Senin, 30 September 2013

Tidak ada Fitur Block Di Dunia Nyata


Siapapun yang aktif di dunia Facebook tentu tahu fitur "BLOCK" yang disediakan oleh Facebook. Dengan menggunakan fitur ini, seseorang bukan hanya tak lagi berteman dengan orang lain namun memungkinkan orang tersebut kesulitan melacak account facebook kita. Fitur yang menarik kan..
Saya pernah menggunakan fitur ini demi mengenyahkan seseorang yang saya anggap mengganggu di Facebook. Orang ini rajin men-tag apapun yang bagi dia menarik dan bagi orang lain belum tentu menarik, belum lagi kegemarannya men-tag semua dagangannya, kenal tidak di-tag semua. Awalnya saya masih memaklumi karena saya pikir ya hak semua orang untuk berdagang. namun lama-lama batas permakluman saya sudah kadaluarsa.
Akhirnya saya block orang tersebut sesaat setelah dia memasukan saya dalam sebuah group dagangan miliknya tanpa seijin saya. Setelah saya mem-block dia terbit perasaan lega karena wall saya tak akan lagi dihiasi dagangannya yang dia tag ke saya. Saya lega tiada tara.
Beberapa hari yang lalu saya kembali memikirkan hal ini dengan serius. Begini, baiklah saya dapat mem-block orang tersebut dari dunia maya saya, namun apakah itu tandanya saya benar-benar mem-block dia di dunia nyata?
Heiii...dunia nyata tidak dilengkapi fitur BLOCK. Bisa jadi saya mampu membuat dia tidak lagi bisa melacak dan meng-add saya di facebook. istilahnya tidak bisa lagi berjumpa. Namun, saya masih percaya semesta suatu ketika akan mempertemukan saya dengan orang itu. entah kapan..entah dimana...see, saya tidak benar-benar memblock dia dari dunia nyata. karena hanya di dunia maya saya seolah menjadi tuhan kecil yang bisa memutuskan siapa yang boleh berjumpa dengan saya siapa yang tidak...
Selang dari peristiwa itu saya membaca komen seorang pemimpin umat beragama yang bagi saya sejenis komentar "sudah tahu sebelum bertanya". Dalam komen tersebut nampak jelas orang itu menggunakan tafsir sempit. Sebab saya sudah membuka diri untuk sebuah dialog namun yang bersangkutan diam saja.
Jujur saja hal ini membuat saya jengkel. Bagi saya dia tidak mengenal siapa saya, tidak mengenal pengalaman saya, tidak mengenal latar belakang pilihan yang saya buat namun sudah tiba pada penghakiman dan kemudian memberi resep.
Saya yang tumbuh di lingkungan yang terbiasa menggunakan analisa, jelas meradang. jujur saya akui itu. Sampai berhari-hari saya tidak damai.  Seorang teman mengatakan bahwa di luar sana ada banyak manusia sejenis dia yang dengan sangat mudah menafsirkan ini dan itu tanpa  tahu latar belakangnya.
saya pikir benar juga. Di Facebook barangkali saya dapat saja tidak bertemu dengannya namun di luar sana bisa jadi saya bertemu dengan orang-orang yang mirip seperti dia. Kalau di media sosial amcam facebook disediakan fitur block, di dunia nyata tidak ada. Di facebook, kita bisa menghindari orang-orang yang kita anggap mengganggu namun di dunia nyata tak seorang pun imun dari perjumpaan dengan orang-orang yang bermodal asumsi lalu menghakimi kita.
Tadi pagi, sebagai sarapan saya merenungkan kembali tulisan-tulisan terakhir dari Anthony De Mello. Dalam sebuah bab dia menuliskan demikian, "Setiap kali Anda mendapati diri Anda sendiri kesal atau marah pada seseorang, yang perlu Anda amati bukanlah orang itu melainkan diri Anda sendiri. Pertanyaannya adalah : Rasa kesal ini mengatakan apa tentang diriku?. Penyebab rasa kesalku bukan dalam diri orang lain melainkan dalam diriku.Dan ada satu hal lagi yang juga jelas:Anda jadi kesal pada orang itu karena dia tidak memenuhi pengharapan yang telah diprogram dalam diri Anda"
Tulisan Anthony De Mello membuat saya sadar. Ya benar saya kesal karena orang-orang itu tidak memenuhi harapan saya. Apa harapan saya: harapan saya adalah jangan men-tag semua gambar dan seolah ola beranggapan bahwa semua orang suka dan setuju dengan gambar itu. KEdua, harapan saya adalah jangan berasumsi lalu menghakimi tapi mari kita berdiskusi.
Anthony De Mello mengatakan bahwa mungkin saya punya hak menuntut agar orang-orang itu memenuhi harapan saya, namun saya perlu BELAJAR: belajar untuk menyadari bahwa tindakan saya akan lebih efektif ketika saya tidak sedang kesal.Dan saya TIDAK berhak menuntut orang-orang itu memenuhi harapan saya. Hmmm...betapa bodohnya saya ketika menuntut orang-orang itu memenuhi standar dan norma yang diprogram dalam diri saya...ckckckckckckck
Dan saya perlu BELAJAR melihat latar belakang, pengalaman, dan mungkin ketidaksadaran orang-orang yang telah membuat saya kesal. Apabila setiap orang benar-benar memahami latarbelakang tiap orang maka kita akan melihat bahwa sebenarnya orang-orang yang menyebalkan itu adalah orang-orang yang cacat. artinya ada masa dalam hidupnya dia mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan dan itu membekas. Dengan menyadari hal ini, rasa kesal saya hilang.Justru timbul keprihatinan...
Benar memang, kalau kita melihat setiap orang dengan positif maka kita akan mendapati diri kita hidup di dunia yang penuh kasih...
Akhir September 2013
Y.Defrita R.  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar