Kamis, 03 Oktober 2013

Biarlah Kotak Pandora Itu Terbuka


Ketika saya membuka hubungan dengan kawan-kawan di seberang pulau dan benua, hanya sepersekian detik kemudian, maka saya sudah dilimpahi banyak berita. Barangkali itulah sebabnya banyak orang yang akhirnya terpaku di depan layar komputer, laptop, tablet, smartphone karena ada banyak berita yang menuntut dicermati entah penting atau tidak. Beberapa hari belakangan memang saya menjadi kian akrab dengan beberapa sosial media. Yang awalnya hanya membagi pikiran sekarang berubah menjadi obrol sana obrol sini. Ya, rapat yang dulunya hanya terjadi di dunia nyata, kini tengah berlangsung di dunia maya.
Maka suatu pagi di hari Minggu, saya mendapat kabar dari teman saya di Pakistan bahwa telah terjadi bom bunuh diri di tengah misa. Beberapa saat kemudian seorang teman di Tangerang mengirimkan kabar bahwa sebuah gereja katolik di dekat tempat tinggalnya ditutup. Tak lupa ia mengirimkan selebaran yang berisi ajakan untuk bersama-sama menolak pembangunan gereja tersebut.
            Kemudian ditambah kabar dari teman saya di Bangladesh yang menceritakan situasi opresif yang umat Kristen hadapi di Bangladesh. Ya, satu hari Minggu itu saya melihat wajah Pakistan, wajah Tangerang dan wajah Bangladesh. Wajah penuh duka. Wajah penuh ketakutan dan kerapuhan.
            Teman-teman saya di Hong Kong, Taiwan, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea serta New Zealand bersama-sama memanjatkan doa bagi semua orang yang sedang mengalami penderitaan di Pakistan, Tangerang dan Bangladesh. Dalam sosial media itu pula beberapa teman menyampaikan keprihatinan dan solidaritasnya.
            Pikiran saya terbang pada sebuah ingatan ketika saya di Hong Kong, seorang teman bertanya tentang kabar penutupan gereja, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah. Ah…berita tentang negera saya sudah menyeberangi lautan mendahului saya. Tak banyak yang bisa saya ceritakan padanya. Sebab kata-kata yang tidak diwujudkan menjadi tindakan akan membawa petaka, begitu kata William Blake.
            Namun ketika pertanyaannya beralih “Apa kontribusi gerejamu?” saya hanya diam. Saya mungkin yang bodoh dan tidak tahu apa saja karya yang sudah dibuat oleh gereja saya. Maka saya diam daripada salah bicara. Saya mengalihkan pandangan pada kapel pagoda yang menjadi kelabu karena taifun berhari-hari.
            Dan kini di sini, di rumah saya duduk dan menyimak semua berita yang disampaikan oleh teman-teman saya dengan duka yang mendalam. Benarkah kebrutalan bisa dilawan? Saya berjuang mati-matian untuk meyakini bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik, bahwa dunia akan menjadi damai. Namun jam demi jam, berita dari pelosok negeri nampaknya makin runyam.Siapapun yang menjadi presiden, entah dari partai politik mana pun yang berkuasa, apa pun rancangan-rancangan ekonomi mereka, atau bahkan ketika hal itu tidak, tetap runyam.
            Saya menyaksikan kekerasan demi kekerasan terhadap umat beragama lain hanya melalui gambar, bukan melihat secara langsung. Namun pesan yang terpampang dalam gambar dan berita yang berseliweran itu menimbulkan keprihatinan. Tidak bisakah kita hidup dengan damai dan rukun karena sesungguhnya kita menjejak di bumi yang sama? Menghirup udara yang sama? Melihat matahari yang sama? Saya punya harapan bahwa suatu ketika nanti di bumi ini orang tidak lagi dinilai dari warna kulitnya, tidak lagi dinilai dari apa agamanya, apa sukunya, apa pekerjaannya, kaya atau tidak, pandai atau bodoh, tidak dinilai dari orientasi seksualnya. Namun setiap orang disambut, dirangkul, dan dilibatkan dalam keramahtamahan.
Dalam salah satu mitos penciptaan Yunani, Zeus menjadi murka karena Prometheus telah mencuri api dan dengan demikian memberikan kekuasaan kepada manusia untuk hidup mandiri. Maka dikirimnya Pandora untuk menikah dengan saudara lelaki Prometheus yaitu Ephemetheus. Pandora membawa sebuah kotak yang tidak boleh dibukanya. Akan tetapi, seperti kejadian dengan Hawa dalam mitologi Kristen, rasa ingin tahu tak terbendung lagi. Maka dibukanya tutup kotak itu untuk melihat isinya. Seketika itu juga semua kejahatan di dunia ini terbang keluar dan menyebar ke seluruh penujuru bumi. Tetapi masih ada yang tersisa di dalam kotak yaitu harapan.
Jadi walaupun segalanya nampak runyam dan melahirkan sikap pesimis, meskipun saya menjadi gundah, dan tidak berdaya melihat situasi yang tidak makin membaik sedikit pun, saya tidak boleh kehilangan hal yang membuat saya tetap hidup: HARAPAN. Kata yang seringkali diremehkan oleh beberapa orang karena dianggap meninabobokan. Kata yang telah begitu banyak diplintir oleh pemerintah-pemerintah yang membuat janji-janji yang banyak kali tidak mereka tepati. Dan akhirnya menimbulkan banyak luka di hati orang-orang.
Kata yang saat ini saya pegang erat-erat karena sepelik apapun jalan hidup saya, kata itu sudah membuat saya hidup. Maka saya tidak akan membiarkan kata-kata yang bangun bersama saya di pagi hari itu menjadi terluka parah saat siang hari dan mati mengenaskan di malam hari. Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada kehidupan, masih ada harapan”. Berpegang pada pepatah itu saya optimis menapaki jalan hidup saya dan optimis untuk Indonesia yang lebih ramah, dan dunia yang lebih damai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar