Minggu, 24 April 2016

LIGHT UP MY LIFE

  Saat kita dipaksa keluar dari apa yang sudah membuat kita nyaman, apa yang akan kita lakukan? Hal ini yang terjadi pada Mowgli, anak kecil yang tinggal di hutan dan dibesarkan oleh sekelompo serigala. Mowgli yang berkawan dengan seekor panther bernama Bagheera sengaja diberikan ke kawanan serigala dan diasuh oleh ibu serigala bernama Rakhsa. Tetapi karena seekor harimau bernama Shere Khan yang mati-matian mau membunuh Mowgli, karena dendam terhadap ayah Mowgli, maka Mowgli harus keluar dari kawanan serigala.   Mowgli mengalah demi kebaikan bersaama. Ia pergi menjauh dan dalam perjalanannya, ia bertemu banyak teman dan petualangan baru, termasuk menemukan dirinya sendiri. Ia memang dibesarkan oleh seekor serigala tetapi ia manusia. Maka ia harus hidup dengan cara manusia. Manusia yang mengusahakan kehidupan harmonis di hutan. Inilah yang Mowgli pelajari dari kawan barunya beruang madu bernama Baalu.   Keluar dari “zona nyaman” memang kadang-kadang atau seringkali membuat kita frustasi. Keluar dari “zona nyaman” juga berarti membuka diri terhadap pengetahuan yang baru, pengalaman yang baru, teman-teman baru dan petualangan baru. Seperti yang Mowgli alami. Keluar dari “zona nyaman” kawanan serigala, ia justru memperluas kapasitas hati dan kemampuannya. Mowgli yang keluar dari “zona nyaman” juga menyalakan “cahaya” pencerahan bagi Baalu yang melawan ketakutannya pada ketinggian, mencelikkan mata Bagheera bahwa Mowgli bisa bertahan di hutan dengan caranya sebagai seorang manusia bukan serigala. Lihatlah, betapa satu langkah yang diambil oleh seseorang untuk keluar dari “zona nyaman”nya membawa dampak bagi sekitar.   Beberapa hari yang lalu di lini masa seorang kawan di Taiwan, ada foto-foto tentang pohon-pohon besar yang dipindahkan (bukan ditebang). Saya memang tak bertanya detail mengapa dan hendak ditanam dimanakah pohon-pohon itu. Tetapi sembari menikmati kopi saya pagi itu, pencerahan itu datang. Seolah-olah pohon-pohon besar yang saya amati itu bicara, “Selama kamu masih hidup, bergeraklah.” Bukankah itu pula yang ditunjukkan oleh para pelopor bangsa ini? Mereka adalah orang-orang yang keluar dari “zona”nyaman” dan bergerak. Seperti yang juga dilakukan oleh Kartini. Acap ia diperbandingkan dengan para pejuang perempuan lainnya. Tetapi mengapa ia tetap diagungkan dan bahkan mungkin Ibu Ngasirah tak menduga jika ratusan tahun kemudian foto putrinya terpampang di mesin pencari google. Sebab ia keluar dari “zona nyaman” dengan menyalakan pelita.   Ia membawa pelita lewat surat-suratnya yang kemudian termashur itu. Surat-surat yang mencerimkan rasa gelisah dan protes seorang perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokat Jawa di akhir abad ke-19. “Zona nyaman” yang didobrak oleh Kartini adalah kerangkeng kolonialisme yang timpang dan menekan. Observasi dan komentar-komentarnya dalam surat-surat itu membawa terang bagi mata dunia Barat waktu itu tentang apa yang terjadi di Indonesia. Walaupun cita-cita pribadinya tak sampai dan ia harus “jinak” pula pada tata tertib pada waktu itu, umurnya tak panjang, tapi pelita itu sudah dinyalakan. Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena upayanya (yang mungkin dinilai gagal) untuk menyalakan pelita. Sehingga sampai kini masih banyak orang mempertanyakan “zona nyaman” dan bahkan keluar dari “zona nyaman” yang kadangkala sudah terlampau banal sehingga mematikan daya kritis yang penting cari aman.   Pendidikan dalam akar yang paling mendasarnya adalah “membawa keluar” seseorang dari kegelapan pikir menuju akal budi dan laku yang terang. Upaya membawa keluar adalah upaya keluar dari “zona nyaman”. Persoalannya adalah apakah pendidikan sudah benar-benar mendorong setiap orang untuk punya keberanian keluar dari “zona nyaman”nya ketika di kelas-kelas yang terjadi adalah bukan mengajak siswa-siswi berpikir kritis tetapi sekedar transfer ilmu semata? Setting yang paling sering saya jumpai di kelas-kelas adalah “haram” hukumnya mendebat pernyataan guru dan buku cetak. Dan itu pula yang pernah saya alami dulu. Berkali-kali saya harus belajar dari selasar hanya karena saya berdebat dengan guru sejarah saya tentang peristiwa tahun 1965. Bagi dia siswi SMP cukup tahu apa yang tersaji di buku cetak. Pendidikan dalam jiwanya adalah menyalakan kegelisahan setiap orang untuk bertanya, mencari, mengobservasi, dan berdiskusi lalu berbuat sesuatu.   Setting demikian juga nampak bukan hanya di ruang-ruang kelas, tetapi di rumah juga. Berapa banyak keluarga yang menyediakan waktu berdiskusi dan bercengkrama? Menerbitkan rasa ingin tahu anak? Memfasilitasi anak-anak untuk terus berpikiran kritis? Bagaimana dengan di gereja? Berapa banyak orang yang merasa malu bertanya, malu berdiskusi ketika pendeta atau pemimpin membuka kesempatan? Pendidikan pada akarnya adalah menyalakan keberanian setiap orang untuk berani bertanya, berani mengagumi, berani menyampaikan isi pikiran dan hati. Itu semua adalah tindakan keluar dari “zona nyaman”. Orang yang tak mau keluar dari “zona nyaman” nya akan seperti Shere Khan yang mati-matian menolak kemungkinan bahwa manusia seperti Mowgli tak akan melukai hutan-rumahnya. Orang yang tak mau keluar dari “zona nyaman” akan terus-menerus hidup dalam kungkungan kegelapan pikir. Sehingga alih-alih mengobservasi dengan obyektif, ia akan bersikukuh pada kebenarannya sendiri dan “nyinyir” pada apapun yang dilakukan oleh orang lain.      Untuk membentuk generasi yang berani keluar dari “zona nyaman”, saya dan Anda punya Pekerjaan Rumah yang besar dan sayangnya tak bisa hanya dikerjakan oleh sekolah atau guru semata. Tetapi semua elemen masyarakat punya peranan penting untuk membentuk generasi yang berani keluar dari “zona nyaman” dan bukan sekedar menyalakan pelita bagi dirinya sendiri, sebab seseorang yang menyalakan pelita bagi dirinya sendiri tak akan bisa menyembunyikannya dari orang lain.   Maka agak miris ketika hari Kartini dirayakan dengan berpakaian adat seperti kebaya, sebab menyalakan pelita adalah upaya membawa orang lain keluar dari zona nyaman kegelapannya menuju terang pengertian. Dan agak miris ketika hari Pendidikan Nasional hanya dirayakan dengan seremonial formalitas belaka. Sebab hakikat pendidikan adalah laku keseharian yang menjadikan diri sendiri sebagai pelaku pendidikan yang mendorong setiap orang untuk berani keluar dari zona nyamannya. Sebab hakikat pendidikan adalah laku keseharian yang menjadikan diri sendiri pembawa pelita yang menerangi sekitar. Selamat keluar dari “zona nyaman”, selamat menyalakan pelita! Yohana Defrita R.,S.Si-Teol.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar