Minggu, 30 Mei 2010

ME AND MYSELF-AN PERICHORESIS

Aku melihat dia duduk di sana. Masih seperti beberapa jam yang lalu. Tapi kini wajahnya tampak kusut masai. Dia terpekur di sana. Kakinya dilipat dan menopang dagunya. Tangannya menjulur ke bawah. Dia melihat ke arahku sekilas.

“Hai…” suaranya parau menyapa ku.

“Oh, hai…”sepertinya suaraku terdengar ragu-ragu.

“Duduklah.”

“Terimakasih.”

Aku sudah duduk seperti yang dia minta tetapi dia masih meringkuk nyaman. Diangkatnya dagu itu dan sepasang mata tajam menatapku. Dia tersenyum, getir. Dia membenarkan tatanan rambutnya yang awut-awutan. Dia sentuhkan jari-jari kakinya ke lantai dingin. Dia membenarkan roknya.

“Aku mau bicara denganmu. Tolong dengarkan aku….sebentar saja.” Kali ini suaranya lembut walaupun terasa kering dan pedih di telingaku. Seperti suara-suara yang telah lama berteriak-teriak namun tak ada yang mau mendengarkan.

“Silahkan…aku akan mendengarkanmu.”

“Terimakasih karena bersedia mendengarkan suaraku.”

Dia mengambil cangkir berisi teh dan meminumnya. Seakan-akan teh itu akan melancarkan tenggorokannya yang sebentar akan macet karena serbuan suara-suara yang sudah lama ingin di dengar. Dia masih mencecap cangkir itu dan aku mulai membersihkan telingaku. Telinga ini agak jarang ku pakai. Hanya sesekali aku memakainya jika memang aku butuh mendengar suara lain selain suara ku. Dia sudah meletakan cangkir itu dan menatapku yang masih sibuk membersihkan telinga. Dia tersenyum sebentar.

“Kau bersihkan dulu telingamu agar benar-benar menangkap apa yang akan kau terima dari ku. Sudah lama aku tak melihatmu memakai telinga itu. Tapi itu mungkin karena kau memang tak terlalu merasa perlu mendengarkan ku. Sekarang aku senang melihatmu membersihkan telingamu.”

“oh ya, aku sengaja membersihkannya karena aku akan dihujani kalimat-kalimatmu.”

“Bisa kita mulai?” dia menatapku dengan matanya yang tajam.

“Oh…eh, silahkan.”

“Hmmm…maaf jika suaraku yang semakin parau ini mengganggumu akhir-akhir ini. aku tahu kau sangat sibuk, tetapi aku harus bicara padamu. Kau tahu mengapa aku berteriak padamu?”

Aku menggeleng. Aku menduga-duga kemana gerangan arah obrolan monolog ini.

“Aku sedih tiap kali kau mengabaikanku.”

“Kapan aku mengabaikanmu? Ingat ya, aku rajin mengunjungimu!” sanggahku.

“Ya memang benar kau mengunjungiku. Tetapi apakah pernah kau tanyakan tanggapanku atas apa yang kau lakukan pada rekanmu itu? Hei…aku tidak buta dan tidak tuli. Aku lihat persis apa yang kau lakukan pada rekanmu. Dalam malam-malam sepi itu aku melihatmu. Jangan kau kira aku selalu tepekur dalam senyap di sini. Aku tahu apa yang kau lakukan.”

“Oke, mungkin kau memang tahu apa yang aku lakukan. Tapi kau tidak pernah bisa mengatakan bahwa apa yang aku lakukan itu salah! Dosa! jahat! Tidak…kau tidak bisa menghakimiku seperti ini!!!” aku mulai marah. Tapi dia tetap tenang.

“Well, kau mulai marah rupanya. Hmmm…aku tidak bilang apa yang kau lakukan itu salah, dosa atau jahat. Tidak! Aku tidak bicara hitam dan putih yang akan selalu ada dan memusingkan bagiku. Aku bicara soal hati!!! Dimana hatimu????? Tidakkah kau lelah dengan ulahmu??? Aku tahu sakitnya hatimu….aku tahu betapa marahnya kau pada dia. Aku tahu betapa sedih hatimu melihat ulahnya. Aku tahu kau mengasihi dia. Tapi aku bertanya-tanya….sampai kapan kau akan seperti ini?” dia membelai rambutku.

“Kau sudah tahu alasan dibalik aku melakukan ini semua…jadi tolong jangan letakan aku pada posisi bersalah.”

“Aku tidak pernah meletakanmu dalam posisi bersalah. Ini bukan soal salah dan benar. Aku mengajakmu bicara malam ini sekedar untuk menyadarkanmu bahwa kau harus merenungkan segala hal yang sudah kau lakukan padanya. Itu saja. Ini bukan soal baik dan buruk. Ini soal bagaimana kau berakhir pada ketegangan antara harus membalas dendam dan harus berbuat baik. Kutub-kutub yang ekstrim. Dan kau terlempar dari satu kutub ke kutub lain bak pendulum. Entah kapan kau akan berakhir di tengah. Sadarilah bahwa kau akan kelelahan….kau akan frustasi…inikah hidup yang kau inginkan?”

“TIDAK!!!! aku harus membalas dendam!!! Harus!!!! Tapi aku lelah mendengar suaramu yang membawaku terpelanting dari sisi baik ke sisi jahat selama 24 jam!!!!! AKU LELAH!!!!!!! Tapi aku belum mampu mengasihinya….aku belum bisa menerima keberadaannya….aku belum bisa!!!!!!”

Dia kembali menuang teh ke dalam cangkir dan meminumnya perlahan-lahan sambil menatapku yang mulai menangis. Dia menghampiriku.

“Hmmm…ini sebuah proses panjang yang harus kau tempuh. Tidak mudah memang….tapi kau tahu kan bahwa hidup ini seperti mendaki gunung. Energi yang kau keluarkan akan sebanding dengan segala macam pemandangan yang ditawarkan selama pendakian itu. Kau tidak harus mengampuni dia sekarang. Kau tidak harus menerima dia sekarang. Kau tidak harus mengasihi dia sekarang. Tetapi kau dapat mulai berpikir sebelum menyakiti dia….”

“Entahlah…aku tak yakin apa bisa…tapi aku tidak mau terjebak dalam kutub-kutub ekstrim itu. Aku tidak mau…”

Dia tersenyum dan kembali duduk di sana….

Sebuah dialog imajiner…

Pulanggeni, akhir April 2010 12:13am

Yohana Defrita Rufikasari

Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar