Jumat, 16 Juli 2010

DENGAN PEDIH DARI PALESTINA…

Berderak-derak langkah dan barang diseret. Sebetulnya bukan hanya langkah kaku dan barang beku yang diseret, tapi seonggok kehidupan yang diseret-seret tanpa arah. Dari satu tempat pengungsian ke tempat lain hanya untuk bertemu aman yang sementara. Hari-hari berlalu tanpa perbedaan. Jangan tanyakan hari ini atau hari kemarin pada orang-orang Palestina. Tidak ada bedanya. Setiap hari entah itu Senin, entah itu Jum’at pembantaian terus terjadi. Pengrusakan terus digulirkan. Memandang nanar dan pilu pada rumah batu tempat berteduh hancur lumat ditelan buldozer dalam hitungan menit. dan terus demikian dari satu rumah ke rumah lain. Tidak ada permisi atau pilihan, dan memang orang-orang Palestina hidup tanpa banyak pilihan dan tidak dapat memilih. Kaca-kaca berhamburan, barang-barang yang dikumpulkan dengan susah payah di negeri yang tak bersahabat itu hanya menjadi sebaris kenangan yang terukir dalam jiwa bocah-bocah lugu Palestina. Entah apa yang bisa mereka kenang dan petik dari peristiwa pedih yang menyayat sukma. Barangkali mereka akan belajar arti kata “sementara”. Sama seperti yang disenandungkan para ibu pada malam-malam mencekam di bawah guyuran tembakan brutal Israel.

Pagi hari, para lelaki dikumpulkan dalam satu tempat dan digeledah dengan paksa hanya mencari teroris, begitu kata militer Israel. Teroris seperti apa? Kata siapa ada teroris di sana? Tidak ada jawaban. Dan para lelaki itupun meregang nyawa tanpa sempat berpelukan dengan anak dan istri atau mengucapkan kalimat doa. Sungguh hidup orang Palestina tidak akrab dengan pilih memilih. Isak tangis anak, para perempuan, dan para lelaki yang masih bisa bernafas walau tersengal mewarnai hari demi hari di Palestina. Memandang penuh harap bahwa pertolongan akan datang segera. Memandang langit biru, memandang rumah rata dengan tanah…sambil menghayati arti kata “sementara”. Di belahan bumi yang lain, orang-orang tetap melaksanakan aktivitasnya. Sibuk membangun hidupnya sendiri. Hanyut dalam putaran waktu dan hingar-bingar hiburan. Telinga mereka tersumbat tak mampu mendengar kebrutalan militer Israel menghabisi banyak keluarga. Mata mereka tak mampu memandang wajah-wajah penuh harap di Palestina.

Lihat, coba lihat, tak satupun begawan dari semua negeri berani bersuara keras dan tegas membela kemanusiaan orang-orang Palestina. Semua diam, semua bungkam. Seolah apa yang terjadi di Palestina hanyalah kericuhan kecil yang terjadi di pojok gudang rumahmu. Ujung tombak penyambung suara mereka di Palestina ternyata mampu dibelokkan dan diolah oleh berbagai kepentingan. Sungguh berita duka yang mampu membuat hati terkoyak ternyata hanya menjadi bahan obrolan selama seminggu. Orang-orang lebih suka berbicara tentang urusan ranjang para selebritis yang sudah kadung tersebar. Orang-orang memang lebih suka segala urusan di antara kedua paha ketimbang berembuk membela kemanusiaan Palestina.

Dunia macam apa ini? dunia seperti apa yang sedang aku dan engkau diami? Dunia seperti inikah yang kita ciptakan untuk anak dan cucu? Mereka akan meradang dan menendang karena tak pernah diberi kesempatan untuk memilih dilahirkan di dunia yang brutal. Pedih hati ini melihat para begawan yang terhormat pikiran dan tutur katanya itu mendadak bisu, tuli dan lumpuh dari ujung kaki sampai ubun-ubun tatkala sepiring keluh-kesah nyata orang-orang Palestina disodorkan sebagai menu mereka. Kegeraman mewarnai nurani anak pertiwi. Demo digelar dengan acara tetap yaitu membakar bendera Israel, dan bahkan ada yang kelewat tolol sampai memboikot satu gerai makanan cepat saji asal Amerika. Sungguh malang betul intelktualitas orang berjas almamater ini. Demo semacam ini pun Cuma bertahan satu minggu. Wahai saudara-saudariku di Palestina, inilah rupa dunia. Rupa dunia kita yang mudah melupakan tangisanmu.

Ditingkah kebisuan dan keberangan manusia berjas almamater, seorang perempuan berusia 23 tahun asal Amerika pergi ke Palesitina. Di saat para begawan itu diam tak berkutik, dia justru mengirimkan dirinya pada medan pembantaian dimana manusia tak lebih dari sekedar debu yang diterbangkan angin sore. Namanya Rachel Corrie. Dia jengah dan resah dengan kebiadaban militer Israel dan kebisuan para begawan itu. Dia memilih takdirnya pada hari minggu 16 Maret 2010. Dia memberikan dirinya menjadi tameng bagi sebuah keluarga Palestina yang akan dihancurkan rumahnya. Jaket oranye menyala yang dia pakai tak jua membuat sopir buldozer itu membelokan atau menghentikan buldozernya. Bunyi kertak remuk rangka Rachel Corrie adalah hal yang paling memilukan hati. Seorang perempuan berusia 23 tahun yang dengan tegas menyatakan posisinya. Dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada mereka yang tertindas. Sungguh Rachel adalah manusia yang menggunakan hak pilih nuraninya. Syahdan, berita kematian perempuan muda ini hanya diliput sesaat di media cetak dan elektronik. Jangan berharap ada pawai dukacita atau protes di negara Rachel, yang ada CNN dan banyak orang Amerika menyalahkan sikap Rachel yang diberi label tolol. Sudah meninggal masih pula dipersalahkan, itulah guratan nasib Rachel. Dia dinilai salah karena berdiri di posisi yang salah. Dan sungguh tak ada yang menuntut kematiannya. Semua kembali diam…semua kembali bungkam dalam saat hening panjang yang memilukan karena disana, saudara-saudari kita orang-orang Palestina sedang meregang nyawa….

Yogyakarta, 14 juni 2010

Yohana Defrita Rufikasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar