Jumat, 19 Maret 2010

NON IN COMMOTIONE DOMINUS[1]……

Dewasa ini kehidupan manusia tak sesederhana kehidupan Homo sapiens kala itu. Segalanya serba kompleks. Segalanya menuntut kecepatan dan ketepatan . Mau tidak mau manusia terseret dalam arus mobilitas yang serba high-tech. Manusia “dipaksa” berlari ke sana ke sini hanya untuk meraih posisi, status, uang, martabat dan masih banyak lagi. Segala upaya dikerahkan agar tak terlindas oleh yang kuat. Segalanya diperjuangkan agar memperoleh apa yang didambakan. Sampai –sampai lupa akan makna dari tiap peran yang sedang dimainkan. Dan mulai merasakan kegelisahan dalam relung jiwanya yang teramat sering dibungkam oleh aktivitas dan motivasi hidup. Kegelisahan akan sapaan Allah. Kerinduan untuk menyapa dan disapa.

Alkisah ada seorang perempuan bernama Arleta dalam novel berjudul “Kalacakra”-yang mencari Allah. Dia seorang muslim taat, namun dia merasa gelisah dalam batinnya. Dia rela menghabiskan uang jutaan rupiah, menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari sastra kuna demi bertemu Dia. Rela bepergian ke segala penjuru bumi untuk belajar pada berbagai macam guru demi menemukan Dia dan pada akhirnya menemukan kedamaian. Beberapa dari kita-kalau tak mau dibilang banyak- merasakan apa yang dirasakan oleh Arleta. Sibuk mencari Tuhan ke sana ke mari. Dan sampailah pada hipotesis bahwa “Gott ist ein lauter Nichts, ihn ruhrt kein Nun noch hier.”[2] Benarkah Dia hanya sebuah ketiadaan atau justru Dia adalah ADA?kalau ada di manakah Dia berada? Bagi saya Dia adalah penyebab dari segala yang ada dan Dia adalah ADA itu sendiri yang tidak disebabkan oleh apapun. Dia ada bukan dalam kegelisahan tapi dalam sikap batin yang tenang.

Sejenak keluar dari segala rutinitas keseharian seorang mahasiswa tingkat 3 lalu melangkah masuk ke dalam komunitas yang hening merupakan pengalaman pertama bagi saya. Komunitas para rahib Trapis di Rawaseneng menjadi seperti sebuah ironi bagi saya. Bahwa dalam hingar bingar dunia ini masih ada sekelompok orang yang dengan taat dan rendah hari beringsut mundur dari keramaian dunia dan masuk dalam perjumpaan dengan Allah dalam keheningan. Keheningan bukan berarti pasif. Justru dalam keheningan itu mereka berkarya bagi kesejahteraan komunitas dan bagi penduduk di sekitarnya. Mereka melakukan aktivitas dalam keheningan. Aktivitas mereka maknai sebagai suatu doa dalam keheningan dan persatuan bersama Allah. Kita mungkin tak terbiasa hidup serba hening. Mengapa? Karena kita terbiasa dibanjiri dengan kata-kata. Menurut sebuah penelitian di Amerika tahun 2007 lalu ditemukan bahwa perkataan manusia dalam 1 bulan jika dijadikan buku maka akan tercipta 2 buah buku dengan tebal masing-masing 300 halaman. Dan 24 buku dalam 1 tahun. Dan 1200 buku dalam 50 tahun! Kita terbiasa dengan dunia yang ramai oleh kata-kata. Oleh sebab itu kehidupan para rahib di Trapis Rawaseneng adalah sesuatu yang tidak lumrah bagi kita. Mereka hening. Mereka berkarya pun dalam keheningan. Mereka hidup dengan terartur tak seperti manusia pada umumnya, mereka ibadah sehari 5 kali, makan teratur, dan tidur pun teratur pun juga dengan kerja yang teratur. Jam-jam dalam 1 hari mereka perhatikan dan maknai. Pola hidup mereka menimbulkan ketenangan dalam batin yang sedang bergemuruh. Pola hidup yang hening dan dalam keheningan itu mereka bercengkrama dengan Allah.

Namun batin saya tergelitik untuk melihat bahwa pola hidup mereka itu bukan segalanya. Artinya, kalau ingin disapa dan menyapa Allah tentu tak hanya dalam keheningan namun dalam gerak keseharian kita pun kalau kita mau peka…Dia di sana! Sayangnya, kebanyakan dari kita tak peka dengan kehadiran-Nya. Manusia berlari dari satu hal ke hal yang lain. Dipacu oleh berbagai macam motivasi untuk mewujudkan tujuan dan lupa apa arti dari tiap gerak yang dibuat.Berenang dalam arus mobilitas yang serba hi-tech membuat manusia gelisah . Seakan-akan ada sesuatu yang tertinggal atau lebih tepatnya ada satu bagian yang merindukan kesejukkan. Manusia rindu disapa dan menyapa oleh Allah Sang Pemberi Gerak dan Gerak itu sendiri. Manusia mencarinya dalam lembaran-lembaran kertas tulisan rohani. Mencari diantara gedung gereja, mesjid, kuil, dan klenteng. Menerka-nerka apakah Allah ada di kantor, gedung, universitas, rumah sakit atau pasar? Menghabiskan jutaan lembar uang untuk mencerap keheningan batin agar sapaan itu terjadi. Ratusan tempat yang menawari keheningan pun dicoba, siapa tahu Dia ada di sana…

Satu hal yang menarik bagi saya bahwa spiritualitas Sistersian yang menjiwai para Rahib Trapis Rawaseneng merupakan sebuah oase bagi jiwa-jiwa yang memerlukan tuntunan untuk menemui Allah. Menjadi another way to knowing God. Spiritualitas yang kental dengan nuansa keheningan menjadi semacam tempat untuk sejenak melepas lelah. Tempat untuk meneguk sedikit kesegaran Air Kehidupan di tengah gersang dan tandusnya kehidupan dunia. Tak heran jika banyak orang datang ke tempat ini. Mereka datang untuk merasakan sapaan dan menyapa Allah dalam keheningan. Mereka datang untuk menghayati hidup para rahib. Mereka datang untuk menrefleksikan hidup mereka. Mereka datang untuk mencoba merasakan pola hidup yang berbeda dari yang biasa mereka jalani. Mereka datang dengan sejuta alasan yang mungkin kita tidak tahu.

Suatu ironi memang jika melihat kenyataan bahwa mahluk canggih bernama manusia bisa kelimpungan mencari Tuhan. Bisa gelisah dalam pencarian akan Dia. Dan berbondong-bondong menyerbu pertapaan-pertapaan untuk memperoleh keteduhan dan sapaan dari Allah. Namun, suatu kebahagiaan pula bahwa masih ada oase di tandusnya gurun kehidupan ini!

Diskusi klasik tentang pencarian akan Allah mungkin tak akan segera usai sebab sadarlah bahwa otak ini tak mampu menembus Dia yang lebih besar dari apapun. Tetapi biarlah kita pun dapat bergumam seperti seorang rahib dalam biliknya…”O quam salubre, quam iucuncum et suave est sedere in solitudine et tacere et loqui cum deo!”[3] sambil menyadari bahwa Dia ada dalam gerak dan keramaian..Dia ada dalam keheningan..bukan dalam kegelisahan! Seraya saya melangkahkan kaki keluar dari kapel dan berbisik lembut pada Dia bahwa dalam dinamika gerak kehidupan, saya akan berupaya mengenali sapaan-Nya dan meluangkan waktu untuk menyapa Dia dan kami pun bercengkrama.

In nomine Patris et Filio et Spiritis Sanctis. Amen.[4]

Yogyakarta, medio April 2008

(tulisan ini adalah refleksi kunjungan ke Pertapaan Trapis Rawa Seneng dan pernah dimuat di facebook saya)

[1] Tuhan ada bukan dalam kegelisahan

[2] “Tuhan adalah suatu ketiadaan belaka, tidak ada di sana dan tidak di sini.”

[3] “Oh, Betapa membahagiakan, betapa nyaman dan betapa manis duduk dalam kesunyian dan diam dan bicara dengan Tuhan!”

[4] Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar