Jumat, 25 Maret 2016

PATIBULUM KELEMAHAN, PATIBULUM HARAPAN

Sore ini aku kembali membaca tulisan Trias Kuncahyono tentang tragedi berdarah di Yerusalem. Agak tak tepat memang momentnya karena ketika aku membaca ini baru memasuki pekan suci. Yesus baru masuk ke Yerusalem dan disambut tempik sorai bak Raja Diraja. Tapi aku sudah membaca sampai adegan penyaliban. Walaupun sebetulnya aku sudah mencermati dari sejarah dan situasi politik keagamaannya sebelum tiba di adegan berdarah-darah ini.

Tapi bacaan ini perlu aku baca sekali lagi untuk meredakan sakit kepalaku dua hari ini. Aneh ya, tapi begitulah, bacaan berbobot khasiatnya jauh lebih efektif daripada aspirin dan kawan-kawannya.

Mataku tertumbuk pada perenungan terhadap lukisan karya Sieger Koeder yang melukis dua lelaki yang satu Yesus dan yang satu lagi Simon. Iya, Simon , seorang lelaki dari Kirene, sebuah kota di Afrika Utara yang waktu itu menjadi pusat pemukiman orang Yahudi. Agaknya Simon datang ke Yerusalem untuk merayakan Paskah di Bait Allah.

Simon dan Yesus, kedua lelaki itu memanggul sebatang palang kayu kasar dan berat. Dengan tangan kirinya, Yesus memegang patibulum itu, sementara tangan kanannya merangkul pinggang Simon. Sebaliknya, dengan tangan kanannya, Simon memegang patibulum dan tangan kirinya memegang pinggang Yesus.

Simon dan Yesus tak saling kenal. Simon mau menolong Yesus bukan karena kerelaan tetapi paksaan sang Exacator Moris. Namun setelah ia mau memanggul patibulum itu hilanglah penghalang yang memisahkan dia dari Yesus.

Keduanya menjadi semakin dekat, saling memeluk erat, tak nampak mereka menyerah dalam menanggung beban penderitaan. Pipi mereka berhimpitan. Sedemikan eratnya sampai wajah mereka tak dapat lagi dibedakan.

Penderitaan membuat mereka berdua menjadi saudara kembar. Sesungguhnya Simon adalah orang yang memberikan pertolongan dan Yesus adalah orang yang membutuhkan pertolongan. Namun, lukisan Sieger Koeder memberi kesan bahwa tak tampak lagi siapa yang memberi dan siapa yang diberi.

Keduanya saling menerima dan memberi. Simon memberikan kekuatannya dan menerima bahwa penderitaan itu mempersatukan bahkan menghilangkan keasingan. Yesus memberikan ketidakberdayaan-Nya dan menerima bahwa pertolongan dalam penderitaan itu menguatkan.

Dalam penderitaan itu tak ada yang diuntungkan atau menguntungkan. Semuanya kalah. Tapi justru karena itu semuanya sama-sama berharap akan pembebasan dan kebahagiaan. Maka dalam penderitaan, Tuhan pun bukan berlaku sebagai yang mencari dan manusia sebagai yang menunggu. Dalam penderitaan, Tuhan dan manusia sama-sama berjalan dan saling menuju untuk bertemu. Pertemuan inilah yang membuat manusia berani menghadapi penderitaan. Di sanalah manusia menemukan peneguhan sejati bahwa penderitaan bukanlah akhir dan kematian tetapi jalan menuju kebahagiaan dan kehidupan.

Perjumpaan Yesus dengan Simon mengajarkan aku bahwa dalam penderitaanlah manusia dapat saling berbagi. Berbagi kelemahan, ketakutan sekaligus berbagi harapan.



Bandung, 20 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar