Rabu, 20 Maret 2013

TARIAN SUNYI-

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

          “Biarlah dewa-dewa menjadi saksi kemenanganmu. Inilah putriku Sinta, cintailah dia lebih dari hidupmu sendiri. Semoga ia menjadi kekasih yang setia. Jadikanlah ia teman dalam setiap perjalanan hidupmu. Bahagiakanlah putriku ini, dalam kesenangan maupun penderitaan. Satria, terimalah anakku,” kata Prabu Janaka. Dewi Sinta memandang Rama dengan mata yang menahan air mata. Hatinya merasakan suatu sentuhan tiada tara. Berdiri di hadapan Rama, ia merasa laksana menyelam ke dalam arus kehidupan yang luas. Rama membalas pandangannya dan bertemulah hati yang telah dipersatukan dengan cinta.

          Begitulah Romo Sindhunata menceritakan awal mula pertemuan Rama dan Sinta dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin. Kisah Ramayana yang selalu diidentikkan dengan keagungan dan kesetiaan cinta, pengorbanan dan penemuan diri ini adalah kisah yang garis besarnya kita masih ingat dengan baik. Walaupun saya tidak terlalu yakin generasi yang lebih muda dari saya tahu siapa itu Rama dan Sinta. Paling banter disamakan dengan Romeo dan Juliet van Java. Agak miris memang melihat kenyataan bahwa tidak banyak orang khususnya anak muda yang menaruh perhatian kepada kisah-kisah klasik semacam ini. Sekalipun untuk menikmatinya tidaklah sulit, sebab kisah Ramayana ini “cair” artinya ia sudah banyak dipentaskan, dilukiskan, dituliskan dan ditafsirkan ulang. Namun diantara banyaknya varian itu, saya masih angkat topi kepada kelompok-kelompok yang memang menjaga pakem kisah Ramayana. Mereka bagaikan garda terdepan pertahanan Ramayana dari gilasan jaman.

          Hari Jumat saya dikabari oleh keponakan saya Andreas Notokusumo bahwa nanti malam jam 18.00 ada Sendratari Ramayana di Gedung Adipura Wonosobo. Bagi saya ini menarik. Ada beberapa hal yang menarik:

·         Di kota saya ini jarang ada hiburan yang benar-benar menghibur. Paling sering ya dangdutan atau campursarian yang digelar di alun-alun kota. Sama sekali tidak bermaksud mengecilkan varian hiburan tadi namun yang menyuguhkan hiburan klasik itu jarang sekali. Bagi saya hiburan klasik itu perlu supaya makin banyak orang menghargai kekayaan tradisi bangsa sendiri dan kemudian mencintainya sepenuh hati.

·         Saya sudah beberapa kali menyaksikan Sendratari Ramayana selama saya di Yogyakarta, maka saya ingin menyaksikan Sendratari Ramayana dari Wonosobo.

·         Para pemain Sendratari Ramayana ini biasanya adalah para penari klasik Jawa yang usianya di atas 40 tahunan. Namun kali ini yang menarik adalah para pemain Sendratari Ramayana adalah teman-teman difabel dari sekolah Dena Upakara Wonosobo. Mereka usia TK sampai SMP berperan serta dalam pementasan kali ini.

Sendratari Ramayana ini diletakkan sebagai acara pamungkas dalam rangkaian acara Dies Natalis ke-75 Dena Upakara Wonosobo. Tepat jam 18.30 acara dibuka oleh teman-teman dari UNSIQ Wonosobo yang membawaka shalawatan. Kemudian disusul dengan drama singkat dari sebuah komunitas di Wonosobo. Pada bagian ini sudah terlihat dengan jelas ekspresi tidak sabara dari para penonton untuk menyaksikan “menu utama” malam ini. Akhirnya yang ditunggu dengan sepenuh hati muncul juga.Sebuah tarian pembukaan yang bagi saya sangat agung dan mendebarkan dibawakan oleh teman-teman difabel dari Don Bosco Wonosobo. Dua orang dari mereka membawa tongkat a la mayoret namun bedanya di masing-masing ujung tongkat itu ada api yang berkobar-kobar. Sedangkan sisanya membawa lilin di sebuah piring kecil di tangan kanan dan kiri. Mereka menari dengan sangat indah sekalipun tidak seorang pun dari mereka mendengarkan irama pengiring tarian mereka. Mereka menari dalam kesunyian. Namun kesunyian mereka justru menyajikan sesuatu yang agung dan menggetarkan hati.

     Kalau selama ini setiap menyaksikan Sendratari Ramayana suasanya cenderung serius dan khidmat maka kali ini sepanjang Sendratari Ramayana Dena Upakara saya tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak, para penari pria dari Don Bosco ini kemudian membentuk lingkaran a la penari kecak dari Bali sambil diiringi dentuman musik salah satu boyband Korea. Wow dong!!! Baru kali ini sebuah Sendratari Ramayana dikawinkan dengan dentuman irama pop boyband Korea. Memang pada akhirnya kembali pada selera masing-masing. Tetapi bagi saya, ya saya menghargai usaha perkawinan sendratari dengan irama pop boyband Korea-sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. Namun suasana atau aura agung yang menggetarkan itu akhirnya lenyap. Sungguh kalau ada kesempatan ingin saya matikan saja lagu boyband itu dan menggantinya dengan gending yang bening dan anggun itu. Hahaha…

     Ya, dan inilah sajian utamanya, mungkin benar bahwa “anggur terbaik itu di simpan sampai akhir”. Para pengrawit mulai memainkan gendingnya, dan dua orang teman dari Dena Upakara sudah berada di posisi masing-masing berhadapan. Yang satu berperan sebagai Rama yang satu berperan sebagai Sinta. Kita segera memasuki babak pertama.

     Pada babak pertama ini Rama dan Sinta sedang berkelana di hutan ditemani oleh Lesmana (ada pula yang menyebutnya Laksmana), adik Rama. Kisah ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya yaitu perginya Rama dan Sinta serta Lesmana ke hutan akibat permohonan Dewi Kekayi kepada Prabu Dasarata suaminya (ayah Rama dan Lesmana). Dewi Kekayi memohon agar Rama diusir ke hutan dan anaknya Barata dinobatkan sebagai Raja Ayodya. Malang betul, Prabu Dasarata sudah terlanjur bersumpah akan melakukan apapun permohonan Dewi Kekayi. Maka berangkatlah Rama dan Sinta ke hutan setelah memohon restu dari Dewi Sukasalya ibunda Rama. Diikuti oleh adiknya Lesmana yang setia yang mengiringi Rama dan Sinta ke hutan setelah ia memohon restu ibunya Dewi Sumitra.

     Di dalam hutan itulah sewaktu Rama dan Sinta memadu kasih, datanglah seekor kijang kencana yang merupakan penjelmaan dari Kalamarica utusan Rahwana. Sinta sangat tergoda pada kijang kencana itu dan memohon kepada Rama supaya ia menangkapnya. Rama pun mengabulkan permohonan Sinta dan ia pergi mengejar kijang tersebut. Rama berpesan kepada Lesmana untuk menjaga Sinta. Sudah lama Sinta menunggu, Rama tidak kunjung tiba. Maka disuruhnya Lesmana untuk menyusul Rama. Lesmana pun pergi. Tak lupa ia memberi batas pagar yang tak tampak agar Sinta tetap aman. Sinta pun tidak diperbolehkan keluar dari pagar itu.

     Dari jauh Rahwana melihat Sinta sendirian di tengah hutan. Maka datanglah ia ke tempat Sinta. Rahwana hendak membawa kabur Sinta yang berada dalam pagar. Rahwana tidak dapat meraihnya. Maka ia mencari cara untuk dapat menangkap Sinta. Ia mengubah dirinya dan menjelma menjadi kakek tua yang miskin. Kakek tua itu segera mendekati Sinta untuk meminta sesuatu darinya. Sinta pun mengulurkan tangannya keluar dari pagar buatan Lesmana. Maka kakek tua itu segera menyambar tangan Sinta dan membawanya kabur.

     Pada bagian babak I ini para pemain sangat lemah gemulai menarikan bagiannya masing-masing sekalipun mereka masih muda belia dan perempuan semua. Makeup yang mereka gunakan juga sangat mendukung karakter yang sedang mereka perankan. Juga kostum yang sangat apik mendukung pementasan babak I ini.  Pada babak II, Rama dan Lesmana masih mengejar kijang. Setelah kijang berhasil dipanah oleh Lesmana, tiba-tiba kijang itu berubah menjadi Kalamarica. Maka terjadi pertempuran antara Kalamarica dengan Lesmana. Kalamarica kalah. Yang menarik adalah, sekalipun sunyi mereka dengar, namun mereka bermain dengan sangat profesional. Contohnya, jika aksesoris mereka jatuh, mereka akan tetap bermain sampai tuntas tanpa menghiraukan hal-hal semacam itu. Nampak betul mereka semua menyadari peran mereka sebagai penyampai cerita yang total.

     Pada babak III, Rahwana yang membawa kabur Sinta bertemu dengan Jatayu seekor burung garuda. Jatayu ingin merebut Sinta dan membawanya kembali kepada Rama namun Jatayu kalah perang melawan Rahwana. Dalam keadaan sekarat, Jatayu bertemu Rama dan Lesmana. Rama dan Lesmana berdoa untuk kedamaian jiwa Jatayu. Gending yang dimainkan sangat menyayat hati. Sehingga lengkap sudah suasana pelepasan jiwa Jatayu ke alam baka. Kemudian, singkat cerita, pada babak IV, Rama memanggil Hanoman, Anggada dan Sugriwa dan menceritakan tentang hilangnya Sinta, istrinya. Rama mengutus Hanoman untuk menemui Sinta dan diberi cicin sebagai bukti utusannya. Anggada iri hati atas kepercayaan Rama kepada Hanoman. Maka terjadilah perang saudara antara Anggada versus Hanoman yang kemudian dilerai oleh Sugriwa. Cerita pun makin dipersingkat dengan kehadiran pasukan kera yang membuat tambak atau jembatan untuk Rama dan Lesmana sehingga dapat mencapai Alengka.

     Yang berperan sebagai pasukan kera adalah teman-teman Dena Upakara yang masih TK dan SD. Tingkah polah mereka sangat lucu dan enerjik. Salto ke sana ke mari dan sangat menjiwai peran mereka sebagai pasukan kera. Patut diacungi dua jempol untuk penghayatan peran mereka.

     Mendekati akhir, di taman sari kerajaan Alengka Sinta ditemani oleh Trijatha saudara Rahwana dan para putri kerajaan Alengka. Trijatha jauh berbeda dengan Rahwana. Ia baik dan bersahabat dengan Dewi Sinta. Sewaktu Sinta bersama dengan Trijatha dan para putri yang sungguh indah dan anggun tariannya datanglah Rahwana ingin mendekati Sinta namun dihalau oleh Trijatha. Rahwana marah dan pergi meninggalkan taman. Kemudian datanglah Hanoman ke dalam taman. Hanoman menyampaikan cincin itu kepada Sinta. Kedatangan Hanoman diketahui oleh Indrajit anak Rahwana. Mereka bertempur dan sebagai hukumannya Hanoman dibakar hidup-hidup namun Hanoman dapat membebaskan diri dan justru membakar Alengka. Pada bagian ini diputarkan lagu Anoman Kobong. Pas betul hentakan dan suasananya!

     Pada bagian akhir Sendratari Ramayana, Hanoman bertemu dengan Rahwana dan mereka bertempur. Rahwana berhasil dikalahkan oleh Hanoman. Hanoman menimpakan gunung kepada Rahwana sampai ia mati. Sinta pun berhasil keluar dan kembali kepada Rama. Namun Rama tidak langsung menerima Sinta karena meragikan kesucian Sinta setelah lama berpisah (duh, kok ya ada satria berpikiran cupet seperti ini-komentar saya). Sinta harus membuktikan kesuciannya dengan dibakar, tetapi api padam dengan sendirinya. Sinta tidak mati. Kesucian Sinta terbukti. Rama akhirnya menerima Sinta dan menjadi pasangan saling mencinta.

     Keseluruhan pagelaran Sendratari Ramayana Dena Upakara dengan lakon “Brubuh Alengka” ini menarik, mengundang gelak tawa karena di sela-selanya ada kehadiran ponakawan yang saya tidak tahu menahu apa kaitannya dengan pakem cerita Ramayana pada umumnya. Kepolosan, keceriaan dan kesungguhan hati para pemain memerankan perannya masing-masing sangat menggugah hati. Justru dalam keterbatasan, mereka menyajikan sesuatu yang indah, agung, memenuhi hati dan jiwa.

     Sempat saya dengar pembicaraan ibu-ibu di depan saya, bahwa mereka belajar menari bukan dengan mendengarkan irama gending seperti pada umumnya. Karena keterbatasan mereka dalam mendengar dan bicara maka mereka belajar menari lewat hitungan dan olah rasa. Hitungan dalam bentuk ketukan yang dikomando oleh guru tari mereka di depan panggung, persis seperti ketika menyaksikan opera dimana ada ruang kecil di depan para pemain tempat pembaca naskah bersembunyi dan mendiktekan kata-kata yang mungkin terlupakan atau terlewatkan oleh aktor atau aktris. Tetapi jangan kira teman-teman Dena Upakara ini hanya terpancang pada kode dan hitungan semata namun terlebih dari itu semua, mereka mengolah rasa sehingga sudah tahu kapan harus menari dengan gerakan tangan yang halus, kapan harus menendag selendang dengan halus namun tegas. Ah, sungguh indah menyaksikan mereka menari dalam kesunyian. Sunyi karena irama gending dan riuh rendah suara penonton tak dapat mereka dengarkan. Seolah-olah saat itu hanya ada mereka dan tarian yang menjadi satu kesatuan. Sungguh agung!

     Pagelaran satu jam setengah itu pun usai, namun pesan terakhir dari pembawa acara menghentikan langkah saya. “Bapak, ibu, saudara, saudari, kami tidak minta dikasihani, tapi perlakukanlah kami selayaknya Anda memperlakukan orang lain.” Indah, betul nasehatnya…semoga tidak hanya terkenang namun diperbuat…. Terimakasih teman-teman Dena Upakara, Don Bosco, UNSIQ, teman-teman Gusdurian, terus berkarya untuk Indonesia!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wonosobo, Maret 2013

Y. Defrita R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar