Senin, 15 Maret 2010

Sejenak Berceloteh pada Udara….


Pernahkah kau merasa tidak dapat melahirkan satu huruf yang akan mengawali hidupnya berlarik-larik kata dan menggelontor kertas putih dengan kalimat yang lancar? Semua yang pernah dimakan otakmu masih ada menggumpal dalam salah satu sel yang terkunci rapat di pikiranmu. Kau membayangkan dengan tepat alur yang kan kau lukiskan namun pena dan otak mu tak terkoneksi dengan baik. Barangkali harus mencari kabel tambahan. Atau jangan-jangan kau perlu menemukan kunci yang tepat untuk membuka sel itu dan memanaskan pikiranmu yang masih beku. Hah…tapi tak pernah semudah imajimu..imajiku. Barangkali kau tak tahu persis mengapa aku harus berbicara seperti ini. Tak apa, anggap saja aku sedang menghamburkan kalimat pada angin. Seringkali angin jauh lebih setia untuk mendengarkan dan membaca kalimat-kalimat yang berserakan di udara.
Sambil menanti cairnya pikiran beku yang tak terpengaruh oleh pemanasan global, aku menikmati kopi di pagi hari, ditemani Antonio Vivaldi dan segepok koran hari ini. Membunyikan tiap huruf yang tercetak di kertas lemas itu, mencoba melongok apa yang terjadi di dunia. Membaca koran bagiku seperti melakukan perjalanan keliling nusantara dan sesekali singgah ke mancanegara dengan ongkos Rp. 78.000/bulan. Bayangkan, murah kan?? 78.000 untuk 30 atau 31 kali perjalanan. Itu sebabnya, aku akan selalu menyempatkan membaca koran di pagi atau sore hari sambil menyeduh kopi atau teh tawar panas. Bagi mu mungkin ini biasa, tapi bagi kaum proletar sepertiku…ini mewah. Mungkin dari tadi kau bertanya-tanya sebetulnya apa gerangan yang hendak ku sampaikan padamu. Sudah kubilang tak perlu kau pikirkan apa yang sebenarnya hendak ku kisahkan, anggap saja aku sedang bercerita pada udara kosong melompong yang berputar disekitarku.
Sambil menghabiskan lembaran-lembaran koran dan menandaskan kopiku, Antonio Vivaldi masih memainkan musiknya. Perpaduan yang aneh…mungkin begitu pikirmu. Musik orkestra abad pertengahan yang memenuhi ruanganku di Yogyakarta sebuah perkawinan yang unik. Sesaat batin dibawa pada nuansa Eropa abad itu namun sekaligus kaki masih menjejak di bumi Mataram. Aku masih menanti lumatnya pikiran beku yang bercokol di pikiranku. Membeku. Dingin. Keras.
Saat paling rileks adalah ketika aku menyeduh kopi atau teh tawar panas sambil membaca koran dan ditemani permainan musik entah si Antonio Vivaldi atau Mozart, Chopin atau Beethoven. Kalau saja setiap saat seperti itu batinku. Tapi sebentar, apa asyiknya kalau setiap saat seperti? Ah, pasti sangat membosankan. Hm..tapi saat rileks itulah aku tidak memberi beban terlalu berat pada pikiranku yang rapuh. Semua mengalir dengan tenang seolah dunia tak pernah mengenal kata perang dalam kamus hidupnya. Namun layaknya permainan musik akan selalu ada cresendo…ada fluktuasi. Kadangkala aku bisa sangat rileks, namun di saat lain aku bisa sangat tertekan dengan aneka rupa tugas. Kalau sudah begitu,menyeduh kopi atau teh tawar panas menjadi teman yang sulit ditolak.
Aku masih menanti lumernya pikiran yang beku. Entah sampai kapan, tapi dia harus segera lumer biar aku dapat melahirkan kalimat-kalimat hidup yang mewarnai lembaran itu.













Pulanggeni, 12 Maret 2010
Yohana Defrita Rufikasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar