Minggu, 13 Maret 2016

Matahari dan Nenek itu Bintangku!

Otak kita dianugerahi kemampuan yang luar biasa untuk menyimpan adegan-adegan tertentu dalam pita seluloid. Yang sewaktu-waktu bisa kita tengok lagi. Tetapi nanti ketika kita mati, saat adegan-adegan telah terekam dalam pita seluloid dan dekor telah dilepas dan dibakar, kita adalah arwah dalam ingatan keturunan kita.

Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, dan televise tak sanggup menyihirku barang sekejap, maka Nenek adalah ia yang setia bercerita setiap malam. Selalu ada saja cerita yang ia perdengarkan di telingaku. Dan cerita-ceritanya mengisi mata bundarku yang mengerjap-ngerjap ketika cerita itu tak lagi terkejar oleh kemampuan otakku. Cerita-ceritanya mulai dari wayang, sampai yang aku yakin, itu ia ciptakan sendiri. Tapi bagiku tak ada beda, semua sama menyenangkannya. Semua sama mendebarkannya di hati ku yang kecil.

Ia tak selalu bercerita tentang yang indah-indah, ia juga bercerita tentang mahluk-mahluk yang belum bisa mencapai kesempurnaan. Mahluk-mahluk yang kata Nenek karena perilakunya maka ia tak bisa sempurna, utuh seperti manusia atau para dewata. Sekarang ketika aku sudah dewasa, aku sering bertanya-tanya ketika berjumpa dengan sesame manusia yang yang tingkah lakunya belum "utuh", belum "sempurna". Lalu mahluk apakah gerangan ini? hahahaha :D Nenek memang sudah beragama Kristen, tetapi agama impor itu tak sanggup menggeser keyakinannya akan keseimbangan semesta dalam "jagad alit" dan "jagad gede". Sesuatu yang seketika bisa didakwah bidah.

Maka dari sekian banyak cerita yang terekam dalam pita seluloid ku, ada satu cerita yang terekam dalam pita seluloid ku, ada satu cerita yang aku ingat. Mungkin karena tanggal 9 Maret yang lalu bertepatan dengan Gerhana Matahari Total. Entahlah, tapi sore ini sambal memandang rintik hujan dari jendela kamar, tiba-tiba aku ingat sosoknya. Nenek yang dating dengan banyak cerita yang membawaku menyeberangi, menerobos, bahkan terbang ke negeri-negeri yang jauh di luar batas berpikir mu.

Nenek pernah bercerita tentang seorang buto yang menelan matahari karena ingin menguasai semesta. Namun karena keserakahannya justru membuatnya tak benar-benar bisa menelan bulat-bulat matahari. Sebab terlampau panas di mulut si buto serakah itu. Ya, Nenek sedang bercerita tentang gerhana matahari total.Cerita yang dulu aku percaya keabsahannya.

Bertahun-tahun kemudian ketika ilmu pengetahuan menginvansi otakku dan nyaris memadamkan imajinasiku, aku tahu cerita itu hanya karangannya demi menjawab keingintahuan ku soal matahari yang tetiba gelap dan siang menjadi seperti malam. Tak ia gunakan itu istilah-istilah ilmiah. Tak repot-repot ia paksa cucunya yang bawel ini menggunakan kaca mata. Ia sediakan baskom berisi air dan ia tahbiskan cucu bungsunya ini menjadi saksi pertarungan buta serakah dan matahari.

Aih, aih bangga bukan buatan hati yang masih kecil dan lugu ini. Seolah-olah saat itu aku adalah satu-satunya saksi peristiwa maha genting tentang kebenaran yang pasti menang melawan kejahatan. Lalu setelahya, Nenek menatap ke mata bulat cucunya ini dan menjelaskan bahwa sehebat apapu kejahatan berkuasa, pasti akan kalah juga dengan sinar kebenaran. Ia berpesan agar cucunya yang bermata bulat  ini menjadi matahari yang tak takut menunjukkan sinarnya!

Sejak itu ku rasa aku jatuh cinta pada Matahari. Seolah aku sudah akrab dan ditakdirkan bersama sejak lama. Mungkin karena sebelum aku mengenal huruf, Nenek sudah mengenalkan aku pada Matahari. Maka sekarang setiap pagi Matahari muncul entah sedang berselendang kabut tipis atau telanjang bulat, aku selalu terpesona! Aku selalu terpikat!

Dan ketika setiap pagi berangkat kerja aku berjalan melewati deretan pohon besar yang tua, sinar Matahari menemani langkahku. Diam-diam aku merasa hangat. Seolah Nenek sedang mendekapku.

Bagimu, mungkin matahari hanyalah satu dari berates miliar bintang di galaksi ini, dan ia bahkan bukan yang terbesar. Tapi bagiku, ia adalah Bintangku!



Bandung, ditulis tgl 8 Maret 2016
hujan sore ini lebat sekali


Tidak ada komentar:

Posting Komentar