Rabu, 18 Januari 2012

"Boleh Cerai gak sih??"

Hari ini Pemahaman Alkitab di gereja tempat saya "belajar" melayani sedang asyik membahas soal Perzinahan dan Perceraian. Setelah menyaksikan diskusi yang semarak di ruangan tadi, saya ingin membagikan sedikit apa yang saya ketahui dan semoga membantu memberikan alternatif sudut pandang.

Pdt. Drs. Jan Post Hopster dalam suatu Semiloka tentang Perceraian dan Perkawinan tahun 1997 mengatakan setidaknya persoalan perceraian dan perkawinan ketika ditinjau dari sudut pandang Teologis maka da menawarkan 3 macam model pendekatan:

1) Model pertama ini seringkali disebut sebagai model yang menggunakan berbagai macam ayat di Alkitab yang dirasakan mendukung soal anti perceraian atau anti perzinahan. kelemahan model ini adalah masing-masing ayat itu kadangkala justru berlawanan dan model ini tidak melihat lebih jauh konteks di balik ayat2 tersebut.

2) Model historis

artinya perceraian dan perkawinan ini didekati secara historis. Di Kalangan orang Farisi pada dasarnya perceraian diijinkan karena mereka merujuk pada Musa yaitu" boleh cerai asal memberi surat cerai" . Tetapi pada masa Tuhan Yesus setidaknya ada 3 mazhab besar yaitu:

a) Mazhab Rabbi Syammai

agak konservatif memang khusunya dalam menafsirkan Ulangan 24:1, maka perbuatan tidak senonoh itu diartikan sebagai perzinahan.

b) Mazhab Rabbi Hillel

lebih progresif dan liberal dalam menafsirkan "perbuatan tidak senonoh" yaitu termasuk masak nasi gosong sudah bisa jadi alasan buat bercerai. Sebetulnya Rabbi Hillel ini mau mengatakan bahwa pada saat perceraian itu sudah tidak lagi terhindarkan maka setiap alasan apapun itu menjadi sah sebagai dasar perceraian.

c) Mazhab Kaum Esseni

sedangkan kaum Eseni dengan tegas menolak perceraian. perceraian sama sekali tidak boleh selama istri masih hidup. dasar mereka adalah Kejadian 1:27.

secara sekilah nampaknya Tuhan Yesus lebih condong ke arah mazhab Rabbi Syammai yang menafsirkan ulangan 24:1 khususnya "perbuatan tidak senonoh" sebagai zinah maka "bersalahlah setiap suami yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah. dalam konteks ini sebenarnya Tuhan Yesus mau melindungi kaum perempuan dalam ikatan pernikahan mereka dan setelahnya.

Namun perlu dicermati bahwa perkataan Tuhan Yesus sama sekali tidak berarti Dia melegalkan perceraian. Dalam hal ini sikap Yesus lebih dekat dengan Kaum Esseni yang mdasarkan diri pada Kejadian 1:27.

Lalgu bagaimana dengan MArkus 10:2-12?

Markus 10:2-9 dikatakan oleh Yesus dalam rangka mewakili pandangan orang Yahudi bahwa laki-laki yang berhak menceraikan istrinya dan kembali merujuk kepada perintah Musa karena mereka hidup di masyarakay patriakal.

sedangkan MArkus 10:10-12 mewakili pandangan Yunani yang baik istri maupun suami sama-sama punya hak untuk menceraikan.

Lalu Matius 5:27-32?

Di dalam konteks Matius, Yesus mempunyai pandangan yang sama dengan Rabbi Syammai. Ingat bahwa Matius menulis untuk komunitas Yahudinya.

Jadi melalui pendekatan model kedua ini orang diajak untuk melihat bahwa perbedaan budaya dan pendapat melahirkan "tidak adanya jawaban pasti akan masalah perceraian"...jawabannya tidak selalu sama.

Sebab kalau mau kita lebih jauh khusunya dengan perspektif KErajaan Allah maka Yesus sesungguhnya mau mengajak masyarakat untuk menjadi masyarakat yang egaliter bukan patriakal. Msyarakat yang mengedepankan kesetaraaan relasi antara lelaki dan perempuan, antara istri dan suami...sehingga persoalan boleh cerai atau tidak bukan lagi menjadi core bussinessnya tetapi soal bagaimana kita membangun relasi setara itulah yang harus dikembangkan.

3) Model "Kasih Allah yang Membebaskan"

konon katanya gereja2 beraliran reformasi lebih condong kepada pendekatan yang ke-3 ini. Dalam Pendekatan yang k-3 ini orang diajak untuk memahami terlebih dahulu bahwa pada dasarnya kasih Allah itu membebaskan. Dalam konteks pernikahan, kalau pernikahan itu sudah dirasakan sebagai penjara khususnya dalam kasus KDRT, dan kasih Allah sudah tidak dapat dirasakan lagi...maka dengan berat hati...perceraian dimungkinkan terjadi...

begitu pula dengan persoalan kawin lagi setelah bercerai, perlu ditelisik kasus per kasus...sehingga memang tidak ada jawaban pasti boleh atau tidak.

 

Maka ketika sedari tadi kita bercuap cuap soal cerai  dan kawin lagi, kita perlu arif untuk "turun" dan "memasuki" kasus per kasus yang ada sehingga tidak sampai salah memberi jawab seturut dengan firman Tuhan...

 

 

Bandung, 18 Januari 2012

Y. defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar