Kamis, 04 April 2013

"Siapa mau dan senang jadi pelayan?"


Apa yang akan Anda lakukan jika Anda tahu bahwa 12 jam lagi Anda akan meninggal dunia? Apakah Anda akan tetap tinggal di dalam gedung gereja ini dan berdoa? Apakah Anda akan bergegas pulang bahkan sebelum kebaktian ini selesai dan mulai menelpon orang-orang terdekat dan meminta maaf kepada mereka? Atau anda akan segera pulang, duduk tenang dan mulai menulis pesan-pesan terakhir lalu berbaring di tempat tidur? Pertanyaan sejenis ini pernah ditanyakan kepada saya sewaktu saya mengikuti wawancara masuk Fakultas Theologia UKDW tahun 2005. Anda pasti penasaran apa jawaban saya waktu itu? Hehehe…want to know aja.
            Sekarang, apa yang Yesus lakukan 12 jam sebelum Ia meninggal di salib? Apakah Ia duduk dan menulis pesan-pesan terakhir? Tidak. Ia berjongkok di bawah kaki para murid-Nya dan mencuci kaki mereka. Suatu kegiatan yang saya yakin tidak akan kita lakukan jika kita tahu 12 jam lagi kita akan meninggal. Siapa yang sempat berpikir mencuci kaki orang lain kalau 12 jam lagi kita sudah di Rumah Bapa berpisah dengan sanak saudara dan teman. Namun itulah yang Yesus lalukan. Mencuci kaki para muridNya.
            Setiap tahun melalui bacaan leksionari kita akan selalu berjumpa dengan kisah Yesus mencuci kaki para murid-Nya. Jadi jelas saja kisah ini tidak lagi asing di telinga kita. Namun mari kita sejenak mencermati bacaan yang sudah akrab dengan kita ini lebih seksama…
            Plato, seorang filsuf pernah bertanya, “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” Rupanya Plato lebih jujur daripada saya dan Anda. Sebab sering kali kita berkata bahwa kita mau melayani orang lain, namun dalam prakteknya kita bersikap, “Eh, enak aja nyuruh-nyuruh, emang aku jongosmu dia?” Ketika saya melemparkan pertanyaan serupa di sebuah media sosial, ya melemparkan sesuatu ke media sosial itu berarti kita sedang memberi umpan pada lele-lele yang kelaparan. Saya bertanya, “siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” Tak dinyana jawaban yang masuk kurang lebih begini, “Saya, saya mau melayani tapi kalau yang dilayani baik, ndak jahat, aktif, kreatif, cerdas, berbakat…” dan makin panjang daftarnya. Tuh kan, baru saja dibicarakan, memang Plato lebih jujur daripada kita. Sebab melayani itu mengandung banyak segi dan resiko. Melayani itu bukan sekedar bersibuk di sana dan di sini, atau sekedar memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan sesama. Jiwa Kristus adalah melayani dan menghamba. Itu pula jiwa kristiani para pengikut-Nya. Kalau Plato bertanya, “Siapa yang mau menjadi pelayan?” Maka Yesus menjawab, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
            Perkataan Yesus itu bukan hanya OMDO (omong doang) tetapi diwujudnyatakan dalam tindakan, salah satunya mencuci kaki para muridNya. Orang yang membaca atau mendengar cerita tentang Tuhan Yesus yang mencuci kaki para murid-Nya bisa membayangkan skenario kejadiannya. Menurut skenario, apa sebab Yesus membasuh kaki para murid? Pertama, karena di antara para murid tidak ada yang mau bersedia melakukannya. Penyebab yang lain adalah karena di ruangan itu tidak ada hamba atau pelayan. Namun Injil Yohanes mencatat yang lain. Mari kita simak jalan ceritanya…
            Ruangan yang dipakai oleh Yesus dan para murid agaknya bukan rumah tinggal, sehingga di situ tidak ada pelayan. Mereka meminjam ruangan itu dari seseorang yang tidak dikenal dan mereka harus menyiapkan sendiri segala kebutuhan. Begitulah Yesus dan murid-muridNya memasuki ruangan tanpa disambut oleh pelayan yang biasanya membuka sandal para tamu dan mencuci kaki para tamu. Ini adalah adat istiadat dalam budaya Yahudi pada zaman itu, mengingat orang waktu itu tidak pakai sepatu dan jalanan tidak beraspal sehingga kaki kotor karena debu jalanan.
            Menurut catatan pengarang Injil yang lain, suasana di sekitar meja makan malam itu terasa kaku dan tegang. Injil Lukas mencatat demikian, “Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka” (Luk. 22:24). Yesus menentramkan suasana itu dengan berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk. 22:25-26). Lalu Yesus melanjutkan, “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
            Pada masa itu ada kelaziman bahwa di samping kanan seorang pemimpin adalah orang terhormat kepercayaan si pemimpin. Kemudian di sebelah kiri adalah orang terhormat kepercayaan kedua si pemimpin, lalu orang-orang “biasa”. Agaknya para murid sedang ribut soal siapa yang duduk di samping kanan Yesus karena itu berarti ia yang terbesar, terhormat dan orang kepercayaan Yesus. Sehingga persaingan pun jauh dari kata reda dan usai. Maklum bapak, ibu, ini menyangkut gengsi. Siapa sih yang mau dianggap lebih rendah? Bodoh? Lebih kecil? Atau biasa-biasa saja? Tiap orang itu mau dianggap sebagai yang lebih tinggi, lebih besar, lebih terhormat, lebih pandai, lebih kaya dari kenyataan sesungguhnya.
            Karena itu bisa dimengerti bahwa sampai makan malam sudah dimulai, belum juga ada seorang pun di antara keduabelas murid yang mau mencuci kaki para hadirin, karena kalau sampai ada orang nekat yang melakukannya, ahaa…dia akan langsung dianggap sebagai murid yang paling rendah. Bukankah itu tugas pelayan, padahal mereka kan bukan pelayan, mereka tamu.
            Di tengah ketegangan itulah, terjadilah sesuatu yang membuat para murid terkejut, kikuk dan malu. Tanpa mengucapkan kata-kata, Yesus meninggalkan meja, melepaskan jubah-Nya, mengambil sehelai kain, mengikatkan kain itu pada pinggang-Nya, mengambil sebuah baskom, menuangkan air ke baskom itu, berjongkok di depan para murid, mencuci kaki mereka dan mengeringkannya dengan kain yang terikat pada pinggan-Nya.
            Jelas, apa yang diperbuat oleh Yesus merupakan wujud dari apa yang diucapkannya. Supaya para murid-Nya ini lebih “mudeng”, Yesus bertanya, “Mengertikah kamu apa yang telah Ku perbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu: sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Ku perbuat kepadamu” (Yoh. 13:12-15).
            Kembali ke pertanyaan di awal kotbah ini: menurut Yohanes apa sebabnya Yesus mencuci kaki para murid?” Yohanes 13:3-4 mencatat, “Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus menanggalakan jubah-Nya…” Pertanyaan kita telah terjawab kalau kita melihat naskah Yunaninya yang secara harafiah berbunyi, “karena mengetahui bahwa segala perkara diberikan kepada-Nya oleh Bapa ke dalam tangan-Nya dan bahwa dari Allah Ia berasal dan kepada Allah pergi, Ia berdiri dari santapan dan melepaskan jubah-Nya…”
            Perhatikan bahwa ayat 3 berawal dengan “karena mengetahui”. Perhatikan pula bahwa kedua ayat itu tidak terputus titik melainkan koma. Jadi menurut Yohanes, Yesus meninggalkan meja karena Ia mengetahui bahwa segala kekuasaan diberikan Allah kepada-Nya dan karena Ia mengetahui bahwa Ia datang dari Allah dan kembali ke Allah. Dengan kata lain, karena Yesus mengetahui bahwa Ia punya KEKUASAAN yang begitu besar dan KEDUDUKAN yang begitu tinggi maka Ia melayani para murid-Nya.
            Itulah penyebab utama mengapa Yesus merendahkan diri dan berlaku sebagai pelayan. Itulah cara Yesus menggunakan kekuasaan dan kedudukannya. Kekuasaan dan kedudukan tidak Ia gunakan untuk menekan orang dan menganiaya orang namun untuk MELAYANI KEPENTINGAN MEREKA.
            Itulah paradoks yang terjadi pada malam itu. Para murid merasa bahwa kedudukan mereka terlalu tinggi untuk menggantikan tugas pelayan mencuci kaki. Padahal Yesus yang berkedudukan jauh lebih tinggi, bersedia melakukan tugas itu. Para murid menggunakan kedudukannya untuk meninggikan diri masing-masing dan menekan sesama mereka, padahal Yesus menggunakan kedudukanNya untuk MELAYANI KEPENTINGAN ORANG LAIN.
Di tengah-tengah kecenderungan manusia untuk dihormati, dilayani, dikasihi dan diperhatikan, sikap hidup yang ditunjukkan oleh Yesus kepada para murid-Nya ini menjadi sesuatu yang selalu menantang untuk dilakukan. Bukan hanya tindakan fisiknya yaitu jongkok dan mencuci kaki orang lain namun makna di balik itu. Sebab seperti ungkapan kejujuran Plato, “siapa sih yang mau dan senang jadi pelayan?” Nyaris sedikit sekali orang yang akan mengacungkan jari telunjuk dan menjawab “saya mau” tanpa embel-embel syarat dan ketentuan yang berlaku.
Almarhum Pdt. Eka Darmaputera pernah mengatakan demikian, “Melayani di mata dunia sama sekali bukan pekerjaan bergengsi…oleh karena itu melakukannya membutuhkan KERENDAHAN HATI dan PENYANGKALAN DIRI. Kesediaan berjongkok di bawah kaki orang lain dan membasuh kakinya, bukan menjilat kakinya. Pernyataan Alm. Pdt. Eka Darmaputera ini semakin menegaskan bahwa tindakan MENGHAMBA DAN MELAYANI SESAMA itu hanya dimungkinkan jika saya dan Anda belajar rendah hati dan menyangkal diri. Menjadi orang yang rendah hati itu tidak mudah, sakit rasanya. Apalagi kalau kita sudah terlanjur punya kedudukan, kuasa, dan harta serta kompetensi yang baik, maka biasanya makin sulit untuk rendah hati karena merasa sudah punya segala. Lalu bagaimana dengan penyangkalan diri? Apa itu artinya kita tidak mengakui diri kita sendiri? Atau artinya kita tidak mengakui bahwa kita menderita, sakit, sulit ketika menghamba untuk melayani sesama? Bukan, bukan demikian artinya. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar akan kekuasaan, kedudukan, kekayaan dan kompetensi yang dimiliki NAMUN MEMILIH TIDAK MENGGUNAKANNYA. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar sepenuh bahwa ketika kita menghamba untuk melayani sesama ada pedih perih dan sedih yang dirasakan, kita tidak mengelak, tapi kita tidak juga terpancang. Rendah hati itu dimungkinkan ketika kita sanggup menyangkal diri. Itulah yang dilakukan oleh Yesus ketika mencuci kaki para murid-Nya.
Tetapi kenyataan tidak sesederhana perkataan. Dalam kehidupan sesehari ditambah dengan kecenderungan manusia untuk dihormati, dikasihi, dilayani, diperhatikan maka makin jauh panggang dari api, alias makin jauh kita menjadi hamba yang melayani sesama. Paling banter kita menjadi hamba yang melayani sesama kalau sesama itu MENYENANGKAN, TIDAK REWEL DAN BAWEL, KREATIF, AKTIF, CERDAS, BAIK HATI, TIDAK SUKA BIKIN PERKARA. Tetapi yang diminta oleh Yesus ketika mencuci kaki murid-murid-Nya dan memberikan perintah baru bukan itu! Yesus tidak mencuci para murid dan membiarkan kaki Yudas tidak dicuci karena tahu Yudas akan menghianati Dia. Yesus juga tidak melewatkan kaki Petrus walaupun tahu dia juga akan menyangkali Yesus 3 kali. Mau murid baik atau pengkhianat, semua dicuci kaki-Nya oleh Yesus. Tidak ada yang dilewatkan! Juga Yesus tidak memilih kaki siapa yang tidak terlalu dekil dan tidak terlalu bau untuk dicuci. Semua dicuci. Titik!
Dengan demikian makin jelas, bahwa ketika kita berjalan di belakang Yesus sebagai pengikut-pengikutNya, maka kita sedang berjalan melawan arus. Kalau orang pada umumnya yang baik yang dilayani, yang berduit yang dilayani, yang berkedudukan yang dilayani, maka mengikut Yesus semua itu dijungkir balikkan.
·     Kita melayani bukan hanya mereka yang baik, yang jahat pun dilayani. Sekalipun sering kita berpikir, “Ah kalau kita baik kepadanya, nanti dia mengambil keuntungan dari saya.” Ya memang tidak ada yang bisa mencegah resiko semacam itu terjadi. Buktinya Yesus baik kepada Yudas, mencuci kakinya, namun Ia mengkhianatiNya sekalipun jauh hari nanti ia insyaf setelah sekian waktu khilaf.
·     Kita melayani mereka yang secara status sosial lebih rendah dari kita. Bukan hanya sibuk memberi ini dan itu namun bagaimana kita mendorong mereka dan mendukung mereka sehingga mereka bisa berusaha secara mandiri. Tidak hanya memberi ikan, tetapi beri pancing dan kalau perlu sediakan kolam, biarkan mereka berusaha.
·     Kita melayani mereka yang selama ini tersisihkan karena pernah melakukan suatu aib di masa lalu. Tidak lagi sibuk memberi stempel kepada mereka sebagai “orang yang punya aib”, “orang berdosa”. Stempel seperti itu tidak akan menolong orang lain berubah, maka jangan jauhi, tetapi rangkul dan ajak bersekutu.
·     Kita melayani mereka yang selama ini mengalami ketidakadilan. Gereja dipanggil bukan hanya untuk mengurusi organisasinya namun juga membela ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, sekalipun resikonya besar. Itu panggilan gereja, berada dan berdiri bersama-sama dengan mereka yang teraniaya karena Allah pun hadir di dunia berada bersama-sama dengan manusia yang menderita dan teraniaya.
            Selalu ada resiko yang akan kita hadapi ketika kita berupaya hidup menghamba untuk melayani sesama. Selalu ada godaan yang muncul ketika kita berupaya melayani sesama sepenuh hati. Banyak kisah dan bahkan potret sebagian pemimpin kita atau mungkin kita sendiri yang menceritakan bahwa ketika resiko dan godaan kian besar, maka biasanya orang akan berjongkok di bawah kaki orang lain dan menjilatnya. Bukan dalam arti harafiah bapak, ibu. Tetapi maksudnya adalah, alih-alih berteguh hati hidup sebagai hamba untuk melayani sesama, yang terjadi adalah kita menjilat, cari muka. Ini bukan melayani! Ini cari aman! Jadi jangan sekali-kali menganggap tindakan tadi sebagai tindakan hamba yang melayani yaitu Asal Bapak Senang...itu tindakan cari aman. Sebab MENGHAMBA UNTUK MELAYANI SESAMA ITU MENEMPATKAN KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DI BAWAH KEPENTINGAN ORANG LAIN DAN TUHAN…bukan mementingkan diri sendiri…
            Pelbagai kata sudah digunakan oleh gereja abad pertama untuk menjelaskan makna menghamba, melayani, dan mengabdi kepada Tuhan dan kepada sesama.Pelbagai tafsiran sudah dikemukakan. Namun di balik semua penjelasan indah akan makna mendalam tentang hidup sebagai hamba yang melayani sesama rupa-rupanya dapat pula kita jumpai tatkala kita memperhatikan lilin…
            Untuk memberi terang sebatang lilin harus berkorban. Ia meleleh. Ia menjadi pendek. Seandainya lilin itu tidak mau meleleh dan tidak sudi menjadi pendek, maka ia tidak bisa bersinar. Lilin yang memenuhi perannya adalah lilin yang rela meleleh. Sebatang lilin hidup bukan untuk dirinya sendiri. Ia memberi diri. Menghamba untuk melayani sesama adalah memberi diri….
            Sinarnya memang kalah dari lampu petromaks atau lampu emergensi. Cahanya kecil saja, tetapi ia bersinar dengan setia. Diam-diam tanpa gembar-gembor, lilin itu sudah memenuhi perannya dengan setia, menjadi terang dan memberi terang. Mungkin pelayanan kita biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Tidak luar biasa. Tidak hebat. Bahkan mungkin kita tidak punya kedudukan. Tetapi biarlah kita tetap seperti lilin yang menjadi terang dan memberi terang. Menghamba untuk melayani sesama bukan berarti sibuk sana sini, tetapi hidup seperti lilin yang sederhana, tidak gembar-gembor, tapi nyata dampaknya!
Dan lilin itu terus bersinar sampai sumbu penghabisan. Hidup dan pelayanan kita juga pada suatu waktu akan berakhir. Ada waktu menyala, ada waktu padam.  Tetapi, selama kita masih bisa bersinar….bersinarlah…Menjadi terang sebisanya. Menjadi cahaya seadanya. Selama Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk menghamba demi melayani sesama…kita terus melayani! Terus bersinar sampai sumbu penghabisan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar