure di Barangay Laiban saya melihat mitos pembangunan yang berlangsung langgeng di negara-negara berkembang. Pembangunan yang bertujuan menyejahterakan, ternyata hanya dinikmati beberapa orang saja. Pembangunan justru meminta tumbal orang-orang seperti di Barangay Laiban-rakyat kecil dan meminta korban dari Siera Madre-alam.
Satu komentar dari seorang ibu yang saya jumpai dalam perjalanan ke Sitio Manggahan, “Kalian luar biasa, dari negeri-negeri jauh mau datang menengok kami. Kalian tahu, pemerintah tidak perlu mengurusi kami. Siera Madre mengurus kami.” Ibu tadi berbicara dengan penuh semangat dalam bahasa tagalog yang diterjemahkan oleh teman saya dari Filipina, Christian Lina. Ungkapan yang diucapkan oleh perempuan sederhana namun pesannya menohok. Sebab seringkali orang-orang dari luar komunitas bertindak bak mesias, padahal yang paling dibutuhkan mereka adalah “biarkan kami tetap tinggal di sini bersama alam dan tradisi kami”. Bagaimana di Indonesia? Apakah ada  konteks serupa?
Seperti tulisan Lao Tsu di atas, saya menemukan diri saya ketika berjumpa dengan Tita (bibi) Ruby, Kuya (abang) Edward (fasilitator dari Harris Memorial College-Community Extension Services and Development) serta orang-orang di Sitio Magata dan Sitio Manggahan. Panas terik, lelah dan migrain justru mengantarkan saya untuk belajar memahami perjuangan mereka. Ya, bila ingin mewujudkan kedamaian, maka pertama-tama temukan diri kita sendiri. Dari sana terbit empati dan dorongan untuk melangkah bersama dalam perjalanan panjang menuju keadilan dan kedamaian…
MARAMING SALAMAT PO! MABUHAY! 

1 komentar:

  1. behhh... ibu ini laporannya ditel bangeeetttt....
    salam dari kupang... ;)

    BalasHapus