Minggu, 28 Februari 2016

HIJRAH-surat untukmu yang tak lelah berjuang agar "pintu" itu dibuka :)


Hai,
mungkin saat kau membaca surat  ini, kau sudah tiba di stasiun itu malam hari. Tapi tentu sebelum kau pulang mengayuh sepedamu :) Bacalah selagi sempat...

Kemarin kau membagi sebuah tautan berita tentan "pintu" yang masih tertutup dan Walikota mu yang berlagak dagelan. Selain menerbitkan gelak tawa demi membaca kebodohan yang terang benderang, aku tahu, perjalananmu dan teman-temanmu masih jauh. Mungkin ini memang sebuah jalan panjang atau istilah Pak Tjokroaminoto, "hijrah" untuk membangun sebuah "rumah" yang menjadi tempat berteduh anak-anak dari berbagai macam latar belakang dan kondisi bahkan orientasi seksual.

Membangun Indonesia menjadi "rumah" tanpa kekerasan dimana semua warna diterima dan diberi tempat bahkan didengarkan, mimpi yang gila barangkali. Tetapi, aku percaya kekuatan mimpi, sebab mimpi-mimpi itu diletakkan di tangan-Nya dan Dia memeluk mimpi-mimpi kita :)

Oya, aku teringat sebuah film besutan Garin Nugroho tahun 2015 tentang Pak Tjokroaminoto seorang guru bangsa. Apa? Film sejarah? Iya, walaupun mungkin banyak yang menyangsikan keabsahannya tetapi sejarah memang bisa punya banyak versi dan konon katanya tergantung pada siapa yang memimpin. Dari jaman Raja Daud juga gini kok.

Tetapi aku kira, Garin Nugroho tak hendak mengambil alih tugas guru sejarah walaupun ia menggunakan data sejarah. Maka menyaksikan film berdurasi nyari 3 jam ini aku menyaksikan sebuah "hijrah" dan "rumah", ya another "aha" moment.

Hijrah yang dilakukan oleh Tjokroaminoto bukan sekedar hijrah "besar" demi nasib Tanah yang ia cintai sampai sumsum. Walaupun awalnya sih memang begitu. Namun pada akhirnya dia menyadari bahwa batinnya pun sedang melakukan hijrah.

Berkali-kali ia bertanya pada Agus Salim sudah sampai di mana hijrah besarnya. Jawaban Agus Salim membuat aku tercekat, katanya, "Mungkin hijrah kita sampai di Arafah, sepi dan kita butuh bimbingan Allah." Teduh sekali jawaban lelaki ini.

Sekilas lalu memang bisa jadi kita bertanya-tanya, "Apa sih hasil dari hijrah yang dilakukan Tjokroaminoto? Film ini tak menjawab lugas. Tetapi film ini membawa perenungan setidaknya buat aku.

Ada hijrah besar yang kita lakukan demi sesama. Namun dalam hijrah besar itu sesungguhnya kita juga sedang melakukan hijrah kecil. Perjalanan batin sendiri. Mungkin tak dapat terlihat hijrah ini sampai di mana, mau kemana, akan seperti apa nanti.

Dalam hijrah itu terkadang aku dan kamu diijinkan merasa sepi dan tak seorangpun memahami. Sebab dalam kesunyian hijrah, sejatinya kita sedang menajamkan telinga dan mendengar desir suara-Nya.

Kau tahu? Tjokroaminoto memutuskan bahwa hijrahnya kali ini adalah pulang ke rumah. Pulang kepada anak-anak dan istrinya. Rumah yang dibangun dengan idealism "rumah bersama, rumah sesama" dimana kekerasan tak boleh masuk ke dalamnya. Sekacau apapun kau di luar sana, jangan bawa kekerasan ke dalam rumah. Sebab ia tempatmu berpulang. Sebesar apapun gagasanmu, jangan hancurkan rumah sesamamu.

Rumah bukan semata tempat kita tinggal tetapi Negara ini adalah rumah. Pertanyaanku pada diri sendiri, "Apakah Negara sudah menjadi rumah bagi anak-anaknya? Rumah tanpa kekerasan? Apakah Indonesia dapat menjadi rumah bagi semua dan sesama? Tempat anak-anak bangsa pulang dan berlindung?

Di dalam penjara, Tjokroaminoto menuliskan pergulatan batinnya dan upayanya berdamai dengan jalan hidupnya, sebab bisa jadi hijrahnya hanyalah dari penjara ke penjara demi merenungkan makna perjuangan bagi kebebasan sesama dan, "Apakah aku masih di Kiblat-Mu, ya Allah?"

Perjalanan Tjokroaminoto mewujudkan impiannya memang tak mudah. Begitu pula impian untuk Indonesia rumah bagi semua dan sesama. Hijrah yang dilakukan Tjokroaminoto sering membawanya melewati gurun sunyi. Barangkali hijrahmu untuk membuka pintu itu membawamu pada sepi.

Tetapi jangan remehkan impian. Hijrah itu dimulai sekarang. Sesepi apapun hijrahmu agar pintu itu terbuka, bertanyalah, "Tuhan apakah kami masih di Kiblat-Mu? Tuhan, apakah kami masih bersama-Mu?"

Aku sudahi surat ini, kayuhlah sepedamu :)

untukmu yang mungkin masih di Arafah dalam sunyi dan doa perjuangan untuk "pintu" yang terbuka :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar