Sabtu, 02 Juni 2012

Ketika Awan Jatuh Cinta Kepada Bukit Pasir…

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

            Segumpal awan muda lahir di tengah badai dahsyat di atas Laut Tengah, namun dia tak sempat bertumbuh di sana, sebab embusan angin kencang mendorong semua awan menuju Afrika. Setibanya di benua itu, iklimnya berubah. Matahari bersinar terang di langit, dan di bawah mereka terbentang gurun pasir Sahara yang keemasan. Karena di padang gurun hamper tak pernah turun hujan, angin pun terus mendorong awan-awan itu kea rah hutan-hutan di selatan.

            Sementara itu, sebagaimana manusia-manusia yang masih muda, awan muda itu juga memutuskan untuk meninggalkan orangtuanya serta teman-temannya yang lebih dewasa, sebab dia ingin menjelajahi dunia. “Apa-apaan ini?” angin berseru. “Gurun pasir itu sama saja di mana pun. Bergabunglah lagi dengan awan-awan lainnya, dan kita akan pergi ke Afrika Tengah. Di sana ada pegunungan dan pohon-pohon yang sungguh menakjubkan.” Tetapi awan yang masih muda itu mempunyai sifat pemberontak dan tidak mau menurut. Perlahan-lahan dia melayang semakin rendah dan semakin rendah, sampai akhirnya ditemukannya angin sepoi-sepoi yang lembut dan pemurah; angin itu membiarkannya melayang-layang di atas hamparan pasir keemasan. Setelah mondar-mandir ke sana-sini, dilihatnya salah satu bukit pasir itu tersenyum kepadanya.

            Bukit pasir itu juga masih muda, baru saja terbentuk oleh angin yang bertiup melewatinya. Saat itu juga, awan itu jatuh cinta kepada rambut keemasan si bukit pasir. “Selamat pagi,” sapanya. “Seperti apa kehidupan di bawah sana?”

            “Aku punya banyak teman bukit pasir lainnya, juga matahari dan angin, serta caravan-karavan yang sesekali melintas di sini. Kadang-kadang hawanya panas sekali, tapi masih bias kutahankan. Seperti apa hidupmu di atas sana?”

            “Di sini juga ada matahari dan angin, tetapi yang menyenangkan adalah aku bias bepergian di langit dan melihat lebih banyak.”

            “Buatku, hidup ini singkat saja,” kata si bukit pasir. “Begitu angin dating lagi dari arah hutan, aku akan lenyap.”

            “Apakah kau menjadi sedih?”

            “Aku jadi merasa hidupku tak punya tujuan.”

            “Aku juga merasa begitu. Begitu angin berembus kembali, aku akan pergi ke selatan dan diubah menjadi hujan, tetapi itu sudah suratan takdirku.”

            Setelah bimbang sesaat, bukit pasir itu berujar,

            “Tahukah kau bahwa di padang gurun ini kami menyebut hujan sebagai surga?”

            “Tak kusangka diriku bisa sepenting itu,” kata si awan dengan bangga.

            “Aku pernah mendengar bukit-bukit pasir yang lebih tua menceritakan berbagai kisah tentang hujan. Kata mereka, setelah turun hujan, kami semua tertutup rerumputan dan bunga-bunga. Tapi aku tidak akan pernah mengalaminya. Sebab di padang gurun jarang sekali terjadi hujan.”

            Sekarang giliran si awan yang menjadi bimbang. Kemudian dia tersenyum lebar dan berkata,

            “Kalau kau mau, aku bisa menurunkan hujan ke atasmu sekarang juga. Memang, aku baru saja sampai di sini, tapi aku mencintaimu, dan aku ingin tetap di sini selamanya.”

            “Waktu aku pertama melihatmu di langit sana, aku juga jatuh cinta padamu,” sahut si bukit pasir. “Tetapi jika kauubah rambut putihmu yang indah itu menjadi hujan, kau akan mati.”

            “Cinta tak pernah mati,” sahut awan itu. “Cinta membawa perubahan; selain itu, aku ingin menunjukkan surga padamu.”

            Dan dia pun mulai membelai bukit pasir itu dengan tetes-tetes kecil air hujan, supaya mereka bisa lebih lama bersama-sama, sampai muncul sebentuk bianglala. Keesokan harinya, bukit pasir yang kecil itu dipenuhi bebungaan. Awan-awan yang melintas untuk menuju Afrika, mengira itu pastilah bagian dari hutan yang mereka cari-cari, maka mereka pun menebarkan lebih banyak hujan. Dua puluh tahun kemudian, bukit pasir itu telah berubah menjadi oase yang memberikan kesegaran kepada para musafir dengan keteduhan pohon-pohonnya.

            Dan semua itu karena suatu hari sepotong awan jatuh cinta, dan tidak takut menyerahkan hidupnya demi cintanya.

(Paulo Coelho, “Seperti sungai yang mengalir, p.213-216)

 

            Kisah di atas adalah bagian dari buku Paulo Coelho yang bertajuk “Seperti sungai yang mengalir” sebuah buku yang berisikan buah pikiran dan renungan perjalanan hidup Paulo Coelho yang dikemas dengan sederhana namun bernas khas Paulo. Ketika membaca bagian ini saya teremenung dan tidak sanggup melanjutkan membaca bab yang lain. Ini terjadi hanya pada pengarang-pengarang tertentu yang goresan pikirannya membuat saya tercekat dalam diam dan merenung bersama-sama dengan pengarangnya. Ada beberapa nama pengarang yang membuat saya demikian yaitu Pramoedya Ananta Toer, Sindhunata, Arswendo Atmowiloto, Remi Silado, Dewi “dee” Lestari, Ayu Utami, Rm. Mangunwijaya, Karl May, dan Paulo Coelho. Pengarang-pengarang ini pandai mengemas buah pikirannya dengan cara penyampaian yang tidak biasa dan selalu bernas. Itu menyehatkan jiwa saya dan mengenyangkan hati saya.

                Kembali kepada tulisan Paulo Coelho yang membuat saya tercekat di sana. Kisah yang dituturkan oleh Paulo barangkali merupakan sebuah mitos atau cerita lisan dari suatu daerah mengingat Paulo berwawasan luas dan sering berkelana bersama istri atau temannya. Bagi saya tak masalah mengenai asal muasal kisah awan yang jatuh cinta kepada bukit pasir ini. Sebab yang menarik perhatian saya adalah pesan yang begitu lugas dari kisah tadi bahwa “Cinta tidak pernah Mati, tetapi Cinta Membawa Perubahan.” Pengorbanan yang dilakukan oleh sepotong awan mudah itu tidak lagi dilihat sebagai “mati”nya si awan dalam kemudaannya. Tetapi apa yang sering kita sebut sebagai “pengorbanan” tak lain adalah “jalan menuju perubahan”. Perubahan yang bukan hanya dirasakan oleh kita sendiri tetapi membawa pengaruh bagi orang-orang di sekitar kita.

                Pesan yang begitu lugas setegas tetesan air hujan dari awan yang menyentuh bumi, saya pun teringat akan beberapa tokoh bijaksana yang juga memiliki konsep serupa dengan awan. Mulai dari Budhha, Yesus, Gandhi, Teresa, dan masih banyak lagi orang-orang yang rela menjalani hidup “tidak biasa” dan bahkan “mengorbankan” segala bentuk kenyamanan dan keamanan yang selayaknya mereka rasakan demi sebuah perubahan yang lebih baik lagi. Semuanya demi cinta. Sebuah pemikiran dan aksi yang tidak masuk dalam nalar logis kita. Betapa tidak sebab selama ini manusia hidup dalam pola pikir untung rugi. Bukan hanya untung rugi dalam soal bisnis, namun juga dalam soal relasi. Relasi yang sejatinya dijiwai oleh cinta yang membawa perubahan diganti dengan prinsip ekonomi. Kalau kau membahagiakan saya, saya akan bahagiakan kamu. Kalau kamu melukai saya, saya akan melukai kamu lebih lagi, dan seterusnya. Prinsip hidup mencinta semacam ini juga menyeruak dalam tingkah pola para politisi kita. Kenyamanan dan keamanan membuat mereka hanya menemukan kata “pengorbanan” di dalam kamus bahasa Indonesia. Sehingga ketika orang berbondong-bondong menyerukan penderitaan dan tuntutan akan sebuah perubahan yang lebih baik, para pengambil kebijakan hanya melihatnya sepintas lalu. Sekalipun mereka ajeg berdemo sehari tiga kali, mereka menganggapnya sebagai rutinitas serutin mereka menegak obat jantung dan anti-depresan.

                Dalam dunia yang nyaris lupa memahami gagasan cinta yang membawa perubahan dibutuhkan lebih banyak lagi orang-orang yang belum terjangkit virus amnesia ini. Dibutuhkan lebih banyak lagi kesadaran bahwa cinta yang kita bangun bersama dengan pasangan kita, dengan rakyat, dengan komunitas, dengan siapapun juga sejatinya demi membawa sebuah perubahan. Perubahan karakter kita misalnya, dari yang egois menjadi yang toleran dan mau berdiskusi. Perubahan sikap dari yang kasar menjadi lebih pengertian. Perubahan tujuan hidup yang tadinya hanya demi kesenangan seorang diri, sekarang berjuang agar hidupnya memberi banyak manfaat bagi banyak orang. Perubahan gaya hidup dari yang tidak menghargai orang dan lingkungan sekitar, menjadi lebih peka dan ramah. Perubahan-perubahan itu tidak semudah saya mengetikkannya di atas tombol-tombol keyboard. Perubahan-perubahan itu menuntut sebuah pengorbanan. Bayangkan saja dari kita yang lebih suka di dengar menjadi orang yang mau mendengar keluh dan kebutuhan orang lain. Dari kita yang lebih suka memaksakan kehendak menjadi orang yang mau berdiskusi secara sehat dan dewasa. Dari kita yang bersikap semaunya sendiri dan kasar (bahkan memukul atau mencaci) menjadi kita yang marah dengan cara yang lebih sehat dan tidak menyakiti orang lain. Dari kita yang hidup dalam arus hedonisme menjadi orang yang welas asih. Dari kita yang cuek bebek seolah dunia adalah warisan tunggal dari nenek moyang kita, menjadi orang yang lebih peduli.

Pengorbanan yang kita lakukan bukanlah sebuah paksaan atau beban demi sebuah keseimbangan relasi, demi sebuah harmonisasi yang indah. Bukan. Kita melakukannya karena cinta, bukan paksa! Kita melakukannya karena kita mencintai orang yang kita cintai. Kita melakukannya karena kita mencintai diri kita. Kita melakukannya karena kita mencintai relasi kita selama ini. Dan kita melakukannya karena kita sama-sama ingin bertumbuh dan berbuah. Maka sejatinya cinta tidak seindah “cocot” (mulut) nya banyak pengarang cerita isapan jempol saat ini. Cinta tidak sesederhana itu. Kita, saya juga mungkin dapat mengungkapkan berbagai macam gagasan tentang cinta tetapi sesungguhnya perasaan cinta itu sendiri tidak pernah muat dalam ruang kata. Karena cinta adalah cinta.

                Terimakasih kepada para tokoh bijak bestari yang lakon hidupnya menjadi cermin gamblang bagi saya untuk semakin menyadari bahwa cinta tidak pernah mati hanya karena kita berkorban demi cinta tetapi cinta itu membawa perubahan, perubahan yang positif bukan hanya bagi kita tetapi orang-orang dan alam semesta ini. Terimakasih kepada Paulo Coelho dengan awan dan bukit pasirnya yang menyentuh jiwa saya. Dan terimakasih kepada Dia Sang Cinta yang mengaliri cinta saya dengan cinta-Nya.

Selamat Mencintai dan selamat berubah oleh CINTA!

 

 

 

 

Wonosobo, 2 Juni 2012

Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar