Senin, 26 Desember 2011

Sedikit mengulik Matius 5:9-10

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Ketika dunia sibuk menyerukan berbagai macam ukuran kebahagiaan, maka apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam Kotbah di Bukit menjungkirbalikkan semua nilai-nilai itu. Sangat luhur sekaligus sangat kontroversial. Betapa tidak, orang miskin dikatakan berbahagia, orang lapar dan haus dikatakan berbahagia, dan orang yang membawa damai dibilang berbahagia, serta orang yang menderita dibilang bahagia. Ah yang bener aja, kondisi serba tidak lazim menurut ukuran dunia gitu kok dibilang bahagia. Tapi itulah kenyataannya.

            Dalam pemahaman Alkitab saat ini, kita akan membahas ayat 9 dan 10. Pertama kita akan membahas ayat 9.

Ayat 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

Kotbah ini disampaikan tidak dalam bahasa Yunani. Oleh sebab itu tentu ada maksud mengapa Tuhan Yesus menggunakan kata shalom, sekalipun dikemudian waktu dalam penulisannya kata shalom berubah ke dalam bahasa Yunani menjadi eirene. Apakah artinya sama?Shalom dan eirene memiliki arti yang sama yaitu damai. Tetapi shalom memiliki arti yang lebih kompleks.

Shalom:

·         Kesejahteraan personal maupun komunal yang tidak hanya menyangkut perkara jasmani tapi juga rohani.

·         Harmoni dalam suatu relasi.

·         Dan selalu dipahami bahwa shalom itu diberikan oleh Tuhan bagi umat-Nya.

Alm. Pdt. Eka Darmaputera mengatakan bahwa shalom itu memiliki makna positif yang ketika ia diucapkan tidak hanya berarti mengharapkan agar tidak terjadi apa-apa yang buruk pada orang lain tetapi mengharapkan yang baik pada orang lain.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa shalom adalah kesejahteraan yang dihasilkan oleh hidup yang harmonis dengan sesama, Tuhan dan seluruh ciptaan.

Lalu, apa maksudnya orang yang membawa damai ? di dalam teks bahasa Yunani kata yang dipakai adalah eirenopoios yang kemudian diterjemahkan peacemaker. Peacemaker atau pembawa damai adalah orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan kesejahteraan dan rekonsiliasi untuk sebuah relasi yang harmonis ketimbang menciptakan kemarahan, kebencian dan keterpisahan. Peacemaker tidak mudah puas hanya dengan kondisi yang “tidak ada konflik” saja. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalain relasi yang sehat dengan sesama, Tuhan dan seluruh ciptaan.

            Disinilah terletak perbedaan antara shalom dan eirene. Eirene secara sederhana berarti damai dalam artian keadaan tidak ada konflik yang kelihatan (tapi konfliknya masih ada Cuma tidak terlihat saja). Alm. Pdt. Eka Darmaputera mengatakan bahwa eirene adalah beberapa jeda singkat dalam kehidupan dimana pertentangan, pertikaian, konflik itu berhenti sejenak (semacam gencatan senjata sejenak).

Lalu mengapa orang yang membawa damai ini disebut anak Allah? Karena dengan menjadi pembawa damai mereka telah berpaut/ terikat penuh dengan aktivitas Allah yaitu Allah yang dalam setiap karyaNya menghadirkan damai. Terkait dengan hal ini kita perlu bercermin pada pribadi Yesus yang adalah seorang pembawa damai. Dalam seluruh perjalanan hidupNya semua Ia lakukan untuk menghadirkan damai (kelahiranNya>Luk.2:14; KaryaNya> Mark.4:39 dan 5:34; juga ketika Ia mempersiapkan murid-muridNya> Yoh. 14:27)

            Kendati demikian perlulah kita sadar bahwa menjadi pembawa damai itu ada harga yang harus dibayar. Lihat saja Yesus! Dia menjadi pembawa damai dengan cara meninggalkan Bapa-Nya dan menjalani hidup sebagai manusia, disalib, mati, dan bangkit. Dan selama Ia hidup, Ia berhadapan dengan berbagai macam kendala dari orang-orang yang tidak menyukaiNya. Untuk apa semua itu? semata-mata agar damai itu tercipta, sehingga ada rekonsiliasi dan harmoni dalam relasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan Tuhan dan dengan alam semesta. Dengan kata lain menjadi pembawa damai menuntut kita untuk terlibat penuh, bukan sebagai penonton apalagi komentator.

Menjadi pembawa damai adalah menjadi orang-orang yang bersedia mengorbankan nyawa, mengucurkan peluh, memeras tenaga, mengotori tangan dan memikul segenap resiko demi menghadirkan damai. Maka dari itu alm. Pdt. Eka Darmaputera mengatakan mencari pembawa damai itu sulit, mencari pencinta damai itu gampang sekali. Siapapun yang tidak sakit jiwa akan mencintai damai, tapi ketika tahu bahwa itu tidak cukup, ada yang dikorbankan, barulah orang mulai takut dan kawatir bahkan enggan menjadi pembawa damai. Manusiawi kalau orang jadi berpikir jutaan kali untuk menjadi pembawa damai, sebab mewujudkan rekonsiliasi dan hidup yang harmonis itu tidak mudah, Yesus saja mesti tertatih-tatih dan meregang nyawa di kayu salib. Dunia masih mencari dan membutuhkan orang-orang yang mau membawa damai yang rela mengorbankan diri demi damai. Ini bedanya bom bunuh diri dengan orang pembawa damai yang mengorbankan diri. Yang pertama, mengorbankan diri untuk mencelakai orang lain. Yang kedua mengorbankan diri agar hidup ini dipenuhi damai. Ada yang mau jadi pembawa damai? J

            Apakah menjadi pembawa damai identik dengan tindakan heroik berdarah-darah? Tidak selalu begitu sekalipun dalam situasi ekstrem bisa saja terjadi. Kita bisa menjadi pembawa damai dalam hidup sehari-hari lewat tindakan sederhana yang membawa kebaikan bagi manusia. Abraham Lincoln adalah seorang pembawa damai lewat prinsip hidup dan tindakan-tindakannya. Ia berkata “Mati pun aku rela asalkan mengenaiku orang berkata bahwa di sepanjang hidupku aku selalu berusaha mencabut ilalang walau sebatang, dan menanam kembang walau sekuntum di manapun bunga dapat bertumbuh”.

            Hal lain yang perlu kita sadari ketika hendak menjadi pembawa damai adalah fakta pokok bahwa kita harus mampu berdamai dulu dengan diri kita sendiri. Kita perlu membiarkan damai dari Yesus Kristus memenuhi kita, memulihkan segala luka di hati, kebencian, amarah, dendam, kekecewaan dll. Sebab hanya hati yang dilingkupi oleh damai yang dapat memancarkan kedamaian.  Tetapi seperti tokoh spiderman yang berkata bahwa “pertikaian itu terjadi di dalam hati kita”. Perang antara yang dorongan untuk melakukan kebaikan versus dorongan untuk melakukan yang jahat. Ya seperti itulah kita yang seperti pendulum, berayun dari satu sisi ke sisi yang lain. Maka sungguh berbahagia orang yang hatinya diliputi damai dan memancarkan damai!

Ayat 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah.

Satu lagi paradoks nilai hidup yang dikumandangkan oleh Yesus. Masakan orang yang dianiaya dibilang berbahagia? Yang bener aja! Apa ya yang namanya teraniaya itu harus? Jawabannya, tidak dalam bentuk sama seperti jaman para martir dulu dan tidak mesti, tidak harus teraniaya. Tetapi kalau dalam sikap hidup kita, nilai-nilai yang sudah diteladankan oleh Yesus itu kita wujudkan, maka manalah mungkin kita bersahabat dengan dunia yang nilai-nilainya bertolak belakang dengan Yesus.

            Dalam segala bidang kita akan berhadapan dengan saat-saat sulit nan dilematis, misal: apakah kita akan menjalankan bisnis kita dengan cara yang sama seperti orang-orang dunia? Bisnis adalah bisnis. Kalau jujur bisa hancur. Atau kita justru memilih jujur dan setia dalam segala hal dan sikap kita ini akan menuai aniaya batin dan fisik. Selain itu aniaya batin dan fisik juga terjadi dalam lingkungan keluarga dan sosial, misal” ketika demi iman kita dikucilkan, dicampakkan, dari lingk.sekitar, dari keluarga. Kita hidup sendirian. Tetapi betapapun berat aniaya itu kita dihadapkan pada pilihan antara “setia” atau “selingkuh”, antara “integritas” atau “realitas”.

            Lalu mengapa orang yang menderita karena aniaya itu dikatakan berbahagia? Alm. Pdt. Eka Darmaputera menolong kita menjawab pertanyaan ini:

Ø  Tiada kebahagiaan yang lebih besar daripada kesempatan untuk menyatakan serta membuktikan kasih selain lewat penderitaan.

Maka, orang-orang yang dianiaya, dinista, difitnah itu dikatakan berbahagia karena melalui penderitaan itulah mereka diberi kesempatan untuk menyatakan dan membuktikan kesetiaan dan kasih mereka kepada Tuhan.

Ø  Melalui aniaya, nista, fitnah, orang-orang itu mengalami apa yang sebelumnya dialami oleh para nabi.

Dengan kata lain mereka memperoleh kesempatan untuk menapak tilasi jalan perjuangan para nabi untuk menjadi pengikut Tuhan.

Ø  Melalui aniaya, nista, fitnah, mereka jadi lebih dekat dengan Tuhan.

Contoh paling dekat adalah email yang dikirim alm. Edward Purba kepada Pdt. Wee Wilyanto yang beliau sampaikan dalam ibadah penghiburan pemakaman di Pandu beberapa saat yang lalu. Dalam email itu, Alm. Edward Purba mengatakan “sekalipun tubuh ini sulit diajak berdamai, namun justru pengalaman sakit telah membawaku pada perjumpaan yang indah dengan Tuhan”.

Dengan kata lain, orang-orang yang menderita karena aniaya ini adalah orang-orang yang berbahagia karena mereka menjalani semua dalam rangkulan Tuhan. Sehingga mereka menjalani penderitaan aniaya itu dengan mantap.

            Dan kalau kita mengkaitkan dengan ayat 9, maka orang-orang yang membawa damai pun bisa dikategorikan orang-orang yang juga menderita aniaya karena perjuangan mereka membawa damai dan kebenaran (ayat 10). Namun mereka berbahagia sekalipun belum terwujud sempurna damai dan kebenaran itu, tapi mereka menjadi bagian dari misi Allah untuk menghadirkan damai di muka bumi.

1thessalonians4_11pln

Tidak ada komentar:

Posting Komentar