Selasa, 09 April 2013

Catatan tentang pilihan yang saya buat (bagian 2-habis) “Pertemuan yang membosankan”



                Menjadi berbeda memang seringkali mengundang tanya dan serempak menuai protes. Begitu sudah hukum alam yang tidak tertulis namun berlaku dalam kehidupan manusia. Orang akan dengan mudah mencecar, menyudutkan bahkan mungkin juga diam-diam mengagumi. Itu pula yang saya alami pasca pilihan yang saya buat. Saya dipanggil dalam sebuah pertemuan yang saya tahu sudah ada skenarionya. Maka sesungguhnya saya tidak pernah memiliki harapan bahwa pertemuan ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Mungkin bagi para motivator, orang dengan model seperti saya ini merusak semua teori motivasinya hahaha. Saya tidak berharap hasil pertemuan menguntungkan kedua belah pihak bukan karena saya sejenis mahluk pesimis akut, tidak. Saya justru realistis. Saya sudah “membaca” gaya mereka. Saya sudah menyiapkan strategi. Terimaksih sedalam-dalamnya untu almarhum Sun Tzu yang diam-diam menginstal semua ini dalam otak saya jauh sebelum saya belajar hal lainnya hehehe…
                Membaca lawan dan menyiapkan strategi adalah bagian wajib sebelum memulai pertempuran, kira-kira begitu gambaran sederhananya. Memang benar pertemuan ini bukan pertempuran dalam arti harafiah kami akan saling berteriak dan adu otot bak kaum barbar. Namun pertemuan ini menjadi genting karena kami mengadu argumentasi. Hal yang paling saya kuatirkan waktu itu adalah saya terpancing secara emosi, sehingga saya tidak bisa lagi membaca mereka dan menyiapkan cara menghadapi mereka. Maka doa saya berhari-hari sebelum pertemuan itu dihelat adalah “Tuhan tolong saya untuk mengendalikan diri saya.”hehehe…
                Ketika pertemuan dilaksanakan di suatu hari yang cerah di kota yang panas, saya berhasil mengendalikan diri saya. Sampai sekarang saya tidak bisa mengerti mengapa saya bisa begitu tenang. Saking tenangnya sampai-sampai mereka kelabakan mencari kata-kata. Dalam hal ini ketenangan kita juga menjadi sebuah strategi tertentu yang membuat pihak lain bingung dan cenderung mengobral kata-kata. Kejadian ini persis seperti cerita tentang perang yang terjadi antara negara Qi dan negara Lu pada tahun 684 S. M.Seorang pria bernama Cao Gui menjadi penasihat bangsawan Zhuang, penguasa negeri Lu. Ketika mereka sudah ada di medan pertempuran, bangsawan Zhuang hampir memberi perintah untuk menabuh genderang sebagai tanda serangan. Namun Cao Gui mencegah. Ketika tentara Qi menabuh genderang, bangsawan Zhuang sekali lagi menyuruh membalas dengan menabuh genderang. Namun Cao Gui mencegah. Setelah pasukan Qi menabuh genderang tiga kali, barulah Cao Gui memerintah pasukan Lu untuk menabuh genderang. Dalam peperangan itu pasukan Qi kalah dan mundur teratur.
                Bangsawan Zhuang heran dengan taktik Cao Gui. Cao Gui menjelaskan, “Ketika mendengar genderang ditabuh untuk yang pertama kalinya, semangat perang tergerak. Musuh bersemangat tinggi tetapi kita tetap diam dan tidak menanggapi. Setelah mendengar genderang ditabuh kedua kalinya, moral dari musuh masih tinggi tetapi tidak setinggi yang pertama. Sekali lagi kita juga tidak menanggapi. Ketika genderang ditabuh untuk yang ketiga kalinya, semangat mereka sudah hampir lenyap, namun emosi yang terkumpul membuat pasukan kita lebih kuat.”
                Dalam beberapa hal ketenangan kita membuat orang lain seolah-olah terdesak untuk melakukan sesuatu. Itulah yang saya alami dalam pertemuan maha membosankan itu. Setiap kali mereka bicara saya diam mendengarkan dan tersenyum sesekali. Ketika mereka minta saya menanggapi untuk pertama kalinya saya diam dan tersenyum. Sekali lagi mereka menjelaskan dengan sangat antusias dan meminta saya menanggapi. Barulah kemudian saya menanggapi dengan ketenangan yang saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi (terimakasih Tuhan hehehe). Beberapa kalimat saja yang membuat mereka semakin menunjukkan siapa diri mereka. Dengan mudah saya kembali membaca mereka.
                Ketenangan saya mungkin bisa ditafsirkan sebagai kebodohan, kedunguan, atau bahkan ketidakmengertian saya akan perkataan mereka. Namun ini point menguntungkan bagi saya karena diam-diam saya merekam mereka dalam benak saya. Ketenangan saya justru mendorong mereka untuk menunjukkan diri mereka habis-habisan. Dan pada akhirnya saya belajar dari mereka,
·         Sistem dan kekuasaan itu bukan segala-galanya. Hormatilah sistem dan kekuasaan tapi jangan pernah memperlakukannya seperti dewa, begitulah nasehat Yan Zhitui (531-591). Sistem dan kekuasaan tidak selamanya buruk, tetapi semua yang serba terlalu itu lah yang mendatangkan keburukan. Dan inilah yang saya saksikan. Sepanjang pertemuan ini yang namanya sistem menjadi sesuatu yang diagung-agungkan, dipuja tiada cela. Dan kekuasaan menjadi mahkotanya. Ah kawan, adakah itu semua mendatangkan kebahagiaan sejati dalam batinmu? Adakah itu semua membahagiakan orang lain? Atau justru hanya demi dirimu semata.
·      Kalau sudah “di atas” bisanya sulit menengok “ke bawah” namun yang “di bawah” diminta selalu menengadah “ke atas”. Padahal kalau sudah di atas itu jangkauan pandangannya bisa luas sekali. Tapi yang terjadi sebaliknya, selalu ada pihak yang disudutkan dengan pilihan-pilihan yang berat dan rumit. Betapa sulitnya mereka memahami orang lain dan segenap pengalamannya. Sungguh beda dengan Jenderal Wu Qi dari negara Wei yang sangat memperhatikan para prajuritnya. Bahkan mau menjadi sama dengan mereka sekalipun sebagai jenderal ia punya segala fasilitas mumpuni. Sulit memang mencari pemimpin yang mau sejenak duduk ndlosor bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya untuk sekedar mendengarkan…
·      Kerendahan hati bukan slogan kering. Kalian sering meminta saya bercermin dengan seksama, bahkan memberi saya waktu untuk itu. Namun ketika saya selesai bercermin, adakah kalian juga sudah melihat wajah kalian di cermin tadi? Lalu bagaimana wajah kalian? Seorang teman pernah berkata, “monyet saja kalau dilempari cermin langsung akan mengambil cermin dan bercermin, tapi manusia? Nunggu disuruh, diperintah.” Tanpa kalian suruh dan minta saya sudah bercermin, hingga hapal lekuk dan ceruknya maka saya berhadapan dengan kalian. Tetapi memang lebih mudah menyuruh seseorang melakukan sesuatu tanpa perlu kita melakukannya. Kerendahan hati adalah kesediaan untuk bercermin dan mengingat betul wajah kita di cermin sebelum bertemu orang lain. Dari sini saya merasa tiba-tiba menyayangi monyet-monyet yang suka becermin hehehehehehe…uuupppssss :D
·      Ketika seseorang sudah terpojok bahkan dengan ketenangan yang ada di hadapannya, maka tiada lain senjata terakhir adalah ayat-ayat Alkitab yang didaraskan tanpa mengenal konteks. Asal cocok dan pas saja di kuping pendengarnya. Belum lagi refleksi teologi asal-asalan yang main tempel sana-sini asal pas dan demi meneguhkan pendapat pribadi. Hmmm…memang ya dari dulu yang namanya Akitab ini bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Sangat lentur rupanya. Namun risih hati ini mendengarkan ayat-ayat diumbar sedemikian rupa, refleksi teologi dijejerkan semenarik mungkin. Ah kawan, dangkal sekali pemahaman ini rupanya. Belajar seharusnya meningkatkan diri kalian bukan?!
·      Panggilan itu adalah milik Allah. Selama Ia masih berkenan memanggil saya dan yang lainnya, maka akan selalu ada jalan. Akan selalu ada skenario bagi saya. Panggilan Allah itu luas, tidak terkotak dan terpusat pada seseorang atau lembaga tertentu. Maka kalau jalan menuntun saya melewati liku yang lain, janganlah semudah itu menganggap Allah mencampakkan saya. Panggilan itu milik Allah tiada guna kita mempertahankan mati-matian. Kalau Allah masih berkenan, maka panggilan itu masih tertuju pada saya, kalau tidak, maka Ia menyediakan jalan yang lain, menuntun saya melewati rute yang lain.
“Bertemanlah dengan orang-orang di mana kamu dapat mempelajari sesuatu darinya.”,begitulah petuah Konfusius kepada murid-muridnya yang saya amini. Sekalipun pertemuan itu menjadi sangat membosankan karena ketenangan saya justru mengundang mereka mengobral kalimat-kalimat normatif yang diplomatif, namun sejujurnya saya perlu mengucapkan terimakasih kepada mereka yang sudah melatih saya untuk membaca mereka dengan jeli… sekalipun saya dan mereka berseberangan dalam banyak hal, namun mereka adalah teman-teman saya yang mengajari saya banyak hal untuk tidak saya lakukan hehehe…
                Maka sekalipun pertemuan dua jam itu tidak menghasilkan apapun karena masing-masing pihak tetap berdiri pada posisinya masing-masing namun saya bersyukur dalam situasi dan pengalaman seperti itu saya tidak kehilangan rasa hormat saya kepada mereka. Saya tidak kehilangan kendali atas diri saya sehingga dua jam itu saya begitu tenang mendengarkan dan menanggapi mereka. Saya tidak juga menaruh harapan yang berlebihan pada pertemuan tersebut. Saya sangat bersyukur untuk semua itu….tidak sia-sia sekalipun membosankan…hehehehe…
Banyu urip 2013-yohana defrita rufikasari



(melengkapi catatan...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar