Kamis, 03 Oktober 2013

Perjalanan Ke Hong Kong


Lagi-lagi saya diberi kejutan oleh Tuhan. Melalui Depera PGI dan restu dari Pdt. Samuel Adi Perdana, saya berangkat ke Hong Kong seorang diri mengikuti Ecumenical Youth Leadership Development On Justice And Peace Building yang diselenggarakan oleh Christian Conference of Asia Ecumenical Formation, Gender Justice and Youth Empowerment dari tanggal 12-16 Agustus 2013 di Tao Fong Shan Christian Center, Shatin, N.T, Hong Kong.
            Training peace building ini diikuti oleh utusan dari Korea, Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, Hong Kong, dan New Zealand. Tidak banyak pesertanya, kurang lebih 20 orang karena memang bentuk kegiatannya training bukan gathering.  Training ini memiliki tema: JUSTICE-PEACE FOR LIFE:SOWING THE GRAINS OF PEACE. Training dalam rangka menyongsong Sidang Raya WCC di Busan, Korea Selatan, Oktober 2013.
            Saya tiba di Hong Kong tanggal 10 Agustus 2013 jam 21.00 waktu setempat. Setelah selesai mengurus ini dan itu di bandara, saya melanjutkan perjalanan dengan taxi menuju Tao Fong Shan Christian Center. Empat puluh lima menit kemudian saya tiba di sana. Disambut dengan suasana sepi. Setelah berkeliling ke semua lorong dan gedung akhirnya saya bertemu dengan seorang petugas di sana yang kesulitan menyebutkan nama saya. Dengan cepat dia menjelaskan apa yang boleh saya lakukan dan yang tidak boleh saya lakukan. Setelah itu ia mengantar saya ke kamar. Di sana sudah ada teman sekamar saya dari New Zealand, Janice namanya. Pagi harinya saya dan Janice mengikuti ibadah di kapel yang naasnya dilangsungkan dalam bahasa kanton. Tentu saja saya hanya paham “Amin” lain tidak. Tetapi keramahan mereka menyambut saya yang disangka orang Hong Kong ternyata orang Indonesia membuat saya tidak merasa terasing atau diasingkan.
            Kegiatan di hari Minggu nan panas itu hanya saya isi dengan berkeliling lokasi Tao Fong Shan dengan teman sekamar dan teman dari Malaysia. Sore harinya kami menuju pusat kota bersama dengan teman dari Taiwan yang sedikit bisa berbicara bahasa kanton. Syukur kepada Allah! Sebab tidak semua orang-orang di Hong Kong memahami bahasa inggris. Puas melihat Sha Tin, kami bergegas kembali ke Tao Fong Shan sebab makan malam disediakan dari jam 18.00-19.00 lewat dari jam itu, maaf, silahkan makan mie instan. Saya dan teman dari Malaysia, Taiwan, New Zealand dan Filipina serta Grace Moon dari CCa makan malam dengan menu tradisional China dan diiringi dengan instrumentalia lagu-lagu TaizĂ© di dining hall yang arsitekturnya kental nuansa China tradisional. Pengalaman makan malam yang mengesankan.
            Hari pertama diisi dengan presentasi dari negara masing-masing peserta training. Tema yang diberikan untuk peserta dari Indonesia adalah “Globalization and  Freedom Religious in Indonesia. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi terbuka menanggapi presentasi. Barulah di hari kedua training dimulai. Narasumbernya adalah Baht Latumbo dari Filipina. Dia mengawalinya dengan “permainan” Agree or Disagree. Dia memunculkan banyak statement-statement baik tentang konflik, kekerasan, dan ketidakadilan dll. Dalam beberapa kali kami diminta menyampaikan alasan mengapa kami setuju dan mengapa ragu-ragu, atau mengapa tidak setuju.
            Setelah itu Baht memaparkan bentuk-bentuk kekerasan dan Anthony Hope memaparkan tema gender dan keadilan yang semakin menambah wawasan dan kepekaan terhadap situasi-situasi ketidakadilan yang dihadapi oleh orang lain termasuk juga mungkin yang dihadapi diri sendiri. Anthony Hope sendiri datang setiap pagi untuk membawakan PA interaktif.
            Dalam dua hari terakhir, Baht mengajarkan “ACTIVE NON VIOLENCE” yang sangat menyentuh setiap partisipan. Baht menjelaskan bahwa ada berbagai macam respon kita terhadap kekerasan yang terjadi terhadap kita atau komunitas:
·         Passivity
Respon ini muncul karena merasa tidak berdaya, lemah, takut, tidak terorganisir, tidak ada sebuah ikatan batin dalam suatu komunitas. Dampak dari sikap ini adalah ketidakadilan masih berlangsung, pelaku penindasan semakin merasa berkuasa. Dan Baht menambahkan bahwa dengan bersikap pasif, sebenarnya kita turut mendukung langgengnya ketidakadilan di masyarakat. Dalam konteks ini diam tidak selalu emas.
·         Counter Violence
Respon ini muncul karena seseorang atau komunitas sudah merasa terjepit dan ingin segera menyudahi keadaan yang tidak  adil. Responnya seringkali sama atau bahkan lebih buas daripada perlakuan si penindas. Dampaknya adalah kita seperti hamster yang berputar-putar di lingkaran kekerasan, kita menolak kekerasan dan menolak ketidakadilan namun kita justru menindas orang lain. Dan sadar atau tidak respon ini justru menyemai konflik yang baru, menambah dendam, dan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan yang baru.
·         Active Non Violence (ANV)
Definisi dari Active Non Violence adalah sistem individu atau komunitas yang berlandaskan kasih dan keadilan yang bertujuan menciptakan rekonsiliasi. Karakteristik dari ANV adalah:
1.      Proclaim The Truth
Setiap kita yang mengaku murid Kristus harus menyuarakan kebenaran sekalipun dengan suara gemetar. Kebenaran bahwa kita hidup di bumi yang sama mengapa tidak bisa akur, tidak bisa saling menghargai dan merawat?
2.      Protest The Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus dengan teguh menentang kekerasan terhadap kemanusiaan dan terhadap alam. Sampai di poin ini saya tercenung. Apakah saya, gereja sudah teguh dan  lantang memprotes ketidakadilan yang melanda banyak komunitas, banyak kaum marginal di Indonesia? Atau selama ini jangan-jangan saya, gereja hanya sibuk dengan diri sendiri?
3.      Penetrate The Conscience Of The Adversary
Sebagai murid Kristus kita harus meyakini bahwa sejahat-jahatnya orang, di dalam dirinya ada pijar kebaikan. Seperti kata Nelson Mandela, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his background or his religion. People learn to hate and if they learn to hate, they can be taught to love for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
4.      Part From Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus menolak terlibat dan melakukan ketidakadilan. Menjadi agen-agen pembawa damai itu membutuhkan konsistensi dan integritas. Tidak bisa kita bilang “pejuang damai” namun di rumah atau di lingkungan masyarakat kita bertindak diskriminatif.
5.      Pray Incessantly
Sebagai murid Kristus kita harus merendahkan hati kita dihadapan Allah dan tidak menyombongkan diri sebagai orang hebat yang mampu membawa perdamaian. Karena sesungguhnya kita bisa menjadi pembawa damai oleh karena Allah memberi kita kekuatan dan harapan.
6.      Pay The Price
Menjadi murid Kristus yang memperjuangkan keadilan dan kedamaian harus berani dan rela membayar harga yaitu menerima setiap resiko buruk yang mungkin terjadi bahkan yang berujung pada kematian.
Dalam diskusi mengenai ANV, Baht dengan sangat indah mengajak partisipan untuk merefleksikan Yohanes 8:2-11. Kisah seorang perempuan yang ketahuan berzinah dan nyaris dirajam batu sampai mati oleh masyarakat. Dalam refleksi itu Baht mengajak partisipan menelaahnya dengan kacamata ANV. Pertama, pertanyaan Yesus: Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Pertanyaan Yesus ini hendak menunjukkan bahwa “Setiap orang sesungguhnya berdosa” jadi tidak ada seorang pun yang paling suci di dunia ini.
Bukankah dalam kasus perzinahan, bukan hanya perempuan saja pelakunya, tentu lebih dari satu orang, lalu mengapa hanya perempuan itu saja yang hendak dirajam? Tentu ada yang salah dalam sistem keberagamaan yang berlangsung saat itu, maka pernyataan Yesus menunjukkan protesnya terhadap sistem keberagamaan yang ada saat itu, yang bias gender. Melalui satu kalimat itu Yesus juga hendak penetrate the conscience of the adversary. Kalimat Yesus menyentak kesadaran mereka tentang arti hidup beragama mereka selama ini. Dan Yesus memutuskan untuk tidak mengambil bagian dalam tindakan penuh ketidakadilan itu sekalipun sudah digariskan dalam hukum. Dia tidak ikut-ikutan mengambil batu dan merajam perempuan itu.
Kemudian Baht berefleksi bahwa ketika Yesus sedang duduk dan menulis di tanah, dan kita tidak tahu apa yang dia tuliskan, Yesus sedang berdialog dengan Bapa-Nya. Memohon kekuatan dari Bapa-Nya dan kebijaksanaan untuk melihat kasus ini dengan jernih. Dan yang terakhir adalah, dengan sikap Yesus yang active non violence, Dia sangat beresiko dirajam batu saat itu karena ia tampil menyatakan kebenaran dan keadilan demi kemanusiaan si perempuan tersebut. Setelah orang-orang itu pergi, Yesus pun tidak menghakimi si perempuan, Dia hanya berpesan, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
            Menjadi murid Kristus kita memang harus meneladani gaya hidup-Nya salah satunya adalah menjadi orang-orang yang Active Non Violence. Ketika saat ini di Indonesia kita diperhadapkan dengan banyak permasalahn mulai dari soal perekonomian hingga soal maraknya kelompok-kelompok radikal yang menjelma hakim dan jagal bagi umat Kristen, Katholik, Ahmadiyah, Syi’ah, apa peran serta yang bisa kita lakukan berkaca dari prinsip Active Non Violence ala Yesus? Di balik perasaan pesimis dan serba runyam yang melanda negeri ini, toh saya masih melihat ada harapan di dasar kotak pandora yang kadung terbuka. Bersamanya mari menaburkan benih-benih keadilan dan kedamaian di manapun kita berada…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar