Sabtu, 02 Juni 2012

Hikmat Bertetangga

HIKMAT BERTETANGGA… Waktu senggang menghantarkan saya untuk mengamati seluk-beluk hidup berdampingan dengan manusia lain alias tetangga. Ngomong-ngomong soal hidup bersama tetangga, saya yakin setiap kita juga punya berbagai pengalaman unik dan menarik. Bokis banget alias bohong banget kalau kita mengsaya tak punya pengalaman hidup bertetangga. Mau kita tinggal di apaterment lantai paling atas sekalipun pastilah kita punya pengalaman yang menarik, entah pada akhirnya membuat kita senyum-senyum jika mengingatnya atau justru memberengutkan kening. bicara soal hidup bertetangga, saya musti mengorek-ngorek kenangan masa kecil dulu ketika tetangga di kanan kiri depan belakang sesak bukan kepalang. Menempati perumahan bikinan pemerintah yang hanya bersela 1-2 meter dengan tetangga menempa siapa saja untuk pandai bergaul dan menempatkan diri. Bayangkan saja kalau teriakan-teriakan dari tetangga sebelah dan urusan dalam negeri tetangga dengan amat sangat mudah menyeberang melalui pori-pori tembok dan beberapa wartawan lokal di kompleks perumahan. Ah, ngerinya! Betul, ngeri sekali memang. Pertikaian yang terjadi di ujung blok segera menjadi head line news di dua blok setelahnya. Be nice to everyone dan keep your secret perfectly adalah kunci hidup bersama dengan tetangga-tetangga yang mulutnya bisa mencong sana dan sini begitu asyik menggunjingkan sesamanya. Tapi ternyata menjadi baik pada siapapun dan menjaga rahasia rapat-rapat tidak cukup. Tokh sudah menjalankan jurus seperti itu tetap saja tak dapat mengurangi kebiasaan dan bakat tetangga di kanan dan kiri yang hobi bergunjing. Ah, memang hidup bersama dengan orang lain tidak cukup hanya mendoktrinkan jurus tadi saja, hidup kan kompleks, sekompleks ibu-ibu di kompleks saya dulu. Selain tetangga kanan kiri depan belakang yang hobi menggunjing, mereka juga baik. Bayangkanlah betapa nikmatnya punya tetangga yang selalu bahu membahu dan saling menolong. Termasuk dalam hal soal masak memasak. Kurang merica 10 butir, gak perlu repot-repot ke warung, cukup ketuk pintu tetangga dan anda akan menerima merica 10 butir tidak kurang tidak lebih dan tidak bayar. Konsultasi resep brownis? Tidak perlu kirim email atau surat ke pakar kue. Cukup ketuk pintu tetangga, dan koreksi terhadap brownis anda pun akan segera disampaikan, gratis! Ingin menambah koleksi anggrek? Tidak perlu ke kios bunga demi membeli bibit anggrek. Silahkan mengetuk pintu tetangga depan rumah, anggrek idaman pun akan segera tumbuh dalam beberapa bulan mendatang. Mau buka katering tapi tidak punya modal untuk memasarkannya? Cukup undang tetangga kanan kiri depan belakang dan biarkan mereka bekerja dengan menggunakan bakat menggunjing secara positif. Itulah berkah hidup bertetangga dan ramah kepada siapapun. Kerepotan antar jemput anak? Tetangga sebelah akan senang hati menghantar serta menjemput anak anda sekalian antar dan jemput anaknya. Ada enaknya dan ada tidak enaknya. Tapi para tetangga di kompleks yang lama tetap punya ruang di hati. Berpindah ke kompleks perumahan yang baru dan lebih dekat ke sekolah serta gereja saya punya pengalaman lain lagi yang tak kalah berkesannya. Di kompleks yang baru ini jarak antar tetangga cukup jauh dan privasi dapat dinikmati. Tetangga sebelah kiri rumah orangtua saya dihuni oleh seorang nenek yang anaknya bekerja di perum perhutani. Sedangkan tetangga sebelah kanan rumah orangtua saya dihuni oleh keluarga dari Aceh. Sedangkan di seberang jalan, karena rumah orangtua saya terletak di jalan utama kompleks, ada dua rumah berhadap-hadapan milik kakak dan adik pasangan muda begitu. Si nenek sebelah rumah pada awalnya sangat menyenangkan. Kerap datang ke rumah dan bercerita panjang lebar. Namun tak berapa lama setiap berkunjung ke rumah dia mulai ngelantur. Bicara soal arwah-arwah bergentayangan yang menghuni rumahnya. Rupa-rupanya cerita si nenek soal arwah-arwah ini tidak stop sampai di situ. Pada suatu malam sekitar jam 12 malam ada sekelompok anggota jaga malam yang mengetuk pagar rumah orangtua saya. Segera mama saya keluar dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Rupa-rupanya kelompok jaga malam ini mendengar teriakan dari rumah si nenek. Mereka menduga rumah si nenek disambangi pencuri dan bermaksud mengecek halaman belakang rumah orangtua saya siapa tahu si maling sembunyi di sana dan melompati pagar rumah kami lalu masuk ke halaman SMP negeri yang tepat ada di belakang rumah orangtua saya. Rumah si nenek diketuk dari tadi tidak ada yang menyahut tetapi teriakan sudah berhenti. Wah, bikin panik aja nih tetangga sebelah! Mama pun mempersilahkan kelompok jaga malam memeriksa halaman belakang rumah kami. Hasilnya nihil. Di halaman belakang rumah kami berdiri pohon mangga dan belimbing serta jambu plus sekelompok anggrek yang tidak bergeming menyaksikan aksi kelompok jaga malam menyisir halaman belakang. Dan tetap hasilnya nihil. Diburu rasa penasaran mama saya menawarkan tangga untuk memanjat tembok sebelah dan melihat sumber yang membuat si nenek berteriak tengah malam. Ragu tapi mau akhirnya semua kelompok jaga memanjat dan berhasil masuk ke rumah si nenek. Sedangkan mama saya tidak kurang akal, dia ikutan manjat tangga tapi mengintip lewat lubang udara segede kepala orang dewasa yang belum dipasang jendela. Lubang itu adalah lubang kamar mandi yang belum digunakan. Dari sanalah mama mendengarkan apa sich yang sebenarnya terjadi di rumah si nenek. Ah, tetangga sebelah membuat mama saya jadi detektif dadakan. Ada-ada saja! Keesokan paginya demi tidak puas mengintip, mama saya menyambangi si nenek yang kebetulan dikunjungi anaknya. Di sanalah terbuka rahasia yang cukup mengejutkan. Ternyata si nenek depresi hidup seorang diri di rumah sebesar itu. Depresi yang membuat ia mempunyai ilusi seolah-olah ada genduruwo dan kawan-kawannya di rumah itu. Untuk yang terakhir ini saya tidak tahu pasti. Beberapa minggu kemudian si nenek dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Entah apakah itu keputusan bijak atau tidak saya tidak mau menilai! Selang beberapa bulan, si nenek sudah kelihatan belanja di tukang sayur yang lewat di kompleks. Ah, kenapa saya jadi curiga gini ya. Entah karena dia sudah eks rumah sakit jiwa atau apa. Si nenek masih sering berkunjung ke rumah dan selalu membawa masakan yang katanya tak akan habis ia makan seorang diri. Awalnya masakannya terasa enak tapi lama-kelamaan ada saja benda-benda asing di dalam masakannya yang saya tidak tahu mengapa bisa tercampur, misalnya karet gelang, isi streples. Astaganaga, nek…itu bumbu rahasia ya. Dengan sangat halus mama saya menyetop si nenek yang mulai keranjingan mengirimkan masakannya. Selain masakannya yang ajib, tingkahnya juga ajib. Hobi baru si nenek adalah setiap ketemu saya selalu mengelus pipi saya kanan dan kiri sekaligus. Astaganaga. Dan ditambah ciuman di jidat saya! Bisa dibayangkan kan, lipstick merah si nenek melekat sempurna di jidat saya. Pengalaman dengan tetangga sebelah kiri alias si nenek saya kira cukup sekian. Dan sekarang pindah ke tetangga sebelah kanan saya yang made in Atjeh. Kalau pengalaman si nenek cenderung bikin dag dig dug dan meringis lucu, maka pengalaman dengan tetangga sebelah kanan adalah pengalaman luar biasa. Apa luar biasanya? Suatu sore saya dan kakak saya yang waktu itu SMA kelas 3 asyik berkejar-kejaran di dalam rumah. Karena saya tsayat ditangkap dan dijungkir balikkan oleh kakak saya, saya lari ke ruang makan yang menyatu dengan halaman belakang. Melewati ambang pintu saya terpeleset keset yang licin bukan kepalang. Demi melindungi kepala yang satu-satunya ini, saya berjuang agar posisi jatuh saya enak. Aneh ya, mana ada sih jatuh yang enak. Akhirnya saya sukses mendarat di lantai ubin berwarna hijau pastel dengan pose terakhir saya mirip boddhisatva ketika menutup usia. Yup! Tangan saya sebelah kanan jatuh duluan menopang kepala dan langsung badan selonjoran. Ketika saya sudah berpose sedemikian menakjubkan itu, saya belum mengerti mengapa saya bisa berpose begitu. Kok sempet-sempetnya yah. Dan ternyata, kakak saya tidak mengejar saya. Dia lagi di kamar mandi! Aih mak…malu bukan kepalang! Saya jatuh karena ke-GR-an mengira diri dikejar! Alhasil, kakak saya, mama dan nenek saya keluar mengerumuni saya yang masih anteng dengan pose ajib itu. Tanpa dikomando mereka puas menertawakan saya! Buahnya baru saya petik keesokan harinya. Tangan saya yang sebelah kanan tidak dapat digerakkan. Padahal hari itu saya ada pelajaran olah raga dan mengharuskan saya berganti pakaian olahraga. Dan ganti bajunya di sekolah! Sempurna sudah penderitaan saya hari itu. Bayangkan saja, untuk melepas kancing seragam saja saya musti dibantu sahabat saya. Berganti pakaian olah raga dan melipatnya juga dibantu. Wah ini tidak bisa dibiarkan. Sesampainya di rumah saya berganti baju dibantu mama. Dan segera mama mengomando saya untuk mengikutinya ke tetangga sebelah kanan. Saya bingung mau ngapain saya ke sana. Seumur-umur sejak tetangga sebelah kanan pindah saya nggak pernah kontak sama sekali, cuman mama saya aja. Saya masuk ke halaman rumahnya yang sumpah tidak terurus. Dan disanalah saya berjumpa dengan seorang nenek lengkap dengan daster dan kerudung dan senyum yang ramah. Ah, kenapa nggak dari dulu saya ikutan kenalan ama tetangga sebelah. Setelah duduk di ruang tengah rumahnya barulah saya tahu bahwasannya mama saya sudah menceritakan hal ihwal kebodohan saya semalam yang membuat tangan kanan saya tidak berfungsi dengan baik hari ini. Nenek tadi memperhatikan lengan atas tangan kanan saya. Memegangnya dan kemudian meminta saya mengangkat tangan saya luru ke depan. Entah bagaimana ceritanya dengan sekali bunyi “klek” tangan saya kembali dapat melaksanakan fungsinya. Ah, nikmatnya punya tetangga yang baik luar biasa ini. Di kemudian hari ketika lutut kanan saya terpeluntir ke kanan, saya mengingat pertolongan tetangga sebelah kanan itu dan betapa saya merindukan nenek van Atjeh yang menyembuhkan itu. Ah apa daya saya sudah di jogja! Tadi saya bilang tetangga belakang rumah saya adalah SMP Negeri. Ada pengalaman menggelikan dengan tetangga yang satu ini. Saban istirahat selalu ada asap membumbung dari balik pagar. Dan disela dengan obrolan khas remaja, mulai dari pengalaman pacaran, berciuman dan masih banyak tingkah laku mereka yang selalu bikin saya ketawa ngakak, maklum jadwal libur SMP saya dengan mereka beda. Namun ada satu pengalaman tidak mengenakkan dengan mereka. Suatu siang pas jam istirahat, beberapa gerombol anak terdengar adu mulut (dan entah adu apa lagi saya tidak tahu karena tertutup tembok) dan ujung-ujungnya mereka lempar-lemparan(terdengar dari bunyinya). Dan halaman belakang rumah pun menjadi sasaran lemparan putung rokok dan kaleng juga bungkus makanan. Lantaran di rumah saat itu hanya saya seorang, saya langsung menelepon Ibu Kepala Sekolah SMP Negeri tersebut dan melaporkan tingkah laku para muridnya. Tak berselang lama saya mendengar si ibu berkotbah persis ketika anak-anak itu masih adu mulut di bawah tembok halaman belakang rumah saya. Tak lama kemudian hening yang cukup panjang. Dan serempak terdengar, “Kami minta maaf sudah melempar puntung rokok, kaleng dan bungkus makanan.” Hahahahaha, lucu sekali sebuah permintaan maaf dari balik tembok, entah siapa yang meminta maaf dan mereka pun tak tahu wajah yang dimintai maaf. Pengalaman bertetangga tidak berhenti sampai di sana. Ketika saya masuk asrama saya punya banyak tetangga, atas bawah malah. Maklum model asrama kan bertingkat. Di dalam kamar seuprit itupun saya punya dua tetangga. Satu sebelah kanan satu sebelah atas. Dan serunya kali ini tetangga-tetangga saya berasal dari seluruh Indonesia. Mantap banget! Perbedaan budaya, kebiasaan dan karakter adalah menu setiap saat. Awalnya tidak mudah tetapi lama-kelamaan bisa juga kok. Ketika bertetangga di asrama saya punya pengalaman tak terlupakan ketika satu lantai yang berisi belasan perempuan dari berbagai daerah berkumpul di ruang belajar dengan lampu padam. Hanya lampu ala diskotek milik tetangga kamar yang menyala berkedap kedip. Di sanalah kami menyalakan musik keras-keras dan berjoget sampai dini hari. Jangan tanya apakah ibu asrama tidak marah. Kemarahannya baru kami terima keesokan harinya. Tetapi dasar badung, sabda ibu asrama hanya mampir sedetik di otak kami yang terlanjur dipenuhi kejailan. Ada suka dukanya hidup bertetangga di lokasi yang mirip Taman Mini Indonesia Indah karena isinya dari seluruh pelosok Indonesia. Sukanya bisa menggila bersama-sama dan menangis bersama-sama. Dan makan bersama-sama. Ini enaknya. Saya bisa ngrasain makanan yang baru saya tahu ketika di asrama. Ada yang bawa makanan dari Medan, Papua, Malang, Banyuwangi, Banten. Ah, pokoknya wisata kuliner deh! Tapi dukanya juga tak kalah banyak. Ketika yang satu pengen merem bentar lantaran tugas kuliah seabrek, eh tetangga sebelah kasur malah asyik berkaraoke ria di kamar. Yang di kasur atas pengen tidur dengan lampu wafat, eh yang bawah pengen lampu menyala terang benderang. Dan duka terdalam adalah ketika semua mengucapkan selamat tinggal pada “kandang merpati” (lantaran bentuknya kotak-kotak imut) dan mulai dilepaskan ke “alam liar”. Ah, sedihnya! Pindah dari asrama masuk ke kost-kostan. Kost saya yang pertama terletak agak jauh dari kampus walaupun kalau jalan kaki yang masih lumayan deket tapi nggak persis depan kampus. Kost yang saya pilih bersama teman saya ini memiliki pagar tinggi makanya sering disebut kost benteng. Di kost yang baru ini saya harus menyesuaikan diri dengan 6 orang lainnya yang tingkahnya ajib-ajib. Ada si M yang saban hari jumat pas Indonesian Idol nongol, dia akan nyanyi-nyanyi dan teriak-teriak histeris plus lompat-lompat nggak jelas sampai pernah saya kira ada gempa di jogja! Asem tenan ik! Lalu ada si W dari pulau dewata yang diam bukan kepalang. Tapi ramah dan bukan tipe suka berkonflik. Ah, ademnya bertetangga sama dia. Lalu persis di sebelah kamar saya adalah kamar si K yang selalu saya lewati kamarnya kalau mau ke dapur, ke kamar mandi dan ke tempat cuci baju. Si K ini lebih tua daripada saya tapi tingkahnya bikin saya dan temen saya senewen juga ibu kost. Mengapa? Suatu pagi yang damai dimana saya masih melsayakan perhalanan astral di dunia mimpi. Saya terbangun karena mendengarkan teriakan-teriakan dan bentakan serta tangis dari kamar si K. Lantaran nyawa belum genap saya cuman kepikiran sms temen saya dan nanya what happen aye naon sih di kamar si K. Rupanya teman saya juga nggak tahu. Saya buka jendela dan kaget bukan main demi melihat pak RT, Bapak dan Ibu kost serta tetua kampung. Ada apa sih? Rupanya si K membawa cowoknya. Entah si cowok menginap atau tidak tetapi ibu kost kaget jam 5 pagi si cowok udah nongol aje di kamar si K. Maka teriakan itu lahir dari mulut Ibu dan Bapak kost, lalu bentakan-bentakan bernada instruksi itu dari Pak RT dan tetua kampung dan terakhir tangisan itu dari si K. Cowoknya? Kagak ada suaranye! Sebulan kemudian, di pagi hari yang syahdu karena saya masih asyik bergelung di balik selimut. Saya kembali terkejut setengah mati karena mendengar teriakan penuh amarah dari kamar si K lagi. Kali ini saya tidak sms teman saya di sebelah kamar. Langsung saya buka jendela dan menyaksikan si K membawa pisau dapur kost-kostan dan sibuk memaki-maki cowoknya. Itu dugaan saya karena dia menggunakan bahasa yang saya tidak tahu. Tapi logikanya kan ya ndak mungkin dia bawa pisau dengan wajah penuh angkara murka begitu merayu cowoknya ya kan. Dan sekali lagi Pak RT, tetua kampung, ibu dan bapak kost melerai mereka. Beberapa minggu pasca kejadian mengejutkan di pagi hari itu si K pindah kost, ahhh tenangnya hidupku! Awalnya begitu. Tapi nggak tahunya tetangga pojokan kamar bikin ulah yang nyaris sama dengan si K. Bawa masuk cowoknya ke kamar kost dan ributlah Pak RT, tetua kampung, bapak dan ibu kost. Walahdalah kok ya ndak belajar dari pengalaman si K yang mirip sinetron! Setahun di kost benteng saya hijrah ke rumah kontrakan yang dihuni kawan-kawan sekampung dari berbagai angkatan. Seru karena di rumah itu nyaris sudah pada saling kenal dan seru bisa bebas menggunakan bahasa kampung tanpa kawatir ada yang roaming. Tetapi kebahagiaan itu musti berselang seling dengan duka juga. Tapi justru di situlah rasa kekeluargaannya muncul. Mulai belajar mecahin masalah bareng, berantem, beda pendapat dan akhirnya damai. Pengalaman lain saat di kontrakan adalah tetangga sebelah kontrakan. Tadinya saya nggak ngerti itu rumah dibikin apa. Tapi belakangan saya tahu rumah itu semacam tempat ngumpulnya para salesgirl gitu. Saban hari mata saya disuguhi perempuan-perempuan cantik berbaju pendek di atas dan bawah yang berseliweran di bawah jendela kamar saya. Lantaran mereka parkir motor tepat di bawah jendela kamar saya. Penderitaan sesungguhnya dimulai ketika orang yang disapa “babe” oleh tetangga saya mulai mengeluarkan suaranya yang menggelegar. Merdu sih merdu tapi kalau nyanyinya saban jam 12 siang dan 10 malam, dimana merdunya? Itu jam orang lagi molor, lagi rempong sama tugas kuliah. Kuping saya musti bersabar karena setiap jam 6 pagi dia akan memanaskan motornya yang saya curiga banget itu sudah pantas dimuseumkan aja. Asap knalpotnya masuk melalui celah lubang angin. Beneran deh kamar saya saban pagi mirim kayak difoging anti nyamuk demam berdarah. Belum lagi suaranya yang memekakkan kuping. Alhasil saya langsung membuka jendela kamar dan menegur anak buah si “babe”. Untunglah mereka masih punya tepo seliro. Dan tak lama kemudian saya hidup nomaden sesuai tuntutan pelayanan. Namun sebagian besar saya ditempatkan di rumah atau kamar yang tidak memiliki tetangga. Wah, ini nih yang kadang bikin saya kangen punya tetangga. Bayangin aja buka pintu gak ada tetangga. Cuman di sapa oleh tanaman, pagar, dan tembok saja. Aduh sedihnya! Tapi beda lagi ketika saya pelayanan di Bandung, saya punya tetangga yang aneh-aneh kelsayaanya. Mulai dari yang hobi hamster tapi gak bertanggung jawab lantaran sering ninggalin hamsternya (coba baca tulisan saya yang lain tentang tetangga “mama hamster” ini) sampai tetangga sebelah kamar yang aseli dari perkebunan kelapa sawit di borneo sana yang hobi masang alarm jam dua pagi. Lha masalahnya dimana? Masalahnya adalah dia nggak matiin alarmnya. Yang denger dan keganggu adalah orang-orang di lantai satu. Alhasil suatu hari jam 3 pagi teman kamar saya mengetuk pintu kamarnya. Dan sejak itu tetangga saya tidak lagi menyalakan alarm dengan suara keras. Bangun enggaknya, telat kuliah apa enggak, saya enggak perduli. Hehehehe…. Dan sekarang saya punya pengalaman bertetangga yang bener-bener bikin senewen. Apa pasal? Dimulai ketika tetangga sebelah rumah merenovasi rumahnya. Renovasi rumahnya ternyata membawa bencana bagi rumah orangtua saya. Mulai dari tembok retak ampe miring, atap depan yang rubuh kesenggol bak truk, sampai jalan depan rumah yang rusak. Ditambah ketinggian halaman tetangga sebelah yang mengakibatkan air lari ke rumah. Perundingan dari yang paling halus sampai puncaknya kemarin yang paling ketus sudah dilsayakan tapi yang terdengar hanya kata maaf yang hanya lip service. Ah hidup bertetangga hidup kaya warna. Dibalik setiap kejengkelan dan kemarahan serta kesedihan selalu ada hikmat yang tersembunyi untuk ditemukan. Kita menemukan teman baru sampai keluarga baru. Kita mendapat informasi mulai dari yang penting sampai yang nggak penting seperti menggunjingkan orang lain. Kita mendapatkan pertolongan pertama juga dari tetangga sebagai orang terdekat. Itulah seluk beluk hidup bertetangga. Catatan ini tentu akan terus bertambah seiring dengan perjalanan hidup saya yang akan selalu mempertemukan saya dengan tetangga-tetangga baru… Selamat menemukan hikmat dalam be Wonosobo, awal Mei 2012 Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar