Jumat, 25 Maret 2016

Tulisan yang dikeluarkan otak saya dari laci...

Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menjelaskan kepada saya cara kerja otak menyimpan data. Dan pagi ini saya dibuat takjub oleh otak saya sendiri. Ceritanya pagi tadi saya mengirimkan pesan singkat dan sebuah lukisan yang saya buat semalam. Lalu teman ini membalas dengan lugas. Sungguh tak biasa. Sebentar, ini bukan sopan atau tak sopan. Tapi lebih kepada biasa atau tak biasa. Dan ini tak biasa. Tentu ada yang tersentak dalam hati, tapi saya paham situasi dia bagaimana. 

Lalu otak saya ini membuat kejutan. Dikeluarkannya dari laci laci yang banyak itu ingatan tentang apa yang saya baca beberapa hari lalu. Tentang mengasihi dengan bebas, penuh dan tanpa ragu. Tulisan itu memang sempat saya salin makanya tak heran otak saya paham betul itu tulisan di simpan di laci yang mana. Maklum isi pikiran saya ruwet maka jika otak saya salah simpan, jangan salahkan dia, salahkan keruwetan data dan arus informasi di dalam ruangan otak saya.

Apa yang dilakukan otak saya menolong saya untuk tidak reaktif pagi itu. Saya bisa saja langsung kecewa dan bermuram durja sepanjang hari hanya karena balasan tak sesuai harapan. Oke, sepertinya ada yang harus saya koreksi. Iya, ekspestasi saya yang tak bertemu dengan kenyataan sehingga saya kecewa. Tapi kekecewaan adalah mekanisme alamiah dari diri ini ketika menghadapi sesuatu yang tak sesuai angan-angan. Namun kekecewaan menjadi penyakit ketika ia bercokol terlalu lama.

Tulisan yang disodorkan otak saya dari laci entah nomer berapa itu menolong saya tetap waras dan mencerna dengan sudut pandang yang baru. Tulisan itu bicara soal apa sih? tulisan itu bicara soal mengasihi dengan bebas, penuh dan tanpa ragu. Dan implikasinya adalah tndakan mengasihi itu selalu berkelindan dengan komitmen. Tapi komitmen seringkali disalah artikan menjadi "menguasai", "membatasi", bahkan "mengontrol". Padahal tidak begitu. Komitmen dalam mengasihi orang lain berarti kita mengasihi orang lain dengan seluruh keberadaan diri kita. 

Kita berkomitmen mengasihi orang lain karena Tuhan Yesus sudah lebih dulu mengasihi dengan utuh, penuh, dan tanpa ragu kepada kita. Satu tindakan cinta-Nya adalah ketika Ia menyerahkan diri-Nya disalib. Kurang berkomitmen apa coba??

Orang yang mengasihi dengan utuh, penuh, tanpa ragu akan bebas dan ringan, artinya sekalipun orang yang kepadanya kita menaruh kasih, tak membalas kasih kita...pendek cerita seperti yang saya alami, maka tak akan ada rasa sakit yang berkepanjangan. Sebab kasih yang utuh, penuh, tanpa ragu membuat orang jauh dari pikiran penuh perhitungan tentang resiko dan aneka konsekuensi yang akan dialami jika orang lain tak mengasihi seperti yang kita harapkan.

apakah saya masuk kategori berhasil?? tentu tidak bisa dibilang begitu sepenuhnya. Saya masih jatuh bangun. Tapi setiap kali godaan untuk protes,"Idiiihh kok gitu sih? udah dibaikin juga...udah disapa jugakkkk kok balasannya gitu amat!!!"...maka saya ingat bahwa sebagai orang yang sudah dikasihi dengan utuh penuh dan tanpa ragu oleh Yesus saya harus belajar mengasihi dengan bebas dan tanpa ragu sehingga langkah kaki saya ringan.

Jika ada orang yang tak mengasihi saya, atau membalas perlakuan baik saya dengan sesuatu yang menyakitkan, yang perlu saya lakukan hanyalah tetap mengasihinya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar