Selasa, 30 Maret 2010

AH…LEGANYA!!!


Sudah puluhan kali saya membaca kisah “Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu” karya Sang Begawan Sastra dari Rusia, Alm. Leo Tolstoy, namun demikian saya selalu terpesona dengan kedalaman ceruk makna dan banyaknya celah permenungan yang menggugah hati dan pikiran saya. Sungguh sebuah karya yang tidak hanya memanjakan otak namun menyegarkan hati. Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan ulang kisah tersebut (jadi kalau Anda ingin membaca lengkap, silahkan membeli Kumpulan Cerita Leo Tolstoy di toko buku terdekat di kota Anda), saya hanya akan menceritakan secara garis besar pemaknaan apa yang saya temukan.

Kisah diawali dengan seorang lelaki bernama Ivan yang akan pergi ke kota dan dia bermalam di sebuah pondokan bersama teman lama yang dia jumpai di pondokan itu. Namun belum pagi datang, Ivan sudah melanjutkan perjalanannya. Naas tak dapat ditolak, polisi menangkap Ivan dengan tuduhan pembunuhan dan perampokan terhadap teman lamanya. Ivan terkejut karena dia tidak tahu menahu soal pembunuhan, namun sebilah pisau berlumuran darah ditemukan di dalam tas Ivan. Ivan marah, sedih dan bingung atas apa yang terjadi padanya. Ivan dijebloskan ke dalam penjara atas perbuatan yang pernah ia lakukan. Suatu ketika dia dikunjungi istri dan anak-anaknya dan mereka semua meragukan pengakuan jujur Ivan bahwa dia tidak membunuh dan merampok temannya itu. Dalam kesedihan yang mendalam Ivan berkata, “Hanya Tuhanlah yang tahu kejadian yang sebenarnya…”(hal. 42). Tak lama kemudian Ivan dipindahkan ke penjara Siberia, saat itu usianya sudah sangat tua.

Di dalam penjara dia dianggap sebagai kakek yang bijaksana, ia rajin berdoa, membaca buku-buku religi, dan mengikuti paduan suara di gereja dalam penjara. Suatu ketika ada seorang lelaki yang baru saja masuk penjara. Semua narapidana yang lama mengerumuni narapidana yang baru ini untuk lebih mengenalnya, termasuk Ivan duduk di sana. Lelaki ini bernama Makar. Dia menceritakan bahwa dia tidak mencuri, dia sedang membantu mengganti roda kereta kuda milik temannya, namun dia dituduh mencuri. Dia berkata bahwa justru ketika dia membunuh seorang saudagar di dalam pondokan, dia tak dibunuh. Ivan terkejut. Singkat kisah, Ivan akhirnya tahu bahwa orang yang harus mendekam di penjara selama 26 tahun adalah Makar, bukan dirinya. Dia sangat marah, jengkel, sedih namun tidak tahu harus berbuat apa. Suatu malam, dia menjumpai Makar sedang menggali lubang dan berusaha kabur. Makar mengancam Ivan agar tidak memberitahu sipir penjara, dan Ivan membalas dengan, “Aku tak ingin melarikan diri, dibunuh pun bagiku tak mengapa, kau telah membunuhku dua puluh enam tahun yang lalu. Aku hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.”(hal. 47)

Namun sipir pada akhirnya mengetahui bahwa ada seorang narapidana yang ingin kabur, namun belum tahu itu siapa. Semua narapidana ditanyai, termasuk Ivan, namun Ivan memilih tidak menjawab. Makar merasa sudah diselamatkan oleh Ivan. Suatu malam, Makar mendatangi tempat tidur Ivan dan meminta maaf. Makar merasa sangat bersalah dan sangat tidak tenang. Ivan tadinya tak mau memaafkan Makar karena apalah artinya maaf dibandingkan dengan dua puluh enam tahun mendeka di penjara untuk perbuatan yang tak pernah dilakukan. Namun pada akhirnya Ivan memaafkan Makar, dan saat itulah dia merasakan kedamaian.

Seperti yang saya katakan, kisah ini punya banyak ceruk dan celah kaya makna namun sekarang saya hanya ingin berbagi tentang melepaskan beban. Melepaskan beban? Ya. Anda dan saya sebenarnya sedang memanggul beban tak kasat mata yang sungguh dalam kondisi tertentu menjadi sangat memberatkan. Pernah merasa seperti itu? Saya sering merasa seperti itu. Masih agak sulit dibayangkan? Baiklah, apakah Anda menyaksikan iklan salah satu biskuit terkenal yang diawali huruf J? dalam iklan tersebut digambarkan seorang ibu rumah tangga yang memiliki segudang aktivitas dan dipundaknya ada beban tak kasat mata yaitu: membersihkan kulkas (langsung ada gambar kulkas jatuh menimpa pundaknya), membaca buku, membersihkan rumah karena mertua datang, mengantar dan menjemput anak sekolah, dan semua beban itu mengikuti dia selama dia berjalan dan menyeberang. Nah, kadangkala saya dan Anda seperti itu. Walaupun nampaknya senyam-senyum dan sedang mengetik atau membaca sebenarnya di pundak saya dan Anda ada banyak agenda, tugas, dan masalah. Rupa dan bobot beban bisa berbeda namun setiap kita selama masih hidup pasti punya beban di pundak masing-masing. Seperti tokoh Ivan yang memanggul beban kemarahan dan kesedihan karena seolah dunia tidak adil, dia tak bersalah namun harus mendekam di penjara selama 26 tahun untuk menanggung kesalahan orang lain. Beban ini memang tak kasat mata tapi sungguh menyesakkan hati. Dan Makar, dia juga menanggung beban rasa bersalah yang entah bagaimana itu menghantui dia dan membuat dia tidak damai. Seberapa banyak dari kita yang sering merasakan hal yang dialami oleh dua orang tokoh dalam cerita tersebut?

Suatu ketika di sebuah ruang kuliah, seorang dosen masuk kelas dan membawa satu gelas air putih di dalam gelas bening. Seluruh kelas menanti apa yang akan dilakukan oleh dosen tersebut dengan air di gelas bening itu. Dosen itu membaca raut penasaran dari para mahasiswanya. Dia pun memulai kelas, “Kalian lihat dan tahu apa yang sedang saya bawa.” Seluruh kelas mengangguk setuju. Lalu dosen ini sambil tetap memegang gelas berisi air itu dia berlari kecil di depan para mahasiswanya. Setelah itu dia bertanya, “apa yang terjadi dengan air di dalam gelas ini?”. Salah seorang mahasiswa menjawab, “tetap. Tidak berubah.” Lalu dosen ini memegang air di dalam gelas dan dia duduk. Sekali lagi mahasiswa itu menjawab, “tetap. Tidak ada yang berubah.” Dosen itu berkomentas, “Betul. Ia tidak berubah. Lalu apa yang dapat membuat kondisi ini berubah?” Salah seorang mahasiswi menjawab, “Buang saja airnya dan letakkan gelasnya!” Dosen itu tersenyum dan menjawab, “Kamu betul, buanglah airnya dan letakkan gelasnya! Selesai! Untuk kau bawa kemana-mana? Tokh tak ada bedanya!” Seperti itulah kemahatololan yang seringkali saya dan mungkin Anda buat. Membawa gelas beban itu kemana saja sambil mengeluhkan beratnya dan rumitnya serta betapa menekannya beban ini…tapi tak ada perubahan apapun. Saya masih memikul beban itu. Saya masih merasa jengkel. Saya masih marah. Saya masih merasa tidak nyaman…tidak damai. Jelas saja, lha wong gelas bebannya masih saya pegang dari tadi. Dan jangan dikira mudah lho untuk meletakkan beban kita. Butuh proses yang menyakitkan untuk bisa ikhlas meletakkan beban itu dan membiarkan hati kita merasa damai. Itulah yang terjadi pada Ivan dan Makar, dibutuhkan proses yang panjang untuk masing-masing bisa melepaskan bebannya dan merasakan damai.

Kadangkala dalam kondisi yang seperti itu, saya dan mungkin Anda berteriak-teriak memanggil Tuhan dan memintanya memberikan bantuan. Sepertinya saya itu sedang memanggul tas punggung berisi beban-beban yang berat dan saya menunggu tumpangan kendaraan di pinggir jalan. Lalu datang sebuah mobil besar dan nampaknya nyaman. Mobil ini minggir ke arah saya. Sopirnya menurunkan kaca spion dan mengajak saya untuk ikut serta. Saya senang dapat tumpangan gratis. Lalu saya duduk, tapi saya masih merasakan beban di pundak saya. Berat. Lalu saya mulai menggerutu dan sopir itu berkata,”mengapa tak kau letakkan beban di tasmu itu?” Astaganaga! Saya bodoh! Sudah naik mobil kok tas punggung masih dibawa! Inilah ironisnya. Ingin ditolong Tuhan agar merasa damai, sekalinya Tuhan sudah menolong kita masih melolong karena beratnya beban hidup, padahal Tuhan sudah menolong memberikan tumpangan tapi sayangnya saya dan mungkin Anda lebih suka tetap memakai tas ransel dan merasakan beratnya beban. Ironis! Lepas bebas…melepaskan beban hidup kita berarti membiarkan Tuhan melalui orang-orang di sekitar kita dan melalui berbagai peristiwa membantu kita untuk kuat dan tegar menghadapi beratnya beban hidup.

Seorang pemuda bernama Joseph Medicott Scriven menuliskan sebuah lagu yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Yesus Kawan Yang Sejati” (Kidung Jemaat 453) mengajak kita merenung bahwa kadangkala kita membawa beban-beban yang tak perlu kita letakkan di pundak sampai saya dan Anda kehilangan damai sejahtera. Biarlah melalui tulisan syair Joseph Medicott Scriven ini saya dan Anda terus diingatkan akan undangan Tuhan yang mengajak saya dan Anda untuk berani meletakkan beban-beban itu ke dalam tanganNya….

What a friend we have in Jesus all our sins and griefs to bear

Mana ada sahabat yang seperti Yesus yang menanggung segala dosa dan sedih kita.

What a privilege to carry everything to God in prayer.

Kita diberi hak istimewa untuk membawa segala sesuatu kepada Allah dalam doa.

O what peace we oftein forteit, o what needless pain we bear

O betapa kita sering kehilangan damai, o betapa kita menanggung perih yang tidak perlu terjadi.

All because we do not carry everything to God in prayer…

Semua itu gara-gara kita tidak membawa segala sesuatu kepada Allah dalam doa.

Have we trials and temptations? Is there any trouble anywhere?

Apakah kita menghadapi godaan dan pencobaan? Apakah ada suatu persoalan?

We should never be discouraged! Take it to the Lord in prayer!

Tidak perlu berkecil hati! Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa!

Can we find a friend so faithful, who will all our sorrows share?

Dapatkah kita menemukan kawan yang begitu setia, yang mau ikut merasakan kesedihan kita?

Jesus knows our every weakness, take it to the Lord in prayer.

Yesus mengetahui segala kelemahan kita, bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.

Are we weak and heavy laden, cumbered with a load of care?

Apakah kita lemah dan berbeban berat? Terganggu oleh banyaknya persoalan?

Precious Saviour, still our refuge.

Penebus Mulia, tetap perlindungan kita.

Take it to the Lord in prayer.

Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.

Do thy friend despise, forsake thee?

Apakah teman-teman melupakan dan meninggalkan mu?

Take it to the Lord in prayer.

Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.

In His arms He’ll take and shields thee, thou wilt find a solace there.

Di dalam pelukanNya, Ia memegang dan melindungi mu. Di situ kamu akan mendapatkan penghiburan.

Dan setelahnya kita berkata, “Ah…leganya!!!”

Yogyakarta, akhir Maret 2010

Yohana Defrita Rufikasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar