Jumat, 19 Maret 2010

Visual Art Solo Exhibition by Nancy Imelda Nahuway “AN MEKE”

}i{ Catatan JalanMalam }i{

Sabtu, 31 Oktober 2009

Coral Art Galery, Jl. Affandi CT X/82

Yogyakarta


Pukul 18.50 WIB kami berempat tiba di Coral Art Galery (CAG). Setelah ngobrol sana-sini dengan kakak dari Nancy yaitu Haity kami sibuk memandangi buku yang dibagikan pada kami. Buku kecil ini berisi foto lukisan-lukisan karya Nancy dan Ayahnya yang dipamerkan malam ini. Tak terasa sudah pukul 19.30. Acara dibuka oleh Stupa Etnic Percussion yang membawakan beberapa lagu yang nampaknya hasil aransemen ulang mereka. Benar-benar “makanan pembuka” yang mantap dan sayang untuk dilewatkan. Paduan antara gamelan, gitar, jimbe, drum, dan biola menyihir saya untuk terus menikmati alunan dinamis dari instrumen yang mereka mainkan. Benar-benar fantastis.

Usai Stupa Etnic Percussion tampil, munculah dua orang MC yang memandu acara pembukaan pameran ini. Acara dibuka dengan tampilan slide dengan tema “AN MEKE”. Pemandu acara menjelaskan makna An Meke yaitu Milik Saya. Bukan sekedar kepemilikan barang namun lebih kepada barang atau orang lain itu sudah menjadi bagian dari hidup maka disebut “An Meke…Milik Saya.” Gambar-gambar di slide menampilkan gambar orang-orang di Wamena. Dikisahkan bahwa mereka orang-orang yang polos, ramah dan sopan. Mereka hidup di tanah yang kaya dimana kekayaan itu justru tak dinikmati mereka sepenuhnya. Ironis. Tapi kata para petinggi negeri ini, kondisi itu tidak ironis tetapi ekonomis. Duh Gusti, sangat bertolak belakang dengan Pulau Jawa dan mungkin beberapa pulau lain yang sudah diserbu dan disusupi modernisme yang membawa orang pada era hedonisme. Mereka masih perawan dalam menjalankan roda hidup. Tak terlalu peduli dengan putaran mode pakaian saat ini apalagi gaya rambut. Mereka tak sekedar berpakaian tetapi mereka menyatu dengan apa yang mereka pakai dan dengan apa yang ada di alam. Jauh sebelum orang-orang ribut soal gaya hidup selaras dengan alam, nun jauh di pedalaman Wamena…mereka sudah seperti ibu dan anak dengan alam. Gambar di slide tak sekadar membekukan moment dan ekspresi namun juga menyuarakan pesan bahwa WAMENA MASIH ADA…WAMENA JUGA INDONESIA!!! Sungguh hati saya tergetar ketika menyaksikan orang-orang Wamena dalam slide-slide bisu tadi. Belum pernah saya menyaksikan keindahan alam yang masih jauh dari kapitalisme. Keheningan hutan menjadi rumah bagi orang-orang Wamena. Benar-benar zamrud di pojok barat.

Tampilan slide bisu pun usai dan disambung dengan acara seremonial pada umumnya seperti doa pembukaan dan sambutan-sambutan dari beberapa pihak yang dianggap penting atau setidaknya berjasa dalam pagelaran pameran tunggal ini. Dan tepat pukul 20.30 pameran lukisan “An Meke” resmi dibuka. Saya dan beberapa teman yang lain memilih untuk masuk terakhir karena pengunjung yang berjubel menaiki lantai dua tempat pameran lukisan. Dan memang tak ada ruginya masuk terakhir karena selama menanti di bawah kuping saya dimanjakan oleh permainan musik dari Stupa Etnic Percussio yang lagi-lagi menghipnotis saya. Sehingga jagung rebus dan setup yang dihidangkan jadi sekadar iklan saja. Tidak lagi menyita perhatian saya karena saya sudah terbuai dengan permainan musik mereka. Benar-benar moment yang berharga untuk dilewatkan dan ini saya sebut “rekreasi jiwa”. Sudah 10 menit lebih saya nongkrong di bawah dan kini saya putuskan masuk saja. Begitu tiba di lantai dua kami disambut Kak Haity(kakak kandung Nancy) yang bersedia menjadi tour guide pribadi kami. Setelah memandu kami melewati 2 sampai 3 lukisan, Kak Haity mesti meninggalkan kami dan menyambut tamu yang lain. Tak sulit bagi kami untuk menikmati lukisan-lukisan ini karena:pertama, kami bukan kurator. Kedua, kami sudah disuguhi latar belakang tentang Wamena yang menjadi sumber inspirasi dari Nancy. Kami terpesona dengan inovasinya merekam aktivitas orang-orang Wamena dalam media kulit kayu. Luar biasa bagi kami yang awam dalam soal lukis melukis. Dan selain lukisan ternyata juga ada instlasi berupa Honai dan pakaian perempuan serta lelaki di sana. Sebetulnya ada larangan untuk memotret namun karena yang mengadakan pameran adik teman kami dan pameran ini tak sekaku pameran biasanya maka urusan potret memotret jadi lumrah adanya.

Puas kami memandang Wamena dari Jogja, kami pun kembali ke peraduan dengan pencerahan betapak kayanya negeri ini dan betapa bodohnya kita yang tidak sadar akan kekayaan negeri sendiri…dan betapa biadabnya kita yang sadar akan kekayaan negeri sendiri lalu digadaikan bahkan dijual ke pihak luar }i{

Defrita Rufikasari

Pulanggeni, akhir Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar