Rabu, 20 Maret 2013

oret-oretan dari Lukas 19:28-38....

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

            Seorang mahasiswa doktoral dihubungi oleh seorang profesor yang sedang berada di Afrika Selatan untuk diminta menghadiri kuliahnya di Amerika nanti. Mahasiswa ini menganggap bahwa si profesor salah orang atau hanya basa-basi saja. Ternyata si profesor tidak salah orang dan tidak sedang basa-basi, ia serius menginginkan si mahasiswa mengahdiri kuliahnya sekalipun si mahasiswa tidak terdaftar di kelasnya. Mendengar hal ini si mahasiswa merasa senang dan merasa terhormat karena ia yang biasa-biasa saja, tidak menonjol secara akademis dipercaya untuk terlibat di dalam kuliah si profesor dengan undangan dan ijin khusus dari si profesor. Di balik rasa senangnya itu, si mahasiswa tahu bahwa ia harus mempersiapkan dirinya demi memikul kepercayaan besar ini. Maka mulailah ia bersiap membaca banyak buku dan terlibat aktif dalam diskusi-diskusi di kelas sehingga si profesor merasa tidak salah mengundang si mahasiswa ini bergabung dalam kelasnya.

            Kisah tadi adalah kisah nyata yang dialami oleh salah seorang rekan saya. Betapa dia sangat senang dan menjadi sebuah kehormatan baginya maka ia serius mempersiapkan dirinya untuk bergabung dalam kelas yang diampu oleh si profesor. Kalau teman lain masih punya waktu untuk jalan-jalan dan shoping, maka dia menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku guna mendukung diskusi di kelas profesor tadi. Ketika saya mendengar ceritanya, saya membayangkan begini: Itu baru profesor yang memberikan kepercayaan kepada teman saya untuk bergabung di dalam kelasnya. Walaupun teman saya ini tergolong biasa-biasa saja. Ini baru profesor, bagaimana kalau Tuhan yang memberikan kepercayaan kepada teman saya atau saya untuk bergabung dalam proyekNya?

Madeleine L’engle camp adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika yang wafat pada tanggal 6 September 2007 pernah mengatakan, “The important things is that creation is God’s and that we are part of it. And being part of creation is for us to be co-creators with Him in the continuing joy of new creation.” Artinya adalah hal yang terpenting dari penciptaan adalah Allah yang mencipta dan kita adalah bagian di dalamnya. Dan menjadi bagian di dalam penciptaan itulah kita dipanggil sebagai partner-rekan Allah yang bersama-sama denganNya melanjutkan karyaNya. Apa yang diungkapkan oleh Madeleine ini tepat diletakkan dalam pehaman bahwa sejak semula Allah menciptakan alam semesta ini, Ia sudah menjadikan saya dan Anda rekan sekerja-Nya.

Alkitab menyaksikan bahwa Allah tidak pernah berhenti bekerja dari masa dunia diciptakan sampai detik ini Allah terus berkarya. Allah yang terus berkaya ini berinisiatif MEMBERIKAN KEPERCAYAAN DAN KESEMPATAN bagi manusia untuk terlibat dalam karya-Nya, dalam proyek-Nya, dalam rencana-Nya. Kalau Allah mau melibatkan saya dan Anda ini bukan berarti bahwa Allah tidak mampu, namun sebaliknya dari sudut pandang manusia inilah kehormatan yang diberikan Allah kepada manusia. Menjadi partner seorang profesor saja sudah WOW…apalagi menjadi partner Allah…lebih WOW lagi! Inilah yang akan kita ulik lebih dalam lagi persoalah menjadi partner Allah, menjadi rekan Allah dalam proyek-Nya….

Bicara soal menjadi partner Allah, maka Injil Lukas 19:28-38 ini menarik untuk disimak sebab biasanya teks ini hanya dipandang sebagai “pintu masuk” dari masa-masa sengsara yang akan Yesus alami di Yerusalem nantinya dan memuncak pada peristiwa penyaliban. Sekarang kita akan melihat teks Injil Lukas 19:28-38 ini dari sudut pandang narasinya.

Setelah menyampaikan beberapa perumpaan, Yesus berjalan di depan murid-murid yang mengikuti-Nya. Seting lokasinya adalah di dekat kampung Beftage yaitu sebuah kampung atau desa dekat Bukit Zaitun tetapi masih merupakan bagian kota Yerusalem, bagian terluar barangkali lebih tepat disebut demikian. Dan di dekat Betania yang berada 3 km di sebelah timur Yerusalem. Kalau Yesus mengatakan, “pergilah ke kampung di dekatmu” maka pilihannya ada dua, yaitu di kampung Beftage atau kampung Betania. Ada yang sepakat bahwa kampung yang dimaksud adalah kampung Beftage namun ada pula yang sepakat menafsirkan bahwa kampung yang dimaksud adalah kampung Betania mengingat Yesus sering ke sana. Namun, ini bukan persoalan yang signifikan untuk menentukan kampung manakah yang dimaksudkan.

Kemudian, mari kita amati perintah Yesus kepada dua orang muridNya, “pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai tertambat yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah kemari. Dan jika ada orang bertanya kepadamu, mengapa kamu melepaskannya? Jawablah begini: Tuhan memerlukannya.” Dan kemudian dilanjutkan dengan kisah mereka atau banyak orang menghamparkan pakaiannya di jalan. Bagian ini menarik, karena:

-     Yesus merencanakan untuk membuat aksi dramatis yang tidak mungkin keliru ditafsirkan orang bahwa itulah sebenarnya klaimNya sebagai Mesias Raja yang diurapi Tuhan. Yesus menunggang keledai persis seperti yang dinubuatkan Zakharia dalam Zakharia 9:9. Sehingga jelas mereka tidak salah menafsirkan bahwa kedatangan Yesus dengan menunggang keledai adalah pemenuhan nubuatan Zakharia akan kehadiran Mesias yang lama dinantikan itu.

-     Aksi dramatis ini sesungguhnya bukan hanya pemenuhan nubuatan Zakharia namun juga aksi yang terbilang nekat. Sebab pada waktu itu sudah ditentukan oleh imam-iman dan orang-orang Farisi bagi siapapun yang mengetahui keberadaan Yesus harus segera melapor kepada mereka sehingga mereka segera menangkap Yesus. Bukannya bersembunyi, Yesus justru terang-terangan memasuki Yerusalem dengan cara sangat dramatis menunggang keledai muda. Jika Yesus masuk Yerusalem melalui Bait Allah ini berarti orang-orang berkerumun menyambutnya sepanjang lebih dari 1,5 km. Orang-orang ini agaknya ada di pelataran Bait Allah dan melihat Yesus menuruni Bukit Zaitun, menyeberangi Lembah Kidron, dan menyusuri jalan menuji gerbang Bait Allah.

-     Keledai di Palestina bukanlah binatang rendah. Sebab dalam masa perang sajalah seorang Raja diperkenankan menunggang kuda, dalam masa damai atau tiada perang, Raja pun wajib menunggang keledai. Maka dalam dunia Perjanjian Lama, keledai dikaitkan dengan simbol perdamaian. Selain itu keledai ini binatang yang sanggup membawa beban berat, sanggup berjalan sejauh 30 km sehari, dan mudah dijinakan. Pendek kata, keledai ini binatang yang multifungsi dan sangat berguna bagi kehidupan masyarakat Palestina saat itu. Sehingga pemilihan Yesus terhadap keledai bukan dalam konotasi rendah namun menyampaikan pesan bahwa kedatanganNya sebagai Raja Damai bukan sebagai sosok militer yang akan menaklukan dan menguasai.

-     Mengapa dipilih keledai yang belum pernah ditunggangi? Apa tidak sulit mengontrolnya? Dalam tradisi rabi[1] : tidak seorangpun diperkenankan mengendarai keledai atau hewan apapun yang sudah “dikhususkan” untuk raja. Selain itu Ulangan 21:3 mengungkapkan bahwa hewan yang belum pernah ditunggangi adalah hewan yang dikhususkan untuk persembahan bagi Tuhan. Maka keledai muda yang belum pernah ditunggangi dan orang pertama yang menungganginya adalah Yesus menunjukkan posisiNya sebagai RAJA dan menunjukkan bahwa keledai muda itu adalah PERSEMBAHAN KEPADA TUHAN. Lalu apa tidak sulit mengontrolnya? Beberapa penafsir mengatakan bahwa justru di situlah letak Keilahian Yesus yang mengatasi segala ciptaan sehingga keledai muda yang belum pernah ditunggangi inipun dapat patuh dan tidak memberontak.

-     Menghamparkan pakaian di jalan adalah cara penyambutan terhadap orang terpandang yang memasuki kota (2 Raja-raja 9:13). Para pegawai itu mengadakan upacara pemahkotaan raja dengan cara membentangkan pakaian mereka di tempat raja melangkah. Kemudian mereka mengakhiri upacara itu dengan meniup sangkakala dan seruan kebahagiaan sekaligus doa terhadap raja yang dimahkotai itu. Dengan demikian jelas udah aksi dramatis ini tidak salah lagi ditafsirkan orang sebagai momen penyataan diri Yesus sebagai Raja Damai, sebagai Raja yang diurapi Tuhan.

Point lain yang menarik adalah kalimat “Tuhan memerlukannya”. Dalam sebuah ibadah pemakaman yang pernah saya hadiri, saya terkesima ketika seorang hamba Tuhan menyampaikan kotbah dari Lukas 19:31. Yang membuat saya terkesima adalah baru kali ini ibadah pemakaman menggunakan kisah keledai sebagai kotbah penguatannya. Dan saya menantikan apa hubungannya antara almarhumah dengan keledai itu? Rupa-rupanya hamba Tuhan ini mengajak saya dan semua yang hadir dalam ibadah pemakaman itu untuk merenungkan bahwa TUHAN MEMERLUKAN ANAK INI, maka Ia memanggil anak ini kembali. Sangat indah pesannya!

            Maka ketika menyiapkan bahan ini, segenap pikiran dan hati saya terpancang pada kalimat sederhana ini “Tuhan memerlukannya”. Kalimat yang bagi sebagian penafsir ditafsirkan sebagai “pasword” atau kode dari Yesus kepada tuan si empunya keledai. Tafsiran ini mengandaikan bahwa sebelumnya Yesus sudah menemui orang tersebut dan mengadakan perjanjian bahwa Ia akan mengutus dua orang murid untuk mengambil keledainya dengan kode kalimat tersebut. Sekalipun, tafsiran ini masih perlu dipertanyakan keabsahannya. Tafsiran yang lain mengungkapkan bahwa dengan kalimat itu, maka si empunya keledai sudah mengerti maksudnya yaitu keledai satu-satunya yang ia punya diminta oleh Tuhan sebagai persembahan kepadaNya. Tafsiran ini agaknya dipengaruhi tradisi rabinik dan Ulangan 21:3.

            Namun bagi saya, kalimat ini menyatakan sebuah kenyataan bahwa TUHAN MEMBERIKAN KEPADA MANUSIA KEHORMATAN UNTUK TERLIBAT DALAM RENCANA-NYA, PROYEK-NYA, KARYA-NYA. Maka kalimat “Tuhan memerlukannya” itu mengundang saya dan Anda untuk melepaskan segala yang kita punya kepada tangan Tuhan termasuk kehidupan kita untuk dipakai-Nya. Ini adalah testimoni paling otentik akan kedaulatan Allah di dalam hidup kita. Persoalannya adalah, apakah saya dan Anda menganggap serius kehormatan untuk menjadi bagian dalam rencana Allah ini atau berpikiran bahwa mungkin Allah salah orang atau basa-basi semata?

Ketika Tuhan mengundang kita untuk terlibat dalam rencanaNya, dalam proyekNya, hal pertama yang mesti kita sadari ialah bahwa kita itu dipandang dan dinilai sangat penting dan istimewa oleh Tuhan. Kita semua mempunyai nilai khusus di hadapan Tuhan dan itulah sebabnya Dia memanggil kita satu-persatu untuk menjadi rekan sekerjaNya. Ingat, keledai pun dipanggilNya untuk terlibat dalam proyek-Nya memasuki kota Yerusalem dengan sangat agung dan semarak. Celakanya, penilaian Tuhan yang sangat positif tentang diri kita sering sangat bertentangan dengan penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Kita sering menilai diri kita tidak layak paling tidak dalam dua hal:

·      Pertama, sering kita menganggap diri tidak layak untuk melayani pekerjaan Tuhan dan tidak layak menjadi partner Tuhan karena kita terlalu kotor dan berdosa.

Kalau setiap orang mempunyai penilaian seperti ini maka tidak ada seorang pun di dunia ini yang layak menjadi partner Tuhan bekerja di ladangNya, maka tidak ada seorangpun yang dapat terlibat dalam rencanaNya. Paulus yang pernah menjadi penganiaya orang Kristen tentu tidak akan layak menjadi rasul Tuhan. Matius yang kerjanya memungut cukai dan menindas umat Israel pasti tidak layak menjadi partner Tuhan. Kalau setiap orang berpikiran seperti di atas ini maka tidak ada seorang pun di dunia ini yang layak menjadi majelis, komisi apalagi pendeta karena kita semua adalah makhluk berdosa. Memang, untuk menjadi partner Tuhan dalam pelayananNya dibutuhkan orang yang "bersih." Namun demikian, kita bersih bukan oleh kemampuan dan kesalehan diri sendiri, tetapi "bersih" oleh karena anugerah Tuhan. Kita semua berdosa, tetapi kita semua dibersihkan dan ditebus oleh Tuhan agar layak untuk melayani bersama-sama dengan Dia. Kita semua berdosa, tetapi Tuhan bilang: "Aku tetap membutuhkan engkau dan engkau tetap berharga di mataKu." Tuhan memerlukan kita!

·      Kedua, sering kita menganggap diri tidak layak dalam pekerjaan Tuhan karena kita terlalu bodoh dan tidak tahu apa-apa serta tidak punya apa-apa.

Kalau pikiran seperti ini diterima maka murid-murid Tuhan yang tidak kenal bangku sekolah dan tahunya cuma menangkap ikan tidak akan mungkin dipilih oleh Tuhan untuk menjadi partnerNya, untuk terlibat dalam rencanaNya. Tentu saja Musa yang gagap dan penakut tidak akan dipilih oleh Tuhan untuk menjadi partnerNya dalam impossible mission pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Tentu saja Amos yang kerjanya cuma penggembala tidak akan dipilih untuk menjadi nabi Tuhan untuk menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dan kalau kita berpikir tidak punya apa-apa, ingat kisah Rahab yang memberikan sebuah sudut di atap rumahnya sebagai tempat persembunyian para pengintai. Ingat Daud muda yang tahunya hanya menggembala domba dan hanya punya katapel. Ingat seorang janda di Sarfat yang hanya punya sedikit minyak dan itu minyak terakhir yang ia pakai untuk membuat hidangan. Ingat seorang janda miskin yang memberikan seluruh harta yang ia punya sebagai persembahan. Ingat, seorang anak yang memberikan bekal makan siangnya, 5 roti dan 2 ikan kepada Yesus. Mereka adalah orang-orang yang hanya punya barang-barang yang barangkali tidak berharga, tidak terlalu penting, tidak banyak namun mereka telah menjadi orang-orang yang terlibat dalam rencana Allah di muka bumi. Bila kita merasa bahwa kita tidak tahu apapun maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah meminta kebijaksanaan dan pengetahuan dari Allah. Salomo yang merasa tidak tahu apa pun meminta kepada Allah agar memberikan kepadanya kebijaksanaan. Apa itu kebijaksanaan ? Dalam tradisi Israel pengertian ini memiliki makna yang sangat sederhana tetapi dalam, yakni, kemampuan untuk mau belajar dari pengalaman kita, baik kegagalan maupun keberhasilan, sehari-hari. Allah akan membuka pemikiran kita dan memberikan kepada kita kebijaksanaan untuk terus belajar, berkembang dan bekerja sesuai dengan kehendakNya.

Merasa tidak mampu dan tidak layak dan oleh karena itu mau belajar agar berkembang dan menjadi dewasa adalah sikap yang masih jauh lebih baik daripada merasa sudah mampu dan merasa sudah layak. Orang dengan tipe terakhir seperti ini biasanya lebih suka mengajar daripada belajar; lebih suka berbicara daripada mendengar; lebih suka memerintah daripada melayani.

Menjadi orang-orang yang diundang, dipanggil untuk terlibat dalam rencana Allah berarti menjadi orang-orang yang siap sedia memberikan yang terbaik sebab TUHAN MEMERLUKANNYA itu artinya kita juga siap: KELUAR DARI ZONA NYAMAN kita, sebab:

§  Rencana Allah seringkali berbeda dari yang kita harapkan dan mohonkan kepadaNya. Kita punya rencana atau grand design yang luar biasa indah namun ada satu moment di mana TUHAN MEMERLUKAN GRAND DESIGN KITA dan MENGGANTINYA DENGAN GRAND DESIGN-NYA… bagaimana perasaan kita? (maybe you can tell a lil’bit a story of your own). Jika TUHAN MEMERLUKANNYA, maka berikanlah…GRAND DESIGN-NYA selalu melibatkan kita!

§  Rencana Allah atau proyek Allah bagi kehidupan sesama kita atau di luar kita itu selalu menuntut pengorbanan. Tidak ada ceritanya dengan duduk ongkang-ongkang kaki, maka sesama kita yang menderita dapat merasakan kasih Allah melalui kehadiran. Mission Impossible, karena kita hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Pengorbanan yang dilakukan bukan hanya perkara berkorban waktu, berkorban tenaga, pikiran, materi, tetapi seluruh keberadaan diri kita termasuk siap berjongkok di bawah kaki orang lain dan membasuh kakinya. Seluruhnya. Ingat, tuan si empunya keledai, memberikan keledai yang ia punya kepada Yesus. Tanpa ada perdebatan. Tanpa ada hitung-hitungan untung rugi.

Almarhum Bunda Teresa pernah berkata demikian, “Tuhan tak memintamu untuk sukses. Ia memintamu untuk setia. Dan saya hanyalah sebuah pensil kecil di tangan-Nya.”  Kita hanyalah pensil kecil di tangan Tuhan maka, jika mau meruncingkan kita, relakanlah. Semata-mata agar kita lebih terlibat dalam rencana-Nya….Lalu bagaimana dengan kita selama ini?Sudahkah kita benar-benar menyediakan diri untuk terlibat di dalam rencana Allah? Amin….

 

 

 



[1] Green, Luke p.685 fn.9, mentions catchpole, “Triumphal Entry” in Jesus and The Politics of His Day, edited by Ernst Bammel and C.F.D. Moule (Cambridge University,1984)p.324,whocites sanh 2.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar