Senin, 10 Juni 2013

Baldassare Embriaco dan Kiamat



Amin Maalouf
            Amin Maalouf, sebuah nama yang nyaris asing di telinga saya dan Anda. Tadinya pun saya mengira dia seorang penulis baru dari Timur Tengah. Namun setelah saya membaca bukunya yang berjudul “Balthasar’s Odyssey-Nama Tuhan Yang Keseratus-Sebuah Novel” saya sedikit mengetahui siapa Amin Maalouf. Amin Maalouf adalah seorang mantan pemimpin harian terkemuka di Beirut “An-Nahar” dan editor “Jeune Afrique”. Sedangkan karya fiksi yang dilahirkannya dalam terjemahan bahasa inggris antara lain “Leo The African”, “The Rock Of Tanios” yang memenangkan Prix Goncourt, “Samarkand,” “The Garden Of Light”, dan “Ports Of Call”. Di antara karya nonfiksinya adalah kumpulan esai “On Identity” dan “The Crusades Through Arab Eyes”. Setelah berkenalan dengan gaya penceritaan Amin Maalouf saya tertarik untuk mencari dan membaca karya-karya nya yang lain. Tapi saya tidak akan menyinggung soal ini di sini.
            Kali ini saya ingin cerita sekelumit isi novel Balthasar’s Odyssey-Nama Tuhan yang Keseratus dan kaitannya dengan fenomena ramalan kiamat. Novel karya Amin Maalouf ini memang cerdas namun tidak berlebihan. Novel ini merekam perjalanan panjang Baldassare Embriaco seorang saudagar buku keturunan Genoa asal Gibelet, Libanon. Selama hampir dua tahun ia menjelajahi tiga benua dan mengelilingi nyaris separuh dunia yaitu Libanon, Maroko, Turki, Yunani, Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis, dan Italia demi sebuah buku berjudul “Nama Tuhan yang Keseratus” karya Mazandarani. Buku ini menjadi begitu penting dan menjadi incaran banyak orang lantaranm buku itu konon katanya memuat nama Tuhan yang keseratus, sebuah nama yang tersembunyi sebagai pelengkap 99 nama Tuhan yang lazim dikenal oleh umat muslim.  Di dalam  diskusi antara Baldassare Embriaco dengan Esfahani seorang yang mengaku sebagai Pangeran dari Persia, hal ihwal semangat menggebu-nggebu mencari buku bertajuk Nama Tuhan Yang Keseratus itu dikarenakan sejak datangnya agama Islam, para ulama telah berdebat mengenai satu ayat yang muncul tiga kali dalam istilah serupa di dalam Alquran dan terbuka terhadap berbagai pemaknaan. Esfahani mengutip, “Sabbihisma rabbika-a-l-a’la”(Q.S 87:1) yang bisa diterjemahkan sebagai “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” Menurut Esfahani kemenduaan muncul pada kenyataan dalam bahasa Arab mengenai sebutan “A-l-A’la”, “Yang Maha Tinggi”, bisa mengacu pada Tuhan ataupun nama-Nya. Dalam tafsiran pertama, ayat ini semata-mata anjuran untuk memuliakan nama Tuhan. Namun jika penafsiran kedua benar, maka ayat itu bermakna “Sucikanlah Tuhanmu dengan nama-Nya yang paling tinggi.”
            Dalam novel ini, Amin Maalouf tidak menjebakkan dirinya pada diskusi soal kemenduaan makna tersebut. Sebab memang ini sebuah novel, bukan sebuah buku yang merekam debat teologis. Amin Maalouf justru bercerita tentang ekspresi dan reaksi orang-orang yang hidup pada tahun 1666-1667 yang beranggapan bahwa dengan buku Nama Tuhan yang Keseratus maka orang yang memilikinya bisa selamat dari kiamat. Walapun saya bertanya-tanya, apatah gunanya selamat dari kiamat kalau hanya seorang saja di dunia ini? Hehehe bukankah akan sangat menyedihkan hidup di dunia seorangan wae?!
            Sebagaimana layaknya novel drama maka kisah ini pun tak luput dari cinta yang berliku, antara Baldassare Embriaco dan Marta, Baldassare Embriaco dan Bes, Baldassare Embriaco dan Giacominetta. Juga ada kisah benturan antar agama dan peradaban, renungan filosofis tentang kesejatian hidup manusia serta kronik sejarah yang kaya dengan latarbelakang dunia abad ke-17. Namun terlepas dari itu semua ada yang menarik hati saya karena terpajang sepanjang perjalanan membaca Balthasar’s Odyssey yaitu berita tentang kiamat desember 1666 dan bagaimana reaksi para pedagang sampai penguasa bahkan rohaniawan.
            Konon di tahun 1665 sudah banyak orang meramalkan bahwa 31 Desember 1666 adalah tahun kiamat. Dunia akan meredup. Banyak yang mencibir, namun banyak pula yang diam-diam percaya. Baldassare Embriaco awalnya tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan kiamat jatuh kapan. Dia menjadi sedikit terusik tatkala keponakannya-Jaber serius menyelidiki berbagai macam dokumen yang terkait dengan ramalan tersebut. Sampai akhirnya mereka berlayar berkeliling dunia hanya untuk mencari buku yang bisa menyelamatkannya dari kiamat.
            Dalam perjalanan itu dia berkenalan dengan seorang kawan yang ternyata juga sedang mencari tahu keabsahan kabar soal kiamat itu. Dan di daerah lain, seorang rohaniawan mencemooh pemikiran bodoh semacam ini walapun jauh di dalam hatinya dia pun bertanya adakah kiamat tiba tanggal 31 Desember 1666. Sepanjang novel itu, Amin Maalouf menceritakan berbagai ekspresi dan reaksi dari mereka yang percaya, percaya tapi malu mengakui kalau percaya, atau menolak mentah-mentah ide ramalan kiamat itu. Namun lucunya di Genoa yang ramai oleh perdagangan dan kapal yang hilir mudik, ramalan soal kiamat itu tak ada gaungnya sama sekali. Seolah-olah orang Genoa benar-benar tidak peduli kiamat akan menjemput kapan. Mereka hanya peduli pada perdagangan damar wangi dan aneka rempah dan barang-barang dari Eropa ataupun Asia selain hal itu mereka peduli pada vernaccia yang memabukkan. Selain itu mereka juga taat menjalankan aturan agama dan gereja. Maka Genoa seolah-olah tetap berjibaku dengan uang, minuman, dan doa ketika dunia di sekitarnya sedang panik dengan ramalan kiamat tahun 1666.
            Dan benar saja ramalan itu hanya isapan jempol belaka dari seorang yang bernama Sabbatai Zevi. Dia adalah seorang Ratu Adil Palsu Yahudi yang memimpin gerakan mesianik terbesar dalam sejarah Yahudi. Ia lahir di Smyrna (sekarang disebut Izmir, Turki) dan kemudian ditahbiskan sebagai Hakkam (Rabi yang dianggap memiliki kearifan istimewa). Pada tahun 1665 ia dinyatakan sebagai “Al-Masih” oleh tokoh agama Karismatis yaitu Nathan dari Gaza. Penguasa Kesultanan Utsmaniyah memenjarakan Sabbatai pada tahun 1666 namun kemudian ia menyatakan masuk Islam untuk menghindari hukuman mati. Pada tanggal 1 Januari 1667 tidak terjadi suatu apapun dan Baldassare Embriaco siap menjalankan rencana demi rencana yang terbentang bagai karpet Persia di hadapannya.
            Rupa-rupanya sejak dulu boleh dikata manusia suka dengan semua berita atau ramalan terkait kiamat:

great fire of London
  • tahun 1533 Seorang warga Jerman bernama Michael Stifel meminta pengikutnya menjual seluruh harta mereka karena yakin hari akhir akan terjadi pada 3 Oktober 1533. Ia begitu yakin akan perhitungannya. Di hari yang telah ditentukan ia bersama pengikutnya naik ke sebuah bukit dengan alasan agar mudah diangkat ke surga. Ditunggu-tunggu kiamat tak kunjung datang. Stifel dan pengikutnya pun turun. Walau ramalannya terbukti gagal, Stifel tetap yakin kiamat segera datang. Ia akhirnya meminta dipenjara untuk perlindungan dari hari akhir. Ada-ada saja.
  • Tahun 1666
    Dalam tradisi Kristen, angka 666 dianggap sebagai angka setan. Maka, tak heran menjelang dan saat tahun itu tiba seluruh warga Eropa didera rasa termat cemas, jangan-jangan ini tahun terakhir mereka hidup di bumi. Apalagi setahun sebelumnya wabah penyakit menyapu Eropa menewaskan 100 ribu orang, seperlima warga London. Bencana itu membuat orang-orang makin khawatir kiamat sudah dekat. Hingga pada 2 September 1666 sebuah kebakaran besar melanda London. Kebakaran berlangsung selama tiga hari dan membakar lebih dari 13 ribu gedung dan puluhan ribu rumah. Namun akhirnya diketahui hanya 10 orang tewas dalam kebakaran, yang meskipun besar, bukanlah akhir dari dunia. Data inilah yang menjadi latar belakang novel Amin Maalouf.
  • Tahun 1844
    William Miller disebut majalah Time sebagai nabi palsu paling tenar. Pada 1840-an ia mulai berkhotbah kehidupan dunia sebentar lagi berakhir, Yesus akan kembali turun ke bumi, dan bumi bakal hancur antara tanggal 21 Maret 1843 hingga 21 Maret 1844. Ia menyampaikan khotbahnya dengan mengumpulkan orang di keramaian, mencetak poster dan tulisan. Sepanjang 1840 dan 1844 sebanyak 100 ribu orang termakan omongannya, menjual harta benda mereka dan pergi ke perbukitan menunggu kiamat datang. Saat tanggal yang ditetapkannya tak terjadi apa-apa, Miller mengubah ramalannya jadi 23 Oktober tahun yang sama. Hasilnya serupa. Kiamat tak mampir di hari itu.
  • Tahun 1914
    Perang Dunia pertama dimulai di tahun itu. Hal itu tak hanya membuat orang ketakutan dilanda perang, tapi was-was jangan-jangan ramalan pendiri majalah Watch Tower Charles Taze Russell tentang akhir dunia benar adanya. Russell meramalkan Yesus turun ke bumi pada 1914. Saat perang besar terjadi tahun itu, Russell menafsirkannnya sebagai pertanda kiamat akan datang. Sejarah membuktikan sebaliknya. Perang Dunia I berakhir 1918.
  • Tahun 1977
    Pada 28 Februari 1963, sebelum matahari terbenam, di saat langit Arizona, AS memperlihatkan gumpalan awan misterius nan cantik, pendeta William Branham menuju padang gurun mendaki bukit Sunset dan mengklaim bertemu 7 malaikat yang mengungkap 7 perisai di Kitab Revelation. Beberapa hari kemudian ia mengutarakan 7 khotbah di Jeffersonville, Indiana, selama 7 malam. Ia meramal Yesus akan turun ke bumi tahun 1977.Namun, ia tak melihat ramalannya ternyata gagal karena saat sedang menyetir di Texas pada Desember 1965, seorang pengemudi mabuk menabrak mobilnya. Di malam Natal atau 6 hari setelah insiden tabrakan, Branham meninggal.
  • Tahun 1988
    Pendeta Hal Linsey mengubah ramalan kiamatnya beberapa kali. Ia menulis buku Late Great Planet Earth yang jadi buku laris di tahun 1970-an. Di bukunya, ia meramal kiamat terjadi 31 Desember 1988. Ia mengutip ancaman bencana nuklir, komunisme Uni Soviet, dan kelahiran negara Israel sebagai tanda-tanda kiamat. Tentu kiamat tak terjadi tahun itu. Negara Uni Soviet malah bubar. Tapi Linsey tak lelah meramal bahkan di tahun 1990-an dan 2000-an. Linsey kemudian tak hanya salah meramal, tapi lebih dari itu, ia membuat buku-buku ramalan kiamat jadi genre populer. Setelahnya banyak bermunculan buku sejenis. Salah satunya Edgar Whisenant yang menerbitkan buku pada 1988, mendukung ramalan Linsey, 88 Reasons Why Rapture Will Be in 1988 (88 Alasan Kiamat Bakal Terjadi Tahun 1988). Buku itu laku terjual 4,5 juta eksemplar.
  • Tahun 1993
    David Koresh mengunci diri beserta pengikut sektenya di sebuah kawasan peternakan di Waco, Texas, pada 1993. Ia meyakinkan pada pengikutnya kalau ia Yesus dan mereka semua harus bersiap menyambut kiamat yang segera datang. Saat pihak berwenang Texas bermaksud menggeledah tempat Koresh dan pengikutnya tinggal yang dinamai Mount Carmel Center, karena dicurigai ada penyiksaan terhadap anak-anak dan wanita plus senjata ilegal. Namun, Koresh dan pengikutnya melawan. Empat petugas tewas. Koresh tak mau menyerah. Selama 50 hari terjadi ketegangan di peternakan itu. Hingga, pada 19 April tahun itu, FBI akhirnya menyerbu peternakan. Lusinan orang tewas termasuk Koresh. 
  • Tahun 1994
    Pada 1992, Harold Camping menerbitkan buku berjudul 1994? Yang meramalkan kiamat bakal terjadi pertengahan September 1994. Ia bilang Yesus bakal turun ke bumi lalu kiamat datang. Camping mendasarkan ramalannya dari hitung-hitungannya pada angka-angka di Alkitab. Dari rumusan yang ia buat diperoleh angka itu. Tapi dunia tidak berakhir di tahun 1994. Begitu juga di tahun 1995 sewaktu ia merevisi hitungannya.
  • Tahun 1997
    Anggota sekte Pintu Surga yakin kehancuran bumi datang setelah komet Hale-Bopp lewat pada 1997. Mereka meyakini satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan bunuh diri sehingga arwah langsung diangkut oleh pesawat makhluk luar angkasa dan terbang di belakang ekor komet. Sebanyak 38 jasad pengikut aliran sesat itu ditemukan tak bernyawa di sebuah rumah di California pada Maret 1997.
  • Tahun 2000
    Perpindahan milenium pernah juga diramal jadi akhir dunia. Ada lusinan sekte sesat meramalkan kiamat bakal datang di pergantian 1000 tahun. Apalagi dengan adanya kekhawatiran sistem komputer bakal kacau di saat milenium berganti alias Y2K. Sistem penanggalan komputer yang hanya mengenal dua digit tahun akan mengacaukan sistem kerjanya—karena komputer akan membaca tahun 2000 sebagai tahun 1900. Nyatanya, tak terjadi kerusakan berarti. Padahal Carlos Roa, seorang kiper Argentina, sudah menolak perpanjangan kontrak dengan sebuah klub spanyol karena yakin hari akhir datang pada 1 Januari 2000.
  • Tahun 2011
    Harold Camping kembali di tahun 2011. Ia merevisi hitung-hitungannya tahun 1994 dulu menjadi 21 Mei 2011. Ketika tak terjadi kiamat di tanggal itu ia berdalih, “Hari penghakiman betul-betul terjadi, sayangnya tidak ada jiwa yang pantas untuk diselamatkan dan diangkat ke langit, jadi tak ada yang merasakan hari itu datang.” Lalu mengapa Camping juga tidak “diselamatkan”? Apakah ia temasuk orang-orang yang tak pantas diangkat ke langit? “Saya ditugasi untuk membawa 80 juta orang di dunia, termasuk para pengikut saya untuk dikumpulkan di Cayman Island saat dunia berakhir bulan Oktober nanti.” Oktober? Kok mundur lagi? Reuters mencatat, menurut teori pendiri radio Family Radio Network ini, 21 Mei hanya awal serangkaian peristiwa besar yang mengacu pada bencana dahsyat yang disebut kiamat. Bencana besar yang menghancurkan dunia beserta isinya itu diprediksi akan terjadi 21 Oktober. Nyatanya tak terjadi apa-apa di tanggal itu.

Tanggal 21 Desember 2012, sejak dua tahun terakhir, tanggal itu jadi tenar lantaran dikatakan di tanggal itu dunia yang kita tinggali berakhir alias kiamat. Awalnya adalah bangsa kuno Maya di Amerika Tengah yang membuat perhitungan tahun kalender yang berakhir di tahun 2012. Tepatnya, kalender Maya hanya sampai menyebut tanggal 21 Desember 2012. Banyak menafsirkan dunia akan kiamat di tanggal itu.Namun tanggal 22 Desember 2012, saya ingat sekali, hari itu panas, matahari sangat cerah, semua begitu indah karena sosok pegunungan Dieng, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro nampak. Dan selanjutnya hari berjalan sebagaimana mestinya. Yang juga membuat saya ingat adalah, hampir di setiap tempat saya mendengar orang menertawakan dan mencemooh ramalan kiamat yang gagal lagi. Diam-diam saya curiga jangan-jangan orang-orang yang menertawakan dan mencemooh ini adalah orang-orang yang dulunya percaya akan ramalan itu hehehe.
            Dan seperti kita lihat, tahun 2013 pun kita jelang hingga detik ini. Yah, di setiap masa selalu ada orang-orang yang mengaku dirinya sebagai orang yang mendapatkan wahyu ilahi dan menyampaikan tanggal pasti kiamat. Lalu tidak terjadi apapun setelahnya. Fenomena ini membuat saya melihat bahwa sebagian besar orang tertarik dengan kehidupan di masa yang akan datang ketimbang di masa kini. Sebagian besar orang lebih tertarik untuk bicara tentang kerajaan yang akan datang, kehidupan damai sejahtera di surga, keadilan ilahi yang bertahta di bumi dan serangkaian kejadian yang dianggap sebagai “clue” bagi datangnya kiamat.
            Dengan demikian, seolah-olah orang-orang ini kakinya di masa kini namun leher dan kepalanya ditarik ke depan menjauhi kakinya. Sederhananya, orang tidak hidup di masa kini namun di masa yang akan datang. Teringat petuah seorang bikhu di Vihara Mendut yang mengatakan bahwa manusia senang jadi pendulum yang bergerak ke depan ke belakang namun tidak pernah diam di tempatnya. Manusia senang membuang waktu dan energi hidup di masa lalu, dan senang berangan-angan tentang masa depan namun mengabaikan berbagai macam kesempatan dan pengalaman di masa kini.
            Sebagian besar orang yang meyakini ramalan-ramalan ompong kiamat ini pada akhirnya menjelma menjadi orang yang memiliki spritualitas egosentris. Dia menjual semua barangnya, karena toh kiamat kita semua terangkat jadi warga sorga yang jalannya dari emas, jadi ngapain bawa-bawa barang. Ada pula yang mengemas barang-barangnya karena kata pemimpin spritual nya yang diangkat ke sorga bukan Cuma orang tapi juga barang. Dan rata-rata mereka akan hidup eksklusif hanya dengan komunitasnya saja demi menjahui dunia. Kehidupan semacam ini diyakini dapat menjaga kesucian diri sampai kiamat tiba.
            Terlepas dari perkara benar dan tidak benar, saya sendiri berpendapat bahwa sampai kapanpun manusia tidak mampu memahami dan memprediksi  kapan kiamat tiba. Bahkan kalau mau “sok biblis” di Alkitab Anak Manusia juga tidak menyatakan diri-Nya tahu. Dan bagi saya ketimbang hidup ini disibukkan dengan persoalan “KAPAN KIAMAT?” mending kita hidup sepenuhnya di saat ini. Sebab jalan yang kita pilih tidak bisa kita ulangi lagi. Dan begitulah yang akhirnya diinsyafi Baldassare Embriaco seorang saudagar buku dari Gibelet, Lebanon yang mulai melepaskan diri dari kekhawatiran soal kiamat menjadi orang yang mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidupnya kini dan di sini.
            Hidup sepenuhnya adalah hidup yang menerima duka seikhlas suka. Hidup sepenuhnya adalah hidup yang mengutamakan kasih, keadilan, kejujuran, dll sebagai sebuah gaya hidup. Saya membayangkan jika semua orang menjalannkan sebagai sebuah gaya hidup maka persoalan Kerajaan Allah yang Memerintah di Dunia bukan lagi perkara di atas awang-awang namun perkara bagaimana saya dan Anda menyatakannya selama kita masih di dunia. Jadi nggak usah nunggu di surga buat ngarasain Kerajaan Allah, kalau kita mengupayakan nilai-nilai Kerajaan Allah maka kita membiarkan Allah yang merajai dunia.
            Jadi gimana, kiamat kapan? Besok? Bulan depan? Tahun depan? Hahahahah kapan saja boleh!






Y. Defrita Rufikasari
Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar