Selasa, 20 Juli 2010

My Spritual Journey to Find The Peace Inside of Myself (Sabtu, 17 Juli 2010 di Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Yogyakarta)

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Ku pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”

Matius 11:28-30


Setiap orang siapapun dia pasti suatu ketika mengalami kelelahan. Bukan hanya perkara kelelahan fisik yang dapat dipulihkan dengan beristirahat, namun kelelahan jiwa. Jiwa yang lelah karena sudah menempuh banyak peristiwa dan babakan kehidupan. Dan tak terkecuali saya yang juga sedang mengalami kelelahan jiwa. Sungguh bukan sebuah kebetulan dari milyaran kemungkinan bahwa saya memilih mengunjungi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk beristirahat sejenak. Ada peristiwa atau suasana yang saya alami yaitu kelelahan jiwa yang mendorong saya menghampiri tempat ini. Bukan sekedar sebuah perjalanan dari Yogya ke Ganjuran, namun ini sebuah perjalanan ke dalam diri saya sendiri. Perjalanan yang membawa saya untuk menjumpai situasi rasa yang saya alami yaitu merasa penuh namun kosong, dan demikian sebaliknya. Saya merasa penuh dengan rencana dan segala macam pikiran yang sesak sekaligus saya merasa kosong melompong. Situasi yang benar-benar sulit dijelaskan.

Saya melihat dan menyadari bahwa situasi semacam itu terjadi karena keletihan mengayunkan langkah tanpa pernah sedetikpun berhenti dan menimba air kehidupan. Saya sudah lelah!!! Saya letih!!! Saya capek dengan segala hal yang datang, yang terlewat, yang pergi…dengan apapun juga yang terjadi dalam lintasan hidup saya saat ini!!! Tidak, saya tidak hendak menyalahkan orang lain atau Tuhan untuk momen yang saya alami sekarang. Saya yang salah, seharusnya saya lebih bertanggungjawab dalam melakonkan peran sebagai diri saya di muka bumi ini. Artinya, saya yang harus bertanggungjawab atas semua pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup ini. Termasuk pilihan bahwa saya sudah menempuh puluhan atau ratusan kilometer namun memilih tidak berhenti sejenak dan mereguk segarnya air kehidupan. Saya tolol? Ya, saya memang orang yang tolol! Jiwa sudah letih tetapi saya mengabaikan Sang Hidup yang terus menerus mengundang, ““Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Saya mengabaikan undanganNya untuk berhenti sebentar dan menerima seteguk air yang membasuh letihnya jiwa yang akan memampukan saya menempuh ribuan mil berikutnya.

Duduk di deretan bangku-bangku kosong di depan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus menjadi begitu berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya. Hati saya tergetar tatkala menerima undanganNya dan berhadapan dengan Dia yang selalu menawarkan air kehidupan pelepas letih lesu namun sering saya abaikan. Saya pun di sini berhenti sejenak, mereguk air kehidupan itu dan berbincang dengan Dia. Ada perasaan malu dan merasa tidak layak saat bertemu dan menerima segelas air dari-Nya, namun tokh rasa malu itu terpatahkan dengan fakta bahwa saya membutuhkan damai yang menjelma ketenangan dalam jiwa saya. Sayup-sayup hati saya bernyanyi,

Hanya dalam Tuhan jiwaku tenang

Damai dalam Tuhan.

Hanya Tuhanlah sumber pengharapan

Damai dan tenang.

Dinding hati saya terus menggemakan doa permohonan damai sejahtera dari Sang Damai, Tuhan Yesus Kristus. Dan kesadaran akan damai itu memenuhi setiap celah jiwa saya. Betapa jiwa ini memerlukan damai yang memampukan saya melewati berbagai pasang surut peristiwa hidup. Air mata yang mengalir menemani senandung hati melompat tak terbendung, betapa saya merindukan kesegaran dan ketenangan semacam ini. Saya perlu belajar dari Dia yang taat menyediakan diri disapa dan menyapa Sang Hidup dalam peristiwa sesehari. Persoalan sapa dan menyapa ini menjadi begitu penting sebab jiwa yang mau beristirahat sejenak dan mereguk segarnya air hidup dan berkenan disapa dan menyapa dengan Sang Hidup akan mampu menanggung beban apapun yang disodorkan dalam peziarahan hidup, seperti yang pernah dikatakan Tuhan Yesus, “Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Memikul beban kita sehari-hari ternyata tidak akan membuat kita lelah jika selalu ada waktu untuk berhenti sejenak, menikmati segarnya air hidup dan belajar dari-Nya. Namun ini bukan hal yang mudah. Contohnya saja saya, alih-alih menyediakan waktu untuk melakukan apa yang dibutuhkan jiwa saya, saya malah asyik tenggelam dan hanyut dalam pelbagai rutinitas dan perkara-perkara lain yang semakin meletihkan jiwa. Dan pada suatu titik tertentu, jiwa ini sudah sampai pada batasannya menanggung segenap keletihan dan kelelahan hebat. Tetapi pertanyaannya, apakah selalu menunggu tiba pada moment itu untuk mau menyediakan diri disapa dan menyapa oleh Sang Hidup?

Bukan hanya saya seorang yang sedang terpekur di sini, ada banyak orang lain yang datang untuk memanjatkan doa dan mengambil air di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Terlepas dari berbagai macam motivasi mereka datang ke tempat ini, ada satu hal yang saya pikir menyatukan kita semua yaitu kita sama-sama lelah dengan apa saja yang kita miliki. Saya dan mereka yang ada di sini sama-sama berhenti sejenak untuk mereguk segar dan beningnya air pengharapan dan belas kasih dari Dia yang menyembuhkan letihnya jiwa dan menyalakan api di atas abu keputusasaan. Dan dalam semua itu, saya dan Anda, kita semua perlu berhenti sejenak, mereguk airNya, dan berbincang-bincang denganNya seperti perempuan Samaria yang mengalami transformasi lewat perjumpaannya dengan Dia di pinggir sumur. Kita tidak perlu terburu-buru dalam mengayun langkah sehingga mengabaikan keletihan jiwa yang memerlukan tempat beristirahat sejenak. Jiwa yang letih, memerlukan kelegaan yang hanya dapat diberikan oleh Sang Hidup. Setelah jiwa ini lega, damai, dan tenang maka barulah kita dapat mengatakan, “Kuk yang harus dipasang pada kita itu enak dan beban yang harus kita tanggung itu ringan”.

Gusti Mberkahi.

Oleh:

Yohana Defrita Rufikasari

(Terimakasih yang terdalam untuk teman peziarahan saya, Abdismar Cordius Zandroto yang sudah berkenan menyediakan diri menemani saya dan mendengarkan jiwa saya, Gusti Yesus tansah mberkahi uripmu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar